Libur telah tiba, libur telah tiba, hore! Hore! Hore! Akhir pekan ini yang biasanya ada kegiatan bersama keluarga, kali ini berbeda. Tata dan Rey lebih memilih untuk melaksanakan misi yang sudah diatur oleh Jamal. Semua ini semata-mata dilakukan untuk membantu, ya walaupun harus berbohong pada orang tua mereka.
Sejak pagi, keduanya menyambut hari minggu itu dengan penuh kebahagiaan, berbeda dengan Ibunnya yang merasa galau sebab pertama kali melepas kedua anaknya pergi keluar tanpa dirinya dan juga suaminya.
Sepanjang malam, Ibun terus saja mengomel pada suaminya karena sudah mengizinkan kedua anaknya untuk pergi. Berkali-kali Fauzi menyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja tapi tetap saja, hati seorang Ibu memang peka bukan? Dapat merasakan bahwa anaknya sedang berbohong atau jujur, apalagi Fitri kepekaannya cukup tinggi.
"Selamat pagi Ayah, Ibun," sapa Rey dan Tata berbarengan saat mereka datang dan duduk di kursi untuk sarapan.
"Pagi, Sayang. Duh auranya bahagia sekali anak-anak Ayah ini," ledeknya.
"Ah masa sih, Yah?" tanya Rey iseng.
"Iya, loh, beneran. Bahagia banget sepertinya yabg mau jalan-jalan."
"Hehe, sekali-kali gak pa-pa, 'kan, Yah?"
"Gak pa-pa, Dik. Cuman sepertinya ada yang cemburu kalau kalian perginya hanya berdua saja," sindirnya pada istrinya yang sedang cemberut.
"Ayah! Jangan usilin Ibun terus, dong! Nakal banget, deh, Ayah!" sergah Rey yang memang tak suka jika melihat Ibunnya cemberut.
"Iya, nih, Ayah! Kalau Ayah usilin Ibun, Adik gak mau balaan sama Ayah!" serunya tak kalah.
"Loh? Kok jadi Ayah yang di sebelin sama kalian," keluhnya.
"Padahal, Ibun kalian tuh gak bolehin kalian pergi, loh! Ayah yang bantu kalian biar dapat izin!" lanjutnya pura-pura kesal.
"Ayah jangan berbohong ya!" seru Tata.
"Ye, dikasih tahu gak percayaan. Ya sudah, ah, Ayah diam saja."
"Ayah bete sama Adik!"
"Ih, Ayah! Gak boleh bete ya, sabar ya, Adik gak marah kok beneran! Jangan bete ya, tenang ya!" rayunya dengan wajah memelas.
"Adik sayang Ayah loh. Jadi, Ayah gak boleh ya bete-bete kayak gitu!" lanjutnya.
"Kacang … kacang … kacang!" sindir Ibunnya.
"Kok Ibun jualan kacang, sih!" seru Tata.
"Bukaaannn, Dik! Tapi, Ibun juga sepertinya bete karena kita diamkan," bisiknya.
"Masa iya, Bang?" tanyanya dengan berbisik juga.
"Bisik-bisik tetangga aja terus, Dik, Bang!" tegur Ibun.
"Hehe, maaf ya, Ibun," tutur Tata.
"Ibun jangan marah-marah ya. Sabar ya, Adik juga sayang kok sama Ibun. Cinta banget sama Ibun, Ayah, Abang. Pokoknya semuanya, deh!" jelasnya membuat mereka semua terkekeh karena sikap polosnya itu.
"Sudah ah, ayo kita sarapan dulu!"
***
"Hati-hati dijalan ya, Dik, Bang. Abang, jaga adiknya, jangan sibuk sendiri aja!"
"Iya, Ibun. Tenang saja! Abang akan menjaga Adik dengan baik."
"Makasih ya, Ibun, sudah bolehin Tata sama Abang temenin Ara nonton."
"Iya, Nak. Kalian saling jaga ya, jangan nakal di mall nanti. Kasihan Mbak nanti kalau kalian nakal malah repot!" ucapnya mengingatkan.
"Iya, Ibun."
"Adik, jangan macam-macam!" ucapnya memeringati.
"Siap, Ibun! Laksanakan!"
"Kita berangkat dulu ya, Ibun," pamit Rey dan yang lainnya.
Mereka bergegas naik ke dalam mobil dan segera meluncur ke salah satu mall terbesar di kota mereka. Jamal sudah masuk ke dalam mobil, tepat saat mobil berlalu dari rumah Tata. Sengaja masuk ke dalam mobilnya saat sudah menjauh dari rumah Tata, sebab takut ketahuan sama Ibun.
"Mbak, nanti gak usah ikutin Ara, ya!" perintahnya.
"Tapi, Non, Mbak 'kan disuruh jaga Non, jaga Non Tata dan Abang juga."
"Ih, Mbak! Tenang saja, kita gak akan hilang kok. Aman, pokoknya Mbak gak boleh ikut! Masa iya, jalan-jalan Mbak ikut terus. Memangnya Mbak gak capek nanti ikutin kemana kita pergi?"
"Lebih baik, Mbak pergi kemana kek, Pak Dodo juga ya, pergi kemana kek, nanti kalau kita sudah selesai nonton dan jalan-jalan baru Ara hubungin kalian untuk jemput. Gimana? Setuju ya?"
Mbak dan Pak Dodo saling tatap setelahnya mengangguk setuju dengan perintah Nona Muda mereka.
"Baik, Non."
"Tapi, Non Ara janji ya, kalau ada apa-apa langsung hubungi Mbak."
"Iya, tenang saja! Ara sudah besar!" ucapnya kesal.
Rencana mereka benar-benar sepertinya sangat matang sekali. Mbak sengaja diminta oleh Ara untuk tidak ikut bersama mereka, semua itu dilakukan semata-mata agar rencana mereka tidak gagal. Ara tahu betul Mbaknya itu seperti apa dan bagaimana, bisa-bisa rencananya itu akan sampai ke telinga Papi dan Maminya nanti saat pulang ke rumah.
"Nih." Ara menyodorkan beberapa lembar mereka pada Mbak dan Pak Dodo.
"Untuk apa, Non?"
"Untuk jajan, dan kalian harus janji gak boleh laporan sama Mami dan Papi kalau kalian tidak ikut masuk! Kalau sampai Mami dan Papi tahu, kalian akan Ara pecat!" ancamnya.
"Ba-baik, Non."
"Ini buat Mbak." Tangannya terulur memberikan lembaran merah.
"Dan ini, buat Pak Dodo."
"Makasih, Non," ucap Pak Dodo.
"Makasih ya, Non."
"Iya sama-sama."
Tata dan Rey hanya saling tatap saja, setelah itu menggelengkan kepala. Mereka tidak menyangka, Ara benar-benar melakukan semuanya dengan totalitas tanpa batas. Dan bisa mengancam kedua pekerjanya itu, tidak baik sih sikapnya tapi mungkin ini caranya untuk membantu Jamal agar rencana mereka berhasil.
"Ayo kita turun," ajak Ara.
Mereka bertiga turun dari mobil dan melambaikan tangan pada Mbak dan Pak Dodo. Melangkah masuk ke dalam mall dan bergegas menuju bioskop di mall tersebut. Mereka duduk di sofa sambil menunggu Riko datang.
"Tata, Jamal ada disini gak?" tanyanya berbisik.
"Ada, disebelah kamu."
"Oh baguslah! Kupikir dia gak ikut, percuma saja kita bantu 'kan kalau dianya saja gak ada. Gimana kita bisa tahu pelakunya, 'kan?" ucapnya berbisik lagi.
"Jamal ikut kok, Ara. Tadi di mobil juga ikut."
"Hah? Sejak kapan? Dia ikut dari rumah aku?" tanyanya terkejut.
"Gak. Ikut dari rumah aku. Tapi, gak pas di rumah banget sih, pas kita udah keluar komplek dia baru masuk mobil. Sepertinya dia takut ketahuan Ibun, jadi masuknya pas mobil menjauh dari rumah," jelasnya.
"Pintar juga ya si Jamal."
"Sepertinya Jamal memang sudah menyusun rencana ini dengan baik, Dik, Ra!"
"Iya kayaknya ya, Bang. Teman Abang mana?" tanya Ara.
"Sebentar lagi katanya sampai."
"Lama banget!"
"Sabar kali, Ra. Lagian Jamal juga belum kasih tahu rencana selanjutnya, 'kan?"
"Iya juga, sih. Coba kamu tanya deh, Tata."
"Jamal, gimana? Om yang nabrak kamu pasti datang kesini, 'kan?" tanyanya pelan.
"Kesini, Tata. Tenang saja. Pertama-tama, nanti kamu sama Ara bercandaan gitu dan gak sengaja nabrak dia, terus kamu pura-pura kaget lalu jelasin kamu liat aku dalam keadaan parah karena kecelakaan. Nanti, aku mulai usilin dia."
"Oke!"
"Gimana, Ta?"
"Ya gitu, masa iya gak ngerti, sih, Ara!" dengus.
"Lah? Bagaimana aku bisa ngerti, Tata! Aku 'kan gak bisa dengar kalian bicara!"
"Ya Allah, aku lupa, Ara!" kekehnya menepuk pelan keningnya. Rey tertawa geli melihat kelakuan adik dan sahabatnya itu.
Tak lama, ada seorang lelaki yang seumuran dengan Abang Rey melangkah ke arah mereka. Ternyata lelaki itu adalah Riko. Ia menatap Tata dari atas hingga bawah, lalu menggelengkan kepala.
"Luar biasa," gumamnya.
"Apanya, Iko?"
"Adikmu auranya sangat luar biasa!"
"Gimana bisa tahu kalau ini adikku? Kalian 'kan belum kenalan," ucapnya bingung.
"Aku 'kan bisa merasakannya, Rey! Kamu ini aneh, kita 'kan sama! Sudah jelas aku bisa merasakannya!"
"Haha, aku lupa!"
"Dasar kamu ini, Rey! Jaga adikmu, Rey, bahaya kalau lepas dari pengawasan," ucapnya serius.
Ternyata Riko bukan hanya bisa merasakan sekarang, tetapi juga bisa melihat dan berinteraksi dengan mereka. Semua mata batinnya dibuka agar dirinya bisa waspada. Memang, lelaki dan perempuan itu berbeda, jika lelaki mata batinnya dibuka, mereka masih bisa tenang sekalipun yang muncul dihadapannya itu sungguh mengenaskan, berbeda dengan perempuan yang akan langsung berteriak dan stress.
"Ara?"
"Iya, Bang."
"Kalau mau buka mata batin, jangan ragu!"
"Hah? A-abang kok tahu?"
"Tahu--"
"Sudah-sudah! Kebiasaan kamu, Iko! Kontrol diri dong! Jangan sampai jadi bumerang buat kamu sendiri saat mata batinmu sudah terbuka."
"Iya, maaf, Rey."
"Tata, Abang, dia datang."
"Dimana?" tanya mereka serempak.
"Pintu masuk arah ke kanan, cepat!" teriaknya.
Empat s*****n tersebut langsung berjalan menuju arah yang di maksud oleh Jamal. Sesuai dengan rencana Jamal, Tata dan Ara bercanda lalu tak sengaja bertabrakan dengan orang yang sudah menabrak Jamal.
"Ma-maaf, Om," ucap Ara terbata.
"Iya, gak pa-pa, Dik. Kalau jalan hati-hati ya, jangan bercanda! Takut kalian nabrak barang berharga."
"Iya, Om. Maaf ya," tutur Tata.
"Om, kenapa bawa anak kecil dengan muka berdarah-darah?" tanya Tata bingung dengan wajah polosnya.
"Ma-maksudmu apa, Dik? Om sendirian, loh, ini!"
"Gak! Om gak sendiri, ada anak lelaki kecil yang sedang bergelayut di kaki Om. Itu lihat, Om! Memangnya Om gak lihat?" tanyanya.
Muka lelaki muda itu seketika berubah menjadi pucat pasi. Menoleh kekanan dan kekiri seperti memastikan apa yang diucapkan oleh Tata itu salah.
"Jangan bercanda, anak kecil!" bentaknya.
"Om, jangan bentak teman aku!" sentak Ara.
"Teman kamu ini gila? Hah?"
"Gak, Om! Sini aku bisikin!" Lelaki itu mendekat dan mensejajarkan tingginya dengan Ara.
"Teman aku, bisa melihat makhluk tak kasat mata, Om!" bisiknya.
Tiba-tiba tubuh lelaki itu menegang dan semakin pucat pasi. Tubuhnya bergetar, lututnya pun terlihat bergetar. Beberapa kali mengusap tengkuknya, Jamal sedang usil meniup-niup tengkuk lelaki itu.
"Ka-kamu serius? Ka-kamu gak bohong?"
"Sumpah! Aku gak bohong! Om tanya saja padanya." Tunjuknya pakai dagu pada Tata.
"Dik, kamu lihat apa?" tanyanya pelan dan berbisik.
"Anak kecil lelaki, mukanya rusak, berdarah, kaki dan tangannya putus, lalu kepalanya rusak. Sepertinya, dia tertabrak, Om," lirihnya.
"A-apa?" ucapnya terkejut. Wajahnya semakin pucat, peluh sudah mulai berceceran. Beberapa kali diusapnya namun wajahnya banjir dengan peluh, padahal di dalam mall pendinginnya sangat dingin sekali.
"Om! Dia naik ke tubuh Om dan tiup-tiup leher, Om!" seru Tata semakin membuatnya takut.
Beberapa kali mengusap atau lebih tepatnya menyingkirkan sesuatu dari badannya. Jamal terkekeh melihat perubahan wajah lelaki itu, ada kepuasan tersendiri dari raut wajahnya itu. Ia merasa rencananya berhasil.
"Tata, Ara!" teriak Rey dan Riko berbarengan.
"Kalian kemana saja, sih! Abang khawatir tahu gak!"
"Iya, nih! Kita berdua sampai keliling mall ini tahu!" sentak Iko.
Padahal, mereka bersembunyi di salah satu toko baju dan memperhatikan mereka bertiga dari kejauhan.
"Om! Bocah itu jilat-jilat wajah, Om!" tutur Tata semakin membuat lelaki itu takut sejadi-jadinya.
"Tata! Jangan begitu! Ayo pergi!" tegur Rey sengaja semakin membuat lelaki itu takut.
"Bang, bocah itu kecelakaan. Kayaknya ditabrak sampai meninggal," jelasnya masih menatap lekat lelaki itu.
Tata benar-benar membuatnya takut sampai tak bisa berkata-kata saking takutnya.
"Dik! Gak boleh bicara seperti itu! Sudah biarkan saja!" bisiknya tapi masih terdengar oleh lelaki itu.
"Rey, lebih baik kita pergi!" ajaknya.
"Maaf ya, Om. Maafkan sikap adik saya. Permisi."
Mereka berempat berbalik arah dan menjauh dari lelaki itu. Setelah sadar bahwa dirinya sudah ditinggalkan oleh keempat anak istimewa itu, ia berlari berusaha mengejar keempatnya.
"Tunggu! Hei, tunggu!"
***