Eksistensi Doa Dalam Nama

2832 Kata
"Nama merupakan predikat yang melekat erat pada objeknya. Sebagaimana namamu nak Ahmad, yang dahulu kuberikan." Imbuh KH. Abdulhaq. "Soal itu ... aku senantiasa hendak berterima kasih guru. Atas nama yang begitu indah dan baik ini, yang telah anda berikan. Bukankah nama merupakan doa?" "Ahmad, merupakan nama hakikat dari Nabi Muhammad. Menggambarkan karakter beliau yang sangat terpuji. Dia adalah ruh, semangat yang menghidupkan jiwa-jiwa yang mati. Ruh ilahiyah, Ruh Al-Quds sebagaimana juga telah ditiupkan kepada lembaga manusia melalui nenek moyang mereka yaitu Adam Alaihissalam." KH. Abdulhaq mulai menerangkan tafsir-tafsir esoteris beliau terlebih menyangkut namaku yang beliau berikan. Aku kemudian diminta oleh beliau membacakan kembali Al-Qur'an tepatnya Surah Shaad ayat 72 terkait penciptaan Adam sang manusia pertama. Setelah aku selesai membaca satu ayat dari surah shaad tersebut. "Miruuhi ... ruh-Ku!" gumam beliau. "Benar!" sahutku. "Kita semua mengandung ruh-Nya tanpa kita sadari. Kita semua memilikinya. Nafakh ruh itu ditiupkan sejak Adam hingga akhirnya sampai melalui kita. Itu bukan hanya ruh basyariah atau nyawa semata-mata, melainkan ruh dari-Nya sendiri. Itulah kenapa di ayat yang sama, seluruh malaikat surgawi diperintahkan untuk tersungkur bersujud kepada Adam." KH.Abdulhaq kembali menjelaskan. Aku hanya mengangguk pelan membenarkan. Bagiku, walaupun penjelasan ini telah berkali-kali kudengar dari beliau, namun tetap tidak pernah terasa membosankan. Setiap kali hal ini dijelaskan dengan begitu epik oleh beliau, pikiran dan keimananku selalu berkontemplasi. Apa yang guruku jelaskan disini, juga pernah dipaparkan oleh Profesor Nazzarudin Umar. Beliau salah seorang ulama negeri terkemuka yang juga sangat aku kagumi. Kecerdasan dan kefaqihan beliau sebagai seorang ulama sufisme modern memang tidak diragukan lagi. Seorang ulama tasawuf luar biasa yang sekarang menjabat sebagai imam besar mesjid Istiqlal Jakarta sekaligus rektor dari perguruan tinggi ilmu Qur'an (PTIQ). Penjelasan ini cukup sinonim jika ditinjau dari perspektif komparasi agama sebagai bidang akademik atau disiplin ilmu yang aku kuasai, maka bisa kusimpulkan sebuah benang merah dari sini. Dalam epistle Matius pun Nabi Isa Alaihissalam memerintahkan para muridnya atau Al hawariyyun, the twelve, untuk mengshibgah atau membaptis dunia dengan Islam. Islam menurut konteks zaman waktu itu tentu saja. Millah islam sebelum Rasulullah lahir enam abad kemudian. Nabi Isa memerintahkan, baptislah dunia dalam nama Tuhan, Utusan, dan Rohul Quddus yang mana memang telah dimiliki oleh setiap insan manusia melalui Adam. Dan memang dalam Al-Qur'an pun nama Ahmad hanya muncul satu kali. Tepatnya pada surah Shaaf ayat 6 dan nama itu keluar dari lisan ucapan Nabi Isa Alaihimussalam . "Kita semua memiliki ruh-Nya, namun yang membedakan kita dengan Nabi Muhammad adalah—bahwa beliau lah saham terbaik dan terbesar dari penciptaan paling pertama. Bahkan dari Nur-nya lah semua semesta dijadikan dan ditopang." KH. Abdulhaq menjelaskan terkait hakikat Nur Muhammad. Setiap kali beliau menafsir surah shaad ayat 72 ini, beliau selalu mensyarahkan dengan hadist shahih Muslim yang mengatakan bahwa manusia tercipta dari rupa Ar-Rahman. Secara tidak langsung, beliau juga menakwil ayat dalam Taurat kitab kejadian atau genesis pasal 1 ayat 26 yang mengatakan bahwa manusia tercipta dari rupa dan wajah Tuhan. Dan kata "Dicipta menurut wajah-Nya" baik dalam hadist maupun teks ahlul qadim atau perjanjian lama tersebut, itu merujuk pada ruh Allah yang ditiupkan kepada Adam tersebut. "Rizal ... memiliki arti pemuda atau pria. Diharapkan kau akan menjadi pemuda yang mampu mengimplementasikan nilai-nilai Qur'ani." Lanjut KH. Abdulhaq meneruskan takwil terkait arti namaku yang beliau berikan. Ahmad, seorang pemuda yang diharapkan akan mampu membawa ajaran dan pesan Qur'an yang universal. Aku selalu mengaminkan arti nama panjangku itu. Karena ada yang mengatakan bahwa nama merupakan doa, sebagaimana nama guruku ini yang juga bermakna "Hamba Kebenaran" atau Hamba dari Allah Sang maha kebenaran (Al-Haq). Waktu pun telah menunjukan pukul sepuluh lewat dua belas menit. Ini sudah lewat dari jam biasanya aku bertamu. Walaupun hari ini mudzakarah kami hanya satu jam, akan tetapi ini sudah cukup bagiku. Aku izin pamit untuk pulang kepada beliau. Terlebih dahulu aku juga memberitahukan bahwa malam minggu ini kemungkinan aku tidak akan bisa datang dan mungkin untuk dua minggu kedepan. Kukatakan pada beliau alasannya bahwa ingin fokus dulu dengan tugas akhir untuk merampungkan tesis. Beliau memahami itu dan mendoakan yang terbaik untukku. Sebelumnya beliau memang telah banyak berkontribusi membantu menjadi narasumber untuk tesisku ini. "Pulangnya hati-hati ya...!" pesan KH. Abdulhaq. "Iya guru, insha Allah! Terima kasih banyak waktu dan kesempatannya." Aku raih salah satu tangan beliau dan kucium kembali dengan penuh takzim dan rasa sungkan. Tak lupa kuselipkan beberapa lembar uang ke tangan beliau. Ilmu memang tidak bisa dibeli, tapi pengertian sang murid kepada sang guru juga merupakan adab. Uang itu tidak bisa dibandingkan dengan ilmu, moral, ataupun akhlak serta adab yang beliau ajarkan kepadaku selama ini. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athailah dalam kitab Al-Hikamnya, "pada guru yang sebenar berilmu, kan kau reguk manisnya adab yang tak disediakan oleh buku-buku." Jam sepuluh lewat empat puluh sembilan menit aku sudah sampai kembali di rumah. Kubuka pintu rumah yang tadi kukunci dan bergegas kembali masuk untuk istirahat. Besok aku berencana hendak ke toko buku, ada buku yang sedang kucari untuk keperluan menyelesaikan tesisku. Sebelum berangkat tidur, kubuka sebentar televisiku. Sebuah televisi lcd kecil 14 inch yang ada dalam kamarku ini sudah terpasang tv satelit. Kubuka saluran favoritku yaitu Akhyar tv. Salah satu stasiun televisi satelit yang khusus memutar ceramah-ceramah dari ustadz Adi Hidayat Lc. Ma. Aku memang sangat menyukai dan mengidolakan ustadz muda kharismatik yang satu ini. Beliau merupakan ahlul Qur'an yang luar biasa. Sangat berdedikasi terhadap pengembangan ilmu Al-Qur'an, baik untuk hafalan Tahfidz maupun tafsir dan ulumul Qur'annya. Menurutku beliau yang terunggul. Beliau ini persis sama seperti guruku, baik dari segi tutur kata dan lisan yang selalu terjaga, adab terhadap orang lain dan budi pekerti yang dimiliki, serta keluasan ilmu ataupun metode mengajarnya. Memang, yang namanya sebenar ahlul Qur'an itu dapat diketahui, mereka itu seperti seragam. Ustadz Adi Hidayat Hafidzahullah termasuk ustadz kondang yang sekarang ini lagi naik daun. Bagiku, sebagai influencer beliau sudah kuanggap seperti guruku sendiri karena sangat inspiratif. Role model terbaik bagaimana pendakwah islam yang seharusnya. Mata basyirahku mengatakan bahwa ahlul Qur'an seperti beliau ini langka dan sangat dibutuhkan oleh negeri ini. Beruntung sekali Indonesia dianugerahkan oleh Allah Swt seorang pengajar dan sosok ulama yang kemampuan ulumul Qur'annya seperti ustadz Adi Hidayat. Kecintaan dan kegandrungan beliau terhadap kitab suci Al-Qur'an sangatlah jelas terlihat. Tidak hanya itu, UAH, begitu beliau sering dipanggil, juga merupakan influencer yang berhasil menggugah dan membangkitkan kesadaran akan pentingnya berpedoman pada petunjuk-petunjuk Al-Qur'an. Sesuai dengan nama yang beliau sandang. Adi bermakna lelaki unggul dan Hidayat bermakna hidayah. Lelaki yang akan membawa banyak orang menuju pintu-pintu hidayah. Insha Allah! Beberapa bulan yang lalu tepatnya tahun kemarin, aku juga berkesempatan untuk menghadiri majelis rutin beliau yakni Qur'an Sunah Solution yang biasanya diadakan setiap kamis malam di mesjid Al-Ihsan PTM Bekasi. Sayangnya saat itu aku tidak memiliki kesempatan untuk dapat bertemu langsung dengan beliau. Tanpa terasa malam pun telah larut. Kumatikan televisiku dan langsung bersiap untuk tidur. Kuputar pelan sebuah media pemutar musik atau tape portable berisi lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Hal ini selalu membuatku bisa tidur dan terlelap nyenyak. Pemutar musiknya otomatis dan bisa disetting, jadi biasanya ku setting untuk satu jam saja lalu akan berhenti sendiri saat aku telah tertidur. Biasanya setelah satu jam itu aku sudah terlelap pulas. Suaranya pun tidak nyaring dan tidak sampai keluar rumah mengganggu para tetangga dimalam hari. Kamarku ini untungnya memiliki sifat peredam suara yang bagus. Aku pernah mengkonfirmasi ini kepada Zahra yang ada di sebelah rumah. Katanya ia tidak pernah mendengar apa-apa. Zahra tahu itu lantunan ayat suci Al-Qur'an yang diputar namun suaranya agak samar dan tidak terlalu terdengar sampai keluar. *** Tak terasa aku membuka mataku kembali. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Kuusap kedua mata dan wajahku, mengumpulkan sedikit demi sedikit kesadaran sebelum berdiri, lalu beranjak untuk mengambil air wudhu. Alhamdulillah, secapek dan seletih apapun tubuhku, aku masih bisa konsisten bangun malam untuk menunaikan sholat tahajjud tiap harinya. Waktu terbaik untuk bermunajat, bertafakkur dan berkeluh kesah ke peraduan terindah. Waktu intim bisa berduaan dengan Allah dalam syahdunya keheningan malam. menyibukkan diri, membangunkan mata dan hati, bermuhasabah dalam sujud penuh takut. Bermunajat untuk segala hajat. Berdoa lirih kepada Dia yang maha pengasih. Merajut mesra dengan Dia yang maha pecinta. Dalam segala kesempitan malam, seyogyanya seorang muslim diwajibkan untuk dapat mendirikan sholat malam. Amalan dan Sunnah rutin sang nabi di malam hari. Dikukuhkan pula oleh Firman Allah Swt dalam kitab suci, yakni surah Al Insan 26, Al Israa 79 dan Az Zariyat 17 sampai 18. Selepas menunaikan sholat tahajjud 12 rakaat dengan formasi 4-4-3, yaitu Sholat 4 rakaat dua kali lalu kemudian ditutup dengan sholat witir 3 rakaat sekali, aku kemudian melanjutkan dengan membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Surah yang sering k****a setiap kali selesai sholat biasanya beragam, bisa Al baqarah, Ali Imran, Al Furqon, dan surah Ghafir. Khusus untuk malam ini, aku membaca surah Ar Rahman satu lembar. Sekitar minimal 1-2 lembar surah yang biasanya k****a dimalam hari lepas tahajjud dan aku selalu mentaddaburi arti dan kandungan ayatnya. Pantang bagiku membaca Qur'an tanpa memahami kandungan dan pesan yang ingin disampaikan di dalamnya. Menurutku sangat sayang jika seseorang membaca Qur'an dengan hanya memperindah langgamnya, memfokuskan pada tajwid atau pelafadzannya saja namun acuh terhadap makna dari ayat itu sendiri. Bukankah Al-Quran itu adalah mauizah? Pelajaran. huda atau petunjuk, dan syifa yakni penyembuh dari segala macam penyakit baik fisik maupun hati serta rahmat atau kasih sayang bagi sekalian manusia? Sebagaimana surah Yunus ayat 57 dibuka dengan kata "Ya Ayyuhannaas". "Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam d**a dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." Ada tiga macam golongan orang yang memfungsikan Al-Qur'an. Pertama, mereka yang hanya membacanya namun tidak mau memahami artinya. Golongan yang pertama ini akan mendapat pahala, dimana satu hurufnya bernilai 10 kebaikan sesuai sabda nabi. Namun ia tidak bisa mendapat solusi dari segala permasalahan hidupnya. Kedua, mereka yang membaca dan mentaddaburi atau memahami arti ayatnya. Mereka akan mendapat pahala sekaligus jalan keluar bagi permasalahan di kehidupannya. Dan yang ketiga, mereka yang membaca, memahami maknanya lalu kemudian menerapkanya pada kehidupan sehari-hari, maka kelompok yang ketiga ini akan mendapatkan pahala, solusi, cinta kasih Allah serta keselamatan dunia akhirat. Basah pipi ini ketika mengangkat tangan, berdoa di kesunyian malam. Mengucur deras airmata penyesalan yang meratapi dosa, segala kelemahan dan kekurangan. Bibir bergetar meminta ampun dan tidak lupa mengucapkan segala syukur. Betapa Allah selama ini telah menyayangi dan mengayomi tanpa kita sadari. Banyak hal yang harusnya kita renungi atas segala bentuk kebesaran-Nya. Setelah menunaikan sholat malam aku kemudian melanjutkan untuk tidur. Tidak lama setelah itu panggilan dari muadzin kembali menggema. Sudah waktunya sholat Subuh. Setelah menunaikan sholat Subuh, tepat jam lima aku buru-buru mandi. Rencananya pagi ini sekitar jam delapan aku akan pergi ke salah satu toko buku besar di jalan veteran. Dengar-dengar ada buku yang telah lama kucari untuk menambah referensi demi kepentingan riset dalam tesisku nanti. Semoga saja buku yang kucari itu masih tersedia disana. *** Ketika pagi tiba aku mulai bersiap untuk berangkat. Kuboyong sepeda motorku keluar rumah untuk sebentar dipanaskan. Dari sebelah rumah, kembali kulihat Zahra sedang menatapku dengan senyuman indahnya. Ku sapa ia terlebih dahulu. "Nggak kuliah Zah?" "Nggak ka, nanti jam dua." "Kak Rani mau kemana?" tanyanya sambil duduk manis dan menyilangkan kedua tangan di pangkuan. "Mau ke jalan veteran, nyari buku!" sahutku sambil mengusap-ngusap bagian belakang motor yang kotor dengan kain lap. Sesekali kulemparkan senyum simpul ke Zahra. Sebenarnya aku cukup akrab dengan Zahra. Kami biasa mengobrol di depan rumah jika waktuku luang. Bahkan di kampus pun, kami memang terlihat sering bertegur sapa sampai-sampai ada semacam rumor murahan bahwa aku telah pacaran dengannya. Ada pula teman-temanku yang menduga bahwa aku telah mengkhitbahnya. Kalau yang ini masih agak mending, daripada dituduh pacaran. Sebagian lagi teman dekatku yang mengetahui kebenarannya malah mengaminkan. Mereka mendorongku untuk merealisasikan isu itu. Kata mereka Zahra gadis yang cerdas dan sangat serasi denganku. Layak untuk kunikahi! Itu memang benar. Zahra memanglah gadis yang cerdas dan intelek. Aku selalu menyenangi setiap sesi pembicaraan kami yang berbobot dan kadang membuahkan sebuah resolusi. Bohong kalau aku katakan tidak bisa tertarik dengannya atau bilang dia bukan tipeku. Tapi untuk menikahinya? Kurasa itu tidak mungkin. Aku sadar aku siapa dan telah punya apa? Kudengar bahkan telah banyak list para lelaki mapan yang telah bertandang ke rumah orangtuanya untuk mengutarakan niat baik mereka. Sungguh beruntung bagi lelaki yang kelak mendampingi Zahra. Wajah manis dan paras cantik Zahra hanyalah bonus. Akhlak dan perangainya lah yang akan menjadi pelita bagi pasangannya nanti. Memberi kenyamanan dan ketenangan untuk pasangan. Bagaikan selimut Khadijah yang mengayomi dan menghangatkan tubuh getir Rasulullah. "Kakak akhir-akhir ini sangat sibuk ya, sampai-sampai kita jarang ngobrol berdua seperti ini lagi." Ucap Zahra, matanya mengguratkan sebuah kerinduan, kalau aku tidak salah duga. Aku menolehkan pandanganku padanya. Jujur dalam hati aku juga merindukan waktu-waktu bisa bicara berdua dengan Zahra. "Maaf ya Zah, kalau aku lebih sering sibuknya. Sudah tugas akhir soalnya, belum lagi kerja kan." Aku duduk di lapak sepeda motorku. Sesekali ku kepalkan gasnya. "Katanya bulan ini kakak mau berhenti ngambil job ceramah dan seminar ya?" "Iya Zah. Mau fokus tesis dulu." Bulan ini aku memang berniat untuk tidak lagi menerima job ceramah ataupun menulis secara freelance, walaupun ada tawaran untuk satu slot judul buku dari salah satu penerbit mayor tapi aku menolaknya dulu dengan alasan ingin memfokuskan diri pada kuliah. Untuk bulan ini pun jadwalku sudah banyak kosong tapi kadang aku masih menulis untuk artikel dan surat kabar online namun berhenti dulu menerima tawaran seminar slide di beberapa tempat terdekat. Terakhir bulan kemarin, bekas sekolah SMA ku yakni program paket C SKB menawarkan untuk aku memberikan seminar disana. Lumayan ketika itu aku menerima tidak kurang dari sepuluh juta rupiah untuk tiga hari sesi seminar. Katanya itu sudah ketetapan anggaran dari pusat. Aku sendiri kaget melihat nominalnya. Aku juga senang kala itu bisa bertemu kembali dengan guru-guru lamaku seperti ibu Drs. Hj Suminah yang menjadi wali kelasku selama tiga tahun berturut-turut. Ibu Rabiatul yang dulu mengajar pendidikan agama Islam yang cukup kerepotan menghadapi sikap kritisku waktu itu. Dan ibu Yohana, pengajar sosiologi dan ekonomi yang karena namanya sering dikira sebagai non-muslim padahal muslim tulen. Yohana memang bentuk kata feminim dan sinonim dengan nama Yohanes. Sewaktu SMA aku memang bersekolah bukan disekolah formal melainkan paket C akreditasi setara SMA. Aku terlempar bersekolah disana karena dulu tidak memiliki biaya untuk bisa bersekolah di sekolah formal biasa. Entah kenapa di tahun itu tidak ada uluran beasiswa yang menghampiriku. Tapi untunglah aku bersekolah disana. Sekolah yang terbaik memang tidak bisa diukur dari akreditasi atau statusnya melainkan dari pengalaman dan niat kuat dari sang pelajar atau individunya itu sendiri. Aku pun telah selesai memanaskan mesin kendaraan. Kubawa sepeda motorku menghadap jalan. Kuturunkan standartnya lalu ku kunci pintu rumahku dan bersiap berangkat. "Titip rumah ya Zah," "Kak ... emm ... Zah boleh nggak ...." gumam Zahra ingin mengatakan sesuatu namun agak segan dan nampak sungkan, seperti malu mengatakannya. "Ada apa Zah? Boleh apa?" tanyaku dengan penuh rasa penasaran. Apa yang hendak Zahra katakan? "Boleh Zah ikut ke toko buku bersama ka Rani nggak? Ada buku yang mau Zah cari juga disitu." Jawabnya pelan, seperti menahan malu. Mendengar pertanyaan itu, tentu saja membuatku agak terkejut. Bukankah Zahra juga punya sepeda motornya sendiri? "Maaf Zah gak bisa!" Aku langsung menolaknya. Aku sedikit gelisah. "Kalau kita berduaan naik motor ... nanti apa kata orang disini. Kan kita juga bukan mahrom, nggak baik kan berduaan satu motor." "Begitu ya kak ... maaf ya kak Rani. Zahra nggak kepikiran sampai kesitu dan hampir memberi masalah untuk kakak." Gumamnya lirih, kutangkap gurat kesedihan dan kekecewaan di wajah Zahra. "Kamu nggak salah kok Zah, akunya aja yang puritan." Kataku mencairkan suasana yang terlihat tidak menyenangkan bagi Zahra. "Tapi kalau mau barengan naik motor masing-masing, hayu! Memang motor kamu kenapa? Habis bensin atau ada yang rusak? Biar nanti aku cek atau kita bawa ke bengkel aja?" "Eh, nggak kak Rani, motornya nggak kenapa-napa kok." Sahutnya kembali tersenyum. "Kakak kalau mau berangkat, berangkat aja. Maaf ya kak, hampir saja Zah meruntuhkan sesuatu yang kak Rani pegang secara prinsipil. Maaf Zah lancang." Wajahnya bersungut-sungut nampak menyesal. "Iya, nggak usah dipikirkan ya Zah. Maaf kakak juga menolak dan mungkin membuatmu tersinggung." "Nggak kok kak Rani, nggak sama sekali." Kata Zahra, melambai-lambaikan sedikit tangannya. "Kamu memang gadis yang baik dan pengertian Zah, sama kaya namamu. Zahra artinya bunga yang indah atau bisa juga berarti tegas. Jadinya kamu selalu jujur, penuh ketegasan dan apa adanya. Dan Fitria adalah kesucian, dimana insha Allah itu akan menjadi doa yang selalu eksis menyertai perilakumu." Ucapku terlanjur menggombal cap muffasir demi kembali mencairkan suasana bersama Zahra. Walaupun sebenarnya itu bukan sepenuhnya gombal. Kepribadian Zahra memang telah menjadi perwujudan dari doa dan harapan dari kedua orangtuanya yang memberinya nama itu. Zahra nampak tersenyum malu dan tersipu mendengar ucapanku barusan yang coba menganalisa dan menafsirkan namanya. Aku pun yang melihat ekspresi manisnya itu jadi tiba-tiba salah tingkah dan langsung menolehkan pandangan ke depan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN