"Kevan! Kevan! Kamu nggak boleh pergi, Kevan!" Rainy—sosok perempuan yang diperankan oleh Alaka terlihat mengejar Kevan—sosok yang diperankan oleh Rafael, mereka berada di Kebun Teh Rancabali, sesuai lokasi syuting yang disetujui. Keduanya tengah melakukan scene ke-lima untuk hari ini, semua lancar dilakoni hingga waktu mendekati pukul tiga sore. Adegan Rainy yang mengejar mobil Kevan dari arah rimbunnya kebun teh hingga tepi jalan adalah adegan terakhir Alaka dan Rafael untuk hari ini. Sungguh perjuangan yang berat saat Alaka sendiri mati-matian melawan perang batin sendirian, apalagi jika ia mengingat segala hal yang terjadi kemarin—membuatnya benar-benar muak jika bertatap wajah dengan Rafael, ia bahkan selalu oleskan hand sanitizer jika adegan yang mereka perankan telah usai, anggap saja Rafael adalah bakteri di mata Alaka. Entah berapa kali skinship berlangsung untuk hari ini.
"Kevan! Kamu jangan ke mana-mana ...." Sosok Rainy terjatuh di tepi jalan, air matanya meluruh saat dapati mobil yang membawa Kevan semakin jauh melesat, membuat jaraknya dengan Rainy semakin lebar. Gadis itu menunduk seraya tutup kedua wajahnya, rasakan sedih teramat dalam.
"Oke, cut!" Akhirnya sang sutradara mengakhiri syuting hari ini, untungnya tak ada scene malam hari selain Galan dan lainnya, jadi malam ini Alaka bisa beristirahat sekalian reading session sendiri, seperti tempo hari. "Bagus, Alaka! Ini yang saya mau, chemistry kalian benar-benar bagus!" seru sang sutradara yang masih duduk di kursinya, beberapa kru tampak membereskan alat-alat syuting di tempat itu, ada beberapa tenda tersedia yang digunakan para pemain berganti pakaian, ada juga beberapa meja berpayung tempat para pemain beristirahat usai melakoni adegan di depan kamera.
Alaka sendiri hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan sang sutradara, ia merasa tak buruk juga untuk hari ini meski beberapa kali tangannya disentuh Rafael, bahkan ada adegan pelukan sebelum sosok Rainy mengejar Kevan. Tampak Rani berlari menghampiri Alaka yang kini mendekat pada meja berpayung dengan langkah pelan, keringat mengucur deras dari pelipis usai lari-lari di tengah kebun teh.
"Nih." Rani menyodorkan kotak tisu yang ia bawa, Alaka meraih beberapa lembar untuk mengusap bekas air mata di wajah serta keringatnya, kini ia duduk di balik meja berpayung sebelum meneguk sebotol air mineral dingin yang baru diletakan Rani.
"Akting gue gimana?" tanya Alaka seraya menengadah tatap Rani yang meraih beberapa lembar tisu, mengusapkannya sendiri ke wajah Alaka.
"Kalau sutradara bilang oke—ya pasti oke dong, Al. Masa dia bohong, lagian ini film terakhir lo di label ini, kan. Jadiin yang paling berkesan, Al, biar pun lo syutingnya sama—"
"Males ah kalau bahas dia lagi!" Alaka mengerucut, tapi membuat Rani terkekeh geli. "Lagian ya, Mbak. Kayaknya gue bakal mundur dari dunia entertainment ini." Alaka tak sengaja menemukan Rafael yang melangkah seorang diri di sisi jalan, remaja itu terlihat membungkuk meraih sesuatu—sebelum tatapannya mengarah pada Alaka yang langsung meraih majalah di permukaan meja untuk menutupi wajahnya. Itu orang kenapa sih langsung lihat ke gue!
Rani ikut duduk di sebelah Alaka, ia keluarkan ponselnya yang berdering dari saku celana. "Emang udah ada verifikasi lolos kuliah di Amsterdam-nya, Al?"
"Pasti lolos, kalau enggak—gue malu sendiri, lagian itu mimpi dari lama, masa iya enggak diperjuangin." Alaka bicara tanpa menatap Rani yang kini menjawab panggilan seseorang lewat ponselnya, setelah itu Rani beranjak tinggalkan Alaka. Gadis itu masih menyentuh majalah yang tutupi wajah meski kali ini ia luruhkan perlahan sebatas tulang hidung, tapi setelahnya Alaka naikan lagi hingga menutupi dahi tatkala tatapan Rafael masih mengarah padanya—bahkan tampak mendekat, membuat jantung Alaka loncat-loncat tak keruan. "Itu orang ngapain, sih. Gila apa, dia!"
Tiba-tiba saja sesuatu menyentuh pergelangan kaki kanan Alaka, membuat gadis itu langsung luruhkan majalah dan mendelik mendapati Rafael yang kini berlutut di depannya seraya pasangkan gelang kaki warna perak miliki Alaka yang ia temukan di tepi jalan beberapa menit lalu.
Astaga, jadi gelang kaki gue jatuh?
Alaka benar-benar tak sanggup bereaksi apa pun kali ini, ia membeku saat Rafael melakukan tugasnya meski begitu banyak orang di sekitar mereka, termasuk Galan yang duduk di balik meja berpayung tak jauh dari posisi keduanya berada, ia keluarkan ponsel dan arahkan kamera pada sepasang manusia itu sebelum beberapa hasil jepretan membuatnya tersenyum penuh arti. "Gue bakal bantu kalian berdua, tenang aja."
Alaka beranjak pun Rafael usai pasangkan gelang milik gadis itu di tempatnya, mereka saling tatap beberapa detik sebelum air muka Alaka berubah kesal lagi, ia bersidekap seraya alihkan pandang. "Lo temuin gelang gue—bukan berarti gue maafin lo atas kejadian semalam, ya!"
Rafael tak berkomentar apa-apa, ia justru melenggang tinggalkan Alaka yang kini menoleh tak mengerti. Ah, untuk apa dipusingkan, gadis itu kembali duduk dan keluarkan ponsel dari ransel kecil yang tergeletak di permukaan meja, Alaka mengernyit dapati begitu banyak notifikasi dari i********:—terutama dari mereka yang menandai akun milik Alaka.
Pupil matanya melebar tatkala ia temukan alasan begitu banyak akun fans yang menandai akun miliknya, tak hanya milik Alaka, tapi juga Rafael. Hanya saja sesuatu yang Alaka anggap musibah itu justru tak berasal dari akun Rafael, melainkan milik Galan. Tampak foto saat Rafael berlutut pasangkan gelang kaki milik Alaka, caption yang Galan tulis membuat Alaka sampai meremas kuat-kuat ponsel berlambang apel digigit itu.
@Real_Galan Serasi banget kan mereka, mungkin sebentar lagi bakal ada cinlok #timAlakaRafael #RafAlka
Gadis itu sudah angkat ponselnya tinggi-tinggi, bersiap melemparnya ke mana pun, tapi ia luruhkan saat teringat jika Alaka membelinya dengan susah payah, membelinya menggunakan gaji pertama sebagai aktris, bahkan sudah lebih dari tiga tahun ia menggunakan benda dengan case bergambar kincir angin berlatar Amsterdam, kebetulan ia bukan tipikal orang yang suka mengganti barang-barangnya jika sudah bosan, Alaka akan terus menggunakannya sampai benda itu rusak.
Alaka sentuhkan ke d**a ponsel kesayangannya itu, terlalu eman-eman jika ia harus membuangnya. "Kenapa beban kehidupan gue makin bertambah setelah datang lagi ke Bandung. Kenapa?" Ia bermonolog seraya tatap langit yang masih cerah, pukul tiga seperti pukul dua belas siang.
***
Beberapa kru tampak berkumpul di dekat mobil warna silver yang baru berhenti di tepian kebun teh, ada beberapa box makanan yang mereka keluarkan dari sana, hanya saja bukan katering pesanan dari label, tapi dari seorang ibu yang berprofesi sebagai chef—bahkan salah satu stasiun televisi selalu menayangkan program memasaknya, membuat nama Maudy—ibunda Alaka makin terkenal, wajah Maudy seringkali hilir-mudik pada cover majalah wanita. Ia bukan seorang aktris yang bermain drama di layar televisi, ia hanya seorang ibu berusia empat puluh tahun yang seringkali muncul di layar televisi untuk acara memasak.
Alaka sendiri belum menyadari kehadiran Maudy di lokasi syuting, ia masih yakin kalau ibunya takkan datang sebab begitu banyak urusan di Jakarta, terutama beberapa resto milik Maudy yang setiap hari harus selalu ia kunjungi, membuat kesibukannya dengan sang putri sangat bertolak belakang. Alaka ke utara, dan Maudy ke selatan. Wanita itu datang tanpa memberi kabar pada Alaka, pantas saja sang putri terlihat tak melirik keadaan di sekitarnya, ia duduk sandarkan punggung di balik meja berpayung seraya pejamkan mata saat earphone mengunci indra pendengarannya dari euforia sekitar.
Maudy mengendap-endap menghampiri sang putri yang masih belum menyadari kehadirannya, saat kecupan lembut mendarat di kening Alaka—gadis itu membuka mata temukan seseorang berdiri di depannya seraya tersenyum hangat, sebuah tote bag ia letakan di permukaan meja.
"Bunda?" Alaka beranjak, ia lepaskan earphone, meletakannya di meja. "Kok ke sini nggak bilang-bilang? Bukannya Bunda sibuk, ya."
"Kalau bunda kangen memangnya nggak boleh ketemu sama Alaka? Nggak lucu dong." Maudy mencubit hidung Alaka, ia duduk di sisi anak gadisnya seraya keluarkan sesuatu dari totte bag. "Ini bunda bawa salad buah kesukaan kamu, Al."
Gadis itu kembali duduk di kursinya. "Bunda ke sini sama siapa?"
"Sendirian dong."
"Kok sendirian? Jakarta-Bandung kan jauh, capek nyetir sendirian. Kenapa nggak pakai supir aja, sih, Bun." Kekhawatiran Alaka adalah satu hal yang paling Maudy rindukan jika ia jauh dari sang putri, terkadang lebih cerewet darinya. "Nanti pulangnya gimana? Nginep dulu ya di Bandung."
"Saudara kita di sini udah nggak ada lagi, Al. Kan nggak ada penginapan di sebelah makam eyang-eyang kamu." Maudy terkekeh sendiri, setelah tupperware berisikan salad buah, kini giliran tupperware berisikan steak daging sapi lengkap dengan beberapa sayuran yang telah disteam, tak lupa sebotol jus melon kesukaan Alaka. "Ini udah nggak dingin, Al. Beli es batu aja, di mana yang jualan?" Maudy benar-benar santai menanggapi kekhawatiran putrinya.
"Bunda—"
"Al, habis ini bunda langsung pulang kok." Maudy buka penutup tupperware, raih garpu di dalam tote bag sebelum menusukannya pada salad buah yang kini ia arahkan ke bibir Alaka, gadis itu lantas memakannya meski ekspresi cemas masih ia pamerkan. "Jangan mikir yang enggak-enggal, Al. Bunda bakal baik-baik aja, kok. Jakarta-Bandung itu nggak lebih jauh dari Jakarta-Amsterdam, kan?"
Pengakuan Maudy membuat sorot mata Alaka kian meredup, mungkinkah kepergiannya nanti akan membuat banyak orang merasa kehilangan? Bukan masalah, lagipula tujuan Alaka untuk pendidikannya. Maudy benar, sejauh apa pun jarak membentang pasti orangtua akan selalu menemukan cara untuk menemui anak mereka.
"Maaf, Bun."
"Jangan sedih, dong. Bunda lebih sedih kalau makanannya nggak kamu makan, lihat aja semua orang makan masakan bunda."
Alaka memperhatikan sekitar, tampak banyaknya kru duduk di tepian kebun teh, berjejer memakan nasi box yang Maudy bawa, kehadiran wanita itu selalu menebar kebahagiaan, bahkan Maudy terkenal loyal di kalangan tim produksi label Perfect Entertainment, membuatnya selalu disegani banyak orang. Alaka mengangguk, ia raih garpu yang dipegang sang ibu sebelum menusukannya pada salad buah.
"Itu siapa, Al?"
"Mana?" Alaka ikuti arah pandang sang ibu yang tertuju pada remaja laki-laki di tepian kebun teh, tampak bersandar pada batang pohon yang begitu rimbun seraya terpejam nikmati embusan angin sore itu, satu kakinya tertekuk saat kaki lain ia luruskan. Itu bukannya Rafael, kan?
"Dia sendiri yang enggak makan, coba Alaka kasih," ujar Maudy.
"Hah?" Alaka benar-benar menganga. "Biar apa? Nanti pasti dia makan sendiri kok, Bun. Paling belum lapar."
"Makan itu enaknya kan ramai-ramai, Al. Itu masih ada salad buah lagi di tote bag, coba kamu kasih dia."
Alaka benar-benar ingin meledak, kenapa di antara puluhan orang di tempat itu harus Rafael yang ia tuju sekarang. Apa sang ibu berkonspirasi dengan semesta?
Tentunya tak lucu sama sekali.
Alaka mengalah, ia tarik napas dalam-dalam sebelum beranjak keluarkan tupperware tersisa dari tote bag, meski berat hati, tapi Alaka tetap melangkah menghampiri Rafael, melewati beberapa kru dan pemain lain tanpa menoleh pada mereka.
Saat langkahnya kian dekat dengan posisi Rafael, ia rasakan detak jantungnya makin cepat, benar-benar satu hal yang tak ingin Alaka lakukan saat ia berjongkok di dekat Rafael yang masih pejamkan mata, begitu tenang rasakan desau angin yang membelai rambut halusnya.
Ini orang mati kali ya. Alaka berdecak sebelum sentil kening Rafael hingga pemiliknya membuka mata. "Gue kira udah mati," sarkas Alaka, ia langsung ulurkan tupperware di depan Rafael. "Nih lo makan, dari bunda gue. Itu orangnya di sana." Alaka menunjuk sang bunda yang kebetulan menatap ke arah mereka, tersenyum seraya melambai tangan.
Rafael raih tupperware itu, ikut beranjak saat Alaka beranjak, menatapnya seraya perlihatkan senyum yang samar, nyaris tak terlihat jika saja Alaka tak lebih lama menatapnya. Gadis itu langsung memutar arah, melangkah tinggalkan Rafael.
"Makasih," ucap Rafael, langkah Alaka terhenti sejenak mendengar perkataan itu, hanya beberapa detik sebelum kakinya kembali bergerak menjauh.
***