Belinda yang polos

1264 Kata
"Hem, kita mau ke mana?" Belinda bertanya kepada Raffa yang tengah sibuk menyetir. Wanita bermata biru itu tak henti memandang ke arah luar jendela, yang menurutnya sangat asing. Dua puluh menit yang lalu, Raffa membawanya pergi dari diskotek. Tanpa mengatakan apa pun, pemuda tersebut mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dikunjunginya. "Kita ke hotel. Emang mau ke mana lagi? Kalau enggak ke sana." Raffa menjawab pertanyaan Belinda dengan gaya khasnya yang datar dan suara yang terdengar dingin. Belinda sontak menoleh ke samping—menatap pemuda yang baru saja dikenalnya dengan alis tertaut. Seperti orang bodoh, Belinda yang sama sekali belum paham dengan apa yang tengah dilakukannya jelas melontarkan pertanyaan konyol. "Hotel?" Raffa cuma mengangguk tanpa bersuara. Meski dalam benak pemuda itu merasa aneh dan bertanya-tanya. Bulu kuduk Belinda seketika berdiri. Entah kenapa mendengar kata Hotel, dia mendadak jadi gelisah. Lamunan wanita itu buyar manakala Raffa menghentikan mobilnya. "Ayo turun. Kita udah sampai," ajak Raffa setelah melepas seat belt dari tubuhnya. Namun, ketika dia hendak membuka pintu mobil, Belinda menyentuh lengannya tiba-tiba. "Tunggu dulu!" seru Belinda dengan tatapan mata yang terlihat cemas. Raffa berbalik lantas bertanya, "Ada apa?" Keningnya mengernyit heran saat menatap Belinda yang terlihat aneh. "Kamu kenapa? Kok pucet?" Refleks tangannya terjulur dan menempelkannya di kening Belinda. "Dingin." Raffa menarik tangannya kembali. Dia tidak melihat tanda-tanda Belinda sakit. "A-aku cuma ...," Belinda masih memegang lengan Raffa dengan posesif. Kegugupan telah membuatnya tidak sadar, bila dia sudah menyentuh pria lain. Tingkah Belinda yang aneh jelas saja membuat Raffa jadi pusing. "Cuma apa? Ayo turun. Kan kita mau ...." ucapannya terjeda sesaat. Raffa menatap lekat-lekat wajah Belinda yang tidak lepas menatapnya. Jantung wanita itu sudah berdebar tak keruan. Ini pertama kalinya dia pergi ke Hotel bersama pria asing. Dia cuma takut, jika ada seseorang yang mengenalinya. "Hem, sebenarnya aku takut." Pengakuan Belinda barusan jelas saja membuat Raffa semakin bingung. Pemuda yang saat ini memakai kemeja berbahan jeans tersebut kemudian bertanya, "Takut kenapa, hem?" Raffa menatap lamat-lamat wajah Belinda yang masih terlihat cemas. "Aku takut kalau kita ke tempat umum, suamiku atau seseorang yang kenal denganku ada di sini," ungkap Belinda akhirnya. "Terus gimana?" Raffa seakan tidak peduli dengan ketakutan yang melanda klien barunya itu. "Hem? Sekarang mau kamu apa?" tanyanya dengan kesabaran yang hampir menipis. 'Heuh! Untung cakep. Kalau enggak, udah gua suruh turun daritadi.' Gerutunya dalam hati. "Gimana kalau kita ke tempat kamu? Hem, kamu ada rumah atau apartemen?" tanya Belinda dengan polosnya. Namun, tidak dengan Raffa yang sekarang ini hampir meledakkan kemarahannya. 'Ck! Ya kali gua ngajak dia ke apartemen.' Pemuda itu membatin. Alasannya kesal ialah bila selama ini dirinya tidak pernah membawa seorang perempuan ke apartemennya. Selama hampir tiga tahun dia menjalani profesi sebagai lelaki penghibur. Raffa paling anti membawa pulang seorang perempuan. Dia selalu menghabiskan malam-malam panasnya di Hotel. "Gimana?" Belinda bertanya lagi, sebab Raffa tidak menghiraukan permintaannya. "Ya, udah. Kalau enggak bisa, aku pulang aja." Dia melepaskan lengan Raffa, lalu berbalik. "Eh, tunggu! Mau ke mana?" Giliran Raffa menyentuh lengan Belinda, yang hendak membuka pintu. Belinda berbalik badan lantas menyahut, "Aku mau pulang aja. Kayaknya kamu juga enggak setuju kalau kita ke rumah kamu." Mendengar itu, Raffa sontak berpikir sejenak. 'Bisa berabe ini urusannya. Kalau Mami Kumala tahu.' Batinnya menyeru—dia tentu saja tidak mau mami Kumala sampai tahu perihal ini. Bisa-bisa malam ini Raffa kehilangan honornya. Demi apapun, jika tidak karena duit, Raffa tidak akan sudi membawa perempuan ke apartemen. 'Ck! Baru ketemu aja udah nyusahin.' "Emang kata siapa aku enggak setuju?" Pemuda itu berkilah. "Habisnya tadi diem aja. Aku pikir kamu enggak setuju kalau kita pindah tempat." Belinda menarik tangannya dari pintu mobil. Dia lantas menghadap Raffa. "Ayo. Kita ke apartemen kamu aja." Belinda tersenyum sangat manis sekali, membuat kekesalan Raffa seketika menguap entah ke mana. 'Heuh .... jadi enggak sabar pengen nyobain.' eh? "Ayo." Raffa kembali ke posisi semula. Dia menghidupkan kembali mesin mobil lalu menginjak pedal gas, melesat dari Hotel tempatnya biasa menginap menuju apartemen. Baru kali ini Raffa mendapat klien yang merepotkan. Tidak seperti tante-tantenya yang lain. Yang ganjen dan menurut kepadanya. Belinda memang berbeda dari segi sifat mau pun penampilan. Kebanyakan dari klien Raffa selalu berpenampilan seksi dan menarik. Memakai baju terbuka dan berdandan menor ala-ala apalah itu sebutannya. Tak butuh waktu lama, Raffa dan Belinda tiba di gedung bertingkat itu. Apartemen elit yang terletak di tengah kota dengan berbagai macam fasilitas lengkap dan mahal pula. Harganya pun tidak main-main. Raffa harus merogoh kocek yang dalam untuk mendapatkan hunian yang super wah tersebut. Semuanya dia dapatkan dengan hasil menjual diri. Mungkin terdengar lucu dan menjijikkan. Selama hampir tiga tahun Raffa hidup dari hasil memuaskan para wanita-wanita yang haus kepuasan. Belinda yang melihatnya saja dibuat takjub. Dia pikir, Raffa tinggal di rumah biasa atau apartemen sederhana. Namun, dugaannya ternyata salah. Raffa tinggal di apartemen mewah dan sangat bagus. "Kamu tinggal di sini?" tanyanya, begitu heels di kakinya menginjak lantai apartemen Raffa yang mengkilap. Ruangan besar itu benar-benar bersih dan wangi. Semua perabot di dalamnya bermerek dan modern. Tak ada yang mengira jika seorang pemuda lajang yang tinggal di sini. "Iya." Raffa menjawab sambil berlalu dari hadapan Belinda yang masih terlihat sibuk mengelilingi tempat tinggalnya. Pemuda itu menuju pantry, lalu membuka lemari es. "Mau minum apa?" tawarnya kemudian. "Apa aja." Belinda menghampiri Raffa ke pantry. Kemudian dia duduk di bar mini yang kebetulan juga tersedia di sana. "Waow. Mini bar." Pemuda itu lantas mengambil minuman yang selalu tersedia di lemari es. Apalagi kalau bukan minuman bintang favoritnya. Dia meraih dua kaleng lalu menutupnya lagi. Raffa mendekat dan duduk di samping Belinda. "Ini. Di sini cuma ada ini." Menyodorkan kaleng yang dia bawa. Belinda tersenyum, lantas berucap, "Enggak apa-apa. Asal jangan minuman beralkohol." Dia mengambilnya lalu membuka tutup kaleng tersebut, tetapi rupanya cukup sulit. Raffa yang melihatnya jadi menawarkan diri untuk membantu. "Sini aku bukain." Setelah terbuka dia menyodorkannya kembali ke Belinda. "Thanks." Belinda menenggaknya hingga tersisa separuh. Tenggorokannya menjadi segar, dan agak tergelitik dengan soda yang terkandung dalam cairan dingin berkarbonasi tersebut. Sejenak keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Belinda tak pernah menyangka jika dirinya berani melangkah sejauh ini. Pergi ke luar rumah tanpa seizin dari suaminya. Sedangkan Raffa, diam-diam menelisik perempuan yang ada di sebelahnya sambil berpura-pura menikmati minumannya. Tubuh yang langsing, mata yang indah, hidung yang mancung, ditambah adanya tahi lalat yang berada tepat di antara dagu dan bibir. Menambah kesan manis saat sedang tersenyum. Belinda benar-benar sangat sederhana dan elegan. Dari caranya bicara pun terkesan lemah lembut, namun menggemaskan. Sedikit polos dan apa adanya. "Suamimu profesinya apa?" tanya Raffa, setelah begitu lama terdiam dan sibuk memindai Belinda. Dia merasa ingin tahu lebih banyak lagi tentang wanita pendiam ini. Belinda agak lama menjawab pertanyaan Raffa. Dia seperti tengah menimbang-nimbang jawabannya. "Hem ... suamiku punya usaha ekspor impor di Bandung." Singkat dan padat. Raffa manggut-manggut. "Alasanmu mencari kesenangan apa? Maaf aku terlalu banyak bertanya," tanyanya lagi. "Cuma pengen menghibur diri aja. Aku bosan. Makanya aku minta Mbak Dini buat nyariin hiburan. Eh, malah dia ngasih kamu ke aku." Belinda terkekeh. Dia pikir hiburan yang diberikan Dini sesuatu yang lain. Namun rupanya, Dini malah mengenalkannya pada Raffa. Raffa mengernyit. "So? Sekarang atau nanti?" Pertanyaan Raffa jelas memudarkan senyum Belinda. "Apa?" Wajah polos Belinda semakin menambah rasa penasaran di hati Raffa. Pemuda berlesung pipi itu beringsut maju lantas berbisik di telinga Belinda. "Petualangan kita malam ini." Dengan berani Raffa mengecup telinga Belinda yang membeku di tempatnya. "Atau kita main di sini aja." Kecupan mesra itu beralih ke pipi tirus Belinda yang betah mematung. Belinda menelan ludahnya berkali-kali. Terpaan napas Raffa yang hangat membuat darahnya berdesir. Dia hanya mampu mengerjapkan kelopak matanya tanpa bersuara. Otaknya mendadak buntu. #####
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN