Selamat membaca
Karena pemotretan berjalan lebih cepat dari dugaannya, Jadi Leylin memutuskan untuk kembali mencari objek yang menarik untuk difoto seperti biasanya.
Meskipun sudah mendapatkan pekerjaan tetap, tapi Leylin merasa harus tetap memotret berkeliling seperti ini. Karena masih banyak lagi pemandangan dan tempat-tempat indah lainnya yang harus diexplore.
Jika memiliki uang yang cukup, Leylin sudah berencana ingin berkeliling Indonesia dan memotret setiap sisi mengagumkan dari tempat-tempat langka yang belum pernah dilihat orang-orang. Dia ingin menunjukkan keindahan Indonesia kepada dunia. Mungkin memang terdengar berlebihan, namun itulah bentuk kecintaan Leylin kepada tanah air. Dia ingin negaranya bisa lebih dikenal oleh dunia seperti negara besar lainnya.
Saat Leylin tengah berjalan, tiba-tiba ponselnya berdering. Dia memindahkan tas punggung ke depan, lalu membuka tas dan merogoh ponsel di dalam.
Dita?
"Kenapa, Dit?" tanya Leylin heran karena tidak biasanya Dita menelepon dirinya. Dita hanya akan menelepon jika anak-anak komunitas mengadakan perkumpulan.
"Lin, Felix masuk rumah sakit. Kecelakaan tadi pagi tabrakan sama mobil. Anak-anak lain mau jenguk hari ini, lo mau ikut juga nggak?"
"Gue ikut, jenguk jam berapa?"
"Ini gue lagi ngabarin ke yang lain dulu. Kalau semua udah pada kumpul, kita berangkat bareng-bareng."
"Ya udah, gue ke kosan lo sekarang."
"Oke, gue tunggu."
Leylin segera mengambil motor dan menuju ke tempat kost Dita yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya sekarang.
Setelah tiba di tempat tujuan, Leylin agak kesulitan mencari tempat untuk memarkirkan motor karena banyak motor yang terparkir di depan rumah kost Dita. Tidak heran jika semua anggota berniat untuk menjenguk Felix, pasalnya Felix adalah ketua dari komunitas fotografer ini. Ditambah lagi mereka juga memiliki rasa solidaritas yang tinggi dan setia kawan.
"Lin, lo datang juga?" tanya Bayu salah satu anggota komunitas, sekaligus sahabat Felix.
"Iya, tadi gue dikabarin Dita."
"Gue kira lo diculik alien, soalnya lo nggak pernah ikut kumpul lagi sama anak-anak lain," sindirnya.
Leylin mendengus kesal. "Gimana mau ikut, setiap kali ada gue Felix malah kelihatan nggak suka," tukas Leylin malas.
"Dia nggak suka karena lo sering digodain sama anggota lain. Felix sebenernya cemburu, tapi dia gengsi mau bilang," gurau Bayu.
"Betul, Bay. Si Felix kan suka sama Leylin. Makanya dia nggak suka Leylin ikut gabung kalau anggota kita ngadain perkumpulan. Secara komunitas kita kan anggotanya isinya cowok semua, yang cewek bisa dihitung pakai jari." Faisal menimpali dengan candaan.
Leylin memutar bola mata jengah. "Btw, si Felix kok bisa ketabrak gimana ceritanya?"
"Yah, lo tau sendiri lah gimana Felix kalau udah bawa motor. Ugal-ugalan kayak mau ngajak mati. Manusia satu itu kalau belum kecelakaan begini, nggak bakalan sadar dia." Bayu menjelaskan sembari mencibir Felix.
"Padahal sayang banget motornya jadi rusak gara-gara Felix gembel itu. Kalau motor ecek-ecek si nggak apa-apa, masalahnya itu motor gede Kawasaki, gila! Mentang-mentang dia anak orang kaya, jadi seenaknya sendiri." Faisal mulai mengomel.
"Untung cuma ketabrak mobil, jadi dia masih hidup nggak parah-parah amat. Coba kalau ketabrak truk, mati-mati beneran tuh si Felix."
"Dia itu kalau lagi ada masalah keluarga emang kerjaannya nyari mati di jalan," sambung Bayu.
"Emangnya Felix ada masalah apa sama keluarganya?" Leylin bertanya penasaran.
"Bokapnya dia itu selingkuh dan sering main wanita. Jadi setiap hari orang tuanya berantem terus. Makanya Felix benci sama bokapnya dan nggak mau nerusin perusahaan keluarga," ungkap Bayu prihatin.
Leylin terdiam mendengarkan cerita tentang Felix yang tidak pernah dia ketahui. Di balik sikapnya yang tegas dan sosiopat ternyata ada kisah suram di baliknya.
"Makanya, Lin. Lo hibur Felix biar dia nggak sedih-sedih amat. Ya walaupun dia emang resek dan sok jual mahal, tapi sebenernya dia mau diperhatikan juga sama lo."
"Jadi nanti kalau misal dia sok nolak, lo jangan langsung pergi. Sebisa lo tetap di sana jaga Felix."
Leylin mengembuskan napas berat. "Nanti lihat-lihat situasi, deh," ujarnya pasrah.
Setelah seluruh anggota komunitas berkumpul. Mereka semua segera berangkat menuju tempat rumah sakit di mana Felix dirawat.
Saat tiba di ruangan rawat Felix, Leylin terdiam ketika tidak sengaja berpapasan dengan Cakra. Mereka berdua saling bertatapan satu sama lain dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Lo kenal sama orang itu, Lin?" tanya Faisal heran karena merasa aneh dengan sikap Leylin dan pria yang tidak dikenalnya itu.
Leylin mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Enggak," jawabnya datar dengan raut wajah yang berubah dingin, lalu kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke kamar inap Felix.
"Leylin ..." panggil Cakra lirih.
"Lo katanya nggak kenal?" Faisal yang berada di samping Leylin berubah menjadi seorang wartawan yang tengah menginterogasi karena rasa penasaran.
Bayu yang berada di belakang Faisal segera mendorong Faisal masuk agar tidak membuat suasana menjadi canggung. Gara-gara teman bodohnya yang tidak tau kondisi itu, sekarang suasananya berubah menjadi aneh.
Leylin hanya diam tidak ingin menatap Cakra.
"Papa kritis," ungkap Cakra dengan nada suara yang terdengar getir.
Leylin tersenyum masam, lalu menoleh ke arah Cakra. "Terus aku harus apa?"
"Kamu tidak mau melihat keadaan papa, Leylin?" Cakra benar-benar tidak habis pikir.
"Sudah ada orang-orang yang selalu ada di sisi papa, dia tidak butuh aku."
"Setidaknya kalau kamu masih punya hati, kamu temui orang tua kamu yang saat ini sedang sekarat!" Emosi Cakra meluap-luap dengan sikap Leylin yang acuh.
"Bukankah nasib papa saat ini jauh lebih baik dibanding aku, Kak? Masih ada orang-orang yang mau merawat dan menjaganya dengan sepenuh hati."
"Saat aku sakit apa ada yang peduli? Bahkan kalian hanya diam saja. Nggak ada satu pun orang yang menjenguk aku di rumah sakit. Padahal saat itu aku merasa kesakitan dan butuh perhatian kalian. Tapi apa? Kalian seolah-olah tutup mata dan tidak peduli saat aku mengalami kecelakaan itu. Di umur 11 tahun aku hampir mati dan tidak ada satu pun keluarga yang menemani aku berjuang melewati masa-masa kritis itu, Kak."
"Kalian sendiri yang sudah membuang dan mendorong aku jauh dari kalian. Jadi apa aku salah kalau sekarang aku juga tidak memiliki perasaan empati dengan keluarga aku sendiri?"
Tatapan Cakra tiba-tiba melemah. "Maafkan aku ...."
Leylin terdiam mengamati raut wajah Cakra yang tidak pernah Cakra tunjukkan kepadanya selama ini. "Kenapa harus minta maaf? Bukankah ini yang Kakak inginkan?"
"Aku tidak pernah bermaksud seperti itu," tutur Cakra dengan mata sayu.
"'Aku nggak sudi punya adik menjijikan dan bodoh kayak dia' itu kata-kata yang pernah Kakak ucapkan saat aku berumur enam tahun." Leylin mengatakan itu dengan wajah tanpa ekspresi seakan tidak ada emosi yang dia rasakan.
Napas Cakra tertahan. Hatinya serasa ditikam dan ditekan benda berat.
"Setelah semua yang kalian lakukan, apa aku masih ada alasan untuk kembali?"
TBC.