"Bapak jangan ngawur, Sejak kapan tubuh saya menjadi milik Bapak?" tanya Dinara dengan nada meninggi.
Narendra tak lama tertawa dengan kencang seakan menganggap pertanyaan itu adalah sebuah lelucon. Melihat sang atasan semakin merendahkan dirinya membuat amarah wanita itu terpancing.
Telunjuknya mengacung kepada Narendra sembari berkata." Bapak ini memang benar-benar tidak punya hati. Seandainya saja saya tahu jika tawaran yang Bapak berikan untuk menyelamatkan saya adalah tubuh ini, saya akan membiarkan pria tua itu menjamah saya."
"Dan menjadikan dirimu sebagai tambang uang dari pria penjudi dan pemabuk itu?" tanya Narendra dengan sinis.
Dinara hanya terdiam karena tak dapat membalas ucapan dari Narendra yang semakin memandangnya dengan penuh penghinaan.
"Kenapa tidak menjawab Putri Tidur? Apakah kamu baru menyadarinya sekarang?" Narendra kembali bertanya dengan menampilkan senyuman kemenangan.
"Sudahlah, lebih baik kamu makan dulu karena saya tidak mau 'bermain' dengan wanita yang sakit-sakitan," ucap Narendra dengan nada memerintah.
Tadinya Dinara ingin mengajukan protes karena dia tidak merasa lapar, akan tetapi Narendra memandanginya dengan tajam. Dengan menyuap secara perlahan demi perlahan akhirnya Dinara dapat menghabiskan makanan yang dibelikan oleh Narendra.
Baru saja Dinara merasakan kedamaian tiba-tiba pintu ruangan Narendra dibuka secara paksa, tak lama suara yang menggelegar keluar dari mulut Bonita.
Kekasih dari Narendra itu tak terima melihat pemandangan yang tersaji di depan matanya, di mana Narendra mengusap sisi bibir Dinara yang berlepotan dengan sisa makanan.
"Sayang! Apa yang sedang kamu lakukan? Kenapa kamu memegang wanita rendahan seperti dia?"
"Aku risih melihat sesuatu yang 'kotor'," jawab Narendra dengan dingin yang membuat Bonita hanya dapat menggerutu di dalam hatinya.
Narendra memang pria yang terkenal perfeksionis, dia tidak tahan jika melihat ada sedikit kesalahan ataupun hal yang kotor barang sekecil apapun. Tapi entah mengapa Bonita mempunyai perasaan jika Narendra memiliki maksud lain terhadap Dinara.
"Tapi kamu nggak harus membersihkannya sendiri 'kan. Memangnya dia nggak punya tangan?" tanya Bonita dengan ketus.
"Bonita ... Bukankah aku sudah mengatakan sebelumnya jika aku tidak suka diatur-atur. Kalau kamu masih bersikap seperti ini terus, jangan salahkan aku jika pertunangan kita tidak bisa dilanjutkan lagi."
Mata Bonita terbelalak mendengar untaian demi untaian kalimat yang dikatakan oleh Narendra. Tidak dia percaya kekasih yang sudah dia pacari selama hampir 6 tahun terakhir masih menganggap remeh hubungan mereka.
Bonita mengarahkan tatapannya kepada Dinara yang hanya dapat menunduk di antara pertengkaran dirinya dan Narendra. Tangannya mengepal erat dan menampilkan urat-uratnya.
Wanita itu bersumpah di dalam hati akan membuat hidup Dinara tidak tenang mulai hari ini. Bonita harus memberi pelajaran agar wanita miskin itu tahu di mana posisinya berada.
"Padahal aku sengaja datang di sela kesibukanku untuk mengajak kamu makan siang tapi sepertinya kamu fokus dengan 'mainan baru' kamu," ucap Bonita yang mulai melancarkan rengekannya.
Tanpa perlu dikatakan lagi, Dinara tahu jika mainan baru yang dimaksud oleh Bonita adalah dirinya, perasaannya semakin tak karuan. Perutnya tiba-tiba bergejolak tanpa sebab, rasanya dia ingin memuntahkan semua isi perutnya saat ini juga. Namun Dinara tahu jika dia tak dapat berbuat apa-apa selain hanya diam.
"Terus apa hubungannya denganmu jika itu benar?" tanya Narendra sembari menatap tajam Bonita.
Kali ini Bonita memilih untuk mengunci rapat mulutnya, dia tak ingin Narendra marah besar kepadanya dan melakukan apa yang menjadi ancamannya beberapa menit lalu. Dia harus menikah dengan Narendra betapa pun buruknya sikap pria itu kepadanya.
Andai saja keluarga Adinata bukan salah satu keluarga terkaya di benua ini, Bonita sudah meninggalkan Narendra sejak lama. Kedua orang tuanya berharap jika Bonita dapat menikah dengan sang tuan muda Aditama, mengingat kekayaan yang dimiliki keluarga pria itu yang tidak akan habis 8 turunan tanpa harus bekerja susah payah.
"Sayang, bukan begitu maksud aku. Aku hanya nggak suka kamu menyentuh wanita lain, biar bagaimana juga aku ini 'kan tunangan kamu," bujuk Bonita dengan nada memelas.
Dinara yang sudah tak dapat menahan rasa mualnya akhirnya memuntahkan isi perutnya dan membuat jijik Bonita, wanita itu bahkan mengumpati Dinara dengan kata-kata kasar.
"Heh. Dasar kampungan! Begini nih kalau belum pernah merasakan masuk ke tempat bagus seperti ini," bentak Bonita dengan jari telunjuk mengarah pada Dinara.
"Maaf Bu, saya benar-benar tak dapat menahan mualnya," jelas Dinara dengan menunduk.
Sementara itu Narendra hanya menyaksikan pemandangan itu tanpa bergeming, seakan-akan dia sedang menonton sebuah pertunjukan yang menarik.
Dinara yang masih merasa mual hanya dapat terdiam, sepertinya obat yang diberikan oleh dokter klinik perusahaan tidak manjur untuk menyembuhkan asam lambungnya.
"Ckckck, dasar perempuan ini!" umpat Bonita yang kini mendorong dahi Dinara dengan jari telunjuknya.
Melihat kuku panjang Bonita yang akan melukai kening Dinara membuat Narendra segera menangkap tangan sang kekasih dengan diiringi sebuah kalimat.
"Ayo kita pergi makan," ajak Narendra.
"Dan kamu ... Saya tidak mau tahu, pokoknya ruangan ini harus bersih sebelum saya kembali." Padahal Narendra mengatakannya dengan biasa saja, tetapi bagi Dinara itu terdengar seperti perintah.
Sepeninggal keduanya Dinara langsung merebahkan tubuh ke sofa, rasa lemas dan pusing masih mendominasi tubuhnya. Akan tetapi saat mencium bau tak sedap yang berasal dari lantai membuatnya sadar jika harus membersihkan bekas muntahannya.
Dengan langkah gontai Dinara menuju meja kerja Narendra dan memanggil office boy untuk membawakan seember air yang berisi karbol dan pel. Meskipun awalnya sempat bingung akhirnya office boy itu mengatakan jika akan naik dalam beberapa menit.
"Astaga Mbak Nara! Kenapa di lantai ada bekas muntahan?" tanya office boy yang berusia 40 tahun itu dengan sedikit berteriak.
"Saya yang muntah, Pak. Biar saya saja yang membersihkannya, nanti setelah selesai saya akan panggil Bapak lagi untuk mengambil ember dan pelnya. Sekarang bisa tolong belikan saya makan siang? Saya terlalu lemes untuk turun ke bawah," ucap Dinara dengan nada lirih.
"Nggak apa-apa, Mbak. Biar Bapak saja yang bersihkan, nanti Mbak Nara semakin lemas dan malah pingsan lagi kayak tadi. Setelah ini Bapak akan belikan Mbak makan siang." Dinara merasa tak enak hati karena membiarkan office boy itu membersihkan sesuatu yang menjijikkan.
"Mbak Nara mau makan apa?" Terlalu banyak melamun membuat Dinara tak sadar jika office boy itu sudah menyelesaikan pekerjaannya.
Tak lama wanita itu mengeluarkan pecahan uang sebesar Rp100.000,- dari dompetnya dan meminta office boy untuk membelikannya makanan yang berkuah dan hangat. Perutnya tidak boleh kosong karena dia tidak tahu kapan Narendra akan kembali dengan sang kekasih.
Mengingat perlakuan Bonita kepadanya dari awal mereka bertemu membuat Dinara menghela napas kasar, terlihat sekali dari sikap kekasih dari Narendra itu jika sangat membencinya. Dinara menganggapnya wajar sebab feeling seorang wanita akan bekerja jika bertemu dengan saingannya.
Hembusan napas berulang kali Dinara lakukan karena tidak mengerti akan jalan pikiran Narendra yang menginginkan tubuhnya, sementara pria itu pasti juga mendapatkan kepuasan batin dari Bonita.
Seketika Dinara merasa jijik membayangkan dirinya yang akan berbagi peluh serta cairan tubuh dengan Narendra, pria yang juga menikmati surga dunia bersama dengan wanita selain dirinya.
"Apakah orang kaya memang seperti ini semuanya? Memanfaatkan kesusahan orang seakan-akan itu adalah kesenangan untuk mereka?" tanya Dinara dengan lirih.