"Ya. Ya. Masa muda itu enak, ya. Masih bisa bebas. Saya akan tutup mulut, tapi sebagai gantinya, Anda mau berikan tanda tangan untuk anak saya?"
Sang supir cepat-cepat merogoh sebuah buku catatan kecil di laci dashboard.
"Maaf, saya sedang menyetir. Jadi tidak bisa memberikannya secara benar. Mohon tanda tangani dengan menuliskan: untuk Ayumi yang manis, dari Arkan sang Top Star."
Arkan dengan polosnya menerima buku catatan kecil beserta sebuah polpen diselipkan di punggung buku. Tanpa berpikir, segera melakukan apa yang diminta oleh sang supir.
Tepat ketika selesai menuliskan dan menandatanginya, dia tersadar apa yang baru saja dilakukannya. Polpen yang ada di dalam tangannya digenggam kuat-kuat. Wajahnya tampak menggelap kesal seolah akan meledak.
'Sialan! Aku kebiasaan melakukan sesi tanda tangan. Tanpa sadar aku melakukan apa yang dimintanya,' batinnya setengah linglung.
"Ini. Sudah kutanda-tangani," ucap Arkan menahan rasa jengkel dalam nada suaranya, menyerahkan kembali buku catatan itu.
"Terima kasih!" seru sang supir senang. "Saya akan tutup mulut. Tidak melihat apa pun yang sedang terjadi hari ini. Bayarannya juga lumayan. Anda bisa mempercayai saya!"
Sang supir tersenyum lebar di kaca spion sejenak.
"Sudah seharusnya. Aku juga sudah menyimpan foto bapak," gerundelnya malas.
Menyadari Casilda tak bersuara di sampingnya, dia melirikkan matanya. Kaget.
"Apa yang kamu lakukan?"
Suara ‘tek tek tek’ terdengar samar-samar di pintu mobil.
Diam-diam, selama Arkan sibuk dengan sang supir, Casilda berusaha keras membuka pintu mobil dengan paksa meski tahu usahanya akan sia-sia belaka.
Wajah perempuan ini sudah pucat bagaikan bakpao basi.
"Kamu mau merusak mobil orang, ya?!"
Arkan menarik lengan Casilda untuk berhenti melakukannya.
"Aku harus kembali bekerja, dasar aktor sialan! Kamu, sih, enak, ya, duduk-duduk santai sudah bisa bikin uang! Beda denganku! Tubuh dan otakku harus bergerak kalau mau dapat uang! Kalau aku tidak kembali ke sana, mereka pasti mengeluh, dan gajiku bisa dipotong! Bahkan tak dibayar sama sekali!"
Air mata Casilda meluruh, bibirnya gemelutukan menahan rasa kesal.
Dirinya tak bisa meladeni pria itu seharian, ada adiknya yang membutuhkan uang operasi yang tidak sedikit. Jika tak mendapat uang sesuai kesepakatan dengan tim manajemen Arkan dan tahu dirinya menghilang tiba-tiba tak bertanggung-jawab, uang 5 jutanya bisa melayang. Belum lagi tambahan dari bosnya jika berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Berapa banyak kerugian yang harus dideritanya hari ini?
"..."
Arkan terdiam sesaat melihat wajah Casilda yang sembab, sangat imut dan menggemaskan dengan pipi bakpaonya.
"Berapa yang mereka janjikan padamu? Aku bayar 2 kali lipat."
"Ini bukan soal berapa banyak, tapi ini menyangkut kinerja kedai kami! Kalau diberi rating jelek oleh pihak kalian, memang kamu peduli? Orang kaya sepertimu hanya bisa meremehkan orang lain, ya!"
"Heh! Sebelum bicara seperti itu, apa kamu tidak bercermin dulu? Apa kamu tiba-tiba amnesia dengan segala perbuatan busukmu di masa lalu?"
Casilda berusaha melepas lengannya dari cengkeraman sang aktor, merasa tidak nyaman dekat-dekat dengannya. Menyadari hal itu, Arkan malah semakin menariknya ke sisinya.
"Apa-apaan kamu tarik-tarik begini? Lagi pula, itu masa laluku! Yang jahat sekarang, kan, kamu! Kamu yang perlu bercermin! Dasar tukang tindas!"
Casilda bergumul berusaha lepas dari gamitan kuat Arkan.
"Cepat lepaskan aku! Ryan pasti sudah mencari-cariku!"
Ryan?
Mendengar nama itu, sontak kemarahan aneh memenuhi dadanya, membuat Arkan tidak tenang.
"Masalah di panti, serahkan saja padaku. Kamu temani aku saja sebagai asisten sehari. Nanti aku yang akan mengantarmu kembali ke kedai."
"Kamu tidak bisa seenaknya seperti ini!" ronta Casilda dengan wajah kesal, masih berusaha lepas dari gamitan lengan Arkan yang sangat kuat.
"Diam! Aku sedang menelepon," bentaknya dingin, lalu menyapa seseorang di ponsel. Tapi, Casilda tidak mau mendengar. Perempuan berkepang satu itu, terus berusaha lepas tanpa ada niat untuk menyerah.
Kesal karena sedang berbicara serius di telepon dan perempuan di sebelahnya sibuk bergerak-gerak seperti belut licin, Arkan terpaksa mendorongnya baring ke jok mobil, lalu menindih tubuhnya hingga Casilda membeku kaget.
Napas pria itu terasa jelas di kulit wajahnya!
Casilda tiba-tiba lupa cara untuk bernapas selama beberapa detik, bola matanya membesar dan pupil mengecil.
Wajah tampan dan indah Arkan hanya berjarak beberapa senti darinya, dan napasnya bagaikan semburan api hangat menyengat kulit wajahnya.
Kedua mata mereka bertemu, terkunci satu sama lain.
"Ya. Abian. Bilang saja aku ada perlu. Perempuan ayam goreng krispi itu ikut bersamaku. Aku yang memaksanya untuk pergi denganku. Maaf lupa memberitahumu, tapi aku buru-buru. Sekalian aku ingin menyapa kedai mereka dan berterima kasih. Aku rasa, aku ingin memesan lagi untuk acara syuting besok. Menu disesuaikan. Mungkin lebih baik," ucapnya dengan nada suara rendah yang terdengar sedikit menggoda. Bulu matanya melambaik lembut menatap bibir ranum Casilda. Lalu, selama beberapa detik pikirannya menjadi kosong. Terdiam tanpa kata.
Abian di telepon sudah berceloteh memanggil-manggilnya, tapi diabaikan bagaikan dengungan nyamuk.
"A-apa yang kamu lakukan? Pergi dariku!" seru Casilda berbisik kecil.
Selain keintiman tidak nyaman itu, berat tubuh Arkan tidak main-main. Dia adalah pria dewasa dengan tubuh tinggi dan sehat. Casilda merasa dadanya tertekan kuat sampai wajahnya membiru karena mendapat beban berat di atasnya tanpa persiapan.
Kesadaran kembali muncul di dalam diri Arkan, entah kenapa marah dengan perasaan aneh yang baru saja hinggap di hatinya. Keningnya mengerut kesal.
Abian berteriak keras di telepon, membuat sang aktor mengerutkan wajahnya tidak senang.
"Apa? Tunanganku? Bilang saja aku ada keperluan mendadak. Kamu karang sendiri saja di sana. Sekarang aku sedang ingin menyegarkan pikiranku. Aku baru saja mendapat hal yang seru untuk bersenang-senang."
Tangan kirinya yang sedang menahan tangan kanan Casilda di perutnya sendiri hingga tubuh perempuan itu dalam posisi miring, dihentakkan lepas dan bangkit dari tubuh lawan mainnya. Elegan dan angkuh.
"Be-berengsek! Dia pikir aku ini apa?" keluh Casilda berbisik kesal, wajahnya memerah, entah karena marah atau malu, sulit untuk membedakannya.
Casilda tak berhentinya melotot marah ke arah Arkan yang masih sibuk di telepon hingga tangan besar pria itu menutupi wajahnya dengan gerakan santai, menekannya kuat pada sandaran kursi.
"HMPH! Ephaskan! Ephaskan tanghanmuh!" Casilda berusaha melepas tangan besar pria itu di wajahnya, tapi Arkan tampak sengaja tak mau melepasnya. Dadanya naik-turun karena sesak napas untuk kesekian kalinya.
Usai menelepon, pria itu menarik tangannya. Casilda megap-megap menarik napas kuat-kuat ke dalam paru-parunya, wajah membiru.
Sialan! Berada di dekat pria ini seperti uji nyali saja! maki Casilda dalam hati.
"Sudah aku bereskan. Kamu tidak usah cemas. Aku juga akan membayarmu dua kali lipat."
Tangan kiri Arkan meraih dagunya, mendongakkan paksa wajah sang wanita yang pucat.
"Lihat dirimu, kamu ternyata sangat menyedihkan sekarang," ledek Arkan dengan seringai jahat di sudut bibirnya.
"Aku tidak butuh belas kasihanmu!" ucapnya galak, kepala ditolehkan paksa, lepas dari ujung-ujung jari Arkan.
Mata pria berjaket biru itu menipis tajam berbahaya.
"Siapa yang ingin berbelas kasihan padamu, hah? Kamu ini masih tidak sadar akan jadi apa seharian ini bersamaku?" bisiknya merendah seksi, terdengar jahat di telinga lawan bicaranya. Kata-katanya dilanjutkan dengan nada yang begitu menghina, “asisten itu hanya ungkapan halus. Seharian ini, sampai aku bilang selesai, kamu harus jadi budakku."
Tubuh Casilda menegang hebat dalam kungkungan lengan kanan pria itu, mata mereka kembali bertemu.
Wajah tampan mempesona itu tersenyum dingin tanpa ada setitik kebaikan di sana.
"Siap-siaplah dengan siksaanmu hari ini, Ratu. Casilda. Wijaya," eja Arkan pada nama sang wanita, diucapkan dengan ekspresi penuh cemoohan dan hinaan, seolah apa yang ada di depannya adalah hal paling menjijikkan di dunia ini.
"Pa-pak Supir~? Apa Anda setuju membantu pria jahat ini? Dia ingin menyiksaku!" cicit Casilda, melorotkan tubuhnya di kursi.
Mata dingin dan angkuh Arkan merendah lembut mengikuti gerakannya yang melorot.
"Maaf, hari ini saya agak tuli. Tapi, Tuan Arkan tadi belum bilang kita mau ke mana. Apa ada tempat tertentu yang ingin Anda kunjungi?"
Sang supir dengan jelas dan terang-terangan mengelak pertanyaannya, jiwa Casilda menjerit panik!
Di atas wajah Casilda, Arkan memberikan senyuman penuh kemenangan, masih dalam pose mengungkungnya, yang terbilang... yah, sedikit posesif, wahai para pembaca!
"Kita ke hotel LandFord."
"Baik, Tuan Arkan! Dengan senang hati!"
Jantung Casilda seperti dipukul oleh palu! Napas tertahan!
"Ma-mau apa kita ke sana?"
Casilda tampak menggeliat resah. Sangat tidak suka mendengar kata hotel dari mulut Arkan.
Matanya memicing tajam, melihat reaksi sang wanita yang tampak ketakutan dan gemetar.
"Menurutmu, untuk apa orang-orang ke hotel, hah? Apa kamu sebodoh ini setelah bertahun-tahun?"
"A-aku pikir kita mau belanja seharian?" suara wanita ini seolah sudah di ujung nyawanya, mengecil hingga nyaris tak terdengar, pucat dan menggelap suram.
Arkan mendengus geli, memperbaiki duduknya, melipat tangan di dadanya.
"Jangan berpikir hal-hal yang memalukan. Aku punya tunangan yang sangat kucintai, kamu ini hanya asisten sehari," matanya melirik sejenak pada Casilda yang terlihat sudah hampir pingsan bersandar di jendela mobil, ekspresi wajahnya sangat tidak sehat. "Aku lapar. Ingin makan makanan Italia kesukaanku."
Jantung Casilda seolah akan melompat keluar dari tempatnya, kepalanya pusing, dadanya seperti baru saja mengeluarkan api dari paru-parunya.
Berhadapan dengan Arkan membuat seluruh umurnya seolah habis bagaikan baterai yang disedot tak bersisa.
Sang supir yang sibuk mengemudi di depan, benar-benar menepati kata-katanya, dia memutar radio dalam suara rendah dan mengabaikan pertengkaran kedua orang di kursi belakangnya. Hati pria berseragam biru itu benar-benar terlihat sangat senang, bersenandung kecil menggemudikan taksi biru kecilnya.