PERUBAHAN MOOD HYUNJIN

1672 Kata
Aera tidak menyangka akan bertengkar dengan Hyunjin karena malam itu. Tapi kalau dipikir lagi, wajar saja Hyunjin marah. Selama mereka bersama, keduanya belum pernah menghabiskan malam bersama. Paling jauh, mereka berdua hanya saling meraba, tidak sampai sejauh itu. Sebenarnya, Aera memiliki alasan tersendiri mengapa dirinya tidak datang. Memang bukan masalah dengan manager-nya, tetapi yang jelas hal itu tidak mungkin dia bicarakan dengan Hyunjin secara langsung. Dengan langkah santai, Aera keluar dari kamar Hyunjin. Dia menemukan Lira tengah duduk santai di sofa seolah tengah menanti seseorang. Gadis itu terlihat terlalu sopan dalam berpakaian di mata Aera. Lebih tepatnya jauh dibandingkan para gadis Korea pada umumnya. Dia memakai celana bahan panjang sebagai bawahan, dan atasan sebuah kaos panjang turtle neck. Seakan Lira tengah berada di area dingin, sementara menurut Aera suhu ruangan itu normal-normal saja. "Hallo, Lira. Perkenalkan, aku Aera, tunangan Hyunjin. Salam kenal." Aera menyapa Lira dengan ramah. Tidak hanya dengan gadis itu, Aera juga sudah terbiasa mengakrabkan diri dengan orang-orang yang bekerja pada kekasihnya. "Hallo, Nona Aera. Seperti yang Anda ketahui, namaku Lira. Aku asisten pribadi Kim Hyunjin yang baru. Mohon bimbingannya." Lira bangkit, dan membungkukkan tubuhnya beberapa kali sebagai bentuk ramah tamah. Berhadapan dengan Aera membuat Lira bisa melihat dengan benar bagaimana wajah wanita itu. Dia memang cantik, dan juga ramah. Pantas saja Hyunjin jatuh cinta padanya. Mereka pasangan yang serasi di mata Lira. "Santai saja, Lira. Anggap saja kita sama. Kamu tidak perlu terlalu sopan padaku. Aku dan Hyunjin sedang bertengkar kecil, dia memintaku untuk tidak datang ke sini selama satu minggu ke depan. Jadi, aku titip dia, ya? Dalam keseharian, Hyunjin jarang makan di luar. Maka dari itu, kamu harus belajar masak makanan kesukaan dia. Tanya pak Lee untuk resepnya. Aku bisa mengandalkanmu, bukan?" Aera tampaknya sangat menghawatirkan Hyunjin. Hal itu bisa Lira lihat dari ekspresi wajah wanita di hadapannya itu. Lira yakin, ketika Hyunjin dan Aera menikah, mereka akan menjadi pasangan yang saling melengkapi. Mengingat itu, Lira jadi teringat dengan kekasihnya. Mereka juga seharusnya menikah sebentar lagi, tetapi semuanya justru selesai tanpa kata putus. "Aku akan berusaha semaksimal mungkin, Nona Aera. Walaupun aku orang Indonesia, tetapi aku bisa memasak beberapa menu makanan Korea yang umum." "Wah, luar biasa. Tidak salah Hyunjin mengangkatmu sebagai asistennya yang baru. Kamu ternyata bisa diandalkan, di luar ekspetasiku. Kalau begitu, aku pulang dulu, ya? Sampai bertemu lagi, Lira." "Anda terlalu memuji, Nona Area. Baiklah, sampai jumpa. Hati-hati di jalan, Nona." Aera melangkah keluar dari unit apartemen Hyunjin. Setelah kepergian wanita itu, Lira mengernyitkan dahi. Jelas tadi dia melihat kalau Hyunjin, dan Aera berciuman romantis seperti di drama-drama favoritnya, lalu bagaimana bisa mereka bertengkar setelah itu? Daripada pusing memikirkan tentang mengapa Hyunjin, dan Aera bertengkar, juga apa yang menjadi sebab semuanya, Lira lebih memilih untuk menemui bos barunya itu. Dia berjalan ke arah kamar Hyunjin. Lira kemudian mengetuk pintu kamar Hyunjin beberapa kali. Dia mendengar suara dari video game yang tengah dimainkan lelaki itu lumayan keras. "Masuk!" sahut Hyunjin dari dalam dengan nada tegas. Seketika Lira teringat kalau lelaki itu sedang dalam kondisi perasaan yang tidak baik. Lira kemudian membuka pintu kamar bosnya itu dengan gerakan pelan. Sebenarnya Lira cukup takut kalau tiba-tiba Hyunjin meledak, dan menjadikannya sebagai objek pelampiasan rasa kesal yang dilakukannya. "Mengapa kamu asal masuk tadi? Seharusnya kamu mengetuk pintu kamarku terlebih dahulu." Hyunjin menegur Lira dengan nada dingin. "Barusan aku sudah mengetuk pintu kamarmu, Hyunjin." Lira menyahut dengan takut-takut. "Barusan kamu memang mengetuk pintu kamarku, tetapi yang pertama tadi tidak. Apa kamu sengaja melakukan itu?" "Oh, maaf. Aku sudah mengetuk, tetapi tidak ada sahutan, jadi aku asal masuk saja tadi. Aku tidak tahu kalau ..." "Lain kali, jangan masuk kalau aku tidak memberi izin. Ruangan ini kamarku, privasiku," ucap Hyunjin penuh penekanan. Mode serius dari lelaki itu cukup membuat Lira merinding. "Baik. Sekali lagi aku minta maaf. Lain kali aku tidak akan lancang masuk ke kamar kamu tanpa seizinmu." Lira benar-benar merasa bersalah. Apalagi tadi dia sempat melihat Hyunjin tengah berciuman dengan tunangannya. Sebuah pemandangan yang semestinya tidak dia lihat. "Sudahlah, yang sudah terjadi tidak perlu dibahas lagi. Ada apa? Kamu ke kamarku pasti ada hal yang mau disampaikan, bukan?" Lira hampir saja lupa akan tugasnya. Dia segera menatap Hyunjin lagi untuk sekedar menghormati lawan bicaranya. "Sudah jam makan siang. Pak Lee memintaku untuk menyuruhmu makan. Hanya itu saja." "Kalian makan duluan. Aku akan menyusul nanti." "Baiklah. Kalau begitu aku permisi," ucap Lira yang cepat-cepat ingin menghilang dari hadapan Hyunjin. Gadis itu segera berbalik, berniat meninggalkan Hyunjin saat itu juga. Dia tidak mau berada satu ruangan dengan lelaki itu sekarang. Aura lelaki bermarga Kim itu sedikit menyeramkan saat marah. Rasanya dia seperti akan dimakan olehnya dalam sekali santap. "Tunggu dulu." Kata itu sukses membuat Lira mematung. Dia meringis, memejamkan matanya, dan berdoa semoga Hyunjin tidak menyampaikan kata-kata yang menyakiti hatinya. "Ya," sahutnya. Lira terpaksa berbalik. Dia tidak berani menyahut sambil membelakangi Hyunjin. "Apa yang kamu lihat tadi jangan sampai bocor ke media. Jangan coba-coba meng-upload apapun tentangku di sosial media milikmu. Aku tidak suka ada yang mengumbar privasiku." Lagi-lagi Hyunjin berkata dengan nada dingin. "Tenang saja. Aku tahu kode etik. Kamu lihat sendiri, tadi aku tidak ada merekam kegiatan yang kamu lakukan bersama Aera." Lira membungkukkan badannya. Dia kemudian lekas berbalik dan menghilang di balik pintu. Hyunjin mendesah. Dia kesal, tetapi entah karena apa. Satu hal pasti, itu bukan karena Lira. Wanita itu hanya mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan gara-gara kekesalan yang hinggap di hati Hyunjin. Setelah jam makan siang, Lira diminta Hyunjin untuk pergi bersamanya ke Itaewon Street, daerah yang menjadi pusat perbelanjaan di Korea Selatan. Lelaki itu bilang, dia ingin Lirq membeli barang-barang yang dibutuhkan di sana. Mengingat Lira tidak membawa apapun saat pergi ke Korea. Tapi gadis itu yakin, itu bukan alasan Hyunjij yang sebenarnya. Mereka pergi ke sana bukan untuk sekedar belanja, tetapi juga sebagai bentuk usaha Hyunjin mengembalikan mood-nya yang memang sangat berantakan. "Kamu yakin hanya itu yang kamu butuhkan, Lira?" Hyunjin melontarkan pertanyaan itu pada Yura saat mereka tengah berjalan di jalanan yang ada di sana. Dia hanya ingin memastikan kalau keperluan Lira sudah tercukupi. Wajah Hyunjin hampir tidak terlihat. Lelaki itu mengenakan coat panjang berwarna abu-abu untuk menutupi sebagian besar tubuhnya. Topi dan masker berwarna senada. Tidak lupa, Hyunjin juga mengenakan kaos tangan. Hanya mata saja yang dapat dilihat, itu pun dari jarak dekat. "Ya, ini sudah lebih dari cukup, Hyunjin. Terima kasih untuk pakaiannya. Nanti kamu bisa memotong dari gajiku untuk mengganti semuanya." Lira berucap demikian karena tidak enak. Dia sudah menghabiskan puluhan ribu won untuk semua belanjaan yang ada di tangannya. "Tidak usah. Aku kelebihan uang. Untuk apa sampai harus memotong gajimu yang tidak seberapa itu. Aku yakin kamu lebih butuh nanti." Kim Hyunjin lantas mengusap kepala Lira sekilas. Hal yang semestinya tidak lelaki itu lakukan. Wajah gadis itu memanas. Beruntung ada masker yang menutupinya. Kalau tidak, dia yakin Hyunjin akan tahu kalau pipinya memerah. "O-oke. Terima kasih banyak." Hanya itu yang mampu dia ucapkan. Mereka berdua kembali saling diam. Lira sendiri tidak tahu harus membahas apa. Dia belum mengenal dekat Hyunjin. Terlebih lagi, dia canggung saat mengingat apa yang menyebabkan mereka bersama. "Aku dan Aera sedang break. Kami mencoba untuk introspeksi diri masing-masing" Kalimat itu menarik perhatian Lira. Dia mengerti sekarang. Apa alasan Aera tidak akan datang ke apartemen selama seminggu. Pantas saja gadis itu bilang kalau mood Hyunjin sedang buruk, dan memang buruk sekali. "Kenapa bisa begitu? Bukannya tadi kalian baik-baik saja?" Lira tadi sempat melihat melihat Hyunjin dan Aera berciuman. Itu yang menjadi landasan dia mengatakan kalau hubungan kedua pasangan itu baik-baik saja. "Tidak seperti yang terlihat. Kami memiliki kesalahpahaman yang mengakibatkan kami saling menuduh, Lira. Aku pikir akan semakin buruk kalau kami memaksa untuk saling bertemu. Jadi sementara waktu, aku memintanya untuk tidak datang ke apartemenku." Lira hampir tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Hyunjin baru saja menceritakan masalah pribadinya. Padahal dia selalu menyinggung masalah privasi. "Oke. Aku pikir juga begitu, Hyunjin. Kalian memang memerlukan ruang satu sama lain untuk introspeksi diri masing-masing. Apalagi kalian sudah bertunangan. Pertengkaran sebelum menikah bisa berakibat fatal." Lira mencoba menengahi. Dia tidak ingin memihak siapapun. Lagipula itu semua bukan haknya untuk ikut campur. "Kamu masih ingat soal malam itu, kan? Aera tidak datang ke kamarku. Padahal kami sudah ada janji untuk bertemu. Jauh-jauh hari sebelum aku berangkat ke Indonesia." Entah mengapa, mengingat malam itu justru membuat hati Lira menjadi sakit. Tapi dia harus tetap profesional. Dia tidak boleh terlihat sensitif di hadapan Hyunjin. "Bukannya itu situasi yang bagus? Bagaimana seandainya Hyunjin ke kamarmu, lalu melihat kita sedang melakukan itu? Dia akan marah besar, Hyunjin." Lira menyampaikan pendapatnya. "Benar juga. Dia pasti akan sangat marah. Mungkin kami akan langsung berpisah malam itu juga. Sekarang aku sedang fokus memikirkan satu hal, Lira." Hyunjin mendesah pelan. Seakan apa yang akan dia katakan selanjutnya merupakan hal yang sangat membebani pikirannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Hyunjin? Masalah pekerjaan? Jadwal kamu yang padat?" Lira berusaha menebak. "Bukan, Lira. Bukan itu yang membuatku pening. Ada hal yang jauh lebih penting dari sekedar pekerjaan, dan jadwalku yang padat," ungkap Hyunjin. Mereka terus berjalan dengan santai. Berada di antara kerumunan pengunjung yang lain. Beruntung mereka tidak mengenali penyamaran yang dilakukan oleh Hyunjin. Terlebih, warga di sana tidak pernah mau mengganggu privasi publik figur. "Lalu apa?" tanya Lira ingin tahu tanpa memaksa. "Aku sedang memikirkan tentang ... bagaimana kalau kamu sampai mengandung anakku. Apa yang harus aku katakan pada Aera? Keluargaku juga pasti akan terkejut. Selama ini aku tidak pernah membuat kesalahan di mata mereka." Wanita itu tersenyum kecut. Dia juga tidak tahu bagaimana kalau hal itu sampai terjadi. Lira tidak punya siapa-siapa di Seoul. Dia tidak tahu harus berbagi penderitaan dengan siapa kalau sampai dia hamil di luar nikah bersama sang aktor. Sedangkan Hyunjin sudah memiliki kehidupannya sendiri. "Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi, Hyunjin. Kamu sendiri yang bilang kalau melakukannya sekali tidak pasti mengakibatkan kehamilan, bukan?" ucap Lira berusaha santai. "Aku harap juga begitu," sahutnya seraya mendesah kecil. Lira mengerti, Hyunjin tidak pernah mengharapkan anak itu tumbuh di dalam rahimnya. Semua yang mereka lakukan hanyalah sebuah kesalahan. Tapi bagaimana kalau takdir yang menghendaki? Lira juga tidak tahu harus bagaimana nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN