5. Berebut Menikahi Nina

1402 Kata
“Apa yang kakak inginkan?! Biarkan aku menikahi Nina!” teriak Ash tepat di depan wajah Riyon. Riyon hanya diam, bahkan menatap Ash dengan ekspresi wajah yang datar. Mana mungkin ia membiarkan Ash menanggung kesalahannya? Meski hubungannya dengan Ash tidak terlalu hangat, tapi ia menyayangi Ash sebagai adiknya. Hanya saja, sifat dinginnya yang memang sejak lahir telah melekat, membuatnya tak bisa bersikap layaknya seorang kakak seperti orang lain pada umumnya. Perlahan cengkraman Ash mulai mengendur hingga akhirnya terlepas saat ia berteriak. “Agh!” Ash berteriak saat melepas cengkramannya dengan kasar lalu membalikkan badan. Ia tak pernah bisa melawan kakaknya. Sejak dulu hingga sekarang, hanya melihat ekspresi dingin kakaknya sudah membuatnya menciut. “Kenapa kakak! Kenapa harus kakak?!” teriak Ash saat ia kembali berbalik menghadap sang kakak. “aku yang mencintai Nina, aku yang lebih dulu mengenalnya, kenapa harus kakak yang menghamilinya? Kenapa bukan orang lain? Kenapa?!” Ash menepuk keras dadanya, meluapkan perasaannya yang tak dapat dijelaskan dengan kata. “harusnya kakak diam saja, harusnya kakak membiarkan aku yang menikahinya!” Riyon bergeming, hanya menatap Ash tanpa mengatakan apapun. Ia merasa Ash tak pantas mendapatkan Nina. Ash lebih pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dari Nina, wanita yang bukan bekasnya atau bekas orang lain. Hanya saja, ia tak bisa mengatakannya, tak bisa mengutarakan maksud dan tujuan. Ia selalu merasa terdapat tembok pembatas antara dirinya dan Ash. Dan ia sadar, tembok pembatas itu diciptakan sendiri olehnya. Brugh! Kedua kaki Ash mencium lantai. Ia seolah tak sanggup menahan perasaannya hingga kakinya terasa lunglai tak mampu menahan berat tubuh. Ia menangis, sayangnya, tangisannya itu tak mampu membuat Riyon luluh. “Kau tak pantas menggantikan tugasku. Cari lah wanita lain yang lebih pantas denganmu.” Hanya kalimat itu yang Riyon ucapkan sebelum ia pergi meninggalkan ruangan. Sementara, Ash masih tenggelam pada rasa sakit dan kecewa. Ia tak menyadari maksud ucapan kakaknya. Yang ada di kepala hanya Nina, dan Nina. Tanpa keduanya sadari, Salim melihat semuanya. Pintu kamar yang terbuka lebar membuatnya menjadi saksi perselisihan kedua putranya. “Bagaimana semua ini akan berakhir?” desah Salim sambil menghela napas berat. Di tempat lain, Nina kini telah berada di kamar Rahayu. Rahayu benar-benar mengajak Nina tidur bersamanya dan menyuruh suaminya tidur di kamar Riyon atau Ash, atau di sofa. “Sudah, jangan terlalu memikirkannya, Nin. Ingat, kau sedang hamil,” tutur Rahayu saat menuntun Nina duduk di tepi ranjang. Nina menatap Rahayu yang duduk di sampingnya dengan senyuman begitu tipis. Ia tak mengira calon ibu mertuanya begitu baik dan memperhatikannya. “Ibu tahu ini tidak mudah, tapi percayalah kau bisa melewati ini semua.” Nina tak tahu harus mengatakan apa. Ia bahkan bingung saat Rahayu menyebutnya sebagai ibu, seolah menuntunnya memanggilnya demikian. “Sejujurnya, ibu juga bingung siapa yang harus menikahimu. Ash sangat mencintaimu, tapi kau mengandung anak Riyon.” Andai saja Rahayu tahu, Nina pun lebih bingung. Meski belum yakin akan perasaannya pada Ash, tapi ia menerima ketulusannya. Namun, ia harus menerima kenyataan ia mengandung anak Riyon, kakak Ash sendiri. Rahayu mengusap lembut kepala Nina, menyentuh rambutnya hingga ujung dan menatapnya seperti seorang ibu kandung. “Ibu tidak bisa menentukan pilihan. Bagi ibu, mau kau menikah dengan Riyon atau Ash, ibu tetap menerimamu sebagai menantu ibu. Tapi, ibu harap kau menentukan pilihanmu setelah memikirkannya dengan matang, memikirkan jangka panjang bahkan setelah cucuku lahir nantinya.” Nina terdiam selama beberapa saat, memikirkan apa yang calon ibu mertuanya katakan. Ia lalu bertanya, “Tan, kenapa … kenapa Tante dan Om menerimaku?” “Tan? Panggil ibu, Nina. Ibu kan calon ibu mertuamu,” tutur Rahayu. “Ta- tapi ….” “Bagi ibu, asal anak-anak ibu bahagia dengan wanita pilihannya itu sudah cukup. Ibu tidak mau menyuruh mereka mencari wanita seperti apa atau bahkan menjodohkan mereka,” ujar Rahayu menjawab pertanyaan Nina sebelumnya. Nina menatap Rahayu dengan pandangan tak terbaca, ia tak mengira di zaman seperti ini ada orang tua sebaik dan sepengertian sepertinya. “Tapi … aku tidak punya apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku juga–” “Sst ….” Telunjuk Rahayu menempel di bibir Nina, memintanya berhenti bicara jika hanya untuk merendahkan dirinya. “ibu sudah mengatakannya padamu, kan? Ibu tidak peduli semua itu, yang terpenting adalah kebahagiaan anak-anak ibu. Tapi ….” Rahayu menggantung ucapannya saat ia teringat sesuatu, teringat jika Nina bukan lagi calon pengantin Ash. Padahal kebahagiaan Ash adalah Nina. Nina terdiam, ia seolah dapat menebak apa isi kepala Rahayu sekarang, seakan bisa menebak apa yang dia pikirkan. Tiba-tiba Nina menjadi murung, ia merasa bersalah. “Ah, sudah, Nin. Ini sudah malam, sebaiknya kita beristirahat.” Melihat waktu semakin larut, Rahayu mengajak Nina beristirahat sekaligus untuk mengakhiri pembicaraan. Semakin membicarakan masalah Riyon dan Ash, membuat kepalanya semakin berdenyut ngilu. Dan pasti Nina pun merasakan itu. Di lain sisi, Riyon telah berada di kamarnya, telah berbaring menatap langit ruangan. Ia tidak bisa tidur memikirkan Nina. Dan semakin memikirkannya, semakin membuatnya teringat kegiatan panas mereka malam itu. Meski telah berlalu sebulan lebih, tapi rasanya kegiatan panas itu baru terjadi kemarin. Ia masih mengingatnya dengan jelas, mengingat desahan Nina, mengingat saat wanita itu menggelinjang kala ia menjelajahi tubuhnya, juga mengingat teriakan Nina saat ia merobek selaput daranya. Riyon memejamkan mata, ia harap ia segera terlelap agar semua ingatan itu sirna. Tapi, semakin ia berusaha, semakin ia tak bisa. Pada akhirnya Riyon menyerah. Ia kembali menatap langit ruangan dengan lengan bertengger di jidat. Sementara itu di kamar Ash, ia pun masih terjaga. Ia tak mengira kebahagiaan yang telah berada di depan mata, hancur dalam sekejap. Kenapa harus kakaknya? Kenapa? Adalah pertanyaan yang terus berputar dalam kepala. “Agh!” Ash berteriak sambil menjambak rambutnya frustasi. Rasanya ia ingin membawa kabur Nina, menjalani hidup hanya berdua jauh dari kakaknya bahkan keluarganya. Tok! Tok! Perhatian Ash mengarah pada pintu saat terdengar ketukan dari luar. “Ash, kau belum tidur?” Salim berjalan memasuki kamar dan duduk di sebelah Ash yang duduk di tepi ranjang. “karena Nina tidur dengan ibumu, ayah tidur di sini.” Ash hanya diam. Ia masih sedikit kesal dengan ayahnya karena justru menyuruh kakaknya menikahi Nina. “Kenapa … kenapa ayah menyuruh kakak menikahi Nina?” tanya Ash yang tertunduk sambil menahan air mata. Ia tak peduli disebut cengeng. Salim menatap Ash dari posisi kemudian Hela napas panjangnya terdengar. Ia lalu mengatakan, “Kau pasti membenci ayah. Ayah tahu kau sangat mencintai Nina, jika tidak, kau tak mungkin berbohong pada ayah dan ibu bahwa anak yang dia kandung adalah anakmu. Tapi … anak yang dikandungnya adalah anak kakakmu, harusnya yang bertanggung jawab adalah kakakmu, bukan dirimu.” “Tapi aku tak peduli, Yah! Aku tak peduli mau anak itu anak kakak atau bukan, aku tetap mencintainya. Aku sudah lama memendam perasaan padanya, Yah. Sudah sangat lama aku mencintainya. Sudah sangat lama,” Ash berucap lirih di akhir kalimat disertai derai air mata. Ia ingin ayahnya mengerti bahwa ia hanya ingin bersama Nina. “Jika begitu, kenapa baru membawa Nina ke rumah ini?” Ash mengalihkan muka dari ayahnya. Ia kembali tertunduk dengan kedua tangan menjambak rambut. “Karena aku terlalu pengecut. Aku terlalu pengecut mengungkapkan perasaanku. Aku takut jika mengatakannya, hubungan kami yang baik-baik saja akan buruk, dia akan menjauhiku.” “Dan setelah apa yang Nina alami, kau berani mengatakannya? Kenapa? Apa karena kau ingin menjadi pahlawan? Kau berpikir dengan menjadi pahlawan dia akan membalas perasaanmu?” Ash terdiam, merasa tertohok dengan ucapan ayahnya. Salim menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan sedikit kasar. Meski sedikit menyesal dengan kata-katanya yang terasa pedas, tapi semua untuk kebaikan Ash. Ia tetap berpendirian bahwa Riyon lah yang berhak menikahi Nina. Keesokan harinya, Nina bangun di waktu yang begitu pagi, bahkan terhitung masih fajar. Ia sengaja, ia ingin meninggalkan rumah Ash, bahkan berencana pergi mengasingkan diri. Nina berjalan mengendap menuju pintu di tengah lampu yang belum menyala. Ia harap asisten rumah tangga di rumah itu sudah bangun dan mulai mengerjakan pekerjaan mereka, jadi ia bisa meminta tolong untuk membukakan pintu. Kriet … Jbles …. Nina menutup pintu kamar Rahayu dengan hati-hati, tak ingin membuat suara sekecil apapun. Dan setelah berhasil menutup pintu tanpa ada tanda-tanda Rahayu bangun, ia sedikit bernafas lega. Sekarang, tinggal menemukan asisten rumah tangga untuk membantunya keluar dari rumah besar itu. “Mau ke mana kau?” Nina tersentak hingga terjingkat. Ia menoleh kaku dan perlahan dan menemukan seseorang berdiri beberapa langkah di depannya. Orang itu pun mendekat, dan semakin mendekat membuat jantung Nina seakan berhenti berdetak, terlebih setelah orang itu berdiri tepat di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN