Hari-hari selanjutnya, Tata semakin dekat dengan Melati dan Maminya pun semakin sering mengajak ngobrol Tata. Walaupun obrolan mereka tidak jauh dari seputar Mawar tapi lagi-lagi Tata menolak untuk membantu jika belum ada persetujuan dari Ibunnya. Gadis mungil itu sungguh sangat menghargai sekali Ibunnya.
Mawar tak lagi memaksa untuk bisa bicara langsung dengan Maminya, ia sudah cukup senang dan tenang apabila Maminya itu setiap pulang sekolah selalu mencari Tata dan bertanya mengenai dirinya. Ia merasa seperti hidup kembali jika diperhatikan oleh Maminya walaupun dalam keadaan yang berbeda sekarang.
Hari ini rencananya Tata akan dijemput oleh Ayah dan Ibunnya, sebab mereka akan menginap di rumah Omahnya. Rey sudah lebih dulu dijemput dan mereka sedang perjalanan ke sekolah Tata. Tak banyak obrolan yang terdengar di dalam mobil, keempatnya sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Aden," panggil seseorang tepat di bathin Rey.
"Kenapa?" balas Rey dengan suara bathinnya.
"Nona Putri sedang berbicara dengan Maminya Mawar."
"Apakah bermasalah jika Ibun melihatnya?"
"Jika Ibun bisa tenang, maka tidak ada masalah."
"Baik, terimakasih infonya, Nyai."
"Sama-sama, Aden. Nyai pamit."
"Bun," panggil Rey.
"Iya, Sayang?"
"Abang baru ingat, Adik pernah cerita kalau Maminya Mawar mau main ke rumah, ya?" tanyanya hati-hati.
"Eh iya, tau, Bang! Bener-bener deh Adikmu itu, segala kasih alamat rumah," jawabnya heboh.
"Mau main kali, Bun, makanya adik kasih alamat rumah."
"Ih, Abang! Bukaaaannn, tapi ini tuh gara-gara si adik bilang kalau Mawar kangen dan sayang sama Maminya, makanya jadi tiba-tiba minta alamat rumah dan mau main ke rumah."
"Tapi kayaknya Abang belum lihat Maminya Mawar ke rumah, Bun? Apa pas Abang sekolah, ya?"
"Gak, Bang. Memang belum ada berkunjung dia orang itu, biar saja-lah. Mudah-mudahan sudah lupa deh."
"Lagian gak pa-pa kali, Bun. Orang mah mau berkunjung, mau berteman kali. Jadi Ibun 'kan bisa dekat sama salah satu orang tua murid disana."
"Dekat, kok, Yah. Tapi gak terlalu, Ibun malas rempong-rempong begitu. Mendingan di rumah, bikin cemilan untuk keluarga daripada harus haha hehe di luaran."
"Eh bener juga ya, Bun, hehe," tawa Ayah.
"Nah iya bener dong, Ay!"
"Eh … eh … Tata sama siapa tuh?" ucapnya heboh saat melihat anaknya sedang duduk bersama seorang wanita paruh baya dan anak kecil.
Mereka sudah sampai dan sedang masuk ke dalam pelataran sekolah Tata. Ibun bergegas turun dan berjalan mendekati anaknya yang belum menyadari keberadaannya.
"Bang, Maminya Mawar itu! Gawat!"
"Iya, Ayah. Ayo kita turun," ajaknya.
"Aden sama Mbok, saja. Biar Tuan tunggu di mobil," usulnya.
"Nanti, kalau memang terjadi sesuatu baru Aden panggil Tuan."
"Nah iya, begitu saja, Mbok. Gih buruan, Bang!" usirnya.
Rey mencebikan bibirnya karena merasa diusir oleh ayahnya itu. Bergegas keluar mobil dan berlari mensejajarkan langkahnya agar sama dengan Ibunnya.
"Bun!"
"Ibun! Huh huh huh!" panggilnya dengan nafas ngos-ngosan.
"Kenapa, Bang?" tanya Ibunnya menghentikan langkah dan menoleh ke anak sulungnya.
"Tunggu, napa, sih, Bun! Cepat aman jalannya."
"Memangnya Abang mau ikut?"
"Lah, iya ini, sih, Abang sama Mbok nyusul ya karena mau ikut, Bun."
"Dih, ya siapa suruh ikut! Lagian, gak ngomong pas tadi di mobil."
"Ya sudah, ayo cepetan Bang, Mbok."
Mereka berdua mengangguk dan ketiganya jalan beriringan menghampiri Tata. Gadis itu sepertinya mulai menyadari kedatangan Abang dan Ibunnya sebab ada hawa yang berbeda jika keluarganya mendekat. Ia mengedarkan pandangan ke segala arah dan saat menoleh kebelakang, matanya terbelalak saat Abang dan Ibunnya sedang berjalan ke arahnya.
"Ibun," gumamnya.
"Kenapa, Tata?" tanya Tante Rosa bingung.
"Ada Ibun, Tante. Aduh gawat! Gimana ini!" serunya bingung.
"Sudah gak pa-pa! Nanti Tante yang bantu bicara jika memang Ibunmu marah, ya," ucapnya menenangkan.
"Kalau cuman marah, Tata bisa diam tapi kalau Ibun nangis, Tata merasa bersalah."
"Gak, tenang saja."
"Adik!" pekik Ibun dan Rey bersamaan.
"Bang, apa, sih, ikut-ikutan Ibun, saja!"
"Lah, Ibun yang ikutan, Abang."
"Serah Ibun, dah!
"Ibun, Abang, Mbok!" sahut Tata berdiri beranjak mendekati ketiganya.
Tata menyalami ketiganya dengan takzim, lalu melirik Maminya Mawar.
"Assalammualaikum," sapanya.
"Waalaikumsalam," jawab mereka serempak.
"Ibunnya Tata, ya?" tanyanya mengulurkan tangan dan disambut baik.
"Saya Maminya Mawar dan Melati," ucapnya saat Ibun menerima jabatan tangannya.
Tiba-tiba matanya terbelalak dan tubuhnya menegang, Ibun melirik sekilas pada Tata yang terlihat sedikit takut dan beralih pada Maminya Mawar.
"Oh iya, saya Ibunnya Tata."
"Salam kenal ya, Mbak."
"Salam kenal juga, Mbak."
"Ini Melati, adiknya Mawar," ucapnya mengenalkan lalu bocah seumuran Tata mencium punggung tangannya dengan takzim.
"Melati cantik sekali nama dan wajahnya," puji Ibun membuat Maminya kikuk.
"Tata juga cantik, Mbak."
"Iya, perempuan pasti cantik," tuturnya.
Hening. Suasana menjadi canggung. Tata dan Rey saling melirik, gadis itu seakan minta bantuan agar Abangnya mencairkan suasana disitu, saat ingin bicara keduluan dengan Maminya Mawar.
"Hm … Mbak, bolehkah sekali waktu saya main ke rumah?" tanyanya hati-hati.
"Oh mau main ke rumah, ya?"
"Boleh kok, rumah kami terbuka lebar jika ada yang ingin berkunjung."
"Alhamdulillah jika nanti silaturahmi saya disambut baik sama Mbak."
"Mela, tolong Nak duluan ke mobil ya, cantik," ucapnya beralih pada anaknya.
"Iya, Mami."
Melati pamit pada semua orang dan berjalan menuju mobil.
"Mbak, boleh saya bicara sebentar?" tanyanya ragu dan melirik kedua anak Fitri juga Mbok.
"Hm … tapi gak bisa lama, saya harus pergi ke rumah Omahnya anak-anak."
"Gak pa-pa, sebentar saja, Mbak. Saya mohon." Tante Rosa menangkupkan kedua tangannya.
"Baik. Adik, Abang, Mbok, dulu ke mobil nanti Ibun nyusul."
"Tapi, Bun--"
"Duluan, Nak. Nanti Ibun menyusul, tenang saja ya. Jangan khawatirkan Ibun," ucapnya lembut membelai kepala anak perempuannya.
"Iya, Ibun."
Tata dan Mbok membalik arah dan mulai berjalan namun Rey tetap pada posisinya, Fitri memandangnya bingung, bertanya-tanya mengapa anak sulungnya itu diam saja dan tak beranjak pergi.
"Abang!" pekik Tata.
"Bang! Ayo, ih!"
"Rey, kenapa gak ke mobil?" tanyanya lembut.
"Abang mau disini, temani, Ibun."
"Kalau anak baik itu nurut sama ucapan Ibunnya, Nak. Jadi, Abang sekarang ikut sama Adik dan Mbok kembali ke mobil. Ibun cuman sebentar kok, Nak."
"Janji?"
"Iya, Sayang. Cepat, itu adikmu sudah menunggu."
"Jangan lama-lama ya, Tante. Kita semua mau ke rumah Omah soalnya."
"Iya, Bang," jawab Tante Rosa.
Dengan terpaksa ketiganya pergi meninggalkan Ibun hanya berdua dengan Tante Rosa. Kedua wanita paruh baya itu memilih untuk duduk agar sedikit santai. Keduanya masih diam dengan pikirannya masing-masing dan belum ada yang memulai obrolan.
"Mbak, jadi ingin bicara apa?" tanya Fitri mengawali.
"Eh iya, Mbak, bolehkan Tata membantu saya?"
"Membantu gimana ya, maksudnya?"
"Itu … bicara dengan Mawar," ucapnya lirih. Fitri menatapnya sekilas lalu menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Saya mohon, Mbak. Memang, selama ini Tata membantu menyampaikan ucapan Mawar tetapi saya ingin sekali mendengar suaranya dan memeluknya."
"Saya merasa gagal menjadi seorang Mami, saya gagal karena tak bisa menjaga anak yang istimewa seperti dirinya. Saya kalah dengan suami sendiri, kami sering kali di siksa dan saya tidak bisa melakukan apa-apa. Saya berusaha agar Melati tak juga bernasib sama seperti kakaknya, saya berusaha bangkit dari keterpurukan yang mendalam. Semua perubahan saya lakukan demi menebus kesalahan pada Mawar."
"Awalnya saya mulai tenang dan bisa beraktivitas seperti biasa. Tapi, setelah Tata menyampaikan bahwa dirinya adalah teman Mawar. Dan menyampaikan juga bahwa Mawar merindukan saya dan sayang sama saya, justru membuat semakin gelisah dan ingin sekali bertemu."
"Tolong, Mbak. Bantu saya."
"Kalian itu sudah beda kehidupan, mungkin jika untuk mengobrol bisa melalui perantara tapi jika bertemu, itu tidak akan pernah bisa mungkin. Mbak hanya bisa merasakannya saja dan tidak lebih dari itu."
"Saya sebenarnya tidak pernah melarang Tata untuk membantu orang lain tapi saya terkadang kecewa dengan sikap kedua anak saya, sebab mereka berdua seringkali bertindak sendiri tanpa meminta persetujuan saya terlebih dahulu. Saya menyambut baik sikap baik mereka, tapi saya sebagai orang tua juga ingin sekali mereka bercerita dan membuat saya ikut dalam penyelesaian masalah yang sedang mereka pecahkan."
"Saya terlalu takut dan khawatir dengan keadaan mereka yang masih kecil. Akan banyak sekali resiko yang diterima oleh mereka jika menyelesaikan masalah sendiri. Saya pernah ada di posisi mereka dan keadaan saya tidak baik-baik saja. Saya hanya menjaga mereka agar tidak berada di keadaan buruk seperti Ibunnya di masa lalu."
"Sabar, tunggu waktunya saya bisa tenang. Saya sedang mengolah mental dan rasa mereka agar menjadi kuat. Setelah itu, silahkan datang ke rumah dengan tujuan yang ada di pikiran dan hati, Mbak. Nanti, Mbak akan melihat sendiri apa yang terjadi sehingga saya sangat mengkhawatirkan mereka."
"Tapi mohon maaf, jika dalam waktu dekat, saya tidak bisa. Saya belum berhasil mengolah rasa dan mental mereka dalam keadaan lima puluh persen. Jadi, saya minta untuk bersabar."
"Makasih, Mbak. Maaf jika permintaan saya sangat berat sehingga membuat Mbak harus berpikir sangat dalam. Saya benar-benar mohon bantuannya."
"Saya tidak berat untuk menolong orang, saya hanya menjaga kedua anak saya tetap kuat mentalnya ketika membantu orang lain tapi setelahnya sikap orang tersebut malah menganggapnya sebelah mata. Saya sungguh tak ingin itu terjadi, jadi mohon di pahami."
"Iya, mohon maaf, Mbak, jika saya salah bicara. Nanti saya akan main ke rumah agar kita lebih mengenal satu sama lainnya."
"Silahkan, Mbak. Saya mempersilahkan, tetapi sekarang sepertinya saya harus segera pergi karena anak menempuh perjalanan lumayan jauh."
"Baik, mangga, Mbak. Kita sambil jalan ke parkiran. Sekali lagi, makasih ya, Mbak."
Mereka berjalan beriringan menuju parkiran sambil melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang ringan, keduanya berpisah di parkiran.
"Mbak, sekali lagi makasih dan maaf jika saya banyak salah."
"Sama-sama, Mbak."
"Salam untuk semua keluarga, Mbak ya."
"Sampaikan salam saya juga untuk Melati. Mari, Mbak."
"Silahkan, Mbak."
Keduannya masuk ke dalam mobil dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Keduanya adalah wanita yang hebat dan luar biasa. Berusaha mengikis semua rasa yang sakit di dalam hatinya dan berusaha bangkit menjadi lebih baik. Wanita hebat yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya walaupun terkadang masih jauh dari kata terbaik.
Selalu berusaha menjadi lentera yang terang agar rumah dan kehidupan keluarganya juga terang. Jika, lentera tersebut padam maka mendadak keadaan rumah menjadi gelap gulita, sepi dan sunyi. Jadi, bahagiakanlah lentera kalian di rumah agar keadaan rumah selalu tenang, hangat dan penuh kebahagiaan.
***