"Atau, jangan jangan Mas dari tempat lain?" tanya Gumilar sambil menatap sang suami dengan tatapan penuh selidik.
"Iya, Mas dari tempat lain. Mas boncengan sama Aji dari rumah Pak Susilo, jadi abis tambal motor tadi Mas nganterin Aji ke rumahnya," jawab Nurhan dengan gamblang, Gumilar hanya diam mendengarnya. Terlalu masuk akal ucapan Nurhan untuk Gumilar tidak percaya, "kalau kamu enggak percaya kamu tanya ada sama Aji."
"Maaf, Mas aku bukannya nggak percaya sama kamu. aku cuma khawatir," jawab Gumilar sambil menatap wajah sang suami, wanita itu bisa merasakan sang suami menahan rasa kesalnya.
"Kamu juga harus tau kalau Mas juga khawatir karena kamu keluar malem malem sendirian begini," jawab Nurhan tegas membuat hati Gumilar seketika menciut, hati Gumilar memang selembut itu sedikit saja terhembus angin kencang langsung terasa terremas.
"Maafin aku, Mas," kata Gumilar lirih, Nurhan menghela napas karena sadar suaranya yang meninggi telah menyakiti hati sang istri.
"Ya udah, kita bicarakan ini di dalam. Mas mau mandi dulu," kata Nurhan yang langsung memasukkan sepeda motornya ke dalam garasi yang ada di antara rumahnya dan rumah sang ibu, Gumilar juga langsung memasukkan sepeda motor sang ibu mertua yang di pinjamnya karena sepeda motornya di pakai oleh sang suami.
Gumilar menunggu sang suami sambil membuat secangkir kopi untuknya, laki laki itu belum selesai mandi dan akhirnya Gumilar duduk di ruang keluarga. Wanita itu sungguh merasa gelisah dan karena dia ingin mencari sebuah ketenangan.
Gumilar mengambil ponselnya lalu mengetik pesan untuk sahabatnya.
[Tar, kamu udah pulang?]
Tidak begitu lama kemudian sebuah pesan balasan dari Betari masuk ke ponselnya.
[Udah Mbak, aku udah rumah dari tadi]
Gumilar langsung menulis pesan untuk sang sahabat untuk meluahkan isi hatinya.
[Tar, Mas Nurhan kayaknya marah sama aku. Jadi tadi ban sepeda motornya bocor karena aku khawatir jadi aku inisiatif buat nyusulin Mas Nurhan ke tempat tambal Ban padahal Mas Nurhan udah ngelarang.]
Ketik Gumilar cepat karena takut sang suami datang.
[Mas Nurhan ngomong apa sana Mbak?]
Betari membalas pesan Gumilar dengan pertanyaan membuat Gumilar kembali dengan cepat mengetik balasan.
[Enggak ngomong apa apa, Mas Nurhan lagi mandi tapi dari ekspresinya aku tau Mas Nurhan marah]
Dengan begitu resah Gumilar mengetik balasan dan segera dia kirimkan pada Betari.
[Ya udah, Mbak nanti kamu jelasin aja kalau maksud kamu tuh baik keluar karena mau jemput Mas Nurhan, Mas Nurhan pasti bisa ngerti. Mas Nurhan enggak akan marah sama kamu, percaya deh sama aku]
Gumilar menghela napas panjang setelah membaca pesan Betari, hati Wanita itu merasa sedikit lebih tenang.
"Mas, aku udah bikinin kamu kopi," kata Gumilar saat melihat sang suami keluar dari kamar, laki laki itu mengenakan kain sarung yang ia padukan dengan sebuah kaus lengan pendek.
"Iya, makasih ya," kata Nurhan sembari duduk di sebelahnya, Gumilar menatap sang suami yang sedang meneguk kopi buatannya yang sudah tidak begitu panas. tidak ada panggilan sayang di belakang kata terima kasih yang Nurhan ucapkan membuat wanita itu menyadari jika Nurhan benar benar marah padanya.
"Mas, aku bener bener minta maaf, aku emang udah melanggar larangan Mas Nurhan untuk enggak keluar rumah, tapi aku begitu karena aku khawatir sama Mas Nurhan, aku pikir Mas Nurhan sendirian. Aku enggak tau kalau ternyata Mas Nurhan sama Aji," kata Gumilar panjang lebar sambil memegang tangan sang suami.
"Iya, Mas bisa ngerti. Mas enggak marah kok sama kamu, tapi lain kali kamu jangan begitu lagi, ya, apalagi curiga enggak jelas sama Mas," kata Nurhan sambil menatap sang istri.
"Aku juga minta maaf soal itu, aku cuma terlalu takut kehilangan Mas Nurhan," jawab Gumilar dengan mata berkaca kaca.
"Kamu enggak akan kehilangan Mas, Sayang," jawab Nurhan sambil mengelus pipi sang istri dengan lembut, "ayo kita tidur, mas udah ngantuk."
Gumilar menatap sang suami yang bangun dari duduknya dan langsung memasuki kamar tanpa menunggunya, wanita itu mengambil cangkir yang isinya hanya sedikit berkurang lalu membawanya ke dapur lebih dulu sebelum memasuki kamar menyusul sang suami.
Malam itu mereka tidur tanpa berbincang bincang lebih dulu sebelum terlelap seperti yang selalu mereka lakukan selama hidup bersama.
Hingga pagi hari menjelang seperti biasanya, Gumilar akan bangun lebih dahulu untuk menyiapkan sarapan. Lalu membangunkan sang suami setelah secangkir teh hangat dan sarapan tersedia di meja makan.
"Mas ... Mas ayo bangun, udah siang loh," kata Gumilar sambil menepuk pipi sang suami, laki laki itu membuka mata beberapa detik kemudian lalu tersenyum dan menarik Gumilar dalam pelukan.
"Selamat pagi, Sayang," kata Nurhan sambil mencium kedua pipi sang istri, Gumilar tersenyum lalu membalas pelukan erat sang suami. Hatinya lega karena laki laki itu sudah tidak marah lagi padanya.
"Selamat pagi, Mas, mau sarapan dulu atau mandi dulu?" tanya Gumilar sambil menatap sang suami.
"Mau kamu dulu," jawab Nurhan lalu membawa sang istri dalam buaian sebuah permainan penyatuan cinta dan raga mereka, Gumilar sangat menikmatinya meskipun Nurhan terkesan terburu buru. Gumilar tahu itu hanya karena sang suami sedang memburu waktu, dia harus segera berangkat kerja.
"Mas hari ini jadi ke Ketandan?" tanya Gumilar sambil mengambilkan nasi dan menaruh di piring sang suami, mengurus bisnis di luar kota memang sedikit merepotkan karena Nurhan harus sering bolak balik antara kota itu dan kota mereka tinggal sekarang dengan jarak yang lumayan jauh yaitu tiga jam perjalanan tapi semua usaha itu tidak sia sia karena mereka mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang mereka miliki di kota tempat mereka tinggal saat ini.
"Jadi, Sayang, kamu mau ikut?" tanya Nurhan pada sang istri.
"Tapi hari ini bahan dateng kan, kalau kita semua pergi yang di pabrik siapa?" tanya Gumilar sambil tersenyum.
"Maaf, ya, Sayang, karena Mas jadi ngerepotin kamu," kata Nurhan sambil mengelus pipi sang istri yang duduk di sebelahnya.
"Ngerepotin apa to Mas, kan cuma bantu bantu dikit, kamu lebih repot harus bolak balik ke Ketandan," jawab Gumilar dengan senyum manisnya.
"Ini semua kan demi masa depan kita, Sayang," jawab Nurhan, laki laki itu hanya sekilas tersenyum lalu mulai menyantap makan paginya.
Gumilar pun hanya tersenyum lalu berusaha menyembunyikan kesedihan dalam hatinya, masa depan seperti apa yang Nurhan maksudkan jika mereka tidak memiliki seorang anak.
***
"Mampir ke mini market ah, kayaknya stock sabun di rumah udah banyak yang habis," gumam Gumilar setelah dirinya kembali dari konveksi mengurus bahan yang baru masuk dari ibu kota, wanita itu lalu membelokkan sepeda motor yang dia kendarai ke sebuah mini market besar untuk berbelanja.
"Loh, ini kan ...." Gumilar tersenyum saat menyadari sepeda motor yang ada di sebelah sepeda motor yang baru dia hentikan adalah sepeda motor milik bu Siti, entah siapa yang membawa sepeda motor itu apakah bulek nya atau Betari, dengan lebih bersemangat Gumilar memasuki mini market itu.
Bukan sabun yang wanita itu cari setelah memasuki mini market seperti yang dia rencanakan tadi tapi yang dia cari adalah seseorang yang di kenalnya, wajah cantik itu semakin berbinar saat melihat ternyata Betari dan Galuh yang ada di sana.
"Hay, beli apa sih si cantik," kata Gumilar sambil menyolek pipi gembil Galuh, Betari tersenyum lebar melihat Gumilar di sebelahnya.
"Budhe Gum ...." Galuh terlihat gembira melihat Gumilar lalu memeluk wanita itu.
"Mbak belanja?" tanya Betari.
"Iya, tadi dari konveksi karena ada bahan masuk terus mampir ke sini mau beli deterjen sama sabun mandi," jawab Gumilar sambil melihat ke sekitar melihat di mana rak dua benda yang di carinya berada.
"Budhe, Pakde mana?" tanya Galuh tapi karena Gumilar sedang melihat ke sekeliling dia kurang fokus pada Galuh.
"Pakde Nurhan lagi ke Ketandan, Sayang," jawab Betari pada sang putri membuat Gumilar langsung menatapnya.
"Kok kamu tau Mas Nurhan lagi ke Ketandan?" tanya Gumilar pada wanita yang berdiri di sebelahnya, Betari tersenyum lebar.
"Aku tuh udah hapal banget kegiatan kamu, Mbak, kalau kamu yang pergi ke konveksi waktu ada barang masuk atau keluar ya pasti karena Mas Nurhan lagi ke Ketandan," jawab Betari sambil tertawa kecil.
"Iya bener," jawab Gumilar juga sambil tertawa kecil.
"Galuh, sana pilih jajan yang kamu mau," kata Betari pada sang putri sengaja agar gadis kecil itu meninggalkan mereka berdua.
"Iya, Bu, yang banyak kan buat stok oas ibu pergi," jawab Galuh gadis kecil itu berlari sambil membawa keranjang belanjaan yang masih kosong.
"Kamu mau ke mana?" tanya Gumilar pada sang sahabat.
"Ada studi banding di kota Bandaran aku di sana sekitar empat hari jadi Galuh minta pajak gede," jawab Betari, Gumilar membulat bibirnya tanda mengerti, "eh, Mbak, gimana kamu beneran marahan sama Mas Nurhan?"
Betari sengaja membuat Galuh menjauh agar mereka bisa membicarakan hal itu secara leluasa dengan Gumilar, lalu sepasang sahabat itu berbelanja sambil bercerita.
"Mbak mau langsung pulang?" tanya Betari saat keduanya sudah keluar dari mini market.
"Kayaknya mau ke rumah ibu dulu, mumpung masih di sini," jawab Gumilar.
"Asik ... kalau gitu aku ikut budhe ke rumah Mbak uti," kata Galuh yang memang memanggil orang tua Gumilar dengan panggilan Mbah kakung dan mbah putri sementara memanggil orang tua Betari dengan panggilan eyang Kakung dan eyang putri. rumah mereka tidak terlalu berjauhan satu rt hanya beda gang saja.
"Iya, Sayang, boleh," jawab Gumilar sambil mengelus kepala Galuh.
Mereka berjalan ke parkiran bersama dan di sana Gumilar bertemu dengan seseorang yang di kenalnya.
"Mbak Gum, abis belanja?" tanya seorang wanita yang usianya mungkin sebaya dengan ibu Gumilar.
"Iya, Bu, Bu Susilo mau belanja juga?" sapa Gumilar dengan ramah, Betari dan Galuh hanya memperhatikan dengan senyum ramahnya.
"Iya, Mbak. Oh iya, kenalin ini anak saya, dia baru pulang abis kuliah di Jogja," kata wanita itu memperkenalkan gadis yang berjalan di sebelahnya, gadis itulah yang sedari tadi menarik perhatian Gumilar. Cantik.
"Gumilar."
"Intan."
Mereka berdua saling bersalaman, lalu gadis itu berkenalan dengan Betari dan Galuh dengan begitu ramahnya, sepertinya Intan tipe gadis yang supel dan mudah bergaul.
"Aku enggak tau Bu Susilo punya anak secantik Intan," kata Gumilar sambil tertawa kecil.
"Iya, Intan baru sekitar empat bulanan pulang, sementara tinggal di sini dulu," jawab Bu Susilo, "ya sudah, kami duluan ya Mbak Gum."
"Iya iya, Bu, Monggo," jawab Gumilar dengan begitu sopan, wanita itu tetap memandangi Bu Susilo dan sang putri yang sudah berlalu.
"Kenapa Mbak?" tanya Betari melihat Gumilar terdiam.
"Kok Mas Nurhan enggak pernah cerita ya kalau Pak Susilo punya anak gadis cantik."