Ini pertama kalinya aku melakukan meeting dengan seorang sastrawan yang cukup disegani di negeri ini. Setelah berbincang melalui pos-el, Aji Manunggal bersedia bertemu denganku untuk mendiskusikan tulisannya yang sedang kutangani. Sepanjang hari itu aku berusaha menyiapkan diri, berlatih berbicara maupun bersikap. Bagaimana sikap seorang editor profesional? Aku tak mau beliau menganggapku tak berkompeten.
Kutengok jam tangan. Aku telat sepuluh menit dan mengutuk diri berkali-kali. Tak seharusnya aku memberi kesan pertama yang jelek. Kupukul dahi berkali-kali. Sesampainya di kafe yang menjadi tempat pertemuan kami, aku celingukan mencari-cari sosok sang maestro. Beliau mengatakan memakai atasan cokelat tua dibalut jaket kulit dan topi baret. Mataku menjelajahi sudut tempat dengan jeli. Begitu menemukan sosok pria yang duduk di meja terpojok, aku menghambur mendekatinya. Pria tersebut mengangkat kepala.
“Pak Aji Manunggal?” tanyaku memastikan. Pria tua yang rambutnya berubannya tampak dari balik baret tersebut mengangguk. “Ah, saya Nuansa. Editor yang menangani naskah baru Anda.”
“Oh, Nuansa. Silakan duduk.”
Aku mengambil tempat di depannya. Seorang pelayan datang menawarkan menu. Aku memesan secangkir Chamomile hangat. Usai memesan, aku berdeham. Semua kalimat yang sudah kususun sebaik mungkin agar menimbulkan kesan profesional lenyap. Mataku memejam. Aku menggigit bibir bawah, gugup.
“Tidak usah gugup. Bicara santai saja.” Menyadari kegugupanku, pria tua itu terkekeh. “Saya sudah membaca ulasan pertama kamu soal naskah saya.”
Aku tersenyum kikuk. “Saya sudah menamatkannya dalam beberapa hari saja agar kita bisa memasuki proses selanjutnya. Pembaca Anda pasti menantikan. Saya mengatur agar terbit sesuai tenggat waktu.”
Ia mengangguk. “Saya suka ulasan dan komentar kamu. Sepanjang saya berkarier sebagai penulis, hanya kamu yang berani mengomentari naskah saya secara objektif. Belum ada editor maupun beta reader yang berani bertanya atau memberi kritikan.”
Aku melongo. Jadi, aku satu-satunya yang lancang memberi kritikan pada naskahnya? Aku memejamkan mata, mengutuk diri sendiri. Kutundukkan kepala meminta maaf. “Saya minta maaf kalau itu menyinggung Anda.”
“Loh, kenapa menyinggung? Saya malah berterima kasih. Dengan begitu, saya tahu celah-celah naskah saya. Selama ini, saya membaca banyak kritikan mengenai karya saya. Saya kesulitan menemukan kesalahan, sehingga memerlukan kritikus untuk membantu saya menulis naskah selanjutnya. Editor yang menangani naskah-naskah saya tidak pernah satu kali saja memberi masukan, sehingga naskah terbit saya selain mendapatkan pujian, juga kritikan pedas. Terima kasih, Nuansa.”
Senyum ramahnya membuat hatiku lebih tenang. Aku tak pernah merasakan kepuasan seperti ini.
Selama satu jam kami berbincang mengenai naskah. Aku tidak pernah membayangkan bisa mengobrol dan bahkan membantu seorang sastrawan ternama. Meskipun sering menyabet penghargaan, Aji Manunggal tak menyombongkan diri. Beliau merendah dan berkali-kali mengatakan tulisannya tidak begitu bagus. Tidak begitu bagus apanya kalau sering mendapatkan penghargaan baik di Indonesia maupun luar negeri?! Lantas, apa kabar aku yang sama sekali tak pernah memenangkan lomba menulis?
Setidaknya, dari sastrawan itu aku banyak belajar. Kami menjadwalkan pertemuan lain setelah beliau mengedit ulang naskahnya. Ah, tak ada yang lebih menyenangkan daripada ikut terlibat dalam penggarapan naskah seorang sastrawan besar.
*
Gerimis mengguyur Jakarta. Keluar taksi daring yang berhenti di depan portal, aku berlari kecil menuju rumah. Kurogoh tas mencari kunci. Sekian detik, kunci tersebut tak kunjung ketemu. Aku meraba-raba saku dan memeriksa ulang tas.
“Yaaah. Kok ilang?!” pekikku panik.
Sungguh, aku yakin memasukkan kunci rumah ke dalam tas! Kubongkar isi tas dengan mengeluarkan semua isi ke atas lantai di depan pintu. Tak ada apa pun kecuali perlatan make up, catatan, dan pulpen. Aku mendesah kesal. Kuingat-ingat sekali lagi di mana meletakkan kunci tersebut.
“Apa jatuh, ya?” gumamku pada diri sendiri.
Lamunanku buyar saat ponselku bordering. Mataku memelotot melihat nama Sabda di sana—kami bertukar nomor telepon sejak aku membantu mengganti baju adiknya. Segera kuterima panggilan tersebut.
“H-hai!”
“Kamu ngapain jongkok di depan rumah?”
Aku melongo. Buru-buru, aku beranjak berdiri. Duh, tidak cukup rupanya harga diriku terinjak-injak di depannya.
“Kunci rumahku kayaknya jatuh. Duh, gimana, ya?” Mataku mencari-cari sosoknya. Setelah mengamati rumahnya dengan saksama, aku melihat lelaki itu berdiri di balkon lantai dua rumahnya. Ia memandangku sambil memegang ponsel.
“Ke rumah saya dulu. Kamu bisa menunggu pemilik kontrakan untuk mengirim kunci cadangan.”
Sudut-sudut bibirku terangkat membentuk senyum menjijikkan. Untung saja jarak kami cukup jauh. Aku mengangguk dan menggumam terima kasih. Panggilan terputus. Aku memasukkan barang-barang yang berserakan di lantai itu ke dalam tas. Berlari kecil, aku memayungi diri dengan tas, menyeberang ke rumah Sabda yang tak berpagar. Tanganku terangkat hendak menekan bel rumah. Sebelum menyentuh, pintu sudah dibuka dari dalam. Aku spontan menurunkan tangan.
“Silakan masuk,” katanya ramah.
Untuk kedua kali, aku memasuki rumahnya yang terlihat sepi. Mataku jelalatan menelaah. Seakan mampu membaca gestur, Sabda berdeham.
“Adikku nggak ada di sini.”
“Oh....” Aku berbalik badan menghadapnya. “Aku kira adik kamu tinggal di sini juga.”
“Dia jarang datang ke sini. Kemarin setelah mendapat telepon dari Mama kalau Luki menghilang, saya langsung mencarinya dan membawanya pulang.”
Aku mengangguk-angguk. Mungkin adiknya tinggal bersama orang tua Sabda. Usia semuda itu, aku yakin masih belum bisa hidup mandiri. Yang menjadi pertanyaanku, mengapa gadis itu pulang dalam keadaan mabuk? Kalau bukan anak nakal, pasti ada penyebabnya.
“Duduk dulu. Saya buatkan sesuatu yang hangat.”
Sabda berlalu meninggalkanku di ruang tamu. Aku mengirim pesan pada pemilik kontrakan untuk mengirim kunci cadangan sebisanya. Si pemilik kontrakan yang sedikit galak itu bertanya panjang lebar tentang kunci yang kuhilangkan, membuat kepalaku pening. Bola mataku beputar kesal. Aku menjelaskan kalau aku menjatuhkannya dan membutuhkan kunci cadangan agar bisa masuk ke dalam.
Bu Diah: Saya baru bisa mengirim kuncinya besok!
Melihat balasan itu, mataku mendelik. “Yang bener aja?! Angel belum makan, Bu!” teriakku pada ponsel.
“Angel siapa?” suara Sabda membuatku gelagapan. Aku duduk semanis mungkin. Ia melenggang mendekat membawa dua cangkir minuman yang asapnya masih mengepul seperti kereta lokomotif. Ia menyodorkan secangkir cokelat panas untukku.
Senyumku terkembang malu-malu. “Bukan siapa-siapa. Peliharaanku di rumah.”
“Kamu punya peliharaan?” Sabda tampak tertarik.
“Ah, anu....”
“Kucing atau anjing?”
Aku mengusap tengkuk. Mana mungkin aku memperkenalkan Angel pada Sabda. Ini semua gara-gara bocah tengik itu, Dierja. Kalau saja ia tak memaksaku membawa Angel, aku tak akan berpikir keras menentukan jadwal makannya.
Mengalihkan topik pembicaraan, aku menggali topik lain. Ekor mataku melirik lukisan besar yang dipanjang di atas bufet.
“Eh, lukisannya bagus banget.”
Sabda yang kelihatannya terpancing topik baru itu menoleh ke belakang, lalu memandangku lagi sambil sesekali menyeruput minumannya. “Itu buatan seseorang yang saya kagumi.
Aku menyipit penasaran. “Oh, pelukis favorit kamu, ya?”
Bibir Sabda terkatup rapat. Ia mengangguk lamat-lamat. “Bisa dibilang begitu.”
“Kalau begitu, dia pelukis yang hebat. Kelihatan hidup banget.” Meski aku tak bisa menilai karya seni, bisa kulihat keindahan lukisan yang artistik itu. Gambarnya tidak begitu jelas. Dahiku mengernyit mencoba mengartikan.
“Lukisan itu menggambarkan situasi pasar malam.”
Mulutku terbuka membentuk huruf ‘O’. Mengedarkan perhatian, aku tak menemukan apa pun di dinding rumah ini. Hanya lukisan itu yang terlihat berwarna. Sisanya hanya hiasan dan patung. Bahkan, foto keluarga pun tak ada. Aku mulai berpikir kalau lelaki ini sedikit introvert.
“Bagaimana? Sudah menghubungi pemilik kontrakan?”
Perhatianku beralih menuju ke arahnya. “Anu, Bu Diah nggak mau ngasih hari ini. Katanya besok.” Bibirku mengerucut miring. Wanita itu memang penyihir picik. Sungguh tak berbelas kasih. Kalau saja ia hidup di dunia fiksi, mungkin ia seorang penyihir tua yang doyan menculik anak-anak.
Sabda mengangguk-angguk. “Hmm....” Ia menyeruput minumnya santai. “Kalau gitu kamu tidur di sini dulu saja.”
Spontan, aku menyemburkan minumanku.
*
Mona: Nggak ada foto hoax.
Jani: Eh, Nu, kenalin tetangga lo ke Mbak Desi. Siapa tahu bisa bantuin dia konsultasi kejiwaan.
Mbak Desi keluar dari grup.
Jani mengundang Mbak Desi.
Aku memutar-mutar badan, mencari angle yang tepat untuk berfoto. Setelah menemukan spot bagus, aku memosisikan ponsel di depan dan berswafoto dengan gaya duck face. Kuambil gambar sebanyak-banyaknya. Lalu, mengirim ke grup COGAN ADDICT.
Nuansa: Wangi banget kamarnya :’D
Mona: Anjir, keren amat dekorasinya! Fix, pacarin!
Tiara: Dia beneran nggak punya cewek?
Nuansa: Kayaknya nggak. Abis, nggak ada foto cewek sama sekali.
Jani: Selidiki lebih dalam. Siapa tahu dia punya istri wkwkwk.
Istri apanya. Aku saja tak melihat jejak perempuan sedikit pun di rumah ini. Rumah Sabda sangat tertata dan didominasi furnitur hitam-putih. Walaupun yang kutempati adalah kamar tak terpakai—yang kemarin sempat dipakai adiknya—, tetap saja aku bisa mencium aroma maskulin. Aku melompat ke ranjang dan menciumi selimutnya. Kubenamkan wajah pada selimut yang wangi itu.
“Duh, berasa bobo di sebelahnya.” Aku menyengir gemas.
Membuka lemari, aku menemukan beberapa potong baju perempuan—hanya beberapa—yang kupastikan milik Lukita. Kukeluarkan baju-baju tersebut dan mengendus aromanya. Kalau dari aromanya, sepertinya baju ini tak pernah terpakai. Baunya seperti baju yang disimpan sangat lama di lemari.
Kukembalikan baju-baju tersebut ke lemari. Menengok dinding, jam sudah menunjuk pukul 11.12. Aku melompat ke ranjang, mencoba memejamkan mata. Padahal, besok hari Senin, artinya aku harus datang ke kantor. Kalau Bu Diah belum memberikan kunci kontrakan, mampuslah aku. Masa aku datang ke kantor dengan baju sama?!
Aku mendengus memikirkan itu. Mataku sudah tertutup. Kurasakan helaan napas pelan. Suara degup jantung yang lirih beradu dengan detak jarum jam dan mesin AC. Samar-samar, kudengar suara lain. Seperti instrumen musik. Piano. Kuangkat badan sigap. Siapa yang bermain piano tengah malam begini? Ya kali, siapa lagi kalau bukan Sabda. Masa Susana, batinku menyinyir. Dirundung penasaran, aku berjalan menuju pintu—lebih tepatnya mengendap-endap. Sebelum benar-benar keluar kamar, kupulas bibir dengan lipstik, setipis dan senatural mungkin. Jaga-jaga kalau kami bertatap muka, mengobrol, dan terjadi adegan yang tak terduga.
Suara tersebut terdengar dari lantai bawah, berdekatan dengan anak tangga. Mengintip ke bawah dari puncak tangga, kulihat Sabda menjalankan jemari menekan tuts-tuts piano. Aku mengamati sambil bersendang dagu. Bibir bawahku kugigit pelan. Tidak hanya ganteng dan pintar, ia bisa main alat musik. Bisa gila aku kalau dibikin melumer tiap waktu.
Bunyi yang lirih dan indah tadi menghilang. Aku tersadar dari lamunan gilaku begitu kulihat Sabda mendongak ke atas.
“Saya ganggu kamu, ya?” tanyanya.
Aku gelagapan. “Ngg, aku... insomnia.”
Ia mengangguk-angguk. Ditinggalkan pianonya dan berjalan meniti anak tangga. “Sejak kapan?”
“Sejak SMA.”
“Ada alergi obat?” Ia melangkah makin mendekat.
Aku menggeleng. Makin dekat, sudut mataku malah berkedut tegang. Ia berhenti bebetapa senti di depanku.
“Apa yang kamu rasakan sekarang?”
“Deg-degan,” tuturku ngelantur. Sabda menaikkan sebelah alis.
“Deg-degan?” ulangnya. “Maksudnya cemas? Ada stres berat?”
“Aku baik-baik aja,” sahutku cepat. Aku nyaris lupa kalau ia seorang psikiater yang akan bertanya sampai ke akar-akarnya. Aku hanya mengkhawatirkan lidahku yang tak terkontrol ini.
“Saya punya obat tidur. Tapi, sebelum ngasih kamu obat-obatan, saya harus tahu kondisi insomnia kamu.”
“Nggak perlu.” Aku mengangkat tangan menolak. “Ini sudah kebiasaan. Pekerjaan dan hobi bikin aku kebiasaan tidur telat.”
Ia mengangguk-angguk. “Kalau begitu, jangan dibiasakan. Itu nggak baik buat kesehatan.” Lalu, ditunjuknya bibirku. “Sepertinya kamu lupa belum hapus make up.”
Belum sempat mencerna perkataanya, Sabda sudah berlalu melewatiku, memasuki kamarnya. Aku mengusap bibirku. Ada coretan lipstik samar di telapak tangan. Padahal, aku mengenakannya agar tetap terlihat cantik di depannya. Bibirku mengerucut ke samping.
*
Bu Diah benar-benar membuatku darah tinggi. Ia mengabarkan tak bisa mengirim kunci cadangan pagi-pagi. Padahal, jam sembilan aku harus sampai di kantor! Dengan enteng ia mengatakan aku harus mengambil sendiri ke rumahnya. Kubenturkan dahi ke lemari, masih dengan bathrobes melilit tubuh.
Pintu kamar diketuk seseorang. “Nuansa, kamu sudah bangun, kan?” Suara Sabda terdengar di luar.
Aku tergeragap. “U-udah.”
“Oh, kalau kamu butuh pakaian, pakai saja baju di lemari itu.”
“Boleh?” nadaku naik girang.
“Boleh.”
Aku meloncat-loncat senang. “Oke! Makasih, ya!”
“Saya tunggu di bawah untuk sarapan bareng.”
Mulutku terbuka. Yang benar saja! Setelah kesialan bertubi-tubi, sekarang aku mendapatkan banyak bonus. Tadinya aku merasa bahwa hidupku dikutuk karena sering berbuat jahat pada orang lain.
Sebelum turun, aku memulaskan lipstik merah muda. Kuangkat tas dan berjalan cepat menuju dapur. Aroma masakan tercium sejak aku berada di tangga.
“Woah! Kamu sendiri yang nyiapin?” tanyaku takjub begitu sampai di meja makan.
Sabda tersenyum. Ia mempersilakan aku duduk di depannya. Pagi-pagi begini ia masih sempat menyiapkan sandwich isi daging asap dan telur setengah matang.
“Kamu nggak alergi telur, kan?” tanyanya.
“Nggak.” Aku memandangi makanan di piringku. Kugigit bibir menahan diri agar tak tersenyum lebar. Kalau begini, aku merasa seperti ada di n****+ romantis. Seorang tokoh utama yang memiliki pasangan sempurna. “Makasih ya atas pinjaman bajunya. Ukuran adik kamu ternyata sama kayak aku.”
Ia terdiam sangat lama. Kupandang keterdiamannya dengan ekspresi bertanya. Ia menggeleng samar, lantas menyantap sarapannya tanpa membalas ucapanku. Kecanggungan merayap cepat. Padahal, kukira ada obrolan panjang di meja ini. Mengapa ia malah tak mengajakku bicara?
“Kamu yakin ke kantor dengan dandanan seperti itu?” tanyanya, tanpa memandangku.
“Hah?” Aku mencermati diriku melalui layar ponsel yang memantulkan bayangan. “Memang kenapa?”
Ia mengangkat kepala. “Menor.”
*
Gara-gara komentar Sabda pagi tadi, aku terpaksa menghapus make up yang dianggapnya menor dan mengganti dengan make up setipis mungkin. Mana mungkin! Sulit dipercaya. Baru kali ini ada yang mengomentari dandananku, mengatai menor pula! Ditaruh di mana muka ini?
Aku mengacak poni gemas. Kusingkirkan poni ke samping, memerhatikan dahiku yang membiru dan sedikit benjot di depan cermin toilet kantor. Aku terbiasa berdandan. Melihat wajahku yang nyaris tak ber-make up malah seperti melihat zombie. Padahal aku sudah memakai lipstik nude. Wajahku terlihat pucat dan mengerikan. Aku mengerang kesal. Ah, lagi pula Sabda kan tidak ada di sini. Aku merogoh tas dan memulaskan lipstik merah muda. Kutambah maskara untuk melentikkan bulu mata. Nah, kalau begini aku terlihat lebih ‘wah’.
Keluar toilet, aku berjalan penuh percaya diri. Kusibak rambut ke belakang dan membalas sapaan teman-teman sekantor. Sampai di ruang redaksi, aku duduk dengan wajah berseri-seri. Serempak, Mona, Jani, dan Tiara mengerubung di mejaku.
“Gimana, gimana?” tanya Tiara.
“Lo nyuri start, nggak?” sambung Jani.
“Ada adegan plus plus, nggak?” Mona dengan otak mesumnya menyambung.
“Ish, kalian kenapa, dah. Gue kan cuma nebeng tidur.” Aku mencondongka badan. “Tadi pagi dia masakin sarapan buat gue, tahu.”
“Aaawww!” Mona menjerit dan mendekatkan telapak tangan pada pipi. “g****k banget lo nggak curi-curi kesempatan buat cium dia.”
“Apaan, sih.” Aku memutar bola mata.
Pasukan rumpi itu menghambur kembali ke tempat duduk saat pintu ruang redaksi dibuka. Bu Darla muncul dengan kacamata hitam dan tangan menenteng tas—sepertinya baru sampai. Ia menurunkan kacamata dan mengamatiku.
“Gimana proyek nulisnya Pak Aji?”
“Wooo, beres, Bu,” jawabku mantap.
Ia mengangguk-angguk. “Soalnya beliau nelepon saya dan ngucapin terima kasih karena sudah dikasih editor yang bagus.”
Aku cengar-cengir. Obrolan tersebut membuat Mona, Jani, dan Tiara mengintip penasaran di balik komputer.
“Oh, ya. Buka pos-el kamu. Saya kirim satu naskah lagi. Ini permintaan khusus, soalnya penulis ini agak rewel dan susah banget dibujuk buat nerbitin di sini.”
Wajahku berbinar. Artinya, aku dipercaya Bu Darla menangani penulis-penulis ‘istimewa’. Ini sebuah kebanggaan bagiku.
“Siap!”
Wanita itu mengenakan lagi kacamatanya dan berlalu pergi. Dengan semangat tinggi, aku membuka surel dari Bu Darla.
From: darla.pramono(at)aksara.co.id
To: nuansa(at)aksara.co.id
Subject: Pra-editing
Tolong segera hubungi penulis ini dan lakukan diskusi.
Judul: Elegidi Langit Senja
Penulis: Iota Rho
Sinopsis: (terlampir)
CV penulis: (terlampir)
Catatan:
DEADLINE: 15 OKTOBER!
Salam,
Darla Pramono | Editor in Chief
Aku mencondongkan badan dan memerhatikan nama penulis tersebut,
Penulis: Iota Rho
“Are you kidding me, Mam?!” aku berteriak histeris.