8. Bukti Baru

1210 Kata
“Pak Mahesa ingin bicara denganmu.” Si Manajer menjelaskan maksud  kedatangan Mahesa. Ketika sorot mata yang tajam menjadi menjadi cara menyampaikan kegeraman, tidak ada tempat bersembunyi bagi mereka yang terkena paparannya, begitupun dengan Ziya. Wanita itu hanya mampu mematung ketika si manajer memberi tahunya. Gerakan otot wajah Mahesa yang menunjukkan ketidaksenangan menahan gerak Ziya untuk bertindak lebih dan berbicara. “Boleh saya membawa Ziya sebentar untuk bicara di tempat lain?” Mahesa melirik arloji di tangan kirinya. “Saya dan Ziya akan kembali jam 23.00.” “Silakan, Pak Mahesa.” Si Manajer tampak jelas tidak punya kemampuan untuk menolak Mahesa. Kepopuleran nama Van Hezkiel sebagai nama keluarga besar Mahesa tetap memberi pengaruh dalam kehidupannya. Meskipun selama ini Mahesa enggan mengumbar nama besar keluarganya dan lebih senang memanggil dirinya sendiri dengan nama Mahesa Manggala, tetapi dalam setiap dokumen legal yang menyangkut eksistensi dirinya termasuk akta kelahiran dan ijazah, nama Van Hezkiel tetap tertera di belakang namanya. “Terima kasih, Pak. Kalau begitu, saya permisi.” Mahesa bangkit dari duduknya dan si manajer merespons dengan anggukan yang disertai senyum ramah. Ia lalu berjalan dengan pandangan lurus ke arah pintu tanpa memedulikan kehadiran Ziya. Pria itu seolah-olah yakin jika Ziya pasti akan mengikuti langkahnya. Sikap Mahesa yang terkesan tidak ramah malam itu sekali lagi menciptakan tanda tanya besar dalam benak Ziya. Seperti malam kemarin, tepatnya pagi tadi,  Ziya merasa Mahesa masih belum puas menghakiminya atas segala tindakan yang telah ia ambil untuk bertahan hidup yaitu soal pekerjaan. “Saya permisi, Pak.” Tanpa dikomando Ziya akhirnya mengikuti Mahesa. Suara langkah wanita itu pun terdengar berada di belakang Mahesa. Mencegah keributan dan tidak ingin debatnya dengan Mahesa menjadi tontonan adalah pilihan paling bijak yang bisa ia lakukan malam itu. Mahesa masih memasang raut wajah angkuh sampai mereka tiba di apartemen yang sama saat pria itu menghakimi perihal pekerjaan Ziya pagi tadi. Ia menempelkan kartu akses ke panel sensor lalu membuka pintu dan menyalakan lampu. Sambil bersedekap di samping birai pintu, tatapan tajamnya terus memperhatikan langkah hati-hati Ziya memasuki ruang apartemen. Kecemasan disertai rasa takut terlukis jelas di raut wajah wanita itu. Embusan napas Ziya yang pendek-pendek mempertegas ketegangan yang sedang dirasakannya. Sambil memegang erat tali tas sling bag hitam-nya, Ziya berdiri di dekat sofa menunggu Mahesa mempersilakannya duduk. Sayangnya, ia dan Mahesa hanya saling berpandangan saja selama beberapa saat. Kesunyian yang menyelebungi mereka selama hampir setengah jam akhirnya pecah oleh tudingan yang dilontarkan Mahesa sesaat kemudian. “Apa yang kamu sembunyikan dariku tentang Rafa?” Ziya berusaha mencerna apa yang dituduhkan Mahesa. Sementara ia memutar otak mencari jawaban, tatapan kosongnya terarah kepada pria itu. Ziya sama sekali tidak paham apa yang dituduhkan Mahesa kepadanya. Ia sudah menjelaskan semua yang ia ketahui tentang Rafandra dan hubungan asmara mereka kepada Mahesa dan orangtuanya. Apa lagi? Mahesa menutup pintu lalu mendekat pada Ziya. Jarak mereka yang kurang dari lima puluh sentimenter membuat pandangan Ziya terkunci oleh keangkaraan yang mewarnai wajah Mahesa. Rahang pria itu tampak mengeras dan napasnya memburu menahan marah. “Aku tanya sekali lagi, apa yang kamu sembunyikan tentang Rafa, tentang kondisi keuangan pribadi dan perusahaannya?” Ziya menggelengkan kepala. Pancaran matanya seketika meredup dan kecemasan tampak mengental membentuk kabut bening yang melapisi bola mata. “Aku tidak tahu.” “Tidak tahu? Bullshit!” Mahesa tersenyum sinis dan tatapannya menajam menyeruak menyerang pertahanan Ziya. “Kamu bilang akan menikah dengan Rafa, tapi kamu tidak tahu apa-apa tentang dia. Bukankah ini aneh?” “Aku tidak tahu kondisi keuangan Mas Rafa.” “Tentu saja kamu tidak tahu karena yang kamu tahu hanya meminta dan menerima.” “Itu tidak benar!” Ziya menyangkal. Celaan tidak langsung yang dilayangkan Mahesa telah menjatuhkan harga dirinya. Napasnya tersekat di tenggorokan dan kian sesak. Dengan suara yang dipaksakan, Ziya membela diri. “Aku tidak pernah meminta apa pun dari Mas Rafa. Mas Rafa sendiri yang memberiku.” “Jadi, sekarang kamu ngaku kalau Rafa memberimu uang?” Mahesa melemparkan tatapan skeptisnya ke arah Ziya. Ziya mengangguk lalu mensejajarkan pandangan memberanikan diri menyambut tatapan penuh curiga Mahesa. “Iya. Mas Rafa yang memintaku berhenti bekerja. Ia memberiku uang untuk kebutuhan sehari-hari selama aku mengurus rencana pernikahan kami.” “Hanya itu?” Mahesa meyakinkan. “Iya, hanya itu saja.” Mahesa kembali bersedekap. Tatapannya mengunci tatapan Ziya yang tampak rikuh. “Berapa banyak Rafa memberimu uang untuk kebutuhan sehari-hari?” “Sepuluh juta.” Mahesa tertawa mencemooh. “Seorang Rafandra Van Hezkiel memberi uang belanja harian tunangannya hanya sepuluh juta rupiah untuk beberapa minggu? Are you kidding me?” “Menurutku jumlah itu cukup besar.” Mahesa berdecak kesal. Ia menurunkan kedua tangannya berkacak pinggang dan kembali memasang raut wajah sinis. “Kamu itu bodoh atau pura-pura bodoh, Ziya? Atau, kamu memang terlalu naif? Kamu masih hidup dan tinggal di planet yang bernama bumi. Di sini masih ada manusia dan peradabannya. Sebelum menikah, seharusnya kamu tahu benar siapa calon suamimu. Rafa tidak pernah menyepelekan kebutuhan wanitanya.” Mahesa mengangkat kedua tangannya yang terbuka ke samping wajah. “Oke, kita sudahi obrolan konyol ini. Berhenti berpura-pura bodoh!” Ziya semakin tidak mengerti maksud Mahesa. Wanita itu tampak kebingungan. Ia hanya menanti apa yang akan dilakukan dan dikatakan Mahesa tanpa mempunyai stok jawaban. “Katakan padaku berapa jumlah saldo yang ada di rekening bankmu?” Mahesa melanjutkan dengan sesi interogasi. “Maksud Mas Mahes—“ “Jawab.” Mahesa memotong dengan tegas. “Mungkin hanya ada sekitar lima ratus ribu,” jawab Ziya tidak yakin. “Jumlah saldo di bank lainnya?” Ziya mengernyitkan dahi sambil menggelengkan kepala. “Aku tidak punya rekening di bank lain selain di BIA.” Mahesa mengembus napas panjang. Ia memejam sesaat meredam emosi yang kian bergejolak dalam diri. “C’mon, Ziya! Sekali ini saja, aku mohon kamu berkata jujur. Aku perlu tahu kenapa Rafa menghilang, apakah ia sengaja menenggelamkan diri atau ada seseorang yang membuatnya tenggelam.” Sengatan rasa perih membanjiri tubuh Ziya. Tuduhan Mahesa kali ini sungguh di luar dugaan. Secara gamlang pria itu sudah mendakwa dan memaksanya mengakui hal yang tidak ia ketahui. “Aku sudah mengatakan semuanya, Mas. Aku bersumpah aku tidak punya rekening di bank lain selain BIA.” “Oh, hell! Stop pretending to be a fool!” Mahesa meluapkan kekesalan dengan mendorong kencang pundak Ziya hingga punggung wanita itu membentur dinding dan menjerit. Menyadari tindakan impulsif Mahesa yang bisa membahayakan dirinya, Ziya berusaha berlari ke arah pintu. Namun, cekalan tangan Mahesa menahannya dan membuatnya tidak berdaya berada dalam cengkeraman tangan kuat pria itu. Mahesa kembali mendorong tubuh langsing Ziya, membuat punggung wanita itu melekat dengan dinding apartemen. Mahesa lalu mencekal kedua tangan Ziya dan meletakkan di samping wajahnya yang memucat. Tubuh Ziya yang gemetaran dan mata cokelatnya yang memancarkan ketakutan perlahan-lahan menurunkan tensi amarah Mahesa yang tengah meledak-ledak. Mahesa mengurangi jarak dengan Ziya hingga tubuh mereka nyaris merapat. Wajahnya berada di samping wajah Ziya. “Maaf, aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku hanya ingin kamu bicara jujur,” tutur Mahesa dengan suara pelan hampir berbisik. “A-ku sudah berkata jujur,” balas Ziya sambil terisak-isak. “Kamu masih berbohong, Ziya. Aku punya bukti kalau kamu punya rekening di bank lain dengan jumlah saldo yang fantatis. Kamu tahu? Saldo itu berasal dari rekening bank Rafandra Tarangga Van Hezkiel.” Ziya terpangah mendengar uraian Mahesa. Tidak mungkin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN