Navisha memakirkan mobilnya di tempat parkir yang memang sudah tersedia khusus untuknya.
Navisha tidak langsung mematikan mesin mobil, melainkan memilih untuk menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lalu memijit keningnya yang terasa sangat pusing diiringi dengan kedua matanya yang kini terpejam.
Berkali-kali Navisha menarik dalam nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan, mencoba menetralkan detak jantungnya yang masih saja berdebar hebat.
Kejadian semalam masih terekam dengan jelas dalam benak Navisha. Navisha masih tidak percaya dengan fakta yang baru saja ia dapatkan semalam. Fakta kalau ternyata Aqila adalah anak dari Afnan.
"Kenapa harus Aqila yang menjadi anaknya Afnan? Kenapa Aqila bukan anak dari Kakaknya atau adiknya Afnan saja? Kenapa harus Afnan? Kenapa harus Aqila?" rutuk Navisha dalam hati.
Navisha masih tidak bisa menerima fakta kalau Aqila adalah anak Afnan. Navisha sulit untuk menerima fakta jika Afnan adalah Ayah Aqila. Bukan berarti Navisha membenci Aqila, tapi justru karena Navisha sangat menyayangi Aqila.
Navisha yakin, pasti setelah ini hubungannya dengan Aqila akan merenggang. Alasannya tentu saja karena ada Afnan, mana mungkin Navisha bisa tetap bersikap seperti biasanya pada Aqila setelah tahu kalau Aqila adalah anak dari Afnan. Navisha cukup tahu diri, dan ia tidak tidak mau terlibat lebih jauh lagi dengan Afnan ataupun kehidupan pria itu. Maka dari itu, menjauhi Aqila adalah hal pertama yang harus Navisha lakukan.
Sekarang ada banyak sekali pertanyaan yang bercokol dalam otak Navisha, terutama tentang di mana istri Afnan berada? Kenapa selama acara semalam berlangsung, ia sama sekali tidak melihat istri Afnan? Padahal begitu tahu jika Aqila adalah anak Afnan, Navisha sudah berpikir jika ia akan bertemu dengan istri Afnan, yang tak lain tak bukan adalah Ibu kandung Aqila. Tapi ternyata, sampai acara selesai, wanita tersebut tak kunjung terlihat.
Sebagai manusia biasa, tentu saja Navisha merasa penasaran akan keberadaan istrinya Afnan, karena semalam selama acara berlangsung Navisha sama sekali tidak melihatnya.
Hal tersebut tentu membuat Navisha penasaran sampai rasanya Navisha ingin sekali bertanya pada Aneth tentang di mana Ibu Aqila berada. Meskipun selama ini hubungannya dengan Aneth terjalin dengan sangat baik, tapi Navisha tidak pernah sekalipun bertanya pada Aneth tentang orang tua Aqila.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan yang berasal daei kaca mobil membuat Navisha terlonjak kaget.
Kelopak mata Navisha yang sebelumnya terpejam, lalu terbuka. Navisha mengalihkan fokus perhatiannya ke samping, matanya sukses membola saat melihat siapa orang yang baru saja mengetuk kaca mobilnya. "Afnan," gumamnya tanpa sadar.
Navisha mengerjap, mencoba memastikan kalau pria yang kini berdiri di samping mobilnya itu memang benar-benar Afnan, dan ternyata memang benar Afnan.
Tanpa sadar, Navisha berdoa, semoga saja ia tidak melakukan hal yang memalukan di depan Afnan. Navisha mematikan mesin mobilnya, lalu bergegas keluar dari dalam mobil.
Afnan yang mendengar suara mesin mobil Navisha mati, langsung mundur beberapa langkah, menjaga jarak agar dirinya tidak menghalangi Navisha yang akan membuka pintu mobil.
"Selamat pagi, Sha," sapa Afnan ramah, tak lupa memasang senyum manis menawan miliknya, senyum yang mampu meluluhkan setiap kaum Hawa yang melihatnya, tak terkecuali Navisha.
Navisha tersenyum simpul dan membalas sapaan Afnan. "Selamat pagi juga, Pak," sapanya seraya menundukan wajahnya sebagai tanda sopan santun.
Afnan menghela nafas panjang, merasa tidak nyaman dengan Navisha yang baru saja bersikap formal padanya.
"Sha, bisa tidak jika kita sedang berdua tidak usah bersikap formal?"
Navisha sontak menggeleng, di iringi tawanya. "Maaf Pak, kita sedang berada di kantor." Tanpa banyak berpikir, Navisha menolak mentah-mentah usul Afnan.
"Kita masih di luar kantor, Sha." Sebenarnya, sampai saat ini, Afnan tidak tahu kesalahan apa yang sudah ia lakukan pada Navisha sampai-sampai membuat wanita di hadapannya ini bersikap dingin padanya, bahkan sampai memutuskan hubungan persahabatan mereka secara sepihak. Bukan hanya itu saja, Navisha juga sampai memblokirnya, membuatnya tidak bisa lagi menghubungi wanita di hadapannya ini.
Navisha memilih tidak menanggapi ucapan Afnan, karena ia malas berlama-lama berdua dengan Afnan, tidak baik untuk kesehatan jantungnya yang masih saja berdebar hebar jika berdekatan dengan Afnan. Saat itu juga Navisha sadar, kalau pria di hadapannya ini masih bertahta kuat di hatinya.
"Maaf Pak, saya harus segera masuk, saya pamit." Tanpa menunggu jawaban Afnan, Navisha berbalik, melangkah menuju lift yang berada tak jauh dari tempat parkir mobilnya.
Samar-samar, Navisha mendengar suara langkah kaki mendekat dan Navisha tahu kalau itu suara langkah kaki Afnan.
"Aurelia!"
Langkah Navisha sontak terhenti begitu mendengar teriakan Afnan yang memanggil nama tengahnya. Dulu Navisha selalu tersenyum lebar, merasa sangat bahagia saat Afnan memanggilnya dengan sebutan Aurelia, tapi kini Navisha benci saat Afnan memanggilnya dengan panggilan Aurelia. Karena ketika Afnan memanggilnya dengan nama Aurelia, maka ia akan kembali mengingat momen-momen indah yang dulu pernah mereka berdua lalui. Navisha ingin melupakan semua momen indah tersebut, karena hatinya selalu berdenyut nyeri ketika mengingat semua kenangan tersebut.
Navisha lantas berbalik menghadap Afnan, menatap Afnan dengan sebelah alis terangkat, menunggu kalimat apa yang selanjutnya akan Afnan ucapkan.
Afnan melangkah mendekati Navisha, menatap Navisha dengan intens. "Kenapa tadi pagi kamu enggak datang ke rumah?"
Navisha tentu saja terkejut begitu mendengar pertanyaan Afnan, tidak menyangka kalau Afnan akan bertanya seperti itu padanya. Dari mana Afnan tahu kalau dirinya selalu datang menemui Aqila setiap pagi?
"Mamah bilang, kalau biasanya setiap pagi sebelum berangkat ke kantor, kamu akan mampir ke rumah untuk menyapa Aqila." Afnan seolah tahu apa yang ada dalam benak Navsiha.
"Bodoh!" Dalam hati Navisha mengumpat, kenapa ia bisa melupakan fakta kalau Aneth adalah orang tua Afnan.
"Tadi pagi aku sibuk, jadi tidak sempat mampir untuk menemui Aqila." Tentu saja Navisha berbohong, alasan yang sebenarnya ia tidak datang berkunjung karena ia jelas tidak mau bertemu dengan Afnan.
Navisha sudah berjanji pada dirinya sendiri jika mulai saat ini, dirinya akan berhenti untuk mengunjungi Aqila. Navisha akan menjaga jarak dengan Aqila, dan itu semua Navisha lakukan demi kebaikan dirinya juga Aqila.
Afnan tentu saja tidak percaya dengan apa yang baru saja Navisha katakan. "Apa karena ada aku?" tanyanya, menatap Navisha dengan mata menyipit penuh curiga.
Pertanyaan Afnan memang benar adanya, tapi Navisha tidak mungkin mengangguk, karena ia tidak mau Afnan bertanya dan terus mendesaknya untuk menjawab semua pertanyaannya pria itu. Navisha memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Afnan. Navisha kembali melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"Tunggu Sha, aku belum selesai bicara dan kamu belum jawab pertanyaan aku." Afnan mencekal pergelangan tangan Navisha, membuat langkah Navisha sontak terhenti.
"Lepas, An." Navisha mencoba melepas cekalan tangan Afnan dari pergelangan tangannya, tapi semakin ia mencoba untuk melapaskannya, semakin kuat pula cekalan Afnan.
"Kenapa kamu menghindari aku, Sha? Apa aku pernah melakukan kesalahan sama kamu? Kalau memang ada, tolong katakan agar aku bisa tahu di mana letak kesalahan aku?" Ini adalah pertanyaan yang sudah sejak lama ingin Afnan ajukan pada Navisha, tapi selama hampir 4 tahun ini, ia tidak pernah melihat Navisha, Navisha seolah hilang bak di telan bumi, semua akses untuk menghubungi wanita itu telah di blokir, tentu saja oleh Navisha sendiri. Tapi yang membuat Afnan bingung adalah, Navisha hanya melakukan hal itu padanya seorang, karena Anton dan Lucas tetap menjalin hubungan baik dengan Navisha. Afnan pernah bertanya pada Anton dan Lucas, tapi keduanya sama-sama bungkam.
Navisha menghela nafas dalam, kemudian menghembuskannya dengan kasar. "Tidak ada, Afnan, aku minta maaf kalau selama ini kamu merasa tidak nyaman dengan perubahan sikap aku."
Navisha tidak mungkin memberi tahu Afnan kalau selama ini ia menghindari Afnan karena ingin mencoba untuk melupakan pria itu dan membuang jauh-jauh perasaan cintanya.
Tiba-tiba terdengar suara Ponsel berdering, dan ponsel tersebut adalah ponsel milik Afnan. Dering ponsel Afnan membuat obrolan antara keduanya sontak terhenti, dan itu membuat cekalan tangan Afnan di pergelangan tangan Navisha mengendur, membuat Navisha bisa dengan mudah melepaskan diri.
Navisha kembali melajutkan langkahnya menuju lift, lalu memasuki lift, dan tanpa menunggu Afnan, Navisha langsung menekan tombol di mana ruangan tempatnya bekerja berada.
Tanpa Navisha sadari, tadi Afnan terus mengamati langkah lebar Navisha sampai Navisha memasuki lift.
Afnan dan Navisha sempat melakukan kontak mata sesaat sebelum pintu lift tertutup.
Afnan menghela nafas panjang, lalu meraih meraih ponselnya yang terus berdering.
"Iya, Sayang," sapa Afnan sesaat setelah mengangkat panggilan tersebut.
"Kamu hari ini masuk kantor?"
"Iya, Sayang, ini hari pertama aku masuk kantor, kamu hari ini masuk kerja?" Afnan melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti.
"Iya, hari ini aku masuk kerja."
Sementara itu, Navisha langsung menyandarkan punggungnya di dinding lift dengan mata terpejam. Tangan kanannya terangkat, memegang tepat di mana kini detak jantungnya berdebar dengan sangat cepat. Navisha tahu dan sadar betul kalau rasa cintanya pada Afnan masih sama seperti dulu, bahkan kini jauh lebih besar.
Sekarang Navisha hanya bisa berdoa, semoga saja ia bisa tetap bersikap profesional selama berkerja dengan Afnan. Tapi, bagaimana kalau ia tidak bisa bersikap secara profesional?
"Bisa, lo pasti bisa, Sha," gumam Navisha pada dirinya sendiri, mencoba meyakinkan dirinya sendiri kalau ia pasti bisa melewati semua ini dan membuang jauh-jauh rasa cintanya pada Afnan, terlebih kini pria itu sudah memiliki sebuah keluarga.
Setelah bertemu dengan Afnan, Navisha merasa bahagia, tapi di saat yang sama juga merasa sedih.
Navisha bahagia karena pria yang ia cintai ternyata hidup dengan bahagia bersama keluarga kecilnya.
Navisha merasa sedih, sedih karena dirinya masih sama saja seperti dulu, tidak berubah sama sekali.