chapter 02

667 Kata
"Hajar gue, Inge!" Tidak melihat jam atau menghitung waktu, gadis dengan semburat bosan pada wajahnya itu masih setia mendengarkan curhatan tidak perlu dari cowok lebay yang tengah menarik-narik seragamnya. Menerima segala gerakan aneh Anaresh Maxon yang tidak bisa terprediksi. Sedetik berkata bersyukur karena putus, sedetik kemudian meraung-raung. Mengaku masih cinta, pakai banget. "Lo nonton sinetron Indonesia yang mana ampe dramatis banget praktikinnya?" Inge menunduk, memastikan bahwa Maxon masih bernapas karena cowok itu sudah berhenti nempel padanya. "Ini kisah nyata, Inge..." Suara desahan Maxon terdengar memilukan. Tak terhitung berapa liter air asin yang keluar dari pelupuk matanya. "Capek gue nangis begini, ih!" "Suruh siapa?" sindir Inge, kesal. "Disuruh oleh rasa sakit yang begitu tajam menembus hati. Bagai duri, begitu sakit, ohhh kejam." Geleng kepala tanda bodo amat saja mungkin belum cukup jika saat ini kalian menjadi Inge. Berhadapan dengan orang mabuk alkohol lebih gampang daripada mendengar Maxon berceloteh. Bikin pusing kepala. "Kalau lo mau lanjut nangis, silakan aja. Tapi pelanin ya, gue mau ngepel. Puyeng denger suara lo." Setelah mengatakan itu, Inge kembali menghampiri ember dan alat pel yang tadi ia tinggalkan. Membiarkan Maxon bersama air matanya membangun pulau Samosir atau mungkin empang lele. Terserah, Inge tidak peduli. "Inge, harusnya lo bujuk gue biar berhenti nangis!" rengek Maxon tambah rewel. Inge menghentikan gerakan membersihkan lantai untuk kembali melirik Maxon yang saat ini memasang ekpresi menangis yang minta ditonjok. Inge hanya menjawab, "Sini gue guyur pake air pel, mau?" Maxon menggeleng, ia berdiri perlahan sambil menghapus pipi basahnya. Seperti biasa, ia melakukan gerakan tak terduga. Maxon langsung berlutut di hadapan Inge sambil memohon-mohon, "Inge! Lo kayanya orang jahat ya sama kaya Shaen?! Please bantu gue jadi orang jahat biar nggak disakitin terus! Dunia ini kejam!" Ini orang bodoh atau gimana sih? Inge bergerak mundur, namun Maxon melangkah maju, masih berjongkok di hadapannya. "Tolong gue Inge! Help me! Help me!" "Apa sih, Max?" Inge terus melangkah ke belakang, ia tidak mengerti sedang berada pada situasi apa dan berbicara dengan makhluk apa. "Bantuin gue balas dendam ke mantan sialan gue ini, Inge! Gue mau jadi orang jahat! Bantuin gue!!" Maxon menjerit, kembali menarik seragam Inge sehingga dengan reflek gadis itu mengangkat kaki kanannya untuk menendang d**a Maxon. Gudubug! "Inge jahat!!!" teriak Maxon histeris yang sudah tergeletak pada lantai karena tendangan kuat dari Inge. "Serem banget sih lo! Emak lo ngidam apa pas ngandung lo?!" Inge bergeridik ngeri, memeluk tongkat pelnya seolah-olah bisa menjadi senjata jika Maxon macam-macam lagi. "Gue mau jadi orang jahat, Inge!" "Nggak ada yang mau jadi orang jahat, Maxon!" "Ada! Gue buktinya!" ujar Maxon dengan wajah serius. Ia mengambil posisi berdiri dan Inge langsung menghadang Maxon menggunakan tongkat pel agar cowok itu tidak mendekatinya. "Tolong bantu gue..." Maxon memohon iba. Inge menggeleng cepat. "Gue nggak mau ada urusan sama lo. Sana, cari orang lain aja!" "Lo orang yang paling tepat! Lo kan jahat!" Gadis itu menggeram, kesal juga jika lama-lama dikatai jahat terus meski ya memang sifat Inge bisa dikatakan 90% jahat. Ke mana 10% lagi? Sisanya, jahat sekali. Kampret. Maxon mencoba berpikir, ia yakin Inge bisa merubahnya sehingga ia harus membujuk gadis yang doyan tauran ini agar mau membantu Maxon membalaskan dendam. "Inge..." Maxon menurunkan tangan kanannya, lebih rendah dari perut ratanya. Dengan perlahan terulur untuk menjauhkan tongkat pel itu. Ia melangkah mendekat ketika Inge mulai biasa saja. "Please, Nge, bantu gue?" pinta Maxon lagi, kali ini dengan tangan kanannya yang terulur. Jangan lupakan juga ekpresi serius yang seolah berkata bahwa dirinya sangat membutuhkan pertolongan. "Gue..." Inge berubah kikuk, pertama kalinya ia dimintai bantuan oleh seseorang. Meski permintaannya cukup aneh, namun Inge sedikit tertarik pada uluran tangan Maxon. Cowok itu memiliki kulit putih bersih yang membuat setiap guratan nadinya terlihat. Kulitnya halus seperti bayi, tanpa harus dirasakan. Dan tangan cowok itu sepertinya begitu lembut jika bersentuhan dengan pemilik tangan manusia lain. Siapa pun itu. "Lo... bener-bener mau balas dendam?" Inge berbicara sedikit ragu. Maxon mengangguk pada pertanyaan Inge. "Kalau gitu..." Inge menggantungkan ucapannya, ia menutup mata beberapa detik lalu melanjutkan, "Cari orang lain, Max. Gue nggak tertarik."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN