Namanya Kalila

1513 Kata
Gelisah, dua hari berlalu dan menampar kering pada setiap senja yang tiba. Begitu gersang kah ladang pertautan ini, sehingga tunas harapan untuk pertemuan, seolah enggan tumbuh kembali. Namun, Ken masih terus mencari dengan penuh harapan dan doa. Di dalam hati ia berharap, Tuhan akan mempertemukan mereka kembali, hanya untuk meyakinkan hati. Sayangnya, hingga detik ini, ia tak kunjung menemukan wanita yang kerap kali bermain pada kedua manik matanya yang bulat. Walau begitu, jiwanya seakan menolak untuk melepas dan melupakan Kalila begitu saja. Rupanya, sejak almarhum abangnya dan Gea bersama (Pacaran), kemudian perempuan itu malah jatuh cinta kepada Ken, Gea sering menyentuh Ken dengan pura-pura tidak sengaja. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu. Ken yang sangat peka, mengetahui akal bulus perempuan tersebut. Sejak saat itu, ia begitu antipati terhadap sentuhan asing yang menyapa kulitnya. Bukan tanpa sebab, Ken pernah hampir tidur dengan Gea karena perempuan itu mengumbar tubuhnya di dalam kelelahan dan halusinasi Ken. Untungnya, pria itu segera sadar dan kabur dari rumahnya. Malam itu, Kem selamat dari fitnah dan tipu daya. Ken pernah mengatakan kebenaran ini kepada mendiang kakaknya. Namun sayang, ia malah mendapatkan amarah dan itu membuatnya kebingungan. Mulai detik itu, ia seperti memasang pagar pada tubuhnya sendiri. Jika dihitung-hitung, sudah dua tahun Ken tak disentuh oleh wanita. Apalagi, laki-laki yang satu ini memang sulit untuk jatuh cinta. Pria tampan berseragam coklat itu tampak berdiam diri sejenak, di muka pintu toko yang tampak elegan. 'Apakah aku sebegitu pedulinya dengan bros ini, sehingga tidak bisa tenang sebelum menyerahkan kepada perempuan itu?' Tanya Ken seraya menatap aksesoris milik Kalila yang berada di tangan kanannya. 'Kenapa ya? Rasanya, seperti ada yang menuntunku untuk melakukannya. Sebab, biasanya, aku tidak akan perduli dengan hal semacam ini.' Ken terus saja berdiskusi pada dirinya sendiri. Sebab, ia benar-benar kebingungan. Dengan raut wajah menyelidik, Ken bergerak lamban, sembari memperhatikan aksesoris wanita yang berkilauan, dan tersusun rapi di dalam etalase. Ia merasa yakin bahwa tempat ini bisa dijadikan lokasi untuk menggali informasi mengenai wanita asing, pemilik aksesoris mahal tersebut. "Permisi, Pak. Ada yang bisa dibantu," sapa salah seorang pelayan dengan pakaian rapi dan senyuman yang indah. "Oh, iya. Nama saya Ken." "Baik." "Saya ingin mempertanyakan tentang bros ini." Ken memperlihatkan apa yang ia bawa sejak tadi. "Saya mencari alamat pemiliknya," tuturnya tanpa basa basi. Pelayan toko memperhatikan bros pakaian tersebut dengan seksama. "Sebentar, kita cek dulu!" "Silakan!" jawab Ken yang juga mengikuti langkah pelayan wanita tersebut. "Kalau berdasarkan catatan, memang hanya ada duo orang yang pernah membeli bros model ini," kata pelayan toko yang sudah berada di meja kasir. "Tapi, kita nggak pernah mencatat alamat pelanggan loh, Pak." "Saya hanya ingin mengembalikan barang berharga ini. Kalian sendiri juga pasti tahu kan, berapa harganya?" "Ia, Pak. Setara dengan harga sebuah motor keluaran terbaru," jawab kasir sambil menatap dalam. "Itu makanya saya ingin mengembalikannya secara langsung. Tidak ada niat lain." Ken berusaha untuk meyakinkan si pelayan dan kasir, agar mereka bersedia untuk memberikan informasi lebih rinci. "Tapi, kita memang nggak tahu alamat beliau." "Coba aku tanyain dulu kepada mbak Nesa, Kak!" timpal kasir yang terus memperhatikan wajah Ken yang memang tampak berharap. "Oh iya, coba aja!" "Oke, sebentar ya, Pak!" "Iya, silakan," jawab Ken sambil menghela napas panjang. "Aku akan menunggu." "Baiklah." Sepuluh menit berlalu, perempuan yang menjadi pimpinan di toko ini turun untuk menyambangi Ken. Senyum indah menyapa laki-laki tampan yang mengenakan seragam polisi tersebut. "Selamat siang, Pak," kata Nesa santun, sambil mengembalikan bros pakaian tersebut. "Silakan," sambungnya masih dalam senyuman yang sama. "Siang," jawab Ken yang melihat bahwa bros tersebut sudah diletakkan ke dalam kotak khusus untuk perhiasan. Senyum Ken pun ikut mengembang. "Terima kasih." "Tidak masalah," sahut Nesa sambil melangkah ke arah kursi di ruang santai. "Silakan duduk!" "Apa aku bisa mendapatkan alamat perempuan ini?" tanya Ken sekali lagi, sebab ia tak mau mengulur, apalagi sampai membuang-buang waktu. "Sebenarnya, data pelanggan adalah privasi. Tapi, jika Anda bisa menyebutkan alasan yang tepat, mungkin kami akan membantu." Ken terdiam sejenak, memikirkan kalimat yang bagus untuk mendapatkan keinginannya. "Wanita pemilik bros ini sangat spesial," kata Ken dalam senyum. "Walaupun kami tidak pernah berjumpa sebelumnya, sama sekali tidak saling mengenal, tetapi dia begitu baik. Dua hari yang lalu, abangku mengalami luka serius dan membutuhkan donor darah sesegera mungkin. Anda harus tahu, perempuan ini bersedia membantu saya. Padahal kita hanya dua orang asing yang bertemu tanpa sengaja. Menurutku, benda ini pantas kembali kepadanya." Nesa tersenyum simpul. "Namanya Kalila, aku biasa memanggilnya dengan Lila. Beliau memang terkenal sangat baik dan ceria." 'Syukurlah, aku menemukannya.' Kata Ken yang memahami arti dari kalimat Nesa barusan. "Selain Kalila, ada seorang pengusaha yang datang untuk membelinya. Namun, sepasang suami istri tersebut sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, dan semua anaknya adalah laki-laki. Selain itu, mereka tidak lagi tinggal di Indonesia," beber Nesa yang ternyata sedang menguji kebenaran ucapan pria yang berada di hadapannya. "Oh, begitu," gumam Ken yang kini sudah sangat mengerti, bahwa Nesa begitu amanah terhadap pelanggannya. Nesa menghela napas panjang. "Saya ingat betul, bros ini merupakan hadiah spesial dari tunangannya Lila, namanya Devan." Nesa menatap Bros yang kini berada di atas meja berwarna putih. Sontak, kalimat itu membuat hati Ken tiba-tiba merasakan sakit dan sembilu. Entah apa yang menyentilnya, hingga rasa ini tiba-tiba muncul, tanpa alasan. Rupanya, tanpa ia sadari, jiwanya telah tersentuh rasa simpatik terhadap Kalila dan ingin mengenalnya lebih dalam lagi. 'Dia sudah bertunangan rupanya.' Ken tampak gundah, di dalam hatinya. Nesa kembali membuka mulutnya. "Bahkan mereka hampir menikah." Ken semakin terpeleset luka dan ia tidak ingin melanjutkan percakapan yang menyakitkan ini. "Baiklah, kalau begitu di mana alamat mereka supaya urusan ini bisa segera selesai." Nesa mengeluarkan pulpen dari dalam kantung blezernya dan mulai mencatat. "Ini, silakan!" Ken memperhatikan alamat tersebut. "Ini tidak terlalu jauh, makasih ya." Pria berkulit kuning tersebut berdiri dan berniat untuk langsung ke alamat tujuan. Namun, baru dua langkah, dirinya berbalik arah untuk meninggalkan Nesa, pertanyaan lain muncul. "Maaf! Ini alamat Kalila atau tunangannya?" Nesa berdiri, dan berniat untuk mengantar Ken hingga ke pintu luar. "Kalila," jawab Nesa yang usianya sudah empat puluh tahun lebih. "Baiklah kalau begitu. Soalnya, aku juga khawatir akan kesalahpahaman. Jangan sampai mereka bertengkar karena aku," ujar Ken dengan mata yang tidak fokus. "Kamu menyukai Kalila?" "Maksudnya?" "Pria seperti Anda sangat sulit untuk berbohong. Mata itu, sama sekali tidak fokus." Nesa yang tamatan kuliah psikologi, langsung paham tentang perasaan Ken saat ini. "Maaf, mungkin Anda salah paham. Aku tidak berbuat apa pun." Nesa kembali melebarkan senyumnya, sambil mengantar Ken ke muka pintu kaca utama. "Seperti yang aku katakan sebelumnya, Kalila sudah bertunangan dan hampir menikah. Tapi, itu hampir," ucapnya sambil menekan nada suara. Ken melipat dahi. "Emh, aku tidak perduli soal itu. Makasih ya Mbak untuk alamatnya." Ken memaksakan senyumnya dan terlihat menghela napas panjang secara berulang, demi membuang sesak di d**a. "Yakin tidak ingin tahu bagaimana keadaannya saat ini?" "Tidak perlu," jawab Ken yang berusaha untuk tidak peduli. "Baiklah kalau begitu, sebab dari tadi saya pikir. Mungkin Anda adalah utusan Devan yang kini sudah berada di surga." Ken mengangkat kelopak mata, dengan dahi yang semakin ditekuk. "Apa?" tanyanya dalam gumam dan kini hatinya tiba-tiba merasa iba. "Kalila sangat ramah dan ceria. Dia perempuan pertama yang membuat saya tersenyum saat bekerja, meskipun lelah. Sejak saat itu, saya menjadi salah satu teman dekatnya. Hanya saja, sejak kematian Devan, sesaat sebelum waktu pernikahan mereka tiba, Kalila berubah total. Dia menjadi sosok yang pendiam, misterius, dan seperti takut akan cinta." "Mana boleh dia berpikir seperti itu," timpal Ken yang tampak tidak setuju dengan sikap Kalila tersebut. "Pasalnya, ini tidak terjadi satu kali. Tetapi dua kali." "Apa?" "Satu tahun yang lalu, Kalila dijodohkan oleh papanya, dengan seorang pengusaha muda. Dia yang tidak perduli lagi dengan cinta dan hidupnya, menyetujui perjodohan itu. Sayangnya, kejadian yang sama terulang kembali, dan itu menyisakan luka sekaligus trauma yang mendalam di hati Kalila. Pria itu juga mati bersimbah darah di pangkuan Kalila. Dia benar-benar hancur dan tidak berdaya," jelas Nesa yang merasa bahwa Devan adalah obat yang diberikan Tuhan, sebagai penawar luka di hati Kalila. Ken kembali menghela napas panjang. Selain itu, rasa simpatinya juga sudah bertambah dengan unsur iba. Rasanya, ia terpanggil untuk ingin tahu tentang bagaimana Kalila. Pria yang selalu berpikir bahwa dirinya hanya akan seorang diri di dunia ini, malah melupakan pikirannya tersebut. Masih dalam keadaan yang menegangkan hati, ponsel Ken berbunyi. Dengan cepat, Ken mengangkatnya dan bersiap untuk kembali ke kantor. "Sepertinya, aku harus menunda urusan ini sebentar," kata Ken sambil menatap Nesa. "Komandan memanggil dan tidak bisa ditawar." "Baiklah, Hati-hati ya." "Makasih, Mbak Nesa," kata Ken yang langsung menyimpan bros milik Kalila di dalam kantong pakaiannya. "Oh iya, namaku Ken." "See you, Ken." "Thanks." Ken meninggalkan Nesa sembari berlari cepat ke arah mobil yang ia parkir jauh dari toko berlambang C besar tersebut. 'Ini, semangat ini. Dari mana asalnya?' Tanya Ken tanpa suara, sambil terus berlari. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja hatinya yang dingin menjadi hangat. Ia seperti baru saja mendapatkan berita baik yang mampu menyelamatkan jiwanya. Tidak, mungkin lebih dari itu. Ini seperti mendapatkan debaran yang sama, seperti ketika ia jatuh cinta untuk pertama kalinya, semasa sekolah dulu. Bersambung. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku, makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN