Hari yang di tunggu-tunggu akhirnya tiba. Apalagi kalau bukan pernikahan Beby. Kecelakaan Kakanya mengharuskan Beby menikah dengan orang yang dia tidak kenal. Bahkan ia mengenal suaminya dua hari sebelum pernikahan itu berlangsung. Beby seperti mendapatkan mimpi yang sangat buruk. Bukan ini yang Beby harapkan di dalam hidupnya. Memberikan kehidupannya untuk melakukan hal yang bukan diinginkannya.
Pernikahan tersebut baru saja selesai di gelar. Tak ada satupun yang ia kenal dalam acara pernikahan tersebut selain keluarganya. Pernikahan ini hanya atas dasar bisnis. Ia melakukannya juga hanya karena orangtuanya. Kalau bukan karena orangtuanya, Beby tidak akan melakukan hal gila ini. Untuk ke depannya kehidupannya akan menjadi mimpi buruk. Ia tidak tahu akan berapa lama ia mampu bisa menjalaninya.
“Kamu udah selesai mandi?” Tanya pria yang kini sudah menjadi suaminya itu. Beby yang memang baru saja selesai mandi melihat kearah pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu tadi pagi.
“Aku mau bicara.” Kata Beby dengan tegas.
“Sebentar, aku mandi.” Pria itu langsung saja masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar hotel tersebut.
Beby lelah, dari tadi ia berusaha memasang wajah yang sangat di sukai oleh banyak orang. Apalagi kalau bukan senyum bahagia. Ia harus berpura-pura bahagia atas pernikahan yang tak diinginkannya ini. Beby memakai topeng yang sangat luar biasa agar semua orang percaya bahwa ia sangat bahagia. Tanpa mereka tahu bahwa hatinya sangat menjerit ketika harus menikah dengan pria yang tidak ia cintai. Bagaimana kalau Gavin tahu bahwa ia menikah dengan pria lain?
Apa Gavin bisa menerimanya? Bagaimana kalau akhirnya Gavin meninggalkannya? Pikiran itu terus saja mengganggunya. Apalagi malam ini ia harus bersama dengan pria asing di kamar hotel mewah itu. kalau saja Beby bersama Gavin mungkin ia akan sangat senang. Tetapi ia tidak bersama dengan Gavin, tapi dengan pria yang seharusnya menikah dengan Kakaknya. Beby ingin rasanya menjerit saat ini dan berteriak kepada semua orang, lalu menumpahkan apa yang di rasakannya. Tapi Beby tak bisa lakukan itu. Beby larut dalam pikirannya sendiri, sampai tidak sadar bahwa pria tersebut sudah keluar dari kamar mandi.
“Apa nggak bisa pake baju?” Tanya Beby dengan sarkas pada pria yang hanya menggunakan handuk itu untuk menutupi bagian bawah.
“Aku suamimu, bukankah ini wajar?” Tanya pria itu balik membuat Beby sangat jengah.
“Berhentilah berpura-pura, apa kamu pikir aku menginkan pernikahan ini?” Tanya Beby dengan emosi, bahkan ia sudah bangkit berdiri dan berdiri di hadapan pria itu.
“Kalau kamu tidak menginkannya kenapa menyetujuinya?” Tanya pria itu sambil menilai Beby dari atas sampai bawah. Kalau tidak menginginkan kenapa memakai pakaian tidur yang menggoda pikirnya. Beby memang memakai kimono tidur yang pendek, sehingga pria itu pikir kalau Beby memang sudah menyiapkan diri. Padahal Beby berpakaian seperti itu, karena biasanya memang seperti itu. Tidak ada kesengajaan, Beby mau menjadi dirinya sendiri.
“Cepatlah pakai bajumu dan kita akan membicarakannya!” Teriak Beby kesal dan berjalan keluar dari kamar. Hotel yang menjadi tempat tinggal mereka satu malam ini bukan hanya mempunyai satu kamar saja. Tapi memiliki wadrobe sendiri, mempunyai ruang tamu juga dna bahkan dapur kecil. Maka itu Beby tidak mau berlama-lama di tempat yang sama dengan pria itu, lebih baik ia memilih tempat lain pikirnya.
“Apa yang mau di bicarakan?” Tanya pria itu saat sudah memakai bajunya dan duduk di depan Beby.
Bahkan Beby kembali tidak sadar bahwa pria itu udah selesai karena sibuk dengan pikirannya sendiri. Beby memandang pria yang sudah menjadi suaminya itu. Pria yang mempunyai wajah kokoh dan tegas. Bahkan pria tersebut tidak seperti orang Indonesia yang mempunyai wajah oriental. Saat melihat pria itu, ia bingung mirip siapakah pria tersebut. Karena ketika melihat kedua orangtua pria itu tidak ada miripnya sama sekali.
“Masih mau melamun?” Tanya pria itu kembali. Beby menatap dengan lekat pria tersebut. Namanya Evan Dominic Miller.
“Mari kita buat perjanjian.” Kata Beby dengan tiba-tiba membuat pria yang bernama Evan itu mengernyitkan keningnya bingung.
“Perjanjian apa?”
“Sebelum membuat perjanjian aku akan jujur. Aku sangat-sangat tidak menginkan pernikahan ini, aku melakukannya demi orangtuaku saja. Lagi pula bukan aku yang harusnya kamu nikahi.” Evan mengernyitkan keningnya bingung karena pernyataan Beby itu.
“Mungkin kamu bingung, tapi akan aku jelaskan. Harusnya kamu menikah dengan Kakakku, namanya Alena. Dia yang setuju dengan perjodohan ini bukan aku. Tapi beberapa hari yang lalu Kakakku mengalami kecelakaan dan sampai sekarang dia masih saja belum sadarkan diri. Dia koma akibat kecelakaan tersebut, pernikahan sudah di depan mata. Tapi pernikahan tidak mungkin di batalkan atau di tunda. Papaku membutuhkan bantuan keluargamu untuk menyelamatkan perusahaannya, jadi mereka minta aku untuk menggantikan Kakakku untuk menikah denganmu. Jelas aku tidak terima semua ini, tapi aku harus karena aku menyayangi Mamaku. Melihatnya menangis dan terpuruk membuatku nggak tega. Jadi maksud aku bilang ini semua sama kamu, supaya kamu tahu bahwa aku tidak menginginkan pernikahan ini. Jadi jangan anggap kalau aku setuju dan suka sama pernikahan ini. Jangan berharap apa-apa, karena aku menikah denganmu hanya sementara.” Pria tersebut diam, lalu kembali bertanya.
“Sementara?” Beonya membuat Beby menganggukkan kepalanya.
“Karena begitu Kakakku sadar kita harus berpisah. Kamu akan kembali menikah dengan Kakakku, makanya ayo kita buat perjanjian. Kita jalanin ini secara diam-diam sampai Kakakku kembali sadar. Karena aku nggak mau menjalin rumah tangga ini selamanya denganmu. Setidaknya sampai Kakakku kembali, bagaimana?” Lagi pria itu hanya mendengarkan saja tanpa berniat membantah.
“Lalu apa lagi yang kamu inginkan?” Tanya Evan dengan melipat tangannya di depan d**a lalu duduk dengan bersandar menatap Beby sangat lekat.
“Intinya setelah Kakakku sembuh kita harus berpisah. Aku juga mau kita tinggal di Indonesia bukan di sini. Aku nggak bisa tinggal di sini. Aku punya kehidupan yang lebih layak di sana, teman-temanku, pekerjaanku juga di sana. Terus kita jangan ikut campur sama, urus aja urusan masing-masing. Di depan orangtua, kita harus terlihat baik dan bahagia. Tapi kalau nggak ada mereka, kita bisa bebas. Aku mau kita tinggal di rumah sendiri lalu pisah kamar. Jangan publish hubungan kita sama siapapun, aku mau pernikahan kita di rahasiakan. Hanya boleh keluarga ataupun kerabat dekat aja yang tahu hubungan kita ini. Aku tahu kamu dan keluarga kamu orang yang berpengaruh, tapi please jangan sampai media tahu tentang hubungan kita. Tutupi aja semuanya, termasuk memakai cincin pernikahan hanya di depan orangtua saja. Kalau kamu mau publish hubungan kamu, silahkan nanti sama Kak Alena aja bisakan?”
“Baik, aku akan ikuti semua kemauan kamu. Lalu apa balasannya untukku?” Tanya Evan membuat Beby mengernyitkan keningnya bingung.
“Di saat ada kesepakatan harusnya ada hubungan timbal balik yang menguntungkan bukan? Aku rasa nggak ada yang menguntungkan untukku di sini.”
“Bukannya kamu tidak menginginkan pernikahan ini juga? Harusnya kamu senang dong dengan permintaanku?”
“Kata siapa aku nggak menginginkan pernikahan ini?” Tanya Evan balik membuat Beby jadi bungkam. Benar pria itu tidak ada megatakan bahwa ia tak suka dengan pernikahan tersebut. Hanya dirinyalah yang mengatakan.
“Tapi ini, pernikahan yang dilandaskan perjodohan. Bukankah setiap perjodohan itu pemaksaan?” Evan menganggukkan kepalanya.
“Kamu benar, tapi bukan berarti aku nggak suka ataupun nggak setuju dengan pernikahan ini.” Kata Evan dengan tegas.
“Kalau begitu kenapa kamu mau ikuti kemauan aku?”
“Karena kamu minta aku akan mewujudkannya, tapi aku harus mendapatkan sesuatu bukan sebagai balasan?” Beby mengernyitkan keningnya.
“Apa yang kamu inginkan?”
“Apa yang kamu tawarkan?” Tanya Evan balik, Beby menggelengkan kepalanya.
“Aku nggak ada memikirkannya sama sekali.” Evan menghela napasnya.
“Kalau begini bagaimana, kamu punya satu hal yang harus kamu wujudin untukku. Sekarang aku juga nggak bisa memikirkannya, tapi mungkin suatu saat nanti aku akan memintanya. Bagaimana?” Beby menatap Evan dengan lekat guna menyelidiki apakah pria ini memikirkan sesuatu hal yang licik? Bagaimanapun ia tidak mengenal bagaimana sosok pria yang ada di depannya ini. “Tenang aja, aku tidak akan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Aku tidak akan sepicik itu meminta hal yang gila. Aku akan meminta hal yang wajar, percayalah.”
“Kalau kamu tahu nantinya akan meminta hal yang wajar, kenapa nggak katakan sekarang permintaan apa itu?” Evan menggelengkan kepalanya.
“Aku akan mengatakannya nanti, bukan sekarang. Kalau kamu nggak setuju gapapa, kita bisa batalkan perjanjian ini?”
“Jangan!” Balas Beby dengan cepat. “Baiklah karena kamu setuju aku nggak akan kasih kamu satu kesempatan. Tapi aku bakalan kasih kamu dua. Anggap saja ini sebagai rasa terimakasihku dan ini seperti kartu permintaan, bagaimana?” Evan menganggukkan kepalanya setuju.
“Boleh, kalau itu yang kamu inginkan. Makasih sudah memberi lebih walaupun aku hanya minta satu.”
“Oh iya satu lagi.” Kata Beby dengan pelan ketika teringat. “Jangan bilang pada keluargamu tentang aku yang ternyata menggantikan Kakakku bisakan? Aku takut karena itu nanti keluargamu nggak jadi membantu Ayahku, apa bisa? Aku bisa percaya padamukan?” Evan berpikir sejenak lalu menganggukkan kepalanya.
“Tenang aja, aku akan rahasiakan ini dari orangtuaku. Tapi biarkan aku memenuhi semua kebutuhan rumah, karena kalau tidak mereka akan curiga. Bagaimanapun aku resmi suamimu, jadi kamu harus tinggal denganku dan biarkan aku memberimu uang sebagai uang bulanan.”
“Sebenernya untuk rumah okay aku setuju, kita pakai apartement aja. Ga perlu rumah yang mewah, kalau untuk uang aku bekerja dan aku bisa sendiri membiayai hidupku.”
“Tapi itu udah jadi tradisi bagi kami, kalau kamu tolak orangtuaku pasti akan curiga. Kalau kamu mau mereka curiga ga masalah.” Beby hanya bisa pasrah.
“Terserahmu saja.” Beby bangkit berdiri.
“Kamu mau kemana?” Tanya Evan.
“Mau keluar sebentar.” Ketika Beby hendak pergi, ia kembali berbalik. “Kamu tidur di mana? Kalau kamu di kamar aku akan tidur di sini. Kalau kamu tidur di sini aku akan tidur di kamar. Pikirkan segera, aku pulang sudah ada jawabannya.” Setelah itu Beby melanjutkan perjalanannya untuk keluar hanya menggunakan kimono tidur.
Evan mengikuti Beby sampai akhirnya ia berhenti di depan pintu. Pria itu melihat Beby bertemu dengan Brandy. Sebenernya Beby keluar memang hanya mau bertemu dengan Brandy tidak ada yang lain. Tadinya Beby mau mendatangi Kakaknya di kamar pria itu, ternyata sudah lebih dahulu Kakaknya yang mendatanginya.
“Are you okay?” Tanya Brandy.
“Menurut Kakak, apa aku bisa okay setelah ini?” Tanya Beby dengan mata yang berkaca-kaca. Tanpa menjawab Brandy tahu bagaimana hati adiknya itu. Maka Brandy langsung saja memeluk Beby dan akhirnya tangis wanita itu pecah.
“Aku nggak bisa Kak.” Cicit Beby sambil menangis.
“Kamu bisa, Kakak yakin kamu bisa. Kakak tahu kalau kamu kuat, ada Kakak di sini yang bakalan selalu ada untuk kamu. Jangan ngerasa sendiri okay? Kalau ada apa-apa bilang sama kakak. Kalau dia nyakitin kamu atau kasarin kamu bilang sama kakak okay? Biar Kakak yang kasih dia pelajaran.” Tangis Beby semakin mengeras ketika Brandy mengatakan itu. Setidaknya hanya pada Brandy dia bisa mengatakan apa yang menjadi isi hatinya saat ini. Masih ada Brandy yang masih memahami juga bagaimana perasaannya.
Tanpa keduanya sadari bahwa Evan mendengar mereka dan tahu bahwa Beby saat ini sedang menangis. Evan tahu bahwa Beby memang dari mereka bertemu begitu banyak kepalsuan yang di simpan wanita itu. Evan jelas tahu bagaimana Beby terpaksa menikah dengannya, maka itu semenjak mereka bertemu sampai sekarang Beby selalu bersikap dingin, keras dan cuek padanya.
Brandy membawa Beby ke kamarnya sampai keadaan adiknya itu jauh lebih tenang. Ketika sudah tenang, barulah Beby kembali ke kamarnya. Sebenernya Brandy sudah menawarkan adiknya tidur di kamarnya saja. Hanya nanti ketika para orangtua tahu akan menjadi bahaya bukan? Maka Beby memilih untuk kembali ke kamarnya. Begitu sampai kamar, Beby sudah melihat Evan tidur di sofa. Dimana tempat mereka berbicara tadi.
Evan sudah memakai selimut dan bantal juga. Beby pikir, Evan akan memilih tidur di kamar dan membiarkannya tidur di sofa. Ternyata ia salah, setelah itu Beby mematikan lampu lalu masuk ke dalam kamar dan mengunci kamar tersebut. Takut kalau Evan bakalan masuk dan melakukan sesuatu hal yang tak seharusnya. Setelah Beby masuk, Evan kembali membuka matanya. Pria itu tadi memang hanya berpura-pura tidur saja, agar tidak berdebat tentang tidur mereka malam ini bagaimana.
Pria itu berniat memang mau mengalah di awal, membiarkan Beby tidur di kamar dengan nyaman. Evan mengetikkan pesan di handphonenya lalu mengirimkannya pada seseorang. Setelah itu ia menarik selimut dan memejamkan matanya kembali. Kali ini Evan berniat untuk tidur dengan sebenernya. Bagaimanapun ia lelah satu harian ini menyambut para tamu keluarganya yang datang. Sama seperti Beby, ia juga tidak menyangka kalau kehidupannya juga akan berubah seperti ini.
*****
“Selamat Pagi,” Sapa Evan ketika Beby baru saja keluar kamar.
Wanita itu baru saja selesai mandi dan sudah memakai dress sebatas lutut. Sedangkan Evan belum mandi, karena memang Beby baru saja membuka pintu kamarnya. Maka Evan memilih untuk sarapan sambil menunggu Beby membuka pintu. Ia takut mengganggu wanita itu tidur. Beby tidak menjawab, ia melewati Evan begitu saja sambil melihat meja makan yang penuh dengan makanan yang baru saja di antar oleh pihak hotel untuk sarapan mereka.
“Ayo sarapan, kamu bisa tinggal pilih.” Beby menghabiskan satu botol air mineral dengan sekali teguk saja membuat Evan sedikit terkejut. Setelah meminum satu botol, barulah Beby kembali melihat meja makan yang berisi makanan itu. “Ada nasi goreng juga, kalau lama tinggal di Indonesia identik dengan makan nasikan? Aku minta nasi siapa tahu kamu mau.” Kata Evan menjelaskan, namun lagi dan lagi Beby hanya diam.
Wanita itu mengambil sepiring buah yang sudah di potong-potong dengan jus jeruk. Biasanya ia hanya sarapan dengan jus saja, tapi karena tadi malam ia lupa untuk makan. Maka membuat Beby sedikit lapar pagi ini. Maka ia mengambil buah untuk sarapannya pagi ini. Evan sedikit kaget dengan sarapan yang di ambil Beby, lalu wanita itu membawanya ke depan dan menghidupkan TV.
Ia enggan kalau harus sarapan berdua dengan Evan di meja makan. Pria itu membiarkan Beby sarapan di depan. Setelah menghabiskan roti miliknya dan kopinya, Evan masuk ke dalam kamar untuk mandi. Beby tahu kalau pria itu masuk ke dalam kamar. Setelah sarapan Beby menunggu Evan untuk selesai. Bagaimanapun ketika keluar bertemu dengan para orangtua mereka harus bersama. Kalau keluar masing-masing, para orangtua pasti akan bertanya.
Setelah selesai Evan keluar dengan celana panjang jeans serta kemeja putih semakin menambahkan kesan maskulin pada Evan. Beby langsung saja bangkit berdiri ketika pria itu keluar dari kamar. Mengambil handphone, tas serta sepatunya. Beby memakainya setelah selesai ia kembali keluar dan melihat Evan yang sedang menghubungi seseorang. Beby mematikan TV nya dan menunggu pria itu selesai.
“Ayo keluar, para orangtua pasti nungguin kita.” Ajak Beby ketika Evan sudah selesai.
“Okey,” Keduanya keluar dan berjalan bersisian. Saat mau masuk ke dalam lift, Evan menggenggam tangan Beby tiba-tiba membuat wanita itu terkejut lalu menarik tangannya.
“Kamu mau ngapai?” Tanya Beby dengan kesal.
“Ini masih hotel milik kami, bagaimana kalau Papaku melihat CCTV dan melihat kita bukan seperti pengantin baru? Lagi pula karyawan di sini pada tahu kita menikah, kalau mereka lihat kita jaga jarak mereka bisa bilang sama Papakan? Jadi selagi di sini, lebih baik kita bersandiwara. Lagipula bagaimana nanti kalau kita ketemu mereka? Bukannya kamu yang minta semalam kalau kita harus bersikap seperti apa di depan keluarga?” Beby akhirnya sadar karena perkataan Evan.
Maka pria itu kembali menggenggam tangan Beby setelah mengatakan itu. Kali ini Beby tidak menolak dan membiarkan pria itu menggenggamnya. Tak lama lift terbuka dan benar ada beberapa karyawan hotel yang menyapa mereka, karena mengenal Evan secara khusus. Beby hanya diam saja, tetapi Evan menarik istrinya itu untuk masuk dan menggenggam dengan erat. Evan memasang wajah yang terlihat bahagia, senyum mengembang di wajahnya namun tidak dengan Beby. Setelah bertemu dengan para orangtua barulah Beby tersenyum, pura-pura bahagia dan pura-pura dekat dengan Evan.