Sang Murderer menoleh ke sudut ruangan. Disanalah Diane berdiri. Persis seperti yang ia bayangkan. Bersama pengawal sialan yang selalu membuntuti Diane seperti anjing pelacak. Tapi ia sudah cukup puas melihat Diane. Tatapannya menyapu sekujur tubuh Diane. Wanita itu mengenakan setelan gaun hitam yang luar biasa elegan. p*****r hina. Sekarang ia mengerti mengapa Diane pantas mendapat sebutan itu. Wanita itu tampak lebih anggun malam ini. Tatanan rambut ikalnya yang terikat di belakang, kaki jenjang dan kulit kecokelatan yang mulus dan terbuka... Tidak diragukan lagi. Pantas Maccon sangat mencintai puteri bungsunya lebih dari Sam dan Emiline. Diane sangat mirip dengan Katherine. Wanita sialan. Kebenciannya semakin membumbung. Ia harus menyentuh kulit itu. Merasakan teksturnya yang lembut dan membandingkan dengan kulit kasarnya. Kalau Diane begitu cantik dan nampak memesona, maka ia akan semakin menikmati setiap detik kematian wanita itu nantinya. Pikiran buruk melintas dalam benaknya. Bagaimana rasanya jika kulit lembut itu terbakar? Diane pasti akan sangat kesakitan. Ya,,, benar sekali. Dibakar. Itulah hukuman yang pantas untuk p*****r kecil ini. Sembari mengumpulkan kesiapan, ia melangkah maju untuk menemui Diane.
...
Diane bertemu pandang dengan Max. pria itu berdiri di tengah ambang pintu sebelum tersenyum dan begegas mendekat. Diane merasakan senyum hangat Max pudar begitu sorot tajamnya terarah pada Raveen. Kemudian Diane berpaling pada Raveen dan tidak bisa membaca sedikitpun dalam tatapan Raveen. Diane hanya melihat senyum kecil yang tersungging di bibir Raveen ketika Max menatapnya bak predator yang siap memangsa. Sial, ini tidak akan baik. Max tidak suka jika Diane berdekatan dengan pria lain. Sekalipun pria itu pengawal pribadinya, tetap saja Max tidak suka. Beruntung Raveen tidak membalas tatapan marah Max. Raveen hanya berdiri santai dengan kedua tangan bersembunyi di balik pinggulnya dan tersenyum manis.
“Halo, Sayang!” tanpa mengalihkan sorot tajamnya yang mengatakan bahwa-pergi-jauh-dari-kekasihku pada Raveen, Max meraih kedua tangan Diane kemudian mendaratkan kecupan pada punggung tangan Diane yang mulai tegang. Sekali lagi Diane berpaling pada Raveen yang tidak mengunjukkan reaksi apapun kecuali jika ia tidak salah liat, rahang Raveen terlihat lebih tegang. Sepertinya Raveen pria yang pandai menyembunyikan emosi.
Tentu saja. Raveen butuh pengendalian diri yang besar untuk menahan keinginannya menarik Max dari tangan Diane dan menghantam wajah pria itu dengan tinju. Jelas ia akan membuat kekacauan besar. Lagipula tindakannya akan jadi tidak masuk akal. Max kekasih Diane. Jadi Raveen hanya bergeming sambil meringis dalam hati. Siapa yang mengira suasana di ruang pesta ini jadi terasa begitu sempit dan menyesakkan? Seakan udara semakin yang menggantung disekitarnya semakin tipis. Ketika Max berdiri tegap, Raveen mulai tersenyum sebelum menggulurkan tangannya.
“Aku Alex!”
Max menjabat tangan dingin Raveen dengan tatapan skeptis. Dahinya masih berkerut ketika ia memutar bola matanya untuk melihat Diane. “Max. Seperti yang kau tahu, aku kekasih Diane.”
“Oh, Miss Hampton seringkali membicarakanmu.”
“Aku harap semua hal baik tentang aku.”
Raveen menatap Diane, tersenyum dan mengangkat satu alisnya. Diane bisa melihat kilat jahil yang melintas di mata emas itu. “Tentu saja. Miss Hampton sepertinya tidak pernah mengecewakanmu. Pasangan yang serasi.” Sekali lagi Raveen berdusta. Serasi apanya? Wanita semanis dan secantik Diane pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dari Max.
“Kau pengawalnya, benar?” tanya Max dengan suara dingin dan getir.
Raveen mengangguk.
“Aku pikir kau bisa memberi aku dan Diane kelonggaran privasi untuk malam ini. Tidak perlu khawatir, Diane akan baik-baik saja bersamaku.”
Diane berharap Raveen mengelak, namun harapannya pupus seketika pria itu hanya mengangkat bahu kemudian melenggang pergi dari mereka. Sekarang hanya ada ia dan Max–dan tangan Max yang menempel di lengannya yang terbuka. Rasanya Diane ingin menyingkirkan tangan besar itu dari lengannya, tapi apa yang sebenarnya ia pikirkan? Bukankah tingkah Max yang seperti ini sudah ada sejak dulu? Dan apa yang sebenarnya diharapkan Diane? Berharap bahwa saat itu Raveen-lah yang berdiri di sampingnya dan tangan yang melingkar di lengannya itu adalah tangan Raveen? Astaga, Diane pasti sudah gila. Max berjalan melewati Diane untuk meraih segelas penuh wine. Pria itu menawarkan Diane dan begitu Diane menggeleng, Max meneguk minumannya sampai habis.
“Aku sangat terkejut terhadap apa yang terjadi pada Sarah.”
Mengejutkan sekali Max memulai topik perbincangan mereka dengan mengungkit kejadian yang sudah tidak ingin Diane ingat-ingat lagi. Alih-alih Diane hanya mengangguk.
“Aku juga begitu.”
“Bukan itu, Sayang. Kau tahu apa yang ku maksud. Bagaimana kau bisa terlibat dalam kejadian itu?”
Diane menatap Max dengan cara yang sama ketika Max menatap Raveen. Ada sorot ketidak percayaan, arogansi, dan kebencian yang tersirat disana. “Kau seharusnya tahu kalau aku sama sekali tidak terlibat dalam kejadian itu.”
“Tapi kau ada disana. Dua orang petugas keamanan dan seorang mahasiswa yang dimintai keterangan menyaksikan kalau kau satu-satunya orang yang ada disana.”
“Jika menurutmu begitu, Max, kenapa tidak kau tanyakan pada mereka apa mereka juga menyaksikan bagaimana aku membunuh Sarah? Kenapa kau tidak bertanya pada mereka bagaimana detail pembunuhan yang kulakukan itu? Bagaimana aku bisa ada disana? Bagaimana Sarah bisa jadi korban? Apa mereka bisa memberi keterangan yang pasti tentang itu?”
“Diane, aku tidak bermaksud...”
“Ya tentu saja,” potong Diane merasa sedikit gusar dan merasa bodoh karena ia tidak bisa mengendalikan emosinya. “Apalagi kalau bukan tuduhan bahwa aku yang membunuh Sarah. Kau percaya itu, Max?”
Max tertegun menatap kedalaman mata biru Diane yang kini mulai menggelap. Ia bisa merasakan amarah yang mencuat disana. “Aku tidak bisa menyimpulkan dengan baik, Sayang.” Setelah sekian detik Max kembali menemukan suaranya. Ia menghela napas dan melihat bahu Diane merosot karena kecewa atas jawaban yang ia berikan.
“Aku pikir kau percaya padaku,” ujar Diane. Ada kesan sinis sekaligus putus asa sdalam suara lembut itu. Ketika tangan Max bertengger di kedua sisi bahunya, Diane hanya bisa menelan ludah dalam upayanya menahan keinginan untuk menepiskan tangan itu.
“Aku percaya padamu, Sayang. Tapi semua buktinya belum benar-benar terungkap. Untuk sementara ini aku hanya bisa percaya padamu.”
Tidak ada gunanya menyakinkan Max. Pikir Diane. Ia hanya akan membuang-buang waktu saja. Toh, ia juga tidak bersalah. Jadi kenapa harus peduli? Kalau Max masih berpikir bahwa Diane yang telah membunuh Sarah, maka Diane merasa ragu Max bisa menjadi orang yang Diane percayakan untuk menaruh hatinya. Yah, sikap Max wajar, kan? Belum ada bukti tegas yang menyatakan bahwa Diane memang bukan pembunuh Sarah. Tapi setidaknya perasaan yang mereka bangun bersama sejauh ini membuat Max yakin pada Diane. Diane jadi bertanya-tanya apa Max benar-benar tidak mengenalinya dengan baik? Lalu apa arti dari waktu yang selama ini mereka habiskan bersama? Apapun itu sekarang Diane sudah tidak peduli lagi.
Pesta telah dimuali sejak lima belas menit yang lalu. Beberapa orang yang mengambil peran penting dalam proyek termasuk Sam secara bergiliran memberi sambutan kepada para undangan. Kemudian di tengah acara, Diane diminta untuk memberi sambutan perwakilan dari keluarga sekaligus ucapan selamat untuk proyek baru Sam yang kini telah diresmikan. Diane bisa merasakan kegugupannya ketika ia berdiri di atas panggung. Ia mendapati Jules dan Regan sudah duduk disana. Berdampingan dan terus berusaha memberinya semangat. Kemudian di kursi lain ada Max yang sibuk bicara dengan beberapa pria yang tidak dikenal Diane. Pria itu menatap Diane sesekali, tersenyum kemudian fokus pada pembicaraannya lagi. Dan pada satu titik, Diane melihat Raveen. Tengah berdiri di sudut ruangan dengan segelas anggur di tangannya. Entah mengapa Diane merasa berdiri memunggungi dinding adalah kebiasan Raveen. Atau mungkin itu cara Raveen waspada dengan keberadaan sekitar. Sebagai seorang detektif, niat menilai sikap waspada Raveen itu wajar. Meski pandangan Raveen menyapu sekitar, namun Diane bisa melihat perhatian Raveen terfokus padanya. Hanya ia dan pidato membosankannya tentang Sam. Pria itu tersenyum manis. Senyum yang memperlihatkan lesung pipi yang memesona dan entah bagaimana semangat Diane berkumpul kembali. Ia yang sebelumnya berdiri dengan sangat gugup kini mulai berhasil melerai ketegangan. Sesekali sepatah atau dua patah katanya membuat para undangan tertawa dan Diane merasa amat sangat senang bisa menyelesaikan pidatonya dengan baik.
Setelah seluruh sambutan usai, kini para undangan mulai memadati area dansa bersama pasangan mereka masing-masing. Max yang pertama kali menarik Diane ke lantai dansa, dan begitu alunan musik yang lembut bergema di sekitar mereka, dansa telah dimulai. Beberapa undangan lain yang tidak ikut memenuhi lantai dansa mulai berhamburan untuk menatap hidangan yang tersedia. Meski ada di hadapan Max, Diane tidak bisa menghentikan matanya yang terus mencari-cari ke setiap sudut ruangan. Hal serupa membuat Max merasa terusik.
“Siapa yang kau cari?”
Diane tidak benar-benar merepon sampai Max mengguncang tubuhnya di tengah gerakan dansa mereka. “Maaf?”
“Siapa yang kau cari, Sayang?” tegas Max. Nada suaranya datar namun wajahnya terlihat gusar.
Raveen. Dimana pengawal pribadinya itu? Seharusnya Raveen menjaga Diane kalau-kalau pelaku terornya ada disekitar mereka. Tapi tentu saja Diane tidak akan mengatakan yang sebenarnya pada Max.
“Bukan siapapun.”
Dari cara Max mengabaikan jawaban itu, Diane sudah menduga kalau Max tidak akan memperpanjang masalah sepele ini. Pria di hadapannya ini nampak sangat berkonsentrasi dengan alur gerakan mereka. Seolah-olah Max takut salah langkah. Tapi itu hal yang wajar. Max tidak terlalu piawai dalam berdansa. Diane tidak tahu dimana pria itu suka menghabiskan malamnya, ia hanya tahu Max jarang mengunjungi pesta. Mengejutkan sekali jika Max benar-benar hadir dalam pesta yang diselenggarakan Sam ini. Tiba-tiba Diane merasa ia butuh pendapat pria lain tentang penampilannya. Sebenarnya Diane jauh lebih penasaran terhadap apa yang dikatakan Raveen tentang penampilannya saat mereka masih di suite. Apa pria lain melihat penampilannya sama seperti Raveen?
“Bagaimana menurutmu tentang penampilanku?”
“Pidato itu?”
“Bukan, penampilanku malam ini.”
Max mengerutkan bibirnya sebelum menjawab, “Lumayan.”
Lumayan? Hanya lumayan? Ya memangnya apalagi yang Diane harapkan? Kau tampak sangat cantik malam ini, Sayang. Mata birumu sangat indah dan berkilau, rambutmu sehalus sutera. Kau membuat aku semakin cinta padamu dan aku ingin selamanya bersamamu. Tentu Max tidak akan bicara begitu. Astaga,,, lumayan. Yang benar saja.
Lima detik berikutnya Diane merasa sesuatu menyentuh punggungnya dengan cara yang membuat ia merasa risih. Butuh waktu beberapa detik bagi Diane untuk menyadari bahwa yang menyentuhnya adalah tangan Max. tiba-tiba Diane merasa tenggorokannya tercekat ketika tangan Max menggerayangi pinggulnya, kemudian menarik Diane mendekat.
Raveen hampir memuntahkan kembali wine dalam mulutnya ketika ia melihat Max menarik Diane dengan pergerakan cepat dan kasar hingga wanita itu jatuh dalam pelukan Max. Raveen benar-benar terkejut sampai ia terlonjak dari kursinya. Ia sedang bicara dengan Jules dan Regan tapi tatapannya tidak dapat lepas dari Diane. Dan sekarang Raveen benar-benar ingin memuntahkan seisi perutnya. Tubuhnya sudah tegap kembali. Pergerakannya yang tiba-tiba itu menyebabkan sedikit wine tumpah dan membasahi jas hitam yang ia kenakan. Sikapnya juga yang membuat Jules dan Regan bertanya-tanya.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Jules dengan sedikit khawatir.
Raveen mengangguk. Masih tidak bisa mengalihkan tatapannya dari Diane dan Max yang berdiri tak jauh disana. Bergerak dalam aluman musik dan mereka berpelukan mesra. Astaga, tangan Raveen sudah gatal ingin mencekik pria itu. Ia ingin menarik Diane kembali padanya dan menyingkirkan Max segera. Kalau Raveen tidak salah lihat, pelukan itu terlalu tiba-tiba, terlalu cepat dan berkesan dipaksakan. Meski dari jarak jauh sekalipun, Raveen bisa merasakan tiap otot-otot di tubuh Diane menegang–sama seperti yang saat ini ia alami. Raveen merasakan sengatan kecemburuan yang tidak pantas bila mengingat posisinya hanya sebagai pengawal pribadi Diane. Tapi Raveen benar-benar ingin menjauhkan Diane dari pria itu. Entah mengapa ia punya firasat buruk sejak pertama kali bertemu pandang dengan Max. Max jelas bukan pria yang baik untuk Diane. Tapi apa yang ia harapkan? Berharap bahwa ia yang seharusnya ada disana? Memeluk Diane dengan tidak kalah mesranya seperti Max memeluk Diane? Yang benar saja.
Ketika Raveen tidak juga mengalihkan tatapannya, Regan mulai menoleh kearah dimana tatapan Raveen terpusat. Ia melihat Diane dan Max disana. Sedang berdekapan mesra layaknya sepasang kekasih. Sekarang ia mengerti. Hal serupa membuat Regan cekikikan. Ia berniat menggoda Raveen, namun segera mengurung niat itu.
“Kau seperti habis melihat hantu.” Komentar Regan.
Lebih buruk. Pikir Raveen, namun ia tidak mengacuhkan komentar itu. Kemudian Sam hadir ke tengah-tengah mereka. Jules adalah orang pertama yang merona karena kehadiran pria tampan berjas hitam itu.
“Apa yang kalian lakukan disini?” tegur Sam, tatapannya beralih pada Raveen. “Seharusnya kalian berdansa.”
Jules mengangkat bahu. “Yah, seandainya kami punya pasangan dansa kami sudah melakukannya sejak awal.” Wanita itu tidak pernah berpikir kalau ucapannya akan direspon dengan sangat cepat oleh Sam. Ketika Sam tersenyum sambil membuka satu tangannya, Jules merona.
“Mau berdansa denganku, Cantik?”
“Dengan senang hati.” Jules menerima tawaran Sam dengan menjulurkan tangannya yang kini digenggan Sam kemudian bergegas untuk bergabung di lantai dansa. Giliran Raveen yang berdiri. Ia menawarkan tangannya pada Regan yang dengan cepat mengangguk kemudian mengikutinya ke lantai dansa.
“Aku harap ini menyenangkan.”
“Apa kau tidak pernah berdansa sebelumnya?”
“Sudah lama sekali,” jawab Raveen sembari membimbing Regan ke tengah lantai dansa. Meski begitu tatapannya tidak pernah lepas dari Diane. Ia meletakkan satu tangannya di pinggul Regan sementara satu yang lain disematkan dengan satu tangan Regan. Mereka mengikuti alur gerakan dengan lembut. “Kurang lebih lima tahun yang lalu. Aku sudah tidak pernah menghadiri pesta dansa lagi sampai sekarang.”
“Aku pikir gerakanmu tidak begitu kikuk.”
“Ya sebenarnya aku masih ingat sedikit.”
Regan menatap ke dalam mata Raveen yang terfokus pada pasangan dansa lain disana. Ia tertawa dan memutuskan untuk bicara. “Kenapa kau terus melihat mereka?”
Raveen terperangah. Alisnya hampir menyatu saat ia melayangkan tatapan skeptis pada Regan. “Siapa?”
“Diane dan Max. Kau cemburu, kan? Aku sudah menduga ini sejak pertama kali melihatmu dengan Diane. Sepertinya kau cukup tertarik pada Diane.”
“Hanya pria bodoh yang tidak tertarik pada Diane.”
“Bukan itu maksudku. Aku melihat kau menatapnya dengan sedikit... lebih. Ya, ada yang berbeda dari caramu menatapnya. Kau suka pada Diane.”
Pernyataan terakhir Regan membuat Raveen terkekeh. “Baiklah Miss Gilintman kau sudah menebaknya dengan sangat baik.”
“Akhirnya kau mengakuinya,” Regan tersenyum puas. “Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan Max.”
“Oh ya? Aku pikir aku sependapat denganmu. Jadi apa yang membuatmu tidak suka dengan pria itu?”
“Aku hanya merasa Max mempermainkan Diane. Kau tahu? Max pernah menduakan Diane. Yang membuat aku terkejut adalah Sarah-lah orangnya. Sebenarnya aku lebih terkejut begitu tau Diane sudah memaafkan Max. Kalau aku jadi Diane, aku tidak akan menerima b******n itu lagi.”
Mendengar Regan menyebut nama Sarah membuat Raveen berasumsi satu hal. Apa mungkin siapapun pembunuh Sarah mengetahui hubungan gelap itu? Apa pembunuh itu tahu bahwa Sarah dan Diane sempat mengalami perdebatan hingga memutuskan untuk menjadikan Sarah sebagai korbannya? Semakin ia jauh semakin ia curiga akan keberadaan Max. Bukan berarti Raveen mengambil premis terlalu cepat, ia hanya menduga. Istingnya berkata demikian.
“Kapan itu terjadi?”
“Kurang lebih sebulan yang lalu. Diane melihat Max sedang bermesraan dengan Sarah. Tapi Max memang licik, dia mencari banyak alasan untuk menutupi kemunafikannya dan bodohnya Diane percaya. Aku dan Jules sudah tidak bisa berkomentar apapun lagi tentang hubungan mereka. Diane sangat sensitif ketika aku membicarakan Max. Kupikir kau bisa membantu Diane dengan menjauhkannya dari pria bermasalah itu. Kau menyukai Diane, kau tentu jauh lebih baik dari Max.”
“Aku menghargai pujiannya. Aku akan melakukan sebisaku.”
Alunan musik belum berhenti ketika Diane berupaya keras melepaskan diri dari rangkulan Max. Begitu ia lepas, rauut wajah anggun itu sudah sepenuhnya berubah. Diane mengunjukkan rasa tersinggung yang amat besar di hadapan Max. Terutama karena ia tidak suka dipaksa, dan pelukan itu benar-benar kasar dan memaksa.
“Kenapa Sayang?”
“Jangan lakukan itu lagi!”
“Kenapa? Kau tidak suka? Aku ini kekasihmu, wajar saja kalau aku memelukmu.”
“Aku tau, Max. Tolong, jangan lakukan itu lagi.”
Sikap Diane membuat Max tersungut-sungut heran. Namun pada satu titik ia menemukan rasa tidak suka disana. “Aku merasa tersinggung.”
“Tidak, Max. Kau tidak mengerti. Aku hanya tidak suka dipaksa.”
“Kenapa aku harus memaksamu Diane? Aku mencintaimu, kau tahu?”
Diane menatap kedalaman mata biru pucat sang kekasih dan tak menemukan apapun selain kekosongan disana. Percaya atau tidak, Max tidak bersungguh-sungguh mengatakan semua itu. Dalam sekejab Diane merasa ia butuh waktu untuk sendiri. Ia merasa pusing dan tidak bisa menghadapi Max untuk saat ini. Jadi Diane memilih untuk pergi meninggalkan Max di lantai dansa.
“Maafkan aku,” kalimat itu yang ditinggal Diane sebelum ia beranjak keluar menuju taman.
Diane keluar dengan perasaan yang bercampur aduk. Sedih, kesal, gusar, bimbang dan banyak lagi. Mirisnya, ia sama sekali tidak bisa memastikan apa yang benar-benar telah merasuki dirinya sampai ia begitu tidak terkendali. Sebelum ini Diane merasa baik-baik saja. Merasa senang dengan pesta yang diselenggarakan Sam sampai ia bicara dengan Max. Sekiranya begitu. Tanpa bukti yang nyata Max menuduh Diane terlibat dalam pembunuhan Sarah. Sebenarnya Diane sama sekali tidak terkejut dengan tuduhan itu. Semua saksi menuduhnya seperti itu. Yang membuat ia kesal adalah fakta bahwa Max benar-benar tidak bisa mempercayai Diane. Lalu dengan seenaknya pria itu mencuri kesempatan dan pelukan hangat yang menurut Diane terlalu dipaksakan. Diane belum pernah merasa serendah ini sebelumnya.
Ia ingin menangis. Sebenarnya Diane sudah menangis. Baguslah tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar taman. Taman itu hanya dipenuhi oleh cahaya temaram dari satu sampai dua lampu saja. Kegelapan telah menyelubungi keindahan taman. Sejak kecil Diane suka sekali menyendiri di taman belakang rumahnya ini. Ia bisa menemukan kedamaian di tempat ini. Diane berharap ia bisa menemukan kedamaian sekarang. Seolah harapannya dijawab saja, Diane mendengar suara gemerisik bot seseorang yang menginjak daun-daun kering. Ia berbalik dan mendapati sosok Raveen berdiri hanya beberapa langkah darinya. Pria itu berdiri dengan kemeja putih dan jas yang menggantung pada salah satu lengannya.
“Apa yang kau lakukan disini?” tegur Diane. Tubuhnya merasa lebih hangat ketika Raveen melingkari jasnya di sekitar punggung Diane.
“Seharusnya aku yang bertanya begitu. Apa yang kau lakukan disini? Disini dingin sekali.”
Diane tidak menolak kehangatan dari jas yang ditawarkan Raveen, ia justru mencengkram jas itu agar tetap membungkus tubuhnya. “Aku tidak begitu suka berdansa.”
“Kupikir tidak,” Raveen mengangkat dagu Diane dengan ibu jarinya kemudian menghapus genangan air mata yang masih mengalir di wajah itu. “Apa dia menyakitimu?”
“Tidak.”
“Kau pandai berbohong.”
“Demi Tuhan, detektif, sebaiknya kau tidak mencampuri urusanku.”
Raveen tertawa. Kali ini tawanya tidak membuat Diane terkesima melainkan membuat wanita itu semakin jengkel. “Wanita keras kepala.”
“Bagaimana kau bisa disini?”
“Aku mengikutimu.”
“Lain kali jangan mengikutiku.”
“Kau lebih suka pembunuh itu yang mengikutimu?”
Tatapan Diane sepenuhnya teralih. Terjadi kekosongan selama beberapa detik ketika Diane menatap kedalaman mata emas Raveen. Berbeda dengan Max, Diane menemukan ketulusan disana. Diane membenci semua ini, tapi pada akhirnya ia akan menyerah juga. Merasa putus asa, ia merunduk. Air matanya jatuh kembali dan pada detik berikutnya entah bagaimana Diane sudah ada dalam dekapan Raveen. Dekapan Raveen terasa lembut, sama sekali tidak memaksa. Bahkan membuat Diane merasa hangat dan nyaman. Tanpa sadar Diane menjulurkan tangannya melingkari punggung pria itu dan mendapati dirinya mendekap Raveen semakin erat. Ia membuka diri dan membiarkan air matanya membasahi kemeja Raveen.
“Tidak apa-apa Diane, tidak apa-apa...”
Kata-kata Raveen begitu lembut, berbisik melewati telinga Diane seperti alunan melodi yang merdu. Entah sudah berapa menit yang mereka lalui dengan berdekapan dan saling memberi kehangatan, yang Diane tahu ia mendapati dirinya enggan melepas diri dari Raveen. Diane merasa tenang, merasa terlindungi, merasa aman dalam dekapan Raveen. Namun jika ada seseorang yang melihat mereka… Secepat perginya, akal sehat itu segera kembali. Membuat Diane sadar dengan siapa dan apa yang mereka lakukan ditempat sesunyi ini.
“Raveen…?”
“Mmm?”
“Aku rasa kau bisa melepaskan aku sekarang.”
Raveen tertawa lagi. “Aku rasa sebaliknya.”
Saat itu juga Diane menyadari betapa erat tangannya merangkul Raveen. Ia cepat-cepat melepas diri. Wajahnya merona lagi. Astaga, Diane belum pernah merasa salah tingkah seperti sekarang. Ia hampir kehilangan pijakan karena malu, berntung lengan Raveen masih menahannya.
“Apa kau baik-baik saja, Manis?”
“Aku rasa tidak. Apa kita bisa segera pulang, aku merasa pusing.”
“Tunggu di mobil, aku akan segera menyusul. Aku harus bicara pada Sam.”
Diane tidak menunggu instruksi selanjutnya dan segera mengambil jalur menunggu area parkir. Ia melihat Raveen masuk ke dalam ruang pesta lagi dan baru sadar kalau jas Raveen masih membungkus tubuhnya. Diane memutuskan untuk segera beranjak. Begitu ia sampai di dalam mobil, ia segera menduduki kursi penumpang. Ia berkaca di spion dalam mobil untuk membenahi rambutnya sebelum mneyadari sebuah kotak berukuran sedang terletak di kursi belakang mobil. Ragu-ragu Diane meraih kotak itu. Ia mencoba menjernihkan ingatannya namun sejauh itu Diane tidak ingat ia ataupun Raveen meninggalkan kotak itu ketika meninggalkan mobil. Atau mungkin kotaknya milik Raveen? Merasa tidak ada gunanya ia menerka semua kemungkinan itu, Diane memberanikan diri untuk membuka kotak itu.
Pintu mobil dibuka ketika Diane berteriak dan melempar kotak itu menjauh. Raveen segera menyeruak masuk untuk melihat kekacauan apa lagi yang ada disana. Ia meremas lengan Diane dalam upaya menenangkan wanita itu kemudian meraih kotak yang dilempar Diane. Ada sebuah kain disana. Hanya saja ada yang ganjal. Kain itu nampak basah dimana warna polosnya hampir tertutup oleh bercak-bercak merah pekat. Raveen merasakan teksturnya, mendeti kain itu ke hidung dan mencium aroma yang ia kenali. Barulah ia sadar bahwa bercak merah itu adalah darah. Sangat banyak dan hampir kering namun belum kering seutuhnya. Seolah kain itu baru saja dikotori oleh darah. Sekarang ia mengerti mengapa Diane nampak sangat khawatir. Raveen segera mengembalikkan kain itu ke dalam kotak agar Diane tidak terlalu lama melihatnya kemudian meraih secarik kertas yang ada di dalam kotak itu. Ia membuka lipatan kertas dan tulisan hasil ketikan mesin manual sudah tertera disana.
Satu–kosong. Satu sudah mati, yang kedua akan menyusul. Siapa yang akan mati? Ayo kita bermain teka-teki. Hanya kau dan aku. Permainan ini milik kita berdua.
Sekujur tubuh Diane bergidik ketika menunggu Raveen menyampaikan isi surat itu. Namun pria itu hanya bergeming sehingga Diane dengan cepat memutuskan untuk merenggut suratnya dari tangan Raveen. Setelah ia membaca isi surat itu, seisi perutnya seperti habis dikocok.
“Aku rasa aku mau muntah.”
Raveen meraih kembali surat itu, memasukkannya ke dalam kotak kemudian meletakkan kotak tersebut di jok belakang. Tidak ada yang boleh merusak barang bukti. Pandangannya menyapu sekitar. Tidak ada siapapun yang berlalu lalang disana. Kalau tidak bersembunyi, pembunuh itu pasti sudah meninggalkan area pesta sekarang jadi ia memutuskan untuk menghubungi seseorang. Dengan pergerakan yang berkesan teburu-buru, Raveen menstarter mobil kemudian memutar menginjak pedal gas dan memutar kemudi untuk keluar dari area pesta.
“Apa kau tidak bisa menunggu lebih lama lagi?”
“Tergantung seberapa cepat kau mengendarai mobil ini. Aku benar-benar mau muntah.”
“Tenang, Manis. Semuanya akan baik-baik saja.”
“Apa kau sudah gila? Aku baru saja mendapat surat ancaman dan sekarang kau meminta aku untuk tenang?”
“Kalau begitu lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Usahakan kau melakukannya dengan tenang.”
“Satu-satunya yang kuinginkan saat ini adalah mencekik seseorang.”
Mobil mereka melintas dengan cepat menempuh jalur yang sama ketika mereka datang. Raveen membutuhkan sekurangnya lima belas menit untuk sampai di depan apartemen. Setelah memarkirkan mobil, ia segera menghubungi rekannya-Ian dan Ferdie untuk mengambil barang bukti tersebut. Selagi menunggu kedua rekannya, Raveen membantu Diane untuk masuk ke dalam suite dan memastikan wanita itu bisa beristihat dengan baik. Ia meminta Diane menunggu di dalam dan mengunci pintu selagi ia dan kedua rekannya mengadakan penyelidikan. Beruntung wanita itu menurut, jika tidak, hal terakhir yang diinginkan Raveen adalah mendebat Diane.
“Aku akan segera kembali. Kunci pintunya!”
Diane mengangguk, enggan mendebat Raveen dan segera mengunci pintu begitu Raveen keluar. Raveen memintanya untuk tetap tenang, namun siapa yang bisa duduk dengan tenang sementara pembunuh berdarah dingin di luar sana sedang berupaya memainkan teror hanya untuk melahap nyawanya secara sia-sia. Diane membayangkan Sarah. Tubuh wanita itu tergeletak bersimbah darah. Bekas luka tusukan terlihat dengan sangat jelas. Kemudian bayangannya beralih. Bagaimana jika tubuhnya berada si posisi Sarah? Bagaimana rasanya ditusuk hingga mati? Astaga, Diane tidak bisa berpikir dengan lebih jernih lagi. Ucapannya perihal muntah bukan sekedar kecaman untuk Raveen. Diane segera membuktikannya beberapa menit setelah sampai di dalam suite. Diane harus berlari menyeruak masuk ke dalam kamar kecil untuk menuntaskan reaksi fisiknya akibat kejadian yang baru saja dialami. Darah lagi. Ia tidak sanggup melihat darah lagi.
...
Raveen membuka kotak itu lagi sementara Ian dan Ferdie berdiri menunggu disana. Ferdie meringis begitu mencium aroma darah yang kuat dari kain satin berwarna polos sementara Ian membuka surat yang ada di dalam kotak.
“Ini sudah membuktikan kalau Miss Hampton bukan orang yang telah membunuh mahasiswi itu,” ujar Raveen. “Pembunuh itu ingin bermain-main dengan Diane. Bagaimana menurutmu?”
Sambil meletakkan suratnya kembali ke kotak, Ian mengerutkan dahi. “Ini bisa dijadikan bukti yang cukup akurat.” Ia menyetujui.
“Apa ada barang bukti lain yang ditemukan di TKP?”
“Tidak kecuali ponsel milik korban. Kami sudah menemui beberapa mahasiswi lain yang melihat ada bersama korban sebelum pembunuhan itu berlangsung. Mereka mengatakan korban masih berkeliaran di koridor sepanjang jam sebelas sebelum pergi ke gudang penyimpanan. Kemudian kami menggabungkannya dengan informasi lain yang menyatakan kalau Miss Hampton mengikuti jam pelajaran sepanjang jam sebelas sampai jam dua belas. Sementara kuat dugaan kalau pembunuh itu melakukan aksinya sepanjang jam sebelas.”
“Jadi semuanya sudah jelas sekarang,” kata Raveen. “Ada perkembangan lain?”
“Aku rasa tidak,” Ferdie angkat bicara. “Pembunuh itu menutupi jejaknya dengan sangat baik. Kau tahu? Hasil pengecekan sidik jari telah keluar dan tidak ada sidik jari siapapun selain sidik jari Miss Hampton dan beberapa orang yang terkait. Sama sekali tidak ada bukti. Semuanya nol. Siapapun pembunuh ini, dia pasti sangat cerdik. Ku sarankan kau meberi waktu ekstra untuk menjaga Miss Hampton. Belum ada bukti nyata yang mengungkap pembunuhan di kota ini. Miss Hampton hanyalah salah satu korban dari sekian banyak korban. Tapi aku merasa ada yang aneh. Kebanyakan pembunuhan yang terjadi akhir-akhir ini dilakukan secara mendadak. Maksudku,, para pembunuh itu tidak melakukan teror seperti yang dialami oleh Miss Hampton ini.”
“Apa kau berpikir kalau mereka orang yang berbeda?”
Ferdie mengangguk setuju. “Kupikir begitu, tapi semuanya belum bisa dipastikan.”
“Apa rencanamu?”
“Aku akan menghubungi beberapa kontak. Mungkin mereka punya informasi yang bisa diandalkan.” Sahut Ian.
...
Jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas malam. Selama itu Diane hanya mondar-mandir mengitari ruang kamarnya untuk menunggu kedatangan Raveen. Sudah hampir satu jam ia tidak bisa duduk dengan tenang namun Raveen belum datang juga. Harapannya membuncah ketika ia mendengar suara pintu berdecit yang dibuka kemudian tiga detik berikutnya ditutup dengan bunyi klik yang nyaring. Dengan pergerakan yang terburu-buru, Diane keluar menuju ruang utama dan melihat Raveen tengah berdiri membuka bot dan kancing kemeja teratasnya.
“Bagaimana?”
“Sementara ini kotak itu akan ditahan sebagai barang bukti. Ian dan Ferdie akan melanjutkan penyelidikan mereka.”
Kehadiran Raveen membuat kekhawatiran Diane reda, namun tidak mampu menutupi fakta bahwa pembunuh itu masih berkeliaran dengan bebas diluar sana. Mengincar nyawa Diane dan bermain teror dengan Diane. Merasa gusar, Diane menghempaskan tubuhnya di sofa. Raveen segera bergabung dengan membawa secangkir teh hangat untuk Diane.
“Minum ini!”
Diane sedang tidak ingin membantah. Ia meneguk teh itu sampai setengah habis kemudian meletakkan cangkirnya di atas meja. Sensasi hangat membasahi kerongkongannya membuat urat saraf yang sebelumnya tegang mulai mengendur. Sungguh ajaib secangkir teh bisa mengendurkan kekhawairan Diane.
“Merasa lebih baik?”
“Terima kasih.”
Raveen tersenyum hangat. Satu tangannya meraih tangan Diane kemudian ia mengosokkan ibu jarinya dipunggung tangan Diane dengan gerakan memutar. Hal yang serupa membuat Diane merasa nyaman.
“Kau ingin aku menceritakan dongeng sejarah itu lagi agar kau bisa tidur dengan nyenyak?”
“Tidak, terima kasih. Aku pikir aku bisa kembali ke apartemenku besok.”
“Kenapa terburu-buru? Kau bisa tinggal selama kau mau.”
“Tidak. Penyelidikan di apartemenku sudah selesai. Tidak ada alasan lagi untuk menetap disini. Lagipula kalau aku tinggal disini, Sam akan bertanya-tanya.”
“Aku sudah bicara dengan Sam.”
Diane terperanjat. Selama sesaat urat-urat sarafnya kembali tegang, namun Raveen menggosokkan kembali ibu jarinya hingga mengirimkan sensasi yang luar biasa hangat dari pada secangkir teh. “Apa?”
“Aku sudah bicara dengan Sam. Dia sudah tahu kau tinggal di apartemenku. Sam mempercayakanmu padaku.”
“Tapi ini konyol. Aku tidak ingin merepotkan…”
“Tidak ada yang merepotkan, Manis. Aku senang kau disini. Dengan begitu aku bisa mengawasimu dua puluh empat jam. Setidaknya sampai pembunuh itu ditemukan, kau bisa tetap tinggal disini.”
“Baiklah,” Diane menjatuhkan tubuhnya di sandaran sofa empuk. Ia menghela napas sejenak kemudian menatap Raveen. “Apa kau mengawasi aku dan Max sepanjang pesta?”
Nampaknya Diane mencoba mengambil alih pembicaraan mereka. Raveen memutuskan bahwa ia akan mengikuti alurnya saja. “Kupikir begitu.”
“Bagaimana pendapatmu tentang Max?”
“Tentu saja, dia memang tampan tapi tidak lebih tampan dari aku.”
Diane terkekeh. Selama beberapa detik Raveen merasa terkesima ketika memperhatikan betapa cantiknya Diane saat sedang tertawa.
“Bukan itu yang ku maksudkan.”
“Aku tahu. Kupikir Max pria yang baik, hanya saja dia tidak cukup baik untukmu.”
“Kenapa?”
“Kalau dia benar-benar mencintamu, dia tidak akan menyakitimu, Manis.”
“Dia tidak pernah menyakitiku.”
“Memang tidak. Dan yang ku maksud menyakiti disini adalah arti secara lebih khusus. Coba ku tanya, apa kau mencintainya?”
Selama beberapa detik Diane tertegun. Mencoba memahami perasaannya sendiri namun ia tidak bisa mengerti apapun. Satu-satunya yang bisa ia mengerti hanyalah seorang pembunuh sedang mencincarnya di luar sana. “Aku tidak tahu.”
“Kau tidak akan menangis jika kau memang mencintainya,” Raveen mencondongkan tubuhnya untuk menatap Diane dengan lebih jelas. Kemudian ia tersenyum lebar. Siasat untuk menggoda wanita ini melintas dalam benaknya. “Aku ragu kau benar-benar mencintai Max bila mengingat apa saja yang kau katakan padaku malam itu.”
Malam itu? Apa malam yang dimaksud Raveen adalah malam ketika Diane mabuk setelah perdebatan mereka di dalam suite? Jika memang benar, Diane harus mencari sesuatu untuk menutupi wajahnya yang merona karena malu. Apa yang sebenarnya ia katakan pada Raveen? Inilah akhirnya. Sesuatu yang dikhawatirkan Diane untuk dibahas akhirnya dibuka secara terang-terangan oleh Raveen. Selama sesaat ia berpikir kalau sebaiknya ia berpura-pura tidak ingat apapun, namun yang membuatnya terkejut adalah ketika ia mendapati dirinya sendiri bertanya,
“Apa saja yang ku katakan malam itu?” Diane menutup mulut dengan satu telapak tangannya atas kebodohan yang baru saja ia lakukan. Seharusnya Diane menolak untuk membahas itu, tapi ia penasaran.
“Biar ku ingat… malam itu kau mengatakan sesuatu yang.. di luar batas,” seringaian jahil mengambang di wajah Raveen. Jelas sekali jika pria ini menikmati setiap kekhawatiran yang terlukis jelas di wajah Diane. Raveen merasa senang ketika melihat wanita itu tersenyum dan akan jauh lebih senang bila melihatnya gusar juga khawatir. “Kalau aku tidak salah ingat, karena memang ingatanku tidak pernah salah, kita melakukan sesuatu yang... di luar batas.”
Bahu Diane merosot. Sialan. Apa maksud pria ini dengan kalimat ‘di luar batas’ dan seberapa jauhnya ‘di luar batas’ itu? Kenapa Raveen senang sekali mempermainkan Diane seperti ini?
“Demi apapun, Detektif, bisa langsung kau katakan saja apa yang kau sebut sebagai ‘di luar batas’?!”
Kemudian Raveen tertawa lagi. “Oh-oh, aku tidak bisa mengatakannya. Karena yang kita lakukan saat itu, yah di luar batas.”
“Sudah cukup! Lupakan soal di luar batas. Lupakan saja apa yang terjadi malam itu. Aku sedang mabuk dan jangan berpikir terlalu jauh tentang apapun yang terjadi!”
“Kau tidak penasaran?”
Sebaliknya. Diane sangat penasaran tentang apapun yang disebut Raveen sebagai ‘di luar batas’, tapi ia mendapati dirinya sendiri berkata, “Persetan. Sebaiknya aku tidak tahu apapun. Sudah cukup cerita tentang aku. Sekarang aku mau dengar semua tentangmu. Ceritakan semua tentang hidupmu.”
“Tidak begitu menarik.”
“Aku masih mau dengar.”
Sambil menyandarkan tubuhnya di samping Diane, Raveen mulai bicara, “Aku lahir dan dibesarkan di Texas,”
Texas... itulah jawaban atas aksen familier dan kulit kecokelatan Raveen. Jadi pria ini dibesarkan di Texas. Lalu apa yang membawa Raveen sampai di Washington?
“Tapi itu hanya berlasung sampai aku berusia dua belas tahun,” lanjut Raveen. “Ibuku meninggal dua tahun setelah kelahiranku karena kontraksi pada lambungnya. Sepuluh tahun berikutnya ayahku meninggal dalam kecelakaan pesawat dalam perjalanan kembali ke Texas. Ayahku seorang navigator pesawat terbang. Dia menghabiskan kesehariannya dengan terbang dan sejak aku berusia tujuh tahun, aku selalu bermimpi bisa jadi seperti ayah. Aku masih bocah polos saat itu dan tidak tahu apapun. Yang kuinginkan hanyalah terbang. Aku ingin terbang seperti ayah, tapi aku berhenti bermimpi ketika ayahku meninggal dalam kecelakaan itu. Pada usia dua belas tahun, aku pindah ke Washington dan tinggal bersama pamanku. Dia seorang tentara terlatih. Sekarang dia sudah pensiun. Pamanku-lah yang merawat aku setelah ayahku meninggal. Sejak saat itu aku hidup dalam didikan yang keras. Pamanku selalu mengajarkan aku bahwa hidup harus dijalani dengan usaha keras. Jika ingin mencapai sesuatu, maka kau harus bekerja keras. Aku mengagumi sosok pamanku yang hebat dan suatu saat aku bermimpi bisa menjadi tentara yang hebat seperti pamanku. Kemudian aku tumbuh semakin dewasa. Aku membentuk diriku sendiri. Melepaskan diri dari pamanku dan mulai menompang hidupku sendiri. Disinilah aku sekarang, bukan sebagai pilot yang menerbangkan pesawat, bukan sebagai tentara terlatih, tapi sebagai pengawal seorang wanita keras kepala yang menyebut dirinya Miss Hampton.”
Pernyataan terakhir Raveen membuat Diane tergelak. Raveen sudah kehilangan dua orang tuanya di usia remaja kemudian menerima kehidupan keras yang penuh aturan dan disiplin dari seorang tentara. Semua itu telah memberi gambaran pada Diane bahwa kehidupan yang dijalani Raveen tidak semudah seperti yang seharusnya. Kehilangan seorang ibu merupakan kesedihan tersendiri untuk Diane. Butuh waktu beberapa tahun untuk membiasakan diri tanpa seorang ibu, tapi Diane tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya hidup tampa orang tua. Pasti bukanlah kehidupan yang menyenangkan. Raveen adalah teman baik Sam sejak mereka remaja, Diane mengira ia sudah mengenal semua teman kakaknya dengan sangat baik, nyatanya tidak. Fakta bahwa Raveen tinggal bersama pamannya yang bekerja sebagai tentara memang sudah ia ketahui sejak dulu, tapi Diane tidak pernah tahu kalau orang tua Raveen sudah tidak ada sejak Raveen remaja.
“Apa kau punya saudara?”
“Aku anak tunggal. Aku cukup beruntung karena dalam masa sulitku aku tidak bekewajiban mengurus seorang adik, atau diurus oleh seorang kakak. Setidaknya aku melakukan semuanya seorang diri.”
“Ibuku sudah meninggal saat aku berusia sepuluh tahun, aku sangat merasa kehilangan dan aku butuh waktu bertahun-tahun untuk menerima fakta itu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya kehilangan dua orang yang sangat berarti.”
Senyum yang tersungging di wajah Raveen menghangatkan suasana. “Antara kau dan aku berbeda, Manis. Aku mungkin bisa melupakan semua itu dan meneruskan hidupku. Tapi kau butuh waktu lama untuk bisa menerimanya.”
“Jadi bagaimana perjalanan karirmu?”
“Lima tahun yang lalu aku bekerja sebagai guru olahraga di sebuah asrama.”
Membayangkan Raveen menjadi guru olahraga membuat Diane memekik. Disaat yang bersamaan Diane tertawa bebas. Pantas Raveen memiliki pertahanan fisik yang begitu kokoh. Pria ini pasti menghabiskan kesehariannya untuk melatih otot-otot itu.
“Ku pikir kau cocok jadi guru olahraga.”
“Hanya bertahan selama tujuh tahun. Aku tidak begitu menyukai pekerjaan itu. Aku pikir aku bisa mencari pekerjaan lain yang lebih menantang. Aku sudah merencanakan sebuah pekerjaan yang bersahabat dengan alam. Pekerjaan yang mampu memacu adrenalin setiap orang. Tapi rencana itu terurung sampai aku ditawarkan untuk bekerja pada polisi lokal. Kasus-kasus pertamaku yang membawa aku terjun lebih jauh dalam dunia penyelidikan.”
“Apa kau bahagia?”
Senyum Raveen merekah. “Kebahagiaan itu didapatkan, Manis. Bukan dicari. Sejauh ini aku selalu berpikir bahwa aku mencari kebahagiaan dalam setiap pekerjaan yang kujalani, kemudian aku sadar bahwa kebahagiaan tidak akan ditemukan sekalipun aku mencarinya sampai keujung dunia, tapi justru didapatkan. Selama aku nyaman dengan karier yang ku jalani, maka kebahagiaan akan mengikutinya. Sekarang aku sudah bahagia dan aku akan mempertahankannya,” Raveen mendekat kemudian melempar pertanyaan yang sama. “Apa kau bahagia?”
Diane menatap mata emas itu lekat-lekat. Ia tidak mampu bicara selama beberapa saat. Suaranya seakan hilang ditelan suasana mencekam yang tercipta di antara mereka. Ketika Raveen mendekatkan wajahnya hingga tatapan mereka hanya beberapa sentimeter jauhnya, Diane merasa bukan hanya suaranya yang hilang namun sebentar lagi ia juga akan kehilangan nafasnya. Raveen semakin mendekat. Diane tidak bisa menghentikan dirinya sendiri untuk tidak menatap bibir itu. Bibir yang sangat ingin ia rasakan. Pikirannya menjadi liar. Bagaimana rasanya jika ia mencium Raveen? Apa rasanya menyenangkan? Diane tidak pernah mencium pria sebelumnya. Ia berharap Raveen-lah orang yang memberi Diane pengalaman yang tidak akan terlupakan. Tepat ketika ia mengira bahwa Raveen akan mendaratkan sebuah ciuman singkat di bibirnya, Raveen justru melewati wajahnya, melingkarikan salah satu tangannya ke balik punggung Diane kemudian melepas ikat rambut yang mengikat rambut Diane dalam satu gumpalan hingga rambut itu tergerai di atas bahu Diane. Begitu lembut, begitu hitam. Membingkai wajah Diane bagai tirai yang lebat.
“Selamat malam, Manis..” bisik Raveen sambil meletakkan ikat rambut itu di atas telapak tangan Diane. “Semoga tidurmu nyenyak.”
Selamat malam, Manis. Semoga tidurmu nyenyak. Peningkatan. Dengan perasaan beguncang yang ditimbulkan oleh Raveen, Diane bangkit beranjak ke dalam kamar. Sesekali ia menolehkan wajah dan lihat Raveen merebahkan diri di sofa malas sambil beringsut mencari posisi nyaman. Saat itu juga Diane sadar bahwa ia tidak benar-benar mencintai Max. Bukan Max yang ada dalam pikirannya. Bukan Max yang ada di dekatnya. Bukan Max yang ia lihat. Tapi Raveen. Rasa kesal sekaligus senang bergelung dipikiran Diane yang terasa kalut. Ia meninggalkan tatapannya dari Raveen kemudian masuk dan mengunci pintu kamar dengan cepat.
-
BAGIAN 12