Lagi Error

1161 Kata
Wajah Nuri masih menyisakan kejengkelannya karena dia harus mengantarkan berkas yang sudah dia kerjakan seharian. Sudah buru-buru malah ditinggal pulang. Seharusnya Desi bisa menyuruh kurir perusahaan untuk mengantar berkas ke rumah...salah rumah tapi apartemen Hans dan bukan dirinya yang mujug-mujug malah dia yang disuruh. "Apa coba, kerjaan kurir kalau gue juga yang harus ke apartemennya. Mana gue lupa lagi minta nomor teleponnya sama Bu Desi," kata Nuri mengeluh dengan kebodohan yang terlanjur dia lakukan. Sebenarnya tidak sulit mencari apartemen mewah yang menjadi tempat tinggal Hans karena tidak ada seorangpun yang tidak mengetahui letak apartemen yang ada di pusat kota. Alamatnya jelas dan nomor unit apartemennya juga jelas. Yang membuat wajah Nuri kesal bin jengkel adalah karena dia harus bertemu dan bertatap muka lagi dengan bos-nya yang super jutek, terutama pada dirinya. Nuri sudah memarkir mobilnya di parkiran basement dan dia masih berada di loby apartemen berharap bos-nya sudah menunggu dirinya. “Kira-kira Desi udah ngasib kabar ke dia belum ya, atau aku telepon Desi lebih dulu sekalian minta nomor telepon bos?” pikir Nuri dalam hati. Bodoh atau tidak lupa atau sengaja, seharusnya dia sejak tadi menghubungi Desi. Karena sibuk mengomel dia malah lupa kalau dia bisa menelepon. “Halo Bu Desi, maaf saya lupa, ibu sudah kasih kabar ke bapak belum ya kalau saya mau datang,” tanya Nuri pada sekretaris bos-nya. “Sudah. Bos udah nunggu kamu, kok. Kamu langsung naik ke apartemennya saja. Ga usah ketemu di loby. Atau…kamu sudah menunggu bapak di loby dari tadi?” tanya Desi merasa bersalah. “Ibu kok tahu banget sih, kalau saya sudah karatan di loby sini,” jawab Nuri bercanda. “Maaf ya Nur, kalau kamu sudah repot-repot ke rumah bos,” balas Desi. “Iya Bu, saya ga repot kok. Maaf Bu, saya boleh minta nomor teleponnya bos tidak? Tentu saja kalau diijinkan,” ujar Nuri sebelum Desi menutup sambungan teleponnya. “Sebentar saya kirim ke kamu, ya.” Nuri beruntung wanita yang menjadi sekretaris bos-nya adalah wanita yang enak diajak bicara. Desi tidak melulu berharap di hormati, terkadang sikap Desi membuat dia tertawa. Setelah yakin kalau Hans menunggu dirinya di dalam apartemen sehingga mereka tidak perlu selisih jalan, Nuri langsung masuk ke dalam lift. Menyusahkan saja! Nuri sudah menemukan nomor unit apartemen yang ditempati Hans dan dia langsung menekan bell yang letaknya dekat pintu. Wajah Nuri yang kesal masih terlihat dengan jelas pada saat pintu di depannya terbuka dan memperlihatkan wajah Hans yang begitu segar sehabis mandi, sangat berbeda dengan wajahnya yang dia tahu selalu memasang wajah jutek, tetapi yang membuat wajah Nuri kesal dan jengkel bukan karena penampilannya sekarang melainkan karena Hans memandangi dirinya seolah dia adalah orang-orangan sawah. "Ada apa?" tanya Hans tampa mempersilahkan Nuri untuk masuk. "Nih orang punya otak apa engga, sih? Gue udah bela-belain datang ke apartemennya yang lumayan jauh dari rumah gue, buat nganterin berkas yang dia minta. Eh malah nanya ada apa. Amit-amit deh kalau sambutannya kaya gini," omel Nuri dengan mata berkilat. Sayang Hans tidak bisa mendenarnya karena dia bicara dalam hati. "Bagus!" terdengar suara Hans di telinganya membuat sepasang alis Nuri yang lebih mirip semut berbaris naik hingga nyaris membentuk segitiga. "Hah? Apanya yang bagus Pak. Saya, kan belum ngomong kenapa saya kesini. Lagipula emangnya bapak udah baca berkas yang mau saya serahin?” tanya Nuri bingung. "Kebanyakan bengong kamu makanya agak telmi. Kamu pikir saya baca pikiran kamu. Desi sudah bilang kalau kamu mau datang. Dan saya juga tidak mempunya kelebihan dengan mata laser yang bisa baca berkas yang ada di dalam file itu," katanya ketus. "Lah, terus bagus dimananya?" tanya Nuri bingung. "Bagus karena saya ga perlu mendengar omelan kamu," jawab Hans datar. "Ya Tuhan...apakah aku harus selalu menyebut namamu setiap bertemu bos gila ini? Padahal aku tidak pernah melupakan dirimu, Tuhan," ujar Nuri saat kalimatnya bergema di dalam hati. Namun, yang keluar dari dalam mulut Nuri malah berbeda, dia justru tertarik untuk menggoda bos-nya yang jutek. “Berarti bapak kangen ya kalau saya ngomel. Omong-omong bapak mau dengar omelan saya yang kaya gimana Pak? Ga usah dibayar juga ga masalah buat saya, yang penting saya bebas ngomelin Bapak,” jawab Nuri kurang ajar. “Lama-lama kamu kurang ajar ya. Masuk!” perintah Hans membuat Nuri nyengir. Tadi yang ngomong soal omelan duluan kan dia kenapa sekarang justru Hans yang marah. Aneh bin ajaib memang bos-nya ini. Nuri masih berdiri di depan pintu sampai Hans kembali menegurnya karena dia belum juga masuk. "Mau masuk ke dalam atau mau jadi penunggu pintu?" tanya Hans membuat Nuri mendelik. Bagaimana mungkin dia bisa masuk kalau bos-nya saja masih berdiri menghalangi pintu masuk dan kenapa dia harus terpengaruh dengan sikap bos-nya. Bukankah dia harus gembira karena mereka tidak berada di kantor? Setidaknya  dia bisa bicara sesuka hatinya tanpa ada batasan. Toh bos-nya sendiri sudah memulainya lebih dulu. "Kalau boleh, sih saya mau langsung pulang," balas Nuri membuat Hans melotot galak. "Kalau mau pulang, ngapain kamu datang ke sini?" tegurnya jengkel. "Bapak lupa ya kalau saya ke sini cuma mau nganterin ini," sahut Nuri mengangsurkan file berwarna biru ke depan daeda Hans. Tapi Hans tidak langsung menerimanya melainkan mengulangi perintahnya kembali. "Masuk!" perintah Hans lalu dia berjalan meninggalkan pintu dengan harapan Nuri mengikutinya. Dan Nuri memang melakukannya karena dia harus tahu jawaban Hans atas pekerjaanya. Bagaimana pun dia baru pertama membuat surat proposal dan panduan untuk menjelaskan pada pemegang saham yang akan bersidang besok pagi. "Kalau mau minum ambil sendiri, di sini ga ada pelayan yang akan memberimu minum," terdengar suara Hans yang menyuruh Nuri mengambil sendiri minumnya. Apa yang dipikirkan Hans saat dia menyuruh karyawan yang sering menghindarinya masuk ke dalam apartemennya dan melakukan yang dia inginkan? "Terima kasih Pak. Saya memang lagi haus," kata Nuri yang sudah tidak bisa menahan diri lagi dengan sikap bos-nya yang kadang membuatnya naik darah. Tanpa menghiraukan sopan santun atau apa pun namanya, Nuri berjalan menuju dapur sementara Hans sibuk membaca berkas yang dia bawa. "Kamu kalau mau makan buat aja sendiri. Di lemari sepertinya ada mie instan," kata Hans membuat Nuri nyaris tertawa geli. "Halooo Pak Hans, Anda itu Direktur Utama, masa nawarin tamunya makan mie instan. Mending dibuatin, ini disuruh masak sendiri lagi. Atau jangan-jangan bapak lagi lapar ya," ejek Nuri lagi-lagi hanya bisa dia lakukan di dalam hati. "Heh, kenapa ga ngomong? Jangan bilang kamu ga bisa masak mie instan lagi," ejek Hans membuat Nuri memajukan bibirnya. Dan sialnya gerakan tersebut dilihat oleh Hans membuat dia mendapatkan ejekan tanpa suara. Dan Nuri serius tidak mau tahu apa artinya setelah melihat wajah Hans. "Kalau cuma masak mie instan, gampang kok. Tapi saya ga lapar dan bapak-kan bukan suami saya, jadi ga ada keharusan buat saya melayani Bapak. Benar tidak?" sahut Hanna berani. Kalau saja ada orang lain yang melihat ekspresi Hans saat ini, Nuri pasti akan berlindung di balik pintu dan tidak ada akan  mau mendengar apa pun ucapan Hans. "Barengsek! Gara-gara ga bisa nahan omongan, gue jadi kaya gini, nih. Si bos pasti mau ngeluarin kata-kata puitisnya," ujar Nuri membatin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN