Pertemuan Yang Tidak Disengaja (1)

1907 Kata
Sepanjang penerbangan menuju Jakarta, perasaan Klara gundah gulana. Andai saja pesawat udara adalah mobil pribadi yang dapat ia setiri sendiri, ingin rasanya dia merangsek masuk ke dalam kokpit, mengambil alih tugas entah Siapa yang tengah menerbangkan pesawat saat itu, apakah Sang Pilot ataupun Co-Pilot. Dan andaikan pesawat udara juga dapat diajak kebut-kebutan, tidak mustahil kalau Klara sudah berpikiran nekad untuk mengambil alih kemudi dan menepuk pundak Pilot atau Co-pilot sembari berkata tegas, "Minggir! Let me handle this," lantaran menilai mereka tidak lebih jago ngebut ketimbang dirinya. Malangnya, itu tak mungkin. Dia mencoba untuk rileks ketika Sang Flight Attendant menyediakan minuman dan makanan untuknya serta sejumlah Penumpang lainnya. Ah, dia benar-benar sedang tidak berselera untuk makan. Sungguh! Namun mengingat acara di pemakaman biasanya akan memakan waktu lumayan panjang, dia tersadar bahwa dirinya memerlukan energi. Belum lagi membayangkan bahwa dirinya nanti akan menghadapi kecerewetan Irene, dia langsung yakin dirinya perlu energi tambahan supaya tidak terserang penyakit 4 L : lemah, letih, lesu, bahkan bisa-bisa jadi lunglai! Senyuman ramah Sang Flight Attendant serta sikapnya yang sangat santun tidak sesegera itu menghibur hati Klara. Dia memaksakan diri untuk menelan makanan yang terhidang. Usai dengan itu, Klara mencoba menenangkan hatinya dengan membaca buku yang ia bawa. Itu memang salah satu kebiasaannya yang tetap terpelihara semenjak dulu. Tak peduli era digital yang telah menggusur keberadaan buku cetak, toh Klara tetap setia untuk membeli sekian banyak judul buku dari sekian banyak Penulis favoritnya, dalam versi cetak. Buku-buku yang telah memenuhi rak buku di apartemennya. Beberapa halaman buku telah dibacanya dengan cepat. Sayangnya, kali ini perasaan gelisahnya menghilangan semangatnya untuk membaca. Akhirnya dia mencoba untuk memejamkan mata. Itu juga gagal. Maka jalan terakhir, dia hanya dapat berdoa dalam hati di sepanjang penerbangan, agar pesawat dapat segera mendarat dengan selamat di bandara Cengkareng. Setelah itu dia bolak-balik melihat arlojinya. Rasanya lega sekali ketika terdengar notifikasi bahwa pesawat akan segera mendarat dan Para Penumpang diminta untuk mengencangkan seat belt serta menegakkan sandaran kursi. “Uf, akhirnya,” gumam Klara super pelan. Penumpang yang duduk di sebelahnya, yang semenjak tadi diam saja, rupanya secara sembunyi memerhatikan gerak-geriknya. “Lagi terburu-buru ya Mbak?” tanya Penumpang tersebut. “Iya,” jawab Klara pendek, menjawab pertanyaan dengan kategori tak penting itu. “Delay-nya parah sih ya,” komentar Penumpang itu lagi. Lantaran sedang tak berselera untuk mengobrol, Klara hanya manggut kecil. Menengok ke samping juga tidak. Penumpang yang duduk di sebelahnya itu tampaknya tahu diri dan tak bertanya apa pun lagi kepadanya. Dan begitu pesawat baru saja mendarat serta mulai berjalan di run way, sudah mulai terdengar suara ‘klik’ dari pengait seat belt yang direnggangkan. Jika selama ini Klara termasuk Salah satu Orang yang mengecam tindakan macam itu, berdecak gemas serta tak jarang menggerutu, “Dasar norak!” maka kali ini dirinya sendiri melakukan hal yang tak patut itu. Ya, dia ikut mengendurkan seat belt. Lantas bersamaan dengan pesawat yang berhenti sempurna, keriuhan di lorong mulai terdengar. Malah ada yang sudah bergerak selincah seekor Kijang, tahu-tahu melesat ke arah pintu depan. Seolah-olah kalau dirinya merupakan Penumpang yang pertama turun dari pesawat, maka akan mendapat sambutan dengan dikalungi bunga dan melangkah di karpet merah. Dan lagi-lagi, Klara ikut-ikutan tak sabar. Dia langsung mengambil tas laptopnya yang disimpan di kabin yang letaknya di bagian atas. Penumpang yang tadi duduk di sebelahnya, hanya senyum kecil melihat tingkah lakunya. Lalu ketika Klara sedikit terjepit sebab belum ada pergerakan di lorong sehubungan dengan pintu pesawat yang belum terbuka, Penumpang itu juga tersenyum sendiri. Kali ini Klara memergoki tindakannya. Klara berusaha membebaskan dirinya dari keadaan terjepit. Mujur, Dia berhasil. Akhirnya dia memilih untuk duduk kembali. Ia sadar sepenuhnya, pintu pesawat toh tidak mungkin untuk dia gedor? Dan dia juga tidak mungkin meloncat dari pesawat begitu pintu dibuka. Entahlah pintu pesawat tengah disambungkan dengan garbarata ataukah tangga saat ini, Klara tidak terlalu ingin memastikannya dengan mrlihat melalui jendela pesawat. Baginya tidak ada bedanya. Yang jelas, dia dan seisi pesawat belum boleh turun. Itu saja. “Saya lagi buru-buru. Ada kerabat yang meninggal dunia," ucap Klara lirih. Seakan-akan dia perlu menerangkan mengapa dirinya bertindak kurang elok macam barusan. Penumpang yang duduk di sebelahnya langsung menyesal lantaran sempat berpikiran Klara tidak sabaran. “Oh. Maafkan. Saya pikir hanya karena tidak sabar akibat waktu delay yang lumayan. Saya turut berduka cita, ya.” Dia langsung mengekspresikan penyesalannya kepada Klara. “Terima kasih.” “Sama-sama.” Hening sekian detik. Hening itu terpecah oleh keriuhan yang terdengar dari arah lorong. Klara menarik napas lega. Rupanya pintu pesawat telah dibuka, bahkan sebagian Penumpang terlihat sudah berlari di atas garbarata. “Duluan, ya,” ucap Klara pada Penumpang di sebelahnya, yang tampak masih sabar menanti sampai antrian menjadi mencair. “Silakan.” Klara melangkah dengan tergesa, sedikit mengambil gerakan selip sana selip sini. Tubuh langsingnya sungguh menguntungkan dirinya. Juga bawaannya yang dapat ia tangani. Flight Attendant yang melihat tingkah lakunya hanya mesem kecil. Memasuki gedung bandara, bukan berarti masalah sudah selesai buat Gadis itu. Masih ada ujian lainnya bagi Klara. Dia harus berjalan cepat menuju tempat pengambilan bagasi. Ini juga perlu keuletan serta sikap hati-hati supaya berhasil melewati kumpulan Orang yang berjalan santai sembari mengobrol, tanpa harus menyenggol apalagi menabrak mereka. Karena kalau hal itu sampai terjadi, bukannya mempercepat, malahan akan memperlambat dirinya saja. Klara langsung melihat di papan pengumuman, di belt berapa bagasi dari nomor penerbangannya dapat diambil. Dia segera meluncur mendekati ujung belt. Dipikirnya, itu posisi yang paling strategis, sebab setiap kali ada bagasi yang keluar, maka dirinya akan menjadi Orang Pertama yang tahu. Bila ketika dirinya tiba baru beberapa Orang yang berada di dekatnya, kini jumlah mereka semakin banyak. Dan Sang Bintang utama yakni bagasi, justru belum muncul juga. Padahal Para Pemirsa tengah menantikan dirinya. Saking tak sabar, Klara bolak-balik berdecak. Seolah itu belum cukup, dia juga mengintip sesekali dengan cara membungkukkan badan dan menguak 'tirai' dari karet tebal yang menghalangi pandangan matanya. Dia sedikit menarik napas lega ketika kendaraan pengangkut bagasi telah mendekat dan para kru darat mulai melemparkan bagasi-bagasi berukuran besar itu. Klara menajamkan tatapan matanya. Dia tak mau ada yang terlewat. Sekian menit berlalu, bagasinya belum juga terlihat. Klara mulai jemu. Posisi berdirinya saja sudah sedikit goyah, karena beberapa kali didesak oleh Orang-orang yang lebih tidak sabar dibandingkan dengan dirinya. Dan malangnya, pada saat dirinya lengah, bagasinya justru keluar. Bagasi tersebut terus melaju di atas ban berjalan. Saat itulah, Klara tersentak. “Ehhh! Koperku! Tolong! Tolong ambilkan, Pak!” teriak Klara secara spontan sambil menunjuk kopernya yang kian menjauh. Orang yang ia teriaki baru saja mendapatkan bagasinya. Entah dirinya kurang sigap atau kurang peduli, Orang itu memberikan isyarat supaya Klara menunggu saja. Lantas, dengan santainya Orang tersebut pergi sambil menyeret bagasinya sendiri. Klara segera berlari untuk mengejar bagasinya. Ya, setiap detik sungguh berarti buatnya saat ini. Dengan bagasinya terlewat seperti itu, artinya kan dia harus menunggu sampai bagasi itu berputar seiring roda berjalan lalu baru tiba kembali di dekatnya. Dan sialnya, roda berjalan itu lumayan panjang! Sebenarnya jarak antara dirinya dengan bagasinya belum terlalu jauh, tetapi lantaran dia kurang hati-hati, Klara tersandung. Dia nyaris terjatuh, kalau saja tidak segera ditangkap oleh Sepasang tangan kokoh. “Hati-hati Mbak,” kata Orang itu. Klara menengadahkan wajahnya. Wajah Klara langsung bersemu merah mendapati tangan kokoh itu nasih memegangi pinggangnya. Sampai-sampai dia kurang menyadari, Orang yang menolongnya terperangah. Klara buru-buru mencoba menstabilkan posisi berdirinya dan segera melepaskan pegangan Orang tersebut. “Terima kasih,” ucap Klara lirih. Dia sudah ingin segera berlalu dari hadapan Cowok itu saking merasa malu. Dan sejujurnya, terselip juga keinginan untuk menegur Orang tersebut karena dinilainya telalu lama mendaratkan tangannya di pinggangnya. “Bu Klara?” ucap Orang tersebut. Klara menoleh. “Kamu kenal sama saya?” tanya Klara. Orang itu tersenyum. Klara mempunyai lebih dari setengah menit untuk menikmati pemandangan indah di depannya. Visual yang tampak sempurna. Paras yang demikian menawan bak artis k-drama. Gaya rambut yang trendy. Sorot mata yang terkesan penuh dan menyiratkan kepercayaan diri. Sepasang alis yang bak kanopi memayungi sepasang mata itu. Hidung yang mancung, bibir yang berwarna terang karena mungkin saja tak pernah tersentuh nikotin. Dan kumis tipis bak hiasan yang melengkapi semua keindahan di paras rupawan itu. Alangkah sempurnanya! Bukan itu saja, ketika senyumnya kian lebar, deretan gigi yang putih juga segera terlihat. Klara sampai menduga-duga, jika bukan memakai pemutih gigi, mungkin saja Cowok ini juga bukan penyuka kafein sebagaimana dirinya. Betapa kontrasnya. Tak sadar, pandangan mata Klara turun saja. Bukan dari mata turun ke hati. Belum secepat itu. Dia baru memerhatikan tampilan Cowok itu. Dalam balutan pakaian kasualnya saja Cowok itu tetap menarik. Jelas Klara tak bisa menyangkal, dirinya terpesona! Meski, dia yakin Cowok ini masuk kategori Cowok Pesolek, yang gemar menomor satukan penampilan. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN