BAB 2 - Anak Semesta

1369 Kata
"Wulan, tolong petikkan buah kelapa yang sudah tua." "Wulan, bisa bantu paman untuk menebang pohon?" "Wulan, tampaknya singkong di kebun nenek sudah mulai bisa dipanen." Demikianlah setiap hari para tetangga meminta tolong pada bocah rajin yang setiap saat selalu siap menolong siapapun. "Tolong bawakan hasil kebun kami ke pasar." Hampir setiap kesempatan, tetangga yang lain juga meminta bantuan si gadis kecil. --- Sepulang sekolah, Nawang Wulan selalu siap menjalankan perintah siapapun yang membutuhkan dirinya. Semua itu dilakukan sebatas untuk menolong para tetangga yang kebanyakan sudah berusia lanjut. Maklum saja, para muda angkatan kerja di desanya malah banyak yang memilih hengkang untuk bekerja sebagai buruh bangunan di perkotaan. Sebab itulah, mencari tenaga muda untuk mengolah sawah dan kebun telah menjadi hal yang sulit di daerah agraris yang subur makmur tersebut. Justru dengan keadaan yang seperti itulah, Wulan malah mendapatkan banyak sekali perhatian serta rejeki yang bisa ia dapatkan dari lingkungannya. Untuk uang, hal tersebut memang termasuk dalam komoditas langka di desanya. Namun dalam hal makanan dan keamanan hidup, gadis itu boleh bernapas lega karena telah terjamin secara penuh oleh para warga yang menyayanginya. *** "Wulan ... kita main ke sungai, yuk ... cari ikan." Bayu langsung menyambut kedatangan Wulan yang baru saja pulang dari sekolah. Seperti biasa, pemuda tanggung itu sudah menunggu si gadis belia di persimpangan yang menuju pinggiran desa tempat tinggalnya. "Ahh ... apakah ikan yang kau bawa pulang kemarin sudah habis?" "Ha ha ... kakek dan nenekku datang ke rumah. Beliau sangat menyukai ikan kali yang katanya sangat lezat dan sudah lama tak pernah disantapnya. Karena itulah, Ibu membungkuskan sisa ikan di penggorengan untuk dibawa nenekku pulang." "Hi hi ... dan ibumu nggak jadi makan ikan?" "Iya ... padahal dari kemarin, Ibu yang sudah ingin sekali mencicipi hasil perburuanmu." "Ah, kasihan sekali ibumu itu." "Hu’um ... karena itu, beliau cepat-cepat menyuruhku mencarimu begitu aku pulang sekolah." "Oh, sudah begitu kepinginnya, ternyata." "Iya, betul." --- Mereka bercakap sambil beriringan jalan untuk menuju rumah Wulan yang berada agak sedikit ke tepi desa. Keduanya memang sudah akrab semenjak kecil. Entah apa yang menyatukan, dua anak yang berbeda peruntungan hidup tersebut seperti sudah saling cocok dalam perbincangan apapun. Hampir setiap hari, Bayu Santoso menyambangi rumah Wulan yang masih berada dalam desa yang sama namun berbeda kampung. Rumah orangtua Bayu sendiri terletak di tengah-tengah desa dengan bangunan besar yang memiliki pendopo dan halaman luas. Sementara, si gadis hanya menempati sebuah rumah kecil berdinding papan dengan pelataran sempit tanpa pagar. Kedua orangtua Bayu tak pernah keberatan jika anaknya bergaul dengan gadis miskin tersebut. Mereka paham bahwa Wulan adalah gadis yang baik dan tak pernah bertingkah yang aneh. Bahkan nilai positif Bayu bergaul dengan si gadis malah semakin dirasakan dengan berlalunya hari. Nawang Wulan berotak encer, tak seperti Bayu Santoso yang memiliki kecerdasan pas-pasan saja. Dan karena belajar bersama dengan gadis itu, si anak lelaki bisa terpacu belajar karena bisa lebih cepat memahami pelajaran saat dijelaskan oleh sahabatnya. --- "Benda apakah itu?" tanya Wulan sambil melihat benda yang tengah ditenteng oleh sahabatnya. "Oh, ini senapan ikan yang dibuat khusus untukmu," jawab Bayu sambil dengan bangganya mengangkat benda dari kayu itu ke depan tubuhnya. "Wah ... bagus. Siapa yang membuatnya?" "Ayahku menyuruh seseorang untuk membuatnya. Hari ini, beliau menitipkan untuk diberikan padamu," jawab si bocah laki-laki sambil mengulungkan senapan kayu tersebut. Wulan berhenti berjalan, ia menerima pemberian tersebut dengan mata berbinar yang menunjukkan kegembiraan hati. "Tolong sampaikan rasa terimakasihku kepada ayahmu, aku tak akan pernah melupakan perhatian beliau pada seorang anak yatim piatu seperti aku ini." Setelah berucap demikian, gadis itu tersenyum. Namun sekilas, terlihat matanya berkaca-kaca. Mungkin dia terharu atas perhatian kecil tersebut, atau bisa saja karena ia jadi teringat sang ibu yang belum lama pergi meninggalkan dirinya. "Iya, nanti aku sampaikan. Tapi kamu jangan sedih, oke? Jangan lupa, aku akan selalu ada di sampingmu untuk melakukan apapun yang bisa menyenangkan hatimu." Serius dan bersungguh-sungguh, bocah remaja itu berucap janji pada sahabatnya. "Iya, iya ... aku tidak bersedih. Hanya terharu dengan perhatian kedua orangtuamu yang begitu baik padaku." "Ha ha ... itu karena kamu anak baik. Ayah Ibuku tahu, kamu juga gadis cerdas yang selama ini selalu menerangkan pelajaran yang aku tak paham." "Ahh ... kita kan hanya belajar bersama. Aku dan kamu, punya ilmu pelajaran yang sama juga." "Bukan seperti itu. Benar kalau kita punya tingkat yang sama. Tapi bahkan semenjak sekolah dasar, aku lebih mudah paham jika kamu yang mengajariku. Di depan guru asli, malah tak satupun pelajaran bisa kutangkap karena saking gugup dan rendah diri." "Ah, kamu ini ada saja alasannya." "Emang begitu, kok. Yuk, cepetan dikit jalannya. Aku ingin segera ke sungai." "Ya sebentar, aku harus makan siang dulu juga." *** Sebenarnya, sungai itu tidaklah terlalu besar. Karena memang jarang sekali terdapat sungai lebar yang berada di daerah pegunungan. Namun lereng curam dan kedalaman jeram serta kejernihan airnya, pasti tak akan bisa ditandingi oleh sungai-sungai di dataran rendah. "Melihat air yang jernih seperti ini, langsung saja aku ingin menceburkan diri di situ." Bayu Santoso berkata sambil memandangi riak air yang jernih di bawah kakinya. "Nanti saja, nanti ikan-ikan malah takut lihat kamu nyebur. Hi hi ... dikira ada ikan paus masuk sungai." Dengan terkikik menggoda, Wulan mengajak sahabatnya untuk bergurau. "Kamu ini, selalu saja mentertawakan aku." "Bukan begitu ... maksudku baik. Berolah ragalah dengan rajin, jangan terlalu banyak makan dan tidur. Tuh liat akibatnya ... hi hi ..." sekali lagi, si gadis mentertawakan Bayu yang hanya cengar-cengir malu. --- Perawakan si pemuda kecil, memang agak tambun. Mungkin karena merupakan anak tunggal, ia terlalu dimanjakan oleh sang ibu yang hobby memasak. Pada dasarnya, Bayu  bukanlah anak yang usil dan suka bermain sembarangan. Karena sebab itulah, tubuhnya yang masih terus berkembang malahan jadi mengarah ke samping dan depan. Alias, pinggulnya jadi melebar dengan perut yang juga mengikuti jadi buncit. "Ya sudah, jangan tertawa terus. Lepas pakaianmu dan masuklah ke sungai. Malam ini, aku harus menyantap ikan bumbu rujak yang lezat bikinan ibu. Hmmm ..." "Baiklah komandan ..." Dengan ceria, Wulan segera bergerak ke tengah air terjun yang tak begitu tinggi itu. Gadis tersebut juga sangat paham, bahwa dibalik air tumpah dari ketinggian yang berbuih itu terdapat sebuah ceruk yang merupakan gua bawah air. Disanalah, ikan-ikan gemuk sepanjang ukuran tangannya bersembunyi tenang dalam gerombolan besar. Tentu saja, ia akan memilih satu yang paling montok untuk ditangkap dan diberikan pada Ibunda Bayu yang baik hati. Selagi ia akan menceburkan diri ke air yang dalam,   "Eh, eh ... kenapa belum kau lepas bajumu? Nanti basah, dan kamu bisa masuk angin kalau tak cepat berganti pakaian kering." Dengan khawatir, si sahabat laki-laki berteriak saat Wulan hendak bersiap terjun sambil membawa senapan penembak ikan barunya. "Ihh ... otak kamu ngeres, jorok, ih ... kamu lupa kalau kita sudah besar? Dasar, nggak punya malu! Aku sudah bawa pakaian ganti dan handuk ... ihhh ... " "Ya ampuunnn ... ha ha ha ... maaf, kadang aku lupa kalau kamu itu perempuan. Maaf, tentu saja aku tak akan menyuruhmu melepas baju kalau ingat itu. Ha ha ... dasar Wulan, dasar Bayu ... kita ini bertahun telah bersahabat, hingga jadi melupakan hal seperti itu." "Hi hi ... pikir kamu, mungkin kita masih sama saja seperti saat kecil. Dulu, mandi telanjang bersama juga tak pernah berpikir macam-macam." "Ha ha ... iya, padahal punya kamu nggak menarik sama sekali. Hanya seruga daging yang disobek untuk jalannya buang air kecil" merasa mendapat kesempatan, spontan saja Bayu balas ledekan yang tadi. "Ih, awas kalau menghina seperti itu. Tapi biar aja ... hi hi hi ... daripada milikmu yang dipakai untuk pipis. Benda itu ... ha ha ha ..." Wulan tergelak sambil memandangi Bayu yang jadi tak terlalu percaya diri. "Emang kenapa? Bukankah bagus punyaku? Bisa bergantungan kayak gitu. Daripada punya kamu. Ha ha ha ..." "Punya kamu jelek! Kecil, keriput ... kayak pocong mini ... hi hi hi ..." "Eh, nggak bisa. Itu dulu sebelum aku disunat. Sekarang, punyaku sudah pakai helm. Mau lihat?" Tak mau kalah, Bayu mengggoda Wulan sambil menyeringai. "Hah? Nggak mau! Kamu jorok, jelek! Aku nggak mau main sama kamu lagi kalau gitu terus! Awas!!!" Wulan menjerit-jerit sambil terus meneriaki Bayu yang keterlaluan menggodanya. Dengan gerakan lincah, si gadis belia kangsung menceburkan diri ke tengah buih air jernih. Beberapa detik ia berenang, lalu tubuhnya menghilang saat ia menyelam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN