*** WARNING: RATE 21 PLUS ***
BIJAKLAH DALAM MEMBACA!
SEMUA INI HANYALAH IMAJINASI DAN KARANGAN AUTHOR.
YANG J E L E K DAN BURUK, JANGAN DITIRU!
MOHON MAAF ATAS KETIDAKNYAMANANNYA!
----------------------------------------------
Siang hari, Casilda menyipitkan matanya ke arah pria yang tengah sibuk berolahraga di ruangan khusus. Siapa lagi kalau bukan Arkan sang aktor berengsek itu?
Wanita berpipi bakpao ini duduk bersandar di lantai sambil memeluk kedua lututnya, cemberut karena sejak tadi pria itu masih saja berada di rumahnya.
Memang dia kekurangan pekerjaan apa?
Oh! Tunggu!
Dia itu, kan, anak orang kaya! Mau kerja atau tidak, tetap saja dapat uang banyak.
Wanita berpakaian wanita hamil dan celana training abu-abu ini mendengus geli, mengedutkan kesal sebelah bibirnya dengan sengaja, mata mendatar seolah sudah mau membakar pria yang tengah lari di atas treadmill di seberang ruangan.
Dia senang rantainya sudah dilepas, tapi kenapa juga dipasangi di salah satu pegangan alat olahraga di ruangan ini?
Kalau takut dia kabur setelah dipinjamkan uang, apa hal semacam ini normal?
“Tuan Arkan?” sahut Casilda pelan, mencoba memulai negosiasi.
Arkan dalam training hitam kerennya, masih terus berlari sambil sesekali mengelap keringat di wajahnya. Tidak membalas perkataan sang wanita.
“Tuan Arkan???” ulang Casilda.
Hening.
Suara mesin treadmill dan derap kaki sang pria memenuhi udara, sudah seperti gambaran pria itu tengah menginjak-nginjak dirinya lagi di atas alat berlari itu.
Casilda berbisik kecil, “ya, ampun. Dia tuli atau pura-pura tidak dengar? Di telinganya juga tidak ada apa pun.”
Mengamati sejenak kepada pria di depannya itu, mata Casilda melirik sejenak ke arah pintu yang terbuka di sebelahnya.
Dia kembali melihat ke arah sang aktor. Pandangan pria itu masih tertuju lurus ke depan, tampak fokus berlari.
Casilda tertawa aneh diam-diam, lalu perlahan bergerak pelan, menahan rantainya agar tidak berbunyi, merangkak tanpa suara hendak meninggalkan ruangan itu.
“KAMU MAU KE MANA, HAH?!”
Syok!
Casilda yang sudah merangkak di lantai, kepala sudah mau keluar terjulur melewati pintu, akhirnya berhenti bagaikan anak kecil yang tengah bermain permainan daruma berguling, diam tak bergerak di tempatnya.
Arkan yang ngos-ngosan habis berlari, tampak emosi dengan raut wajah galak, handuk putihnya dihempaskan ke lantai. Berjalan dengan santai ke arah sang wanita.
“Kamu pikir bisa kabur dari sini dengan mudah?” sinisnya, menarik rantai di sisi lain yang sudah terhubung dengan sebuah alat penguat lengan di dekat pintu.
Casilda tersenyum lunak berseri-seri, sangat menyebalkan di mata Arkan, berkata manis dengan sengaja: “Eiii... mana mungkin saya berani, Tuan Arkan. Tadi, saya hanya tidak mau mengganggu fokus Anda, makanya saya mau keluar duduk di depan ruangan ini. Kalau lihat alat-alat olahraga di ruangan ini terus, rasanya jadi lapar entah kenapa. Jadi, lebih baik lihat yang lain saja, kan? Aha... ahahaha!”
Arkan bersedekap angkuh, meliriknya malas dan dingin.
“Memang kamu tidak bersyukur mendapat pemandangan indah di ruangan ini?”
Eh?
Casilda terbodoh sesaat.
Apa maksudnya itu?
Pemandangan indah apa maksudnya? Isi ruangan ini hanyalah barang-barang besi yang sulit untuk dinilai estetiknya di mata Casilda, apanya yang indah dari itu? Malah terlihat seperti alat penyiksa untuknya.
“Apa maksudnya dengan pemandangan in— AHHH!!”
Casilda yang ingin bertanya maksudnya, tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Ma-maksudnya pemandangan indah itu...” kata-katanya terpotong, memiringkan kepala dengan tatapan sinis, berkata dengan nada menyebalkan tak percaya, “.... apakah itu adalah Anda sendiri, Tuan Arkan?”
Arkan mendengus melihat kelemotan budaknya.
“Tentu saja. Kamu pikir apa lagi yang indah di ruangan ini selain aku? Kamu? Bercerminlah!”
“Minggir!” koarnya tiba-tiba, galak dan dalam, menyenggol tubuh Casilda dari depan pintu hingga menubruk ke dinding, berjalan keluar menuju kamar pribadi di sebelahnya.
“Tu-tunggu! Tuan Arkan! Saya masih terikat di sini!”
“Diam saja di situ! Aku mau mandi!”
Mendengar itu bersaman dengan hempasan pintu di udara, sudah tahu dia tidak punya peluang untuk melawan.
Yah, setidaknya sekarang dia sudah berpisah darinya sejenak.
“Kalau dia mandi, apa mungkin dia akan segera keluar rumah, ya?” gumam Casilda kepada diri sendiri, matanya melirik cepat ke arah alat olahraga angkat beban untuk tangan di depannya.
Casilda bertopang dagu dengan satu tangan bertumpu di tangan lain, kening tabrakan. Dia sedang berpikir bagaimana bisa kabur dari tempat ini.
Sudah punya uang untuk biaya operasi, bagaimana bisa dia tertahan di sini seperti orang bodoh? Setidaknya dia harus meyakinkan pihak rumah sakit untuk mengurus adiknya dengan baik, menyerahkannya kepada dokter yang sudah dipercayanya.
Sialan! Ponselnya tertinggal di mobil. Setidaknya kalau ada ponsel bersamanya, dia bisa menelpon dokter adiknya, dan memintanya mengurus semuanya. Sisanya bisa diurus. Dia, kan, bisa menunjukkan tangkapan layar saldo rekeningnya dan hasil transferan dari Arkan. Dengan begitu, pasti mereka bisa segera mengurus jadwal operasi adiknya.
Arkan mandi cukup lama, entah memang dia selama itu mandinya, atau dia sudah tidur dan melupakan Casilda yang masih terikat di ruangan olahraga.
Saking capeknya wanita berbaju hamil ini menunggu, dia pun terkantuk-kantuk di depan pintu, tapi pintu di depan sana masih saja tertutup.
“Mungkin seorang model sepertinya harus mandi lama agar tubuhnya selalu bagus. Perawatan seorang superstar memang luar biasa, ya?” gumam Casilda setengah mengantuk.
Dia sudah mau lanjut untuk terbuai ke alam mimpi, tapi sudut matanya melirik ke sebuah benda bulat panjang berwarna perak.
Tiba-tiba mata mengantuk Casilda lenyap.
Bohlam ide seolah muncul tiba-tiba di atas kepalanya.
Senyum licik terentang lebar di wajah berpipi bakpaonya, mata melengkung bak ulat bulu.
Di kamar mandi Arkan, suara napas tersengal dan mendesah terdengar dari bilik kaca shower kamar mandi ini. Arkan mengepalkan tangan kanannya yang menyangga tubuhnya di dinding marmer, memukulkan kepalannya di sana, sambil menggigit gigi marah menahan emosi yang meluap-luap di dadanya.
Kucuran air dari shower di atasnya membasahi tubuh pria ini, menyapu rambut hitam mediumnya, membuat kulit indahnya berkilau oleh efek lampu kamar mandi.
Di kaki sang aktor, terdapat cairan lain yang bukan dari air yang jatuh dari shower di atasnya. Ya, itu adalah jus alami hasil ‘permainan seksi solo’ dari pria tersebut. Tidak heran dia lama berada di dalam kamar mandi.
Mata sang aktor menatap cairan kental dan putih itu tersapu oleh air yang jatuh dari tubuh dan shower di atasnya.
Sialan!
Bagaimana bisa dia yang tampan dan keren ini, juga seorang playboy yang sudah tidur dengan banyak wanita cantik dan seksi, bisa-bisanya sangat bernafsu kepada wanita gendut dan jelek seperti budaknya yang bodoh itu?
Mata dipejamkan kuat-kuat, tidak terima dengan reaksi alami tubuhnya terhadap Casilda.
Rasa di hati pria ini berguncang hebat, bergetar bagaikan sebuah tremor gempa bumi dahsyat yang mencoba membangkitkan perasaan lama di sudut hatinya, terkubur dalam dan tersembunyi dengan baik di sana.
Semenjak mereka berciuman, dan frekuensinya semakin sering, sepertinya sudah membuat pria yang memiliki selera wanita kelas tinggi ini jatuh begitu saja dari puncak tebing kesombongan.
Di saat Arkan sibuk bergulat batin dengan kondisi kacaunya ini, ingatannya saat milik pribadi mereka bersentuhan jelas, membuat miliknya kembali bangun dan berkedut luar biasa.
“Berengsek! Wanita itu pasti sudah menyihirku!” makinya berbisik kesal, dan dia pun tak bisa melawan hasratnya yang bergolak hebat melanda aliran darahnya.
Air shower dimatikan.
Tangan kirinya lalu turun kembali ke sana, kepala didongakkan seksi, mata terpejam.
“Haaa... Casilda... Casilda... Ratu Casilda Wijaya...” desahnya berbisik seksi berkali-kali dengan napas memburu penuh damba. Perasaannya meluluh dahsyat, kembang api seolah membuncah di dadanya, membuat otak sang aktor melayang ringan. Lupa dengan segala hal dalam sedetik gara-gara ‘waktu seksi’ rahasianya.
Selama hampir beberapa menit, Arkan tenggelam oleh ekstasi memabukkan, membayangkan banyak hal dengan sangat liar dan nakal tentang Casilda secara diam-diam dalam imajinasinya, dan dia lalu teringat betapa cantik dan manisnya wanita cinta pertamanya itu.
Tubuhnya langsung menegang, kepalan tangannya di dinding yang menyangga tubuhnya mengepal kuat merasakan pelepasan yang entah sudah ke berapa kalinya sejak dia sudah terlalu lama di kamar mandi.
“Sialan...” makinya dengan suara rendah, wajah sayu merahnya sangat seksi dan tampan. Sorot matanya setengah sadar, berbinar indah dan terlihat kenyang.
Ini sangat memalukan bagi seorang pria berstatus selebriti ternama, juga seorang playboy level atas.
Sungguh menyedihkan melakukan solo sambil membayangkan seorang wanita yang jauh di bawah standarnya. Standar yang sudah ditetapkan olehnya semenjak dia memulai kehidupan barunya yang lebih baik.
Lebih-lebih lagi, dia telah memiliki calon istri seorang supermodel yang sangat dicintai oleh seluruh negeri.
Arkan meringis gelap.
Dia tidak bisa menyentuh Casilda dengan banyak alasan di baliknya, maka dari itu melakukan ini agar memuaskan batinnya. Tapi, perasaan puas itu langsung berganti dengan cepat oleh perasaan memalukan luar biasa.
Usai merasa cukup dan lemas, dia pun langsung menyalakan shower kembali.
Hanya berdiri di bawah pancuran air itu dengan kepala tertunduk menatap lantai di bawahnya. Satu tangannya mencengkeram kuat keran air, sudah seperti mau merusaknya saja. Ekspresi pria ini nyaris kosong dalam diam.
Suara benda keras dan berat terdengar tiba-tiba dari arah luar.
Mata Arkan membesar kaget, kepalanya dengan cepat menoleh ke arah pintu kamar mandi.
Air keran dimatikan, mencoba mendengar hal yang baru saja mengusik lamunannya.
Hening.
Sama sekali tidak terdengar apa pun lagi.
Apakah dia salah dengar?
Kening ditautkan bingung.
Selama beberapa saat, pria ini tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya, masih menunggu mendengar sesuatu di luar sana. Tapi, karena tak kunjung datang, dia pun segera kembali menyelesaikan aktivitas mandinya, segera menyelesaikannya dan akan melampiaskan kekesalan tidak berujungnya ini kepada budaknya sialan itu.
Namun, yang tidak diketahui oleh pria ini, di ruang olahraga itu, sudah tidak ada wanita gendut berbaju hamil yang menjadi mainannya.
Di sana, di dalam ruangan yang sengaja ditutup oleh Casilda, pemandang kacau terlihat di lantai di dekat alat olahraga dekat pintu, rantai yang menjerat kaki sang wanita sudah terbuka dan rusak. Tergeletak menyedihkan di sebelah sebuah barbel 5 kg. Besi salah satu alat itu tampak peyok dan tergores.
Ratu Casilda Wijaya yang sudah berhasil melepaskan diri, kini turun mengendap-ngendap ke lantai satu.
Suasana mansion ini sangat hening.