Bagian 7

4951 Kata
Sudah genap sepekan kasus pembunuhan yang beredar di Washington belum mendapat klarifikasi hukum dari pengadilan. Pasalnya para polisi lokal belum mendapat kejelasan tentang pelaku pembunuhan tersebut serta motif pembunuhannya. Jaksa sudah menimbang perkara hukum dan tidak bisa mengajukan tuntutan tersebut pada hakim selama pelaku pembunuhan belum ditemukan. Polisi lokal bersi keras untuk mengungkap identitas pelaku segera tanpa harus melibatkan FBI. Namun semakin lamban kinerja mereka, maka pembunuhan itu semakin merajalela. Hakim agung Maccon Hampton telah memutuskan untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Ia akan menunggu kepolisian lokal mengungkap identitas sang pelaku sebelum menjatuhkan hukuman. Selama tiga hari lamanya Hakim Maccon sudah menimbang keputusan itu. Berita acara mengatakan bahwa pembunuhan yang kian merajalela telah membuat masyarakat resah. Beberapa korban yang tewas diberitakan menghilang dan beberapa yang lain ditemukaan dalam keadaan nahas. Maccon sudah memperhatikan selama ini. Sama seperti para kepala keluarga lainnya, Maccon juga mengkhawatirkan kondisi tiga anaknya terutama sibungsu Diane. Bagaimanapun mereka tinggal di Washington. Keadaan mereka bisa jadi lebih buruk seandainya pembunuh itu berniat merenggut nyawa salah satu anggota keluarganya juga. Tapi Maccon sudah menghubungi Emiline dua hari yang lalu. Puteri sulungnya itu mengatakan bahwa kondisi mereka baik-baik saja. Diluar dugaan Maccon, semua berjalan dengan baik dan tekendali seperti biasanya. Tapi ia tidak punya kesempatan untuk menghubungi Sam dan Diane. Sam sedang mengawali peresmian proyek barunya dan yang pasti puteranya itu sanggat sibuk, sementara Diane-entah bagaimana puteri bungsu tercintanya itu sangat sulit dihubungi. Ponsel Diane tidak dalam keadaan aktif ketika Maccon menghubunginya malam lalu. Ia berniat untuk meminta Emiline memastikan keadaan Diane, tapi berhubung kehamilan Emiline sudah mencapai usia tua selain itu Emiline dan Jack-suaminya tinggal di Chicago, niat itu jadi terurung. Maccon harus menunggu kurang lebih sepekan lagi sebelum ia bisa pulang dan bertemu dengan puteri kesayangannya itu. Tidak seperti Sam dan Emiline, Diane adalah satu-satunya anak yang berada di luar jangkauan. Maccon sangat mengenali sifat keras kepala Diane yang mewarisi karakter mendiang isterinya-Katherine Hampton. Puteri bungsunya itu sangat tidak senang dengan kata ‘diatur dan mengatur’. Diane sudah dewasa dan mengatakan bahwa ia akan memutuskan jalan hidupnya sendiri. Tapi Maccon belum siap melepas puteri bungsunya untuk menghadapi dunia luar yang begitu keras. Ia belum yakin akan keputusan Diane. Terutama ketika kekacauan yang tengah terjadi ini membuat keadaannya semakin pelik saja. Suara dentuman sepatu seseorang yang berjalan di lorong telag menyita perhatian Maccon. Ia meletakkan kembali surat kabar di atas meja dalam suitenya sebelum berdiri dan menyambut suara ketukan di pintu. “Masuklah!” pinta Maccon. Seorang pria dengan balutan jas hitam muncul ketika pintu bergerak mundur. Pria paruh baya itu adalah Burned Millneon-si penasihat hukum. Maccon mengenali Burned untuk tahu bahwa pria itu tidak akan menemui seseorang tanpa sebuh informasi yang penting, jadi Maccon beranjak ke kursi kerjanya dan mempersilahkan pria itu duduk. “Ada apa?” katanya tanpa basa basi. Burned memperbaiki keliman jasnya yang terlipat sambil menatap Maccon. Ia meraih surat kabat yang tergeletak di meja untuk melihat kabarnya. “Ada korban lagi.” “Apa?” “Pembunuhan itu. Ada tiga orang korban yang ditemukan dan semua korbannya itu wanita-wanita muda.” Tegas Burned sebelum membuka lipatan surat kabar dan mulai membacanya selagi menunggu Maccon mengambil keputusan. “Jadi bagaimana menurutmu?” “Ini jelas sudah ada di luar jangkauan. Hukuman harus segera dijatuhkan.” “Hakim Duster tidak menangani pengadilan dengan baik. Rekannya baru saja menghubungiku. Sungguh sebuah kejutan besar, ya?” Hakin Duster adalah pria berusia lima puluh lima tahun yang menaangani kasus pembunuhan di Washington. Sudah sejak lama sekali Duster berniat untuk mengalihkan tuntutan pada Maccon. Pria itu begitu congkak dan menganggap bahwa keputusannya-lah yang paling tepat. Jadi, jelas mengejutkan jika Duster mengalihkan tuntutan itu pada Maccon. “Bagaimanapun kasus ini harus segera diselesaikan sebelum semakin merajalela. Katakan padanya aku akan turun tangan untuk mengambil keputusan hukuman.” “Keputusan yang bijak. Tapi seharusnya kita menunggu surat perintah. Mungkin saja Duster berubah pikiran.” Mata gelap Maccon menatap Burned dengan intensitas besar. “Tidak ada yang berubah pikiran. Aku akan menanganinya segera.” Suranya menegaskan bahwa tidak akan ada seorangpun yang bisa mengubah keutusan itu. Burned mengenal Maccon dan memilih untuk menyetujuinya saja. “Baik.”  ... Diane menghempaskan tubuhnya di ranjang empuk milik Jules ketika dua temannya itu tengah sibuk besolek. Regan mengepakkan seluruh tas belanjaannya hanya untuk memilih gaun mana yang pas ia gunakan dalam acara wawancara nanti. Sementara Jules, duduk di depan cermin dengan alat-alat rias mewah yang dimilikinya. Seperti biasa, Diane tidak begitu mempedulikan penampilannya. Tubuhnya hanya ditutup dengan balutan kemeja putih dan jins gelap yang mengepas. Blus berwarna biru navy yang dikenakan Diane berhasil menutup kesan sederhana dalam penampilan tersebut. Rambut gelapnya tergerai bebas dan Diane bisa dibilang hampir tidak mengenakan riasan wajah apapun. Tapi dua temannya tahu bahwa Diane lebih suka tampil apa adanya. Tetap nampak anggun tanpa riasan yang mencolok adalah ciri khas Diane. Menjenuhkan rasanya menunggu dua wanita itu menghabiskan sepanjang sore hanya untuk bersolek. Jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Itu artinya kurang dari satu setengah jam lagi, acara wawancara yang diadakan oleh universitas mereka akan dimulai. Tidak seluruh mahasiswa datang dalam acara tersebut, hanya beberapa jurusan tertentu dan bagi mereka yang berminat untuk mengambil kuliah ekstra. Semacam program baru yang dicanangkan oleh kepala universitas. Tapi bertolak belakang dengan kedua temannya, Diane tidak tertarik untuk ikut serta dalam program tersebut. Baginya praktek saja sudah cukup. Dan Diane sedang menjalankan prakteknya sekarang sebagai seorang pengacara. Yang tepenting, Diane harus fokus untuk memenangkan sidang. Raveen mengatakan bahwa para polisi sedang memeriksa suite nya untuk mencari bukti lain dan mengambil sidik jari yang mungkin menempel di kenop pintu. Mereka akan memakan waktu yang cukup lama, jadi bergabung dengan kedua temannya merupakan alasan Diane untuk tidak mengganggu proses penyidikan yang tengah berlangsung. Sekalipun ia tidak tertarik untuk menghadiri acara wawancara ini, Diane sudah berjanji pada Jules dan Regan untuk menemani mereka. Jadi disinilah ia berada. Tepatnya di kamar pribadi Jules. Kediaman wanita itu cukup mewah dan megah dan tentunya tidak jauh berbeda dengan kediaman rumah Diane dan Regan. Tanahnya yang seluas ribuan meter cukup untuk dipenuhi seribu orang. Atau sekiranya begitu. Jules tinggal di kediamannya bersama kedua orang tua, seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Tapi sepertinya Jules tidak begitu akrab dengan keluarganya ketimbang dengan Diane dan Regan. Mereka sudah bersama sejak kecil. “Dimana pria gandenganmu yang tampan itu?” Pertanyaan Jules mengejutkan Diane. Ia menegakkan tubuhnya begitu mendengar wanita itu menyebut Raveen. Tapi sebenarnya yang membuat Diane risih adalah julukan ‘pria gandengan’ yang dikatakan Jules. Regan yang berdiri di pojok ruangan menatap Jules dengan skeptis. Wanita itu masih disibukkan dengan dua gaun berwarna silver dan satu gaun lain berwarna jingga dalam genggamannya, sementara gaun dengan bahan sutera berwarna merah pekat membalut tubuh Regan dengan begitu eksotis. “Aku pikir Diane punya sebutan lain untuk Alex,” komentar Regan. Ia berbalik dan tersenyum pada Diane. “Bagaimana menurutmu?” “Tentang detektif itu?” “Bukan,” Regan mengangkat dua gaunnya sejajar bahu. “Tentang gaun ini. mana yang lebih cocok?” “Semuanya cocok.” “Ya ampun apa kau tidak punya jawaban lain?” Diane mengangkat bahunya dengan tidak acuh. “Aku suka yang kau pakai itu. Merahnya tampak cocok denganmu.” “Kau belum menjawab pertanyaanku, Diane.” Suara Jules menyusul dari sisi yang berlawanan. “Detektif itu mengatakan kalau ia harus menemui seseorang. Yah,, sebenarnya ku juga tidak peduli. Lebih baik kalau dia pergi.” Jules mendesah. “Padahal aku pikir dia akan menemani kita ke acara wawancara.” Pernyataan Jules barusan membuat Diane berubah sinis. Sejujurnya Diane tidak senang mengangkat topik pembicaraan tentang Raveen. Karena siapa yang tahu kalau ia juga mengharapkan pria itu bisa menemaninya nanti. Jules dan Regan pasti akan disibukan oleh wawancara mereka, dan Diane tidak punya teman untuk diajak bicara. Tapi sebelumnya Raveen sudah berjanji akan mengusahakan untuk hadir meski Diane menolak mentah-mentah usaha itu. Diane hanya dapat berharap semoga Raveen mengabaikan sikap ‘sok jual mahal’ yang diam-diam sedang ia terapkan pada setiap pria. Tapi jika dipikir-pikir lagi, mungkin sebaiknya Raveen tidak usah datang. Diane akan lebih leluasa tanpa kehadiran pria itu. “Detektif itu tidak akan datang,” ujar Diane. Ragu-ragu dengan pernyataannya sendiri. “Percayalah. Aku sudah mengusirnya dari kehidupanku.” “Apa kau bicara serius?” “Yah, aku berharap begitu. Tapi sepertinya detektif itu selalu punya cara lain untuk mengusik kehidupanku. Aku benci dia.” “Aku menyukainya,” Regan bergabung dua detik kemudian lalu menghempaskan tubuhnya di samping Diane. Wanita itu tersenyum ramah. “Aku pikir Alex pria yang menyenangkan.” Diane mengerling dengan jengkel. “Ya, kau selalu mengatakan hal yang sama tentang pria. Kau juga mengatakan itu tentang Sam.” “Itu pasti kebetulan saja.” “Sebenarnya aku juga menyukai Alex,” aku Jules sambil memoleskan bedak tipis ke wajahnya. “Siapa yang menyangka pria misterius yang bersikap dingin itu menjadi pria yang sangat tampan setelah lima belas tahun berlalu? Ya ampun, tidak ada wanita yang bisa mengabaikan pesonanya.” “Aku bisa.” Ketika Diane mengklaim pernyataan terakhir Jules dengan tegas, ia justru membuat dua temannya terkekeh. Respon yang tak disangka itu telah membuat Diane jengkel. Memangnya siapa yang bilang berada di lain pihak itu mudah? Terutama ketika kau tidak punya sekutu. Menjadi bahan hiburan untuk kedua temannya tentu bukan pilihan yang menyenangkan. Tapi Diane harus mempertahankan sikap tidak acuhnya terhadap pesona Raveen. Setidaknya di hadapan dua temannya ini termasuk Raveen. Kalau sampai Raveen tahu bahwa diam-diam Diane mengaguminya, pria itu akan terkekeh puas lebih dari yang dilakukan dua temannya saat ini. Diane tidak bisa menjadi bahan tawaan mereka. Jadi ia berusaha untuk tetap terlihat wajar. “Lupakan saja!” ujar Diane. “Apa kalian membaca surat kabar pagi ini?” pergantian topik yang dibawakan Jules membuat Diane senang. “Aku pasti melewatkannya.” “Ada tiga mayat!” Mata besar Regan membelalak. Wanita itu mencengram lengan baju Diane dengan begitu kuat ketika Jules memulai kembali kebiasaan lamanya yang suka menakut-takuti mereka. “Aduh,” Regan mengendurkan cengramannya. “Maaf. Apa yang kau katakan Jules?” Sambil membunggungi dua temannya, diam-diam Jules terkikik. Ia tahu Regan pasti telah bereaksi dengan umpannya. Jules sangat senang membuat mereka ketakutan. Terutama Regan. “Tiga mayat yang ditemukan!” tegas Jules dengan suara yang lebih mantap. Reaksi Regan mencengkram lengan Diane dengan lebih kasar. “Kau pasti bercanda!” “Aku serius. Itulah yang sedang diberitakan. Ada tiga mayat lagi dan semuanya perempuan muda, kira-kira berusia dua puluh tahun ke atas. Sepertinya pembunuh itu gemar mengincar wanita muda, ya?” Diane tertegun kemudian ia mengangkat wajahnya. “Itulah yang dikatakan Alex. Jadi karena ini dia ingin menemui seseorang. Dia pasti bekerja sama dengan para polisi lokal.” Mengujutkan karena Diane sendiri yang mengangkat topik tentang Raveen setelah ia tolak semenit lalu. Ia menepuk dahinya sendiri dan diam-diam menyesal kerena tidak bisa menahan diri. “Ah, aku tidak bercanda, kan?” tegur Jules. “Mengerikan sekali, ya? Sebenarnya apa yang diinginkan oleh pembunuh itu?” “Aku tidak peduli.” Kata Diane. Terkejut oleh pengakuannya sendiri. Kemudian ia segera memperbaiki pernyataan tersebut. “Umm,, sebenarnya aku sedikit khawatir. Tapi aku benar-benar tidak peduli. Kenapa orang harus membahasnya lagi? Pelakunya sudah pasti orang gila yang suka menghabisi nyawa perempuan muda.” Ketika Jules bergerak maju dan duduk di sampingnya, Diane beringsut sedikit. Ia memberi ruang gerak bagi Jules untuk bicara padanya dan Regan. “Ada masalah lain, Diane.” Tegas Jules, matanya mendelik hebat ke arah Regan. Entah bagaimana Diane bisa mendengar suara detak jantung Regan yang berpacu dengan begitu kuat karena Jules. Atau mungkin itu degup jantungnya sendiri. Diane tidak punya waktu untuk memikirkannya. Ia meringis dalam diam ketika Jules membuka tiga jarinya tepat di depan wajah mereka. Kemudian Diane memperhatikan bibir kecil itu bergerak. “Ada tiga masalah lain yang perlu kita khwatirkan! Pertama, pembunuh itu mengincar kaum wanita,” Jules menekuk satu jarinya. Ia mencondongkan tubuh lebih dekat pada dua temannya. Nampaknya Jules menikmati setiap situasi tegang yang membuat sekujur tubuh Regan begidik. Diane bisa merasakannya. “Kita wanita, Diane!” “Itulah yang aku khawatirkan.” Sahut Regan sambil meringis. Lalu Jules menekuk satu jari lainnya. “Yang kedua, pembunuh itu mengincar wanita dengan usia bersikar dua puluh tahun ke atas. Apa kau sadar? Usiaku masih sangat muda untuk jadi korban pembunuhan..” Diane mengerling dengan tidak acuh. “Usiamu hampir tiga puluh tahun, Jules!” “Oh tentu saja tidak. Aku dua puluh enam tahun.” “Itu sama saja!” “Itu berbeda!” ketika Jules mencondongkan tubuhnya lebih dekat hingga wajahnya dengan Diane saling bertautan, napas mereka bertemu. Kemudian Regan menengahi mereka. “Katakan saja apa selanjutnya?” “Oh ya, sampai dimana tadi aku?” “Sampai yang kedua.” “Ah, ya. Yang ketiga, pembunuh itu merampas keperawanan gadis yang mereka culik sebelum membunuhnya! Kalian seharusnya khawatir.” “Tidak ada gunanya, Jules. Kau tidak bisa menakut-nakuti aku.” Diane bangkit dari posisinya kemudian melihat Regan disana sudah menggertakkan gigi. “Oh, seharusnya kau tidak bicara begitu di hadapannya.” “Apa kau tidak takut, Diane?” tegur Regan. Suaranya terdengar rendah begitu rendah sampai menyerupai bisikan. Tapi Diane membalasnya dengan kenyitan pada dahi. “Pada pembunuh itu?” “Ya, kau yang mendapat surat ancamannya.” “Sudah ku bilang itu hanya permainan gila seseorang yang tidak menyukaiku.” “Tampaknya dia berkeinginan kuat untuk membunuhmu, ya?” “Ya, tapi aku tidak peduli.” Diane seharusnya tahu kalau ia tidak bisa berbohong di hadapan Jules dan Regan. Setelah belasan tahun mereka saling mengenal tentu saja dua temannya jauh lebih tahu tentang siapa dan bagaimana Diane. Diane memang sedikit tertutup dan sulit untuk mengakui perasaannya sendiri di depan orang lain. Bahkan teman terdekatnya sekalipun. Tapi Jules hanya memandangnya dengan skeptis sebelum memutuskan bahwa sebaiknya mereka menyudahi pembicaraan tak berpenghujung ini dan mulai berangkat untuk memenuhi acara wawancara. Diane senang karena akhirnya ia bisa lepas dari topik yang sejujurnya telah membuat ia resah sedemikian rupa bahkan menjadi mimpi buruk dalam beberapa malam terakhir. Ketika mereka sampai di acara seminar, Jules dan Regan segera mengisi formulir kemudian mengantre di ruang tunggu bersama para peserta lainnya. Diane memutuskan bahwa memandangi malam bertabur bintang di taman akan menjadi kegiatan yang menyenangkan selagi ia menunggu dua temannya menyelesaikan wawancara mereka. Tapi niatnya untuk menenangkan diri di taman belakang gedung segera terurung ketika ia bertemu pandang dengan Maximus di salah satu lorong. Max menahan pergelangannya dengan cengraman kuat. Lelaki itu berhasil menyita perhatian Diane dengan balutan kemeja berwarna putih yang ditutupi oleh jas hitam. Max tampil menawan dengan pakaian resmi. Matanya berwarna biru cerah, hampir mirip dengan warna mata Diane-kecuali karena warna mata Diane lebih gelap. Rambut cokelat keemasan membingkai wajah dan kulit putihnya sementara Diane bisa melihat cambang kasar yang tumbuh di sekitar rahang Max. Pria itu menyatukan alisnya ketika melihat Diane hanya bersikap normal ketika melihatnya-sangat tidak sama seperti yang diperlihatkan Diane beberapa hari yang lalu. Diane sudah seperti tidak mengharapkan hubungan mereka kembali. Namun Max jauh lebih yakin kalau Diane masih mengharapkan hubungan mereka bisa terjalin hangat seperti yang sebelumnya. Seandainya Diane tidak memergokinya sedang berduaan bersama Sarah-seorang mahasiswi kampus yang sekarang sedang terlibat hubungan khusus secara sembunyi-sembunyi dengan Max, mungkin hubungannya dengan Diane akan baik-baik saja. Tapi kenyataannya tidak demikian. Max masih menginginkan Diane dan Diane sudah tidak sama antusiasnya untuk memperbaiki hubungan mereka. Jadi Max memutuskan kalau sebaiknya ia mulai bertindak dari sekarang. Ia tidak akan membiarkan Diane lepas begitu saja darinya, terutama ketika ia mulai berhasil menanam kepercayaan pada wanita itu kalau Max akan jadi pria yang baik untuk Diane. Yah, semuanya tidak akan jadi seperti ini kalau Diane bukan puteri dari Hakim Agung Maccon Hampton. Max tidak mungkin terus-menerus mengejar Diane kalau wanita itu tidak menjadi salah satu pewaris estat milik keluarga Hampton. Diane akan menjadi akses yang besar baginya untuk mencapai keuntungan. Max hanya perlu mengendalikan wanita itu. Sempurna sekali. “Kurasa kita perlu bicara,” kata Max dan sebelum ia melanjutkan kalimatnya, Diane menyela dengan suara mantap. “Kurasa sudah tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan.” Diane hampir berhasil lolos dari pria itu sebelum Max menahan pergelangannya dengan sangat kuat hingga membuat Diane terpaku di tempat. Pria itu kemudian menarik Diane hingga mereka keluar dari gedung dan sampai di taman belakang. Diane segera menarik tangannya dan masih merasakan kesakitan kecil akibat cengraman kasar pria itu. Suasana sekitar taman yang senyap membuat Diane khawatir, tapi keberadaan Max yang lebih menghawatirkan dari apapun. Hanya saja Diane tidak mau mengakuinya. Dan betapa bodohnya ia karena masih mengharapkan hubungan yang hangat bersama Max. “Sebaiknya cepat kau katakan apa yang ingin kau katakan,” pinta Diane. Pandangannya menyapu sekitar, berharap bahwa ada seseorang yang bisa membuatnya menghindar dari Max. “Aku tidak punya banyak waktu.” Lanjut Diane dengan agak sedikit gugup. “Omong kosong. Aku tahu kau masih marah padaku, Sayang. Karena itulah kau mencoba menghindariku.” Nuansa biru pekat dari cahaya temaram lampu di taman menyorot kedalaman biru muda yang nyaris terlihat pucat. Selama sesaat Diane baru sadar bahwa ia mengagumi warna mata Max saat pertama kali pria itu mengencaninya. Tapi Diane tidak benar-benar berharap akan merasakan hal yang serupa lagi sekarang. Ia sudah terlanjur membenci Max. Alih-alih, Diane menjawab. “Aku tidak tahu mana yang lebih benar. Kenyataan bahwa aku mencoba menghindarimu, atau kau yang terus berusaha untuk mendekatiku.” Ketika Max meraih kedua tangannya, kali ini dengan lebih lembut, Diane hampir tersentak. Namun ia mengerahkan seluruh pengendalian dirinya untuk tetap mempertahankan semua itu. “Sekarang kita punya waktu untuk memperbaikinya.” “Tidak ada waktu, Max. Lupakan saja semua tentang aku dan jauhi aku!” “Tidak semudah itu, Diane.” Max merengkuh kedua tangan Diane mendekat hingga menyentuh dadanya. Samar-samar Diane merasakan degup jantung pria itu yang melambat. Entah karena apa, atau mungkin Max sedang berusaha untuk merayunya. “Apa kau ingat masa-masa saat kita masih bersama? Itu semua terlalu indah untuk dilupakan. Aku sudah mencoba untuk melupakanmu dan berpikir bahwa jalan yang kita ambil masing-masing adalah keputusan yang bijak. Tapi aku salah besar, Diane. Aku tahu bahwa aku tidak bisa melupakanmu dan aku lihat kau juga begitu.” Pengakuan Max membuat Diane terenyuh. Bayang-bayang kebenciannya pada lelaki itu seakan mengambang di udara dan perlahan-lahan sirna begitu saja. Diane membenci kenyataan karena Max benar. Diane tidak bisa melupakan hubungan asmara mereka yang terjalin selama kurang dari setahun begitu saja. Semuanya terlalu indah untuk dilupakan. Tapi tiba-tiba Diane mengingat Sarah. Mengingat pengkhianatan Max bersama wanita itu. Sontak Diane menarik kembali tangannya dari genggaman Max. “Kau seharusnya tahu kalau aku juga menginginkan hubungan kita seperti dulu lagi, Max. Tapi kau membuat aku tidak percaya. Seandainya kau dan Sarah tidak..” “Tidak ada hal spesial yang terjadi antara aku dan Sarah, Diane.” Giliran Max yang menyela pembicaraan wanita itu. “Kau tahu, Sarah sudah berusaha mendekatiku. Dia mencuri-curi kesempatan untuk bersamaku-darimu.” “Tapi aku meragukanmu,” “Kau seharusnya mempercayaiku. Aku tidak percaya setelah semua yang kita lewati, kau masih meragukan perasaanku.” “Bukan itu, Max. Kau benar-benar membuat aku bingung. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja ketika aku tahu bukti yang nyata kalau kau menerima Sarah sama seperti caranya mengundangmu.” Max mengklian pernyataan Diane sesegera mungkin. Enggan mendengar pernyataan Diane yang semakin membuat jalan pikirannya buntu dan ia akan kehabisan kesempatan untuk mendapatkan wanita itu lagi. “Sshhh, Diane. Lupakan soal Sarah. Tidak ada yang perlu kau mengerti selain fakta bahwa aku mencintaimu. Sarah hanya satu dari sekian banyak penghalang hubungan kita. Kita tidak akan menyerah hanya karena ada wanita yang menginginkan kehancuran hubungan ini, kan?” Kesunyian merayap di sekitar mereka. Diane bergeming selagi ia memperhatikan kedalaman mata biru Max dan tidak mampu membaca apa-apa selain sebuah keinginan kuat disana. Keinginan untuk menyatukan hubungan mereka kembali. Kemudian Diane mengangguk. Terkejut oleh responnya sendiri sekaligus menyesal karena tidak sanggup mengendalikan diri jika dihadapi oleh Max. Max selalu membuatnya salah tingkah. Diane tahu laki-laki itu akan membunuhnya karena berhasil menguasai pikiran dan kehendak Diane. Dengan mudahnya Max menghancurkan Diane dan lebih mudah lagi Max menyakinkan Diane bahwa tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka selain badai kecil yang cepat berlalu. Diane benar-benar menyesal karena tidak mengukuti akal sehatnya. Tapi ia bisa apa saat yang dilihatnya dalam kedalaman mata Max hanya sebuah niat baik untuk menyatukan hubungan mereka yang sebelumnya retak? Bagaimana mungkin Diane bisa menolak niat baik seseorang? Bahkan sekalipun niat itu bertentangan sendiri dengan akal sehatnya. Diane belum sempat memikirkan hal-hal lain ketika Max menariknya hingga jatuh dalam pelukan pria itu. Tubuh Max begitu besar dan kadang membuat Diane merasa sangat tidak nyaman. Tapi sekarang Diane menikmatinya. Menikmati hubungan mereka yang mulai membaik. Jujur saja Diane juga merindukan Max. Tapi ia tidak punya asumsi yang lebih mendasar kenapa perasaannya pada Max terasa tidak sama seperti dulu lagi. Pasti ada sudah terjadi. Tapi Diane tidak mengerti dan sama sekali tidak mau memahami apa hal yang membuatnya merasa tidak sama seperti dulu. Ia tidak akan merusak momen yang indah ini hanya karena kekhawatiran kecil yang terus menggerayanginya seperti kerikil penghalang. Tanpa sadar, Max sudah melepas dekapan erat itu. Membuat Diane sedikit terhuyung karena belum siap memulihkan kembali akal sehatnya dari apa yang ia pikirkan sejauh ini. Kemudian Max membisikkan sesuatu ke telinganya. “Aku akan kembali, Sayang. Aku harus melewai wawancara itu. Aku janji akan kembali sebelum kau menyadari kepergianku.” Dan Max berlalu begitu saja. Tidak memberi Diane kesempatan untuk merespon. Satu menit berlalu setelah kepergian Max. Tidak ada yang didengar Diane selain deru angin yang merambat lembut melewati kulitnya yang terbuka. Kemudian suara-suara itu diikuti oleh dengungan lain dari dalam gedung yang ia asumsikan sebagai suara keriuhan para peserta wawancara. Kemudian Diane beringsut. Menyandarkan tubuhnya di tepian dinding dan memandangi beberapa pohon-pohon tinggi di setiap sudut taman sebelum cengkraman tangan yang lebih kuat dan kasar merenggut lengannya hingga membuat Diane terlonjak. Matanya terfokus pada sosok tinggi berambut merah mencolok yang berdiri tepat di depannya. Diane melihat mata yang berkobar dan mulai merasakan amarah yang dialami oleh wanita itu. Ia mengenal wanita ini. Sarah. Jika ada satu orang yang begitu membenci Diane, maka Sarah adalah jawaban yang tepat. Terutama ketika menyangkut hubungannya dengan Max. Diane tahu Sarah sudah mengincar Max sejak mereka bertemu di Universitas yang sama. Meski Max terlihat terus berusaha menghindar darinya, namun Sarah tidak gentar. Sarah akan menyingkirkan lawannya untuk mendapatkan Max. Tidak peduli siapa orang itu, Sarah akan menyingkirkannya seperti kerikil yang menghalangi jalan. Kenyataan bahwa Diane membawa dirinya sendiri ke jurang kematian membuat bulu kuduknya meremang. Diane seharusnya tahu bahwa menjalin hubungan kompleks bersama Max bukanlah keputusan yang bijak. Akan ada banyak yang harus ia hadapi. Belum lagi wanita picik ini. Usut-usut mengatakan, Sarah bisa bertindak gila sesekali pada seseorang yang mengusik ketenangannya. Sementara itu, Diane baru mengetahui fakta bahwa ia akan menjadi target amukan Sarah selanjutnya. Sarah pasti melihatnya dan Max sebelum ini. Itulah mengapa Sarah begitu marah dan terlihat seperti predator berbahaya yang siap menikam mangsanya kapanpun. Balutan gaun dengan potongan d**a rendah dan panjang mencapai lutut itu nampaknya tidak menghalangi pergerakan Sarah sedikitpun. Wanita itu dengan mudahnya menghempaskan Diane hingga punggung Diane membentur dinding pembatas dengan sangat keras. Diane berusaha untuk memberontak, tapi cengraman Sarah pada lengannya begitu kuat, begitu kencang, begitu kasar. Alih-alih ia hanya bisa meringis. Satu-satunya hal yang terbesit dalam otak Diane hanyalah Raveen. Sekali lagi, dimana pengawal sialan yang selalu menganggap dirinya berguna itu saat Diane membutuhkannya? Kalau seperti ini jadinya, untuk apa Sam repot-repot menyewa Raveen? Sewa saja pelatih gulat untuk melatih Diane secara rutin maka Diane akan siap menghadapi lawannya kapanpun dan dimanapun. Seolah itu akan terjadi saja. Diane hampir memekik sesakitan saat Sarah menamparnya wajahnya dengan begitu keras. Meninggalkan rona merah padam yang diasumsikan Diane akan hilang dalam waktu dua hari. Rasa sakitnya menusuk Diane. Membuat lututnya lemas dan sekali lagi Sarah menamparnya dengan lebih keras. Diane merasa pandangannya mulai kabur. Diane tidak mampu melihat sekitar dengan lebih jelas lagi saat air mata kian merebak dan membuat matanya begitu perih. Ia berusaha mengerjapkan matanya selama berulang kali demi menahan keinginan alami untuk menangis. Tapi Diane mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia bukan pengecut. Bahkan di hadapan predator berbahaya seperti Sarah sekalipun. Pikirannya berkutat dengan tidak pasti dan Diane sudah memutuskan akan membuktikan asumsi itu. Ia menarik pergelangan Sarah yang mencengkramnya dengan kasar, kemudian memutar pergelangan tersebut. Pekikan yang terhantur dari bibir Sarah membuat Diane mencium aroma kemenangan. Tapi seperti yang ia tahu, kemenangan itu tidak berlangsung lama saat Sarah menampar wajahnya untuk kali ketiga. Diane ambruk jatuh berlutut di lantai kasar yang terbuat dari batu. Ia menompang tubuhnya dengan kedua tepak tangan yang menempel di atas lantai kasar itu. Sebelum pandangannya semakin kabur, Diane merasakan kehadiran seseorang. Seseorang familier yang datang entah dari mana. Ia tidak bisa memastikan siapa pria yang datang itu. Yang Diane lihat, pria itu menarik Sarah. Memuntir pergelangan tangannya kebelakang hingga Sarah memekik kesakitan. Kemudian Diane mendengar aksen kental yang familier. “Apa kau sadar terhadap apa yang kau lakukan, Nona?” “Sialan. Siapa kau?” “Polisi.” “Lepaskan aku!” “Setelah kau memberi keterangan di kantor polisi. Itupun tidak akan menjamin apa kau akan dibebaskan begitu saja.” Butuh waktu sepuluh detik bagi Diane untuk menyadari kalau pria yang tengah berkutat dengan borgol itu adalah Raveen. Diane melihat Raveen membawa Sarah keluar dari area taman kemudian dua menit selanjutnya pria itu kembali untuk membopong Diane. Raveen berniat untuk menggendong Diane, namun wanita itu menolaknya maka ia hanya menyampirkan satu lengan Diane melingkari bahunya kemudian membimbing Diane untuk masuk ke dalam mobil mereka. Mengejutkan Diane karena Sarah sudah ada di kursi belakang mobilnya dengan tangan dan kaki yang terikat sementara mulutnya disumpal oleh syal hitam milik Diane yang beberapa hari lalu ditinggalkan dalam mobil. Raveen pasti mengikatnya dengan begitu kencang. Diane bisa merasakannya hanya dengan melihat pergerakan Sarah yang sangat sulit untuk diupayakan. Sebelum ia memikirkan hal-hal lain lagi, mobil mereka telah melaju. Sepanjang perjalanan Raveen mengatakan sepatah atau dua patah kalimat peringatan pada Sarah namun sesekali juga menoleh pada Diane untuk memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja. Tapi betapa bodohnya Raveen jika berpikir Diane akan baik-baik saja dengan luka memar berwarna merah di wajahnya dan rasa pening yang menghunjam kepalanya. Diane menyandarkan kepalanya di kursi penumpang dan memejamkan mata barang semenit untuk meredakan rasa sakit yang hebat. Tapi seharusnya ia tahu bahwa tidak ada tempat lain yang lebih menenangkan untuk beristirahat selain di kamar pribadinya sendiri. Diane bersungut-sungut kesal ketika Raveen memulai celotehan barunya tentang luka yang memerah di wajah Diane. “Lukamu kelihatan parah sekali.” “Tentu saja. Semuanya tidak akan jadi seperti ini seandainya pria yang menyebut dirinya sebagai ‘pengawal pribadiku’ itu tidak lengah dari pengawasan keamananku.” “Oh, jadi kau marah padaku?” “Aku tidak bicara begitu,” dengan ketus Diane memutar pandangannya ke jalan bebas. “Aku hanya bilang, semuanya terjadi karena keteledoran seseorang.” “Baik, jadi coba aku ingatkan ini. Sepertinya kau pelupa, ya? Aku masih ingat sekali detail dimana kau tidak mengharapkan kehadiranku di acara itu. Kau meminta aku untuk menyelesaikan semua masalahku dan kalau aku tidak sadah kau mengatakan ‘sudahlah, jangan seperti Sam! Jangan menghawatirkan aku seolah aku ini anak kecil yang tidak bisa memakai popok’” Raveen menirukan nada bicaranya hingga sama persis seperti yang dikatakan Diane padanya beberapa jam lalu. Ia bisa merasakan wajah wanita itu mulai merona karena malu. Atau salah tingkah. Atau sebut saja begitu. Raveen senang tiap kali melihat Diane kesal, seoalah mata biru gelap itu tiba-tiba diliputi oleh rona jingga yang membara hingga menimbulkan kesan yang luar biasa indah dan seksi. Tapi sebenarnya ia lebih suka cara Diane mengerucutkan bibirnya yang menggairahkan dan menekuk wajahnya dengan kesal jengkel. Raveen senang melihat wanita itu. Bahkan ia ragu ada satu hal yang ia benci dari diri Diane. Ia menyukai semua yang ada pada Diane. Caranya bersikap, bahkan memperlihatkan karakter yang kuat dan jaran sekali ia temukan pada wanita lain. “Tentu saja, Detektif. Dan kalau aku jadi kau, aku akan berpikir ulang untuk mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan buruk ini. Ku pikir kau punya naluri dan insting yang jauh lebih baik.” Raveen tertawa sengit. Tawanya merendahkan pernyataan Diane barusan. Ia membuat Diane bertanya-tanya akan sikapnya. Sudah semestinya Raveen tersinggung oleh pernyataan terakhir itu. Tapia pa yang dilakukannya sekarang? Tertawa? Dasar pria gila! Diam-diam Diane mngumpat kasar. Menggerakan bibirnya dan berceloteh tanpa suara. Sesekali ia menggeram. “Baik, Miss Hampton. Maafkan pengawalmu yang teledor ini.” “Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua bukan salahmu.” “Kalau begitu untuk apa repot-repot kau menggerutu seperti itu?” “Aku tidak menggerutu, Detektif!” “Ah, aku melihatnya. Kau juga meninggikan suaramu.” “Sebaiknya kau diam.” “Ku sarankan sebaiknya kau pastikan luka memar di wajahmu masih membekas saat kita tiba di kantor polisi. Itu akan menjadi bukti yang cukup kuat.” “Pastikan saja aku tidak gila begitu sampai di kantor polisi. Demi Tuhan kalau kau terus bicara begitu padaku,..” “Aku mengerti.”  ... Sang Murderer tersenyum puas dari tempat persembunyiannya di balik tebing. Ia telah melihat dan mendengar semuanya. Mendengar semua yang dikatakan Diane dan wanita berambut merah yang menyebut dirinya sebagai Sarah. Kelihatannya mereka memberi ide lain untuk rencananya. Sangat mudah memanfaatkan mereka untuk rencana ini. Sarah tidak lebih dari penghalang, maka wanita itu pantas mati. Yah, setidaknya Sarah tidak punya kesalahan apapun dengannya, tapi tetap saja. Sarah membenci Diane. Sarah akan jadi target yang tepat. Permainan yang sebenarnya akan dimulai. Sejauh ini Diane hanya mendapat peringatan, bukan bukti nyata. Tapi sekarang Sang Murderer sudah menciptakan alur mereka. Diane akan merasakan kematian semakin mendekat. Sang Murderer harus berupaya membuat wanita itu kehilangan kewarasannya lebih dulu sebelum bermain-main dengannya. Akan ia pastikan Diane menjadi gila dalam waktu singkat. Semuanya akan terasa jauh lebih mudah untuk dituntaskan. Pembalasannya sudah tiba.  - BAGIAN 7
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN