“Dari mana lu?” Bima baru saja duduk ketika Mahesa kembali ke meja mereka.
“Dari toilet.” Mahesa berbohong lalu menarik kursi dan duduk. Ia berharap Bima tidak menyadari keberadaan Ziya di sana. Bima sudah cukup banyak membantunya. Masalah kebohongan Ziya yang baru saja terungkap olehnya, sebaiknya ia simpan dulu sendiri, pikir Mahesa.
Sampai kedua rekannya yang lain kembali duduk dan kelab hampir tutup, pria-pria lajang itu akhirnya memutuskan untuk membubarkan diri, pulang. Mahesa sengaja memperlambat langkah menuju pelataran parkir membiarkan Bima dan kawan-kawannya yang lain pulang lebih dulu. Ia kemudian mengitari setengah luas gedung kelab dan berdiri di antara pohon-pohon bunga kertas beberapa meter di depan pintu darurat, pintu yang biasa dilalui karyawan kelab tersebut. Sekitar lima belas menit menunggu, akhirnya beberapa karyawan keluar dari sana termasuk Ziya.
"Ziya!" Ziya terperanjat saat Mahesa menyapa. Ia nyaris tidak mengenali Mahesa ketika pria itu tiba-tiba menghampirinya. Langkahnya otomatis terhenti dan tatapan penuh keterkejutan menyeruak ke arah Mahesa. Ia tertegun selama beberapa saat mengambil waktu untuk dirinya menyadari kehadiran kakak tunangannya di sana.
“Siapa, Zi?” bisikan teman perempuan Ziya yang turut berhenti berjalan mengembalikan konsentrasi Ziya.
Ziya menelan ludah dengan susah payah. Kebingungan tampak mewarnai air mukanya, tapi ai kemudian menjelaskan dengan setenang mungkin. “Dia kakaknya Mas Rafa. Kamu duluan saja ya. Aku nanti menyusul.”
“Kamu yakin enggak mau ditemenin?” Kekhawatiran terangkum dalam pertanyaan teman Ziya.
Ziya menggeleng. “Tidak apa-apa.”
“Ya, sudah. Aku pulang duluan ya.”
Setelah langkah temannya tidak terdengar lagi, Ziya berjalan menghampiri Mahesa. Antisipasi membanjiri diri ketika matanya menemukan tatapan Mahesa yang memancarkan kilat aneh yang tidak bisa ia terjemahkan dalam kata-kata.
“Bisa kita bicara?” Nada tanya Mahesa terdengar memerintah.
Ziya mengangguk. “Iya, Mas. Ada apa?”
Mahesa melirik ke kanan dan ke kiri. “Tidak di sini.”
Mahesa berjalan mengitari gedung kembali ke pelataran parkir dan Ziya mengikuti langkahnya di belakang. Pemandangan SUV hitam milik Mahesa yang berada di antara dua mobil sedan menghentikan langkah Ziya. Hati wanita itu mencelus tatkala bayangan malam panas di bukit tempo hari melintas di depan mata. Di dalam mobil itu semuanya bermula. Dari dalam sana perasaannya mulai terpatri pada sosok Mahesa, meskipun akhirnya ia menemukan Rafa.
“Masuk.” Rasa canggung lantaran tidak sengaja mengingat kenangan yang sama dengan Ziya pun mengalir dalam denyut nadi Mahesa. Rikuh mulai terpancar di mata dan sikapnya.
Ziya berusaha mengatur napas agar dirinya lebih tenang dan masuk ke mobil Mahesa seperti tanpa beban. Suasana di dalam mobil hening setelah melesat di jalanan pagi ibukota. Hanya suara mesin yang menjadi musik pengantar perjalanan. Terbius diam karena kenangan yang kembali menantang membungkam mulut Ziya untuk mengatup rapat. Begitupun, Mahesa. Pria itu tampak canggung. Pandangannya yang terfokus ke jalanan terganggu oleh bayangan peristiwa yang enggan hilang dari ingatan. Sekitar dua puluh menit kemudian, mobil yang dikendarai Mahesa memasuki area parkir basemen sebuah gedung apartemen.
“Seharusnya aku tidak membawamu ke sini jika situasinya berbeda. Aku hanya ingin bicara dan aku minta kamu jujur padaku. Itu saja,” cetus Mahesa sesaat setelah mematikan mesin mobilnya.
Ziya menoleh ke arah Mahesa. Ada seuntai tuduhan tersirat dari ucapan Mahesa yang membuatnya penasaran. “Saya sudah ju—“
“Kita bicara di dalam.” Mahesa memotong dengan nada tegas lalu keluar dari mobil.
Ziya hanya bisa mengikuti langkah Mahesa. Pertanyaan besar telah terbentuk di benaknya. Selama ini ia tidak sedang berusaha menyembunyikan apa pun selain perasaan terpendamnya pada pria itu. Saling diam kembali terjadi saat keduanya memasuki lift dan keluar di lantai enam.
“Silakan.” Mahesa mempersilakan Ziya masuk setelah membuka pintu dan menyalakan lampu apartemennya.
Dengan perasaan cemas yang menyelimuti, Ziya melangkah masuk. Mahesa yang sekarang sangat berbeda dengan Mahesa yang ia kenal di atas bukit itu. Mahesa yang bersamanya bagai dua sosok yang berbeda dengan Mahesa yang sepintas ia kenal dulu. Ziya masih berdiri mematung ketika Mahesa memintanya duduk.
“Duduk,” pinta Mahesa yang terdengar menyerupai sebuah titah.
Ziya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan serba putih tulang sebelum memilih duduk di sofa yang terdekat dengannya. Jantungnya berdebar kencang dan pikirannya travelling ke mana-mana memprediksi apa yang akan dikatakan Mahesa.
Kini, mereka duduk berhadapan. Rasa tidak nyaman dan canggung menyentuh dinding hati keduanya. Namun, Mahesa sebisa mungkin Mahesa menepis semua rasa itu. Masa lalu yang tidak terkendali tidak seharusnya menjadi bumerang yang akan melembutkannya.
“Kenapa kamu berbohong?” tanya Mahesa tanpa prakata.
Ziya mengangkat pandangan hingga selevel dengan pandangan Mahesa. “Berbohong apa maksud Mas Mahesa?”
“Kamu bilang kamu kerja di sebuah showroom mobil, tapi kenyataannya kamu seorang pelayan kelab malam.”
Ziya menelan ludah dengan susah payah lalu menurunkan pandangan.
“Apakah Rafa tahu kamu bekerja di kelab malam?”
Ziya menggeleng. “Tidak. Mas Rafa tidak tahu. Mas Rafa hanya tahu aku kerja sebagai SPG di showroom mobil.”
“Kenapa kamu tidak bilang sama Rafa kalau kamu bekerja di sana? Kenapa kamu harus mengaku-ngaku menjadi SPG di showroom mobil?” Mahesa memberondong Ziya dengan pertanyaan.
“Aku tidak bohong. Aku memang bekerja sebagai SPG di sebuah showroom mobil tapi aku sudah mengundurkan diri setelah bertunangan dengan Mas Rafa. Mas Rafa tidak mengizinkanku bekerja. Dia memintaku untuk tinggal di rumah dan mempersiapkan pernikahan kami. Selama beberapa minggu ini Mas Rafa yang menanggung biaya hidupku. Setelah Mas Rafa ....” Ziya menghentikan ucapannya lalu menunduk. Jantungnya kembali berdebar kencang. Ia merasa seperti sedang dihakimi oleh Mahesa karena pekerjaan yang untuk sebagian orang dianggap sebagai pekerjaan “kurang baik”.
“Aku butuh pekerjaan untuk menghidupi diriku. Aku tidak bisa terus menumpang hidup pada Bang Damar. Bang Damar hanyalah seorang buruh pabrik. Istrinya menderita ginjal kronis dan harus melakukan hemodialisis tiga kali dalam sepekan. Aku tidak mau menyusahkan Bang Damar,” lanjut Ziya. Ia mengangkat wajah kemudian menatap Mahesa. “Aku baru bekerja dua malam di kelab.”
“Apa ceritamu ini bisa kupercaya?” Keraguan tampak nyata dalam pertanyaan Mahesa. “Yang kutahu selama ini, setiap wanita yang pernah menjadi kekasih Rafa mendapat untung banyak. Rafa tidak segan merogoh koceknya dalam-dalam hanya untuk menunjukkan kesuperiorannya dengan memberi kesenangan dalam bentuk materi pada kekasihnya,” lanjut Mahesa.
Tudingan Mahesa menusuk-nusuk hati Ziya. Secara tidak langsung pria itu telah mendakwanya mendapatkan sesuatu yang besar dari Rafa.
“Aku memang bukan perempuan baik-baik, Mas. Mas tahu sendiri malam itu ....” Ucapan Ziya terhenti. Ia menghela napas untuk mengumpulkan keberanian agar bisa berkata lebih banyak. “Malam itu ... tidak ada perempuan baik yang mau melakukan hal itu dengan pria yang baru saja ia temui. Namun, Mas salah besar jika menganggap hubunganku dengan Mas Rafa hanya karena ingin mendapatkan untung banyak. Aku tulus menyayangi Mas Rafa. Aku tidak ingin apa-apa darinya selain kebersamaan dan cinta kami. Jika aku harus menjadi pelayan kelab malam, itu karena aku butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidup.”
Sengatan keterkejutan menghampiri Mahesa dan dengan efektif memadamkan tuduhan menggebunya pada Ziya. Sindiran Ziya akan peristiwa malam itu membuatnya mengembuskan sesal yang ia pendam dalam-dalam di hatinya. Mahesa membuka mulut dan memejam sesaat sebelum bicara.
“Aku minta maaf atas peristiwa malam itu. Aku tidak bermaksud menjadikanmu perempuan yang tidak baik karena ....” Mahesa menatap wajah Ziya yang terlihat menegang. “Aku dan kamu tahu bahwa malam itu adalah yang pertama untukmu.” Mahesa mengembus napas pendek.
Kenangan malam panas yang masih melekat dalam ingatan terlukis kembali di mata Mahesa. Usaha penyatuan tubuh yang terasa sangat sulit dan memerlukan perjuangan ekstra tidak bisa mengingkari kebenaran bahwa Ziya, saat itu, belum ternoda dan Mahesa-lah orang pertama yang menggoreskan tinta dalam kehidupan wanita tersebut.
Ziya menurunkan pandangan. Ia sama sekali tidak bermaksud mengungkit kembali peristiwa malam itu. Ia telah menutup cerita cinta semalam tersebut dengan berusaha menemukan cinta baru untuk seumur hidup. Namun, tudingan Mahesa membuat Ziya membuka kembali cerita dosa terindahnya.
“Kenapa kamu pergi begitu saja waktu itu?” Mahesa mulai mengesampingkan akar masalah yang sebenarnya ia ingin bicarakan dengan Ziya. Penyesalan dan pertanyaan yang tersimpan di kepalanya selama lebih dari enam bulan akhirnya terlontarkan satu per satu.
Ziya membasahi bibir lalu menghela napas dalam-dalam. Ia memaksa netranya memandang wajah Mahesa. “Aku rasa kita tidak perlu membicarakan hal itu. Aku sudah melupakannya.”
Pundak Mahesa melorot, begitupun dengan harga dirinya. Kekecewaan tampak jelas di mata abu-abunya yang menggelap. Ziya sudah enggan mengingat kejadian malam itu. Malam itu tidak berarti apa-apa baginya, pikir Mahesa. Oke. We act like we’ve never met before.
“Kenapa kamu harus bekerja di kelab malam? Apa kamu tidak memikirkan segala risikonya?” Mahesa berusaha keras mejaga sikap dengan langsung mengalihkan pembicaraan ke arah yang seharusnya.
“Sementara ini, hanya pekerjaan itu yang bisa kudapatkan. Jika aku punya ijazah yang lebih tinggi dan punya koneksi, mungkin aku bisa dengan mudah mendapat pekerjaan yang lebih baik. Asal Mas tahu, tidak semua perempuan yang bekerja di kelab malam itu perempuan bej*t.”
“Aku tahu dan paham akan hal itu, Ziya. Aku tidak men-judge perilaku para pekerja di sana. Aku hanya mengkhawatiran risiko s****l harrasment yang akan menimpa para karyawan perempuan, terutama waitress, cenderung lebih besar di tempat kamu bekerja itu.”
Ziya mendesah kesal. Mahesa sudah terlalu jauh mencampuri urusan pribadinya dengan membicarakan masalah pekerjaan. “Semua itu risiko yang harus diterima para pelayan. Aku rasa Mas tidak punya kapasitas untuk melarang atau memperingatkanku.”
“Aku memang tidak punya kapasitas untuk melakukan semua itu. Toh, aku bukan siapa-siapanya kamu.” Mahesa menandaskan dengan geram. Ia lalu berdiri. “Kurasa obrolan kita sudah cukup. Aku sudah mengetahui informasi tentang SPG dan showroom itu,dan aku harap kamu tidak berbohong.”
Sekali lagi keraguan Mahesa yang ia lontarkan telah merenggut ketenangan Ziya. Pria itu masih menyimpan keraguan kepadanya. Semua yang ia ucapkan sukses meremas jantungnya.