Si Putih
Part 9 : Kabur Saat Melamar
"Meoongg .... "
Tiba-tiba terdengar suara hewan kesayangan mengeong di dekatku, sontak saja aku langsung mengedarkan pandangan ke sekeliling. Bagaimana bisa Si Putih ada di sini?
"Meoonngg ...." Suara Si Putih kembali terdengar.
"Putih!" Aku segera beranjak dari kursi teras tempatku duduk sekarang.
Kulihat Si Putih melenggang di dekat mobilku, bagaimana bisa? Bukannya dia sedang sakit? Aku tak bisa mengusai diri untuk tak menghampirinya.
"Bang!" Terdengar teriakan Nadine di belakangku.
Tak kuhiraukannya, aku mendekat ke arah mobil dan mencari keberadaan Si Putih hingga ke bawah mobil tapi peliharaan Nek Sola itu malah tak lagi terlihat. Ke mana perginya hewan berbulu lembut?
"Bang, kamu lagi nyari apa?" Nadine menghampiriku.
"Eh!" Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, perasaan jadi tak menentu saat ini.
"Bang, kamu kenapa?" Nadine mengerutkan dahi, menatapku dengan bingung.
"Hmm ... Nggak apa-apa, Abang pulang saja, ya," ujarku dengan helaan napas panjang.
"Kok pulang?" Nadine menautkan alisnya.
"Hmm ... Iya, maaf ... Udah ganggu waktu istirahat kamu," ujarku lagi.
Nadine hanya terdiam, raut wajahnya jelas sekali sedang kebingungan.
"Abang pulang, ya, assalammualaikum." Aku menatapnya sekilas lalu masuk ke dalam mobil.
"Waalaikumsalam." Terdengar jawaban pelan dari Nadine.
Aku segera memacu mobil keluar dari perkarangan rumah Nadine, lalu melenggang di jalanan. Aku menghela napas berkali-kali sambil memukul setir dengan geram. Mengapa aku langsung pulang seperti tadi? Bukannya aku sedang melamarnya jadi istri? Nadine pasti menganggap aku ini pria paling aneh. Agghhh!!!
Hati terasa sangat kesal dengan apa yang telah kulakukan ini. Aku jadi tak mengerti apa yang sebenarnya kuinginkan? Bukankah aku menginginkan hubungan serius dengan Nadine? Lalu kenapa juga aku malah bertindak layaknya ABG labil. Kuacak rambut ini dengan geram, ternyata aku masih saja jadi pecundang! Sial!
Ketika melewati sebuah restoran, langsung saja kubelokkan mobil ke sana. Sepertinya aku kurang fokus gara-gara belum makan, sebaiknya isi perut dulu biar pikiran kembali normal dan bisa berpikir dengan jernih.
***
Aku kembali ke rumah dengan pikiran yang semakin kacau, walau perut sudah terisi kenyang, tetap saja aku menyesali kebodohanku di depan Nadine tadi.
Kurebahkan diri di tempat tidur, lalu meraih ponsel yang sedari sejak tadi tak kusentuh itu. Aku berharap ada chat dari Nadine. Ah, iya, benar, dia ada chat.
[Assalammualaikum. Abang kenapa tadi? Apa sedang sakit atau bagaimana? Terus ... Penyataannya yang tadi itu serius atau hanya main-main saja?]
Aghh ... Syukurlah Nadine menanyakannya. Akulah pria paling b**o sejagat raya, yang langsung kabur setelah melamar wanita, tanpa sempat mendengarkan jawaban. Sangat wajar kalau dia menganggap aku hanya bermain-main saja dengan pernyataan serius itu.
Sebaiknya aku melanjutkan lamaran lewat chat saja, biar tidak terlalu grogi. Beginilah resiko jadi pria pengecut.
[Waalaikumsalam. Nadine, maafkan sikap Abang tadi. Abang serius ingin melamarmu jadi istri dan itu pun jika kamu bersedia. Maafkan kepengecutan Abang tadi, Abang ini orangnya mudah grogi dalam menyampaikan isi hati. Abang takut mendengar penolakanmu, makanya tadi langsung pergi soalnya ini perdananya Abang menyatakan perasaan kepada seorang wanita. Maaf, kalau Abang beraninya cuma lewat chat saja.]
Segera kutekan tombol sent atas chat panjang lebar itu dan semoga dia bisa mengerti keadaanku yang memang tak segentle pria lainnya. Inilah aku, pria pengecut yang hanya bisa memendam perasaan tanpa berani menyatakannya.
[Nadine tunggu keseriusan Abang. Sebelum Nadine kembali ke tempat tugas minggu depan, semoga Abang bisa membuktikan kesungguhan pernyataan Abang tadi. Jujur saja, Nadine juga menyukai Bang Hamid dari sejak dulu dan berharap bisa berhubungan serius.]
Aku tersenyum senang saat membaca balasan chat dari Nadine. Dia memang pengertian dan bagusnya lagi, juga mempunyai perasaan yang sama denganku.
Aku mengerutkan dahi sejenak, memikirkan cara membuktikan keseriusan ini. Hmm ... Sebaiknya besok aku segera menghubungi Tante Rossa untuk memintanya melamarkan Nadine untukku.
Atau juga, kami bisa tunangan dulu sebelum Nadine kembali ke tempat tugasnya. Hmm ... Iya, ini ide bagus. Katanya, dia sudah dalam tahapan pengajuan pindah tugas dalam jangka 6 bulan ke depan. Setelah itu, kami akan menikah. Aku semakin mengembangkan senyum saat membayangkan hari bahagia itu.
Oh iya, aku harus membalas chat Nadine biar dia tak mengira aku ini pria yang suka memainkan hati wanita.
[Terima kasih, Nad, sudah memberikan Abang kesempatan. Akan Abang buktikan keseriusan ini.]
Segera kukirimkan chat itu, dan sudah cukup senang walau Nadine hanya membacanya saja tanpa membalas lagi. Setidaknya kami telah saling mengungkapkan perasaan dan tinggal pembuktian dariku saja, agar hubungan ini segera bisa diresmikan.
Kusimpan ponsel ke atas nakas, lalu menarik selimut. Malam ini hatiku begitu berbunga-bunga, dan tak lama lagi akan ada Nadine yang tidur di sebelahku. Aku takkan lagi kesepian, kami akan berumah tangga dengan penuh cinta lalu memiliki anak dan membuat suasana rumah yang sepi ini menjadi ramai. Ah, aku jadi tak sabar akan rumah tangga bahagia itu.
***
Entah bagaimana ceritanya, aku sudah berada di dalam perkarangan rumah Nek Sola. Akan tetapi, rumah ini tak semak seperti biasanya.
"Bang!" Seorang wanita berkulit putih, dengan rambut panjang tiba-tiba keluar dari rumah itu.
Dia, wanita yang sangat tak asing itu tersenyum ke arahku. Dahinya terlihat diperban, tangan kanannya juga.
"Bang, ayo masuk!" panggilnya.
Aku segera menaiki anak tangga untuk bisa sampai ke atas sana, di mana wanita itu berdiri.
"Kamu ini siapa? Mengapa kamu ada di rumah Nek Sola?" tanyaku.
"Aku kangen Abang." Wanita yang wajahnya mirip Si Putih itu tiba-tiba membenamkan kepala di dadaku.
"Makasih Abang dah nolongin aku .... " ujarnya lagi dengan nada manja.
Aku benar-benar tak mengerti akan maksud wanita ini, tapi aku juga tak tega untuk mendorongnya dari dadaku sekarang. Dan anehnya, aku merasakan kenyamanan saat dipeluk olehnya.
"Bang, ayo masuk!" Dia menarikku masuk ke dalam rumah yang ternyata sangat megah itu.
Ini bukan rumah Nek Sola sepertinya, lalu rumah siapa? Terus wanita di hadapanku ini siapa? Dia tiba-tiba sudah menarikku duduk di sofa ruang tamu, kami duduk bersebelahan. Walau aku tak mengenalnya, tapi aku merasa sangat dekat dengannya.
"Bang ... Sakit .... " Wanita itu merengek manja sambil memegangi kepalanya, sedetik kemudian dia sudah kembali ke dalam pelukanku.
Dia terus bermanja di dalam pelukanku dengan sesekali menggosokkan kepalanya ke dadaku. Aku sedikit tersenyum karena tingkahnya ini sangat mirip Si Putih.
"Bang .... " Dia menatapku dengan manik biru, bibir ranumnya terlihat begitu menggoda.
"Kamu ini siapa sebenarnya?" tanyaku berusaha menguasai diri agar tak kebablasan seperti kemarin.
Wanita itu tak menjawab, ia malah semakin mendekatkan wajah kami dan kejadian tempo hari kembali terulang.
Lagi dan lagi, aku tak dapat menahan diri untuk tak mencumbunya.
Bersambung ....