Bab 31 Wanita Malang dan Takdir Rumit 4

1300 Kata
Perkataan Bu Hamidah tidak begitu ditanggapi oleh perempuan berkacamata tebal itu. Dia malah sibuk perang batin, apakah akan tetap bertahan meladeni Arkan dan mengambil uang jasa asisten dadakannya, atau sebaiknya pindah kerja saja? Tapi, kalau pindah kerja, cari pekerjaan bagus selain kedai Bu Hamidah, sulit menemukannya dalam waktu singkat. Apalagi ada bonus setiap pengantaran yang dilakukannya. Sangat lumayan untuk kebutuhan mendesak bulan ini. 500 juta.... Ah... kepalanya sakit tiba-tiba mengingat angka fantastis bagi orang kecil sepertinya. "Hei! Casilda! Sudah kubilang, jangan banyak pikir lagi! Kepuasan pembeli itu nomor satu! Jangan buat kecewa! Dia suka kamu yang melayaninya, artinya kamu punya nilai plus di matanya. Kamu bahkan diajak sebagai asisten sehari, kan? Ryan yang bilang padaku tadi. Pantas saja pria tampan itu bilang soal bayar sisanya belakangan. Kalau kamu beruntung, bisa kecipratan banyak darinya, kan? Lagipula, pesanannya juga sudah dibayar setengah. Jadi, harus diantar. Tidak bisa dibatalkan." "APA?!" Kedua bahu Casilda terlonjak kaget, mata membulat marah. Bu Hamidah memegang sisi pintu dapur dengan kedua tangannya, nyaris terjengkang mendengar teriakan spontannya itu. Bukan wanita paruh baya itu saja, tapi salah satu pengunjung tersedak ayam gara-gara sangat terkejut. Suara terbatuk keras menghiasai kedai kecil itu. "Ma-maaf!" kata Casilda pelan, menatap ke arah para pengunjung kedai yang hanya membalasnya dengan lambaian tangan yang mengandung arti: lupakan saja. Tidak apa-apa. "Kamu ini! Kalau dia mati tersedak di sini, mau tanggungjawab?" bisik bosnya dengan memajukan tubuh ke depan, memasang tampang galak. "Ma-maaf, bos. Soalnya, kenapa dia bayar pesanannya dan malah tidak membayarku lebih dulu? Itu, kan, tidak masuk akal, bos! Tidak adil!" "Kamu jangan banyak protes! Sudah banyak pikir, banyak protes pula! Dia itu adalah seorang aktor, model, orang kaya dengan uang berlimpah. Tidak mungkin mau menipu siapa pun. Kamu ini pikirannya negatif terus. Pantas belum ketemu jodoh. Sudah, kamu cepat pulang saja sana. Walau sudah mandi di sini, tapi kamu masih pakai pakaianmu yang kemarin, untung masih layak pakai dan diberi parfum sedikit biar tidak begitu bau. Pulanglah, Istirahat cepat sebelum besok kita siap-siap untuk membuat pesanan baru sang aktor." Casilda menghela napas berat. Kepalanya pusing. Dia tak mau bertemu dengan pria itu lagi. Kenapa begini, sih? Firasatnya sangat buruk. Saat Casilda sudah berlalu dari kedai, Ryan baru pulang dari mengantarkan pesanan. "Cassie mana, bu?" tanya Ryan bingung, berjalan menuju dapur, melihat ibunya tengah makan sesuatu, dan terlihat kaget ketika melihat ada yang menegurnya. "Oh! A-aku kira siapa! I-iya, Casilda sudah pulang barusan, kok," balasnya sedikit gugup, tersenyum aneh. Ryan memakai rompi merah dengan logo ayam khas kedai tersebut yang terlihat di punggungnya, melepasnya sembari meletakkan helm di kursi, matanya melirik pada jejeran berbagai makanan yang ada di meja dapur. "Dari mana makanan ini? Ibu pesan? Tumben, tidak biasanya ibu buang uang sebanyak ini," celutuk Ryan, meraih sebuah burger di atas piring yang berisi berbagai makanan cepat saji. Bu Hamidah terlihat salah tingkah dan tersenyum cengengesan, menguyah kentang gorengnya dan berkata malu-malu, "semalam, aktor itu memberikan ini kepada ibu. Katanya dia tidak sengaja beli banyak, jadi diberikan begitu saja." Kontan saja burger yang tengah dikunyah oleh Ryan, dimuntahkan ke lantai. Meletakkan sisanya ke atas meja dengan perasaan dongkol. "Ibu bilang apa? Ini pemberian aktor playboy itu? Kenapa ibu mau menerima pemberian orang asing, bu? Kalau ada racunnya, bagaimana?" Sang ibu memukul keras bahu sang anak,"bicara apa kamu? Racun apa? Dia pria yang baik hati sampai mengantar Casilda sendiri ke kedai. Juga memesan 200 kotak lagi pada kita. Bicaramu jangan macam-macam kalau tidak mau kena sial!" Dengan suara ‘brak’, Ryan memukul meja dengan perasaan emosi lalu berjalan naik ke lantai dua. "Apa-apaan anak itu? Dapat makanan gratis dan enak begini kenapa malah protes?" cebiknya dengan tatapan datar, lalu kembali menguyah makanannya dengan santai. "Saya belum sempat memberitahunya karena dia langsung tertidur begitu saja. Tolong beritahu padanya saat bangun nanti kalau semua makanan ini adalah untuknya." Terbayang perkataan Arkan padanya semalam yang membuat hati wanita tua ini sedikit goyah, tapi langsung menggelengkan kepalanya keras-keras. Menghilangkan perasaan bersalah yang sempat sedetik hinggap di hatinya. "Tidak, tidak, tidak! Aku sudah memberinya 5 kotak ayam krispi yang baru digoreng, itu sudah sepadan sebagai pengganti ini semua. Kapan lagi aku memberinya ayam kripsi baru dan fresh sebanyak itu? Lagi pula, dia tidak tahu kalau semua makanan mahal dan enak ini adalah untuknya. Kalau tidak bilang apa-apa, kan, tidak akan jadi masalah," matanya tertawa licik, lalu mengunyah penuh semangat. "Semuanya ini bisa hampir 2 jutaan. Sayang sekali kalau semuanya hanya untuknya. Dia juga tidak cocok dengan makanan seperti, kok. Kenapa aku harus merasa bersalah?" Bu Hamidah mengedikkan bahunya cuek, dan menatap berbinar dengan mata melengkung seperti ulat bulu ke arah meja yang berisi penuh makanan pemberian Arkan yang sebenarnya ditujukan untuk Casilda. "Ehm... sebaiknya aku panaskan yang mana lagi, ya? Semuanya enak-enak, sih," gumam Bu Hamidah rakus, menggoyang-goyangkan telunjuknya di atas deretan makanan tersebut, bingung memilih santapan selanjutnya. *** Sepulangnya dari kedai, Casilda hanya mampir ke rumah sebentar untuk makan bersama ibunya, menyantap ayam goreng krispi yang masih hangat dan harum, disambut penuh antusias dan wajah polos sang ibu. Casilda merasa sedikit bangga, terharu melihat ibunya bisa menikmati makanan mewah dan layak itu setelah sekian lama. Bukan makanan sisa atau murahan. Segera setelah makan bersama sang ibu dengan pikiran berkecamuk, dia pun bergegas membersihkan diri untuk segera ke rumah sakit. Rencananya, Casilda ingin beristirahat dulu 1-2 jam di rumah, karena Bu Hamidah mengizinkannya pulang lebih cepat dari biasanya, tapi takdir sepertinya sekejam Arkan sang aktor. Saat terbangun di kedai pagi ini, dia mendapati ponsel miliknya yang disimpan oleh Ryan sudah kehabisan baterai, dan memutuskan ponselnya diisi ulang sembari melayani para pembeli. Ramainya pengunjung membuatnya tidak sempat memeriksa isi ponselnya meski hanya sekali saja. Ada sebuah pesan dari dokter yang merawat adiknya yang dikirim kemarin sore, baru dilihat beberapa saat lalu ketika berada dalam perjalanan pulang. Sepertinya itu bukan hal yang bagus mengingat cara penyampaiannya begitu hati-hati dan dengan niat menyembunyikan sesuatu darinya. Dokter: Casilda, tolong datang ke rumah sakit. Aku harap kamu bisa segera menemuiku besok. Hatinya gelisah. Ada apa sampai dokter mengirim pesan seperti itu padanya? Dia juga tidak sempat mengunjungi adiknya semalam gara-gara 'penculikan' yang dilakukan oleh Arkan. Malam hari, rumah sakit. Casilda tertidur dengan posisi tidak nyaman di kursi menemani adiknya setelah bercerita panjang soal petualangannya bersama Arkan mengelilingi mall A yang terkenal sangat mahal di ibukota. Tentu saja semuanya sudah dimodifikasi dengan berbagai macam pemanis untuk membuat sang adik laki-laki tersenyum dan tertawa, karena sempat khawatir melihat dirinya yang terlihat sangat lelah dan pucat. Kedua matanya terbuka, dengan mata minusnya yang kabur, dia menatap sosok sang adik, tertidur lelap di ranjang sembari memegangi tangannya. "Maaf harus memberitahumu hal ini, Casilda. Tapi, kondisi adikmu memburuk. Jika tidak segera melakukan operasi dalam waktu dekat ini. Maka... kamu sudah bisa menebaknya seperti apa, kan?" Kata-kata sang dokter beberapa saat lalu yang ditemuinya sebelum menemui sang adik bergulir kembali dalam ingatannya. Menikam otaknya bagaikan pisau es yang dingin dan tajam. Operasi adiknya ternyata harus dilakukan secepat mungkin. Punggungnya ditegakkan, menatap pilu adik satu-satunya itu. Dari mana dia bisa mendapat uang 500 juta? Ekspresinya muram cukup lama. Tiba masa tiba akal! Sebuah ide gila melompat di hatinya. Wajahnya sedikit menjadi cerah oleh sebuah harapan kecil. "Arkan! Iya, benar! Kalau aku bisa menceritakan padanya aku butuh pinjaman untuk operasi Danish, dia pasti bersedia menolong! Tidak mungkin, kan, dia sekejam itu tak mau menolong orang yang harus segera operasi jantung? Dia pasti masih punya hati nurani!" Casilda tersenyum lebar penuh semangat, meski tak tahu seperti apa hasilnya, setidaknya dia harus mencobanya dulu, kan? Tidak ada salahnya berusaha dengan sedikit membuang harga dirinya dalam situasi terjepit seperti sekarang ini. "Danish, tenang saja. Kakak pasti bisa membuatmu dioperasi dalam waktu dekat ini, ok?" Perempuan berkepang satu ini menggenggam tangan sang adik dengan kedua tangannya, tersenyum lembut meski perasaan tidak nyaman memenuhi benaknya, karena harus meminta tolong pada orang yang ingin sekali dijauhinya di muka bumi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN