bc

Pejuang Dua Garis

book_age18+
291
IKUTI
1K
BACA
revenge
dark
possessive
family
pregnant
scandal
goodgirl
sensitive
drama
bxg
like
intro-logo
Uraian

Rocelin : "Aku mencintai om Anggara, Pa! Lagipula, om Anggara juga belum mempunyai istri. Lalu, apa salahnya jika kita saling mencintai."

Anggara : "Maafkan aku Rocelin, di sini aku yang salah. Papamu benar, mungkin kita tidak di takdirkan untuk bersatu."

Umur tak membatasi seseorang untuk bisa merasakan kebahagiaan. Jika Tuhan sudah menggariskan seseorang untuk tetap bersama, walaupun berpisah bertahun-tahun lamanya, yakinlah ... takdir akan mempertemukan kembali.

chap-preview
Pratinjau gratis
PDG 01
Malam itu, di saat Anggara Abraham. Sosok pria berusia sudah hampir kepala empat. Tengah menemui partner bisnisnya di sebuah kafe. Baron Pratama, dialah sosok pria yang ia tunggu-tunggu. Tak lama datang sosok tersebut, bersama dengan seorang gadis cantik. Yang kemungkinan berusia dua puluhan tahun, mungkin. Anggara tak bergeming, menatap kagum sosok cantik yang terlihat tengah bergelayut manja di lengan sahabatnya-Baron. "Angga!" serunya, sembari melambaikan tangan kanannya ke atas, diiringi senyuman simpul. Sosok pria yang bernama Anggara itu pun membalas lambaian tangan sahabatnya tersebut. "Maaf membuatmu menunggu lama. Aku habis menjemput putriku terlebih dahulu," ucapnya, sembari mendudukkan tubuhnya di kursi hadapan Anggara. "Om," sapa sang gadis, suara sosok cantik itu begitu lembut. Seolah menyapu gendang telinga Anggara. Membuatnya terngiang. "Siapa namamu?" tanya Anggara kemudian. Gadis cantik berlesung pipi itu tersenyum, begitu manis. Jangan lupakan, gigi gingsul yang menambah tingkat kecantikan sosok tersebut. "Rocelin, Om." ucapnya. Anggara mengangguk. "Kenalkan, saya Anggara." sembari mengulurkan tangannya di depan Rocelin. Rocelin membalas uluran tangan pria di hadapannya. Seakan ada sengatan listrik yang menjalar di urat nadi Anggara. Telapak tangan putih nan lembut sosok di hadapannya. Membuatnya hilang kendali, jiwanya terasa melayang. Apa yang sebenarnya ia rasakan?. "Ehem!" Deheman sosok pria yang sedari tadi memperhatikan kedua manusia berbeda gender di hadapannya. Sukses membuyarkan halusinasi kedua sosok tersebut. Anggara melepas uluran tangannya cepat. "Maafkan aku, aku ... aku hanya," Anggara bingung menjelaskan apa yang tengah ia rasakan. Pria itu terlihat kelicutan, seraya mengelus tengkuknya. Baron hanya terkekeh, menggelengkan kepalanya pelan. "Nggak apa-apa kok, Om." senyum Rocelin. Baron dan Anggara berlanjut membahas bisnis mereka. Dengan sesekali, Anggara mencuri pandang ke arah gadis yang kini tengah terlihat salah tingkah. Hari berganti hari, Anggara sering bertemu dengan Baron. Dengan dalih membahas pekerjaan. Namun, yang sejujurnya terjadi ialah, pria itu hanya ingin menemui sang gadis. Anggara sadar, jika dirinya dan Rocelin terpaut usia yang cukup jauh. Bahkan mungkin gadis itu lebih cocok menjadi putrinya. Tapi mau bagaimana lagi, hati tak bisa dibohongi. Cinta yang tumbuh di dalam hatinya, memaksa dirinya untuk memiliki gadis tersebut. Suatu ketika, Anggara sengaja menunggu Baron di tempat tinggal pria tersebut. Niat hati ingin menemui sahabatnya, justru dirinya malah bertemu dengan putri sahabatnya tersebut. Entah harus bahagia, atau harus tak enak hati. Karena hanya ada mereka berdua di rumah besar tersebut. "Om, mau minum apa?" tanya Rocelin. "Ah, tidak usah. Saya hanya ingin menemui ayahmu." "Apa Om sudah janjian dengan papaku?" "Em. Sudah, tapi tak tau, kenapa Baron tiba-tiba ada urusan mendadak ya?" gumamnya. Seraya menangkup kedua telapak tangannya yang sudah keringat dingin. Rasanya kedua mata hezelnya tak sanggup menatap wajah cantik gadis yang kini duduk di sebelahnya. Rocelin tersenyum, gadis itu semakin menggeser tubuhnya untuk lebih dekat dengan pria gagah di sebelahnya. "Om," lirihnya. "I-iya?" gugub Anggara. Meski dirinya sudah berumur, nyatanya ia tak pernah merasakan yang namanya pacaran. Terlalu sibuk dengan dunia bisnis, hingga membuatnya lupa akan asmara. "Om Angga sudah punya istri?" tanya gadis itu. Anggara menarik napasnya dalam-dalam. Mencoba menetralkan degupan jantung yang terdengar bergemuruh di dalam dadanya. "Belum. Kenapa?" tanyanya kemudian. Rocelin tersenyum, ia menatap wajah tampan pria di sampingnya. "Tidak apa-apa." sahutnya malu-malu. Sembari menyelipkan anakan rambut di belakang telinganya. "Rocelin. Bolehkah jika Om jujur padamu? Tentang perasaan Om selama ini?" tanya Anggara, memberanikan diri. Ia tak ingin membuang kesempatan ini, takut jika ia tak bisa mengungkapkan perasaannya. Rocelin mengangguk, jantungnya berdegup kencang. Ia berharap jika pria ini mengatakan isi hatinya. Gadis itu tak sabar ingin segera mendengar ucapan pria di sampingnya tersebut. "Maafkan Om sebelumnya. Saya tahu, jika saya tak pantas mengatakan ini padamu. Tapi, saya tidak bisa menahan perasaan ini terlalu lama." Anggara menghadap ke arah gadis tersebut, menatap intens wajah cantik yang kini menunduk malu itu. Meraih kedua telapak tangan gadis tersebut dan melanjutkan ucapannya. "Rocelin, saya mencintai kamu. Tak apa jika kamu menolak Om. Om tidak mengharap balasan dari kamu, saya hanya ingin mengutarakan perasaan saya." Rocelin mendongakkan wajahnya, inilah ucapan yang sedari tadi ia tunggu. "Om, aku juga mencintai Om," lirihnya, tersipu malu. Anggara melebarkan senyumannya. Ingin rasanya ia terbang ke langit saat ini juga. Ia tak menyangka, jika gadis ini membalas perasaannya. Semua bagaikan mimpi di siang hari. "Rocelin, kamu serius? Kamu nggak sedang mainin perasaan Om, kan?" tanya pria itu menggebu. Rocelin menggeleng cepat. Merasa lucu dengan tingkah pria di hadapannya. Anggara menggenggam erat telapak tangan kecil gadis di hadapannya. Yang terasa begitu pas di genggaman telapak tangan besarnya. "Saya sangat bahagia, terima kasih Rocelin." bahagia pria itu. "Om, jangan bersikap formal terhadapku." pintanya. Anggara mengangguk, ia merasa jika dirinya masihlah ABG, meski lebih tepat di sebut perjaka tua. Uppss!!! "Baiklah, mulai saat ini, kamu dan saya. Ah, maksudku, aku dan kamu menjadi sepasang kekasih." ucap pria itu terdengar canggung. Ia bingung harus memulai pembicaraan bagaimana. Jujur, ia tak pernah merayu seorang gadis. Rocelin tersenyum tipis. "Om, jangan canggung. Mulai sekarang, aku dan Om menjadi kekasih." ulang Rocelin. Anggara merasa aneh, karena harus berpacaran dengan seorang gadis berumur dua puluhan. Rasanya seperti bapak-bapak yang tengah merayu putrinya. "Apa kamu tidak malu mempunyai pacar seorang om-om?" tanya Anggara, memastikan. Rocelin menggelengkan kepalanya brutal. "Tidak." "Aku hanya khawatir, bagaimana jika ayahmu tau mengenai hubungan kita?" lirih Anggara. Ia tak enak hati, terlebih ia tak ingin hubungan persahabatannya dengan Baron hancur. Gara-gara ia menjalin kasih dengan Rocelin. Rocelin ikut menunduk lesu, ia juga takut. "Om, bagaimana jika kita rahasiakan hubungan kita untuk sementara waktu. Jika sudah waktunya, kita akan memberitahukan pada papa." usulnya. Anggara merasa menjadi sahabat paling jahat. Bagaimana bisa ia menyembunyikan perihal hubungannya dengan Rocelin?. Tapi, semua itu demi kebaikan hubungan asmaranya, ia tak ingin hubungan percintaannya dengan Rocelin hancur. "Em. Aku setuju dengan usulmu." putus Anggara. *** Rocelin yang memang masih menduduki bangku kuliah. Setiap harinya harus bertemu dengan para sahabatnya, yang kebanyakan dari kalangan lelaki. "Cece, makan siang bareng yuk!" ajak sosok pemuda seumurannya, yang diketahui bernama Juan. Cece, merupakan panggilan sehari-hari Rocelin di kampusnya. "Aku males keluar." tolaknya, sibuk memainkan ponsel. Jangan lupakan, senyuman geli yang sedari tadi tertera di bibir gadis tersebut. Juan meluruhkan tubuhnya, tak biasanya gadis itu menolak keinginannya. "Kamu lagi ngapain sih?" tanya pemuda itu, yang memilih menemani sang gadis. "Ih, apaan sih. Pengen tau aja deh." Rocelin menyembunyikan ponselnya. Karena Juan berusaha melihat isi layar benda pipih di tangannya tersebut. "Kamu lagi chat'an sama siapa sih? Aku cemburu nih," rajuk pemuda itu, pura-pura marah. Walau sejujurnya dalam hati benar-benar kesal. Tapi, mengingat Rocelin hanya temannya, ia tak punya hak untuk marah. "Marah aja, emang aku pikirin?!" ketus Rocelin. Memilih pergi meninggalkan Juan seorang diri. Pemuda itu menatap sendu punggung gadis yang berlahan menjauh dari pandangannya. "Apa aku terlambat?" gumamnya pada dirinya sendiri. Rocelin memilih bergabung dengan teman-temannya. "Eh, Ce. Kamu nggak kasian tuh sama si Juan? Keknya dia suka sama kamu." seloroh sosok gadis yang diketahui bernama Lira tersebut. "Apaan sih? Kayak nggak tau aja gimana si Juan. Dia itu kan emang suka godain cewek." "Iya, tapi dia tuh beda. Aku bisa bedain gimana pandangan dia ke kamu." "Bodo ah. Dia cuma aku anggep sebagai temen aja, nggak lebih." sahut Rocelin dengan entengnya. Sosok gadis itu hanya menghedikan bahunya, memilih mendudukkan tubuhnya di samping Rocelin. Hari menjelang sore. Rocelin memutuskan untuk kembali pulang. Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Juan di parkiran kampus. "Juan?! Ngapain kamu belum pulang?" tanya gadis itu. "Nungguin kamu," tuturnya, sembari tersenyum. "Aku bawa mobil sendiri. Ngapain kamu tungguin? Ada-ada aja," kekeh Rocelin. "Ce." Juan mengehentikan pergerakan Rocelin yang akan membuka pintu mobilnya. "Iya?" Rocelin memiringkan kepalanya, menatap penuh tanda tanya pada sosok pemuda di hadapannya. "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." "Apaan?" "A-aku ... aku cin---" DRTT ... DRRTTT ... Ponsel gadis itu bergetar. Dengan segera Rocelin merogoh isi tasnya, dan mengambil benda pipih tersebut. "Eh, bentar," Rocelin membaca pesan yang tertera di layar ponselnya. Dengan senyuman geli ia terkikik, entah siapa yang mengirimkan pesan padanya. "Em. Juan, kamu mau ngomong apa tadi?" tanya gadis itu kemudian. Juan yang sudah merasa kesal, mengurungkan niatnya untuk mengatakan isi hatinya pada sang gadis. "Em, nggak jadi. Udah sore, pulang yuk!" putusnya. Rocelin mengangguk dan memilih memasuki mobilnya. Tak menyadari tatapan sulit diartikan dari raut wajah Juan. Dengan tak sabaran, Rocelin mengendarai mobilnya. Karena sang kekasih sudah menunggu dirinya rumah. Sedang di rumah Rocelin. Anggara tengah berbincang kecil dengan Baron. "Tumben banget kamu datang sore-sore gini." kekeh Baron, seraya meletakkan sekaleng minuman bersoda di hadapan sang sahabat. "Aku kesepian di rumah sendirian. Kau tau sendiri, aku tidak punya siapa-siapa di sini." ucap Anggara, menyendu. Ramon mengangguk, dan menepuk pundak pria di dekatnya itu. "Kenapa kau tak memutuskan untuk menikah saja?" Anggara menggaruk tengkuknya, bagaimana bisa ia menikah. Jika wanita yang ia cintai saja putri dari pria yang mengajaknya bicara ini. "Em. Aku belum mendapatkan tambatan hati." alasannya. "Jangan terlalu memilih. Umurmu sudah matang, seharusnya kau sudah memiliki anak istri." Anggara hanya mengangguk, mendengarkan ucapan sang sahabat. Tak lama Rocelin datang. "Aku pulang!" serunya, dengan senyuman manis. Gadis itu memasuki rumahnya, melirik sekilas ke arah pria yang duduk bersama ayahnya di ruang tamu. "Om," Rocelin memberi salam dan mengecup punggung telapak tangan pria tersebut, seperti apa yang ia lakukan pada sang ayah. Anggara tersenyum, membayangkan jika gadis ini menjadi pendamping hidupnya. "Aku mau ganti baju dulu, Pa," ijinnya, dan melenggang pergi. Meninggalkan kedua pria dia ruang tamunya.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
219.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
203.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
19.3K
bc

My Secret Little Wife

read
115.7K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook