Ketemu Camer

4090 Kata
“Nuansa?” Aku menelan ludah susah payah. Pandanganku terbagi antara Pak Aji dan Sabda. Kusembunyikan wajahku dengan menunduk. Mataku terpejam diiringi komat-kamit dari mulut. “Sudah saling kenal, toh?” Pak Aji terlihat kaget. “Dia tetangga saya.” Bahkan dengan ayahnya saja ia berkata kaku. “Oh! Kak Nuansa! Kok bisa di sini?” Lukita yang menyadari keberadaanku bertanya histeris. Wajahnya berbinar-binar. “Kalian duduk dulu dan makan,” sang ibu membuka suara. Sabda dan Lukita mengambil tempat duduk. Lukita menyerobot duduk di sebelah ibunya, sedangkan Sabda mau tak mau harus duduk di sampingku. Kerongkonganku serasa sakit ketika menelan ludah sampai membuatku berdeham pelan berulang kali. Hidangan utama datang tak lama kemudian. Keadaan di meja masih saja senyap. Hanya ada suara saksofon yang dimainkan di panggung kecil bersebelahan dengan piano. Selama kediaman keluarga aneh ini pula, aku hanya bisa memandang makanan tanpa selera. Hingga suara Pak Aji mencairkan suasana. “Jadi, Nuansa ini adalah editor Papa. Papa suka sekali pekerjaan dia. Berbeda sama editor lain, Nuansa bersedia mengutak-atik naskah Papa. Makanya, Papa ajak ke sini buat—” Bu Dokter—duh, aku bahkan tak tahu namanya—berdeham menyela, “Masya udah selesai studi dan pulang ke Indonesia. Mama udah ketemu dia.” Praktis, Sabda meletakkan sendoknya. Diam-diam aku melirik sekadar melihat ekspresinya: ia tampak terganggu dan tidak senang dengan obrolan yang digulirkan di meja makan. “Kamu harus—” “Saya kan sudah bilang berulang kali, Ma. Saya nggak mau.” Bu dokter mengempas sendoknya. “Masya udah kenal keluarga kita. Dia datang dari keluarga baik-baik. Semua keluarganya berprofesi di bidang hukum. Ayahnya jaksa, ibunya pengacara. Dia juga lulusan cumlaude hukum UCLA dan calon pengacara. Pasti cocok sama kamu.” Sabda memandang ibunya lurus-lurus. Apa ini makan malam perjodohan? Seharusnya aku tidak ada di sini untuk menguping pembicaraan mereka. Aku berusaha mencari celah untuk kabur. Mungkin berpura-pura diare dan pergi ke toilet adalah alasan tepat. Hendak memundurkan kursi, tanganku malah ditarik dari samping. Mataku memelotot melihat Sabda yang menggenggam tanganku, lantas menarikku berdiri. Belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya, ia menyeretku mengikutinya meninggalkan meja. Kami berhenti di kelokan dekat toilet. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “A-aku.... Papa kamu yang ngajak aku. Sumpah.” Jariku membentuk huruf V. Ia menghela napas panjang. Ditatapnya aku lekat. “Kamu sadar kalau tujuan ayah saya mengajak kamu ke sini untuk dijodohkan dengan saya?” “HAH?!” Kubungkam mulutku sendiri. Tahu gitu mah gue semangat datang ke sini. Aku mengulum senyum nakal. “Saya nggak mau dijodohin sama siapa-siapa.” Senyumku spontan hilang. Tahu diri dikit napa, Nu! Benakku berteriak menyinyir. “Tapi, saya boleh minta tolong sama kamu?” Kuangkat dagu. “Ya?” “Saya akan bilang saya memilih kamu.”   *   Sejak Sabda mengucapkan deretan kalimat itu, mulutku seperti terkunci. Bahkan, aku tak mampu memandang Bu Dokter yang menatapku skeptis. Tanganku berkeringat dingin. Berulang kali aku meneguk minuman sekadar mengusir kecemasan. Di sebelah, Sabda malah bersikap tenang. “Saya nggak akan mengikuti permintaan Mama. Masya bukan tipe wanita idaman saya.” “Bahkan jika Mama ngasih kamu Kendall Jenner pun pasti kamutolak,” tukas Bu Dokter sinis. “Sampai kapan kamu menunggu perempuan yang dipastikan udah meninggal?” Aku melihat Sabda meremas telapak tangannya. Dahiku mengernyit. Maksudnya apa? Selama berasumsi dengan pikiran, aku hanya membisu.Sabda mempertahankan senyum simpul seakan ucapan ibunya tidak begitu mengganggu. “Mama mau kamu move ondari Aquila dan segera menikah,” lanjut Bu dokter. Mataku membulat. Wah, jadi dia belum bisa move on dari mantan, toh. Emang mereka kenapa, ya? Sabda menghela napas panjang. Ia meraih gelasnya dan meneguk isinya. Ditatapnya sang ibu lurus-lurus. “Saya sudah memilih, Ma.” Lantas, pandangannya beralih ke arahku. “Saya akan memilih Nuansa.” Jantungku serasa rontok ke perut. Pak Aji terkekeh pelan. Ia menelan tawanya bersama air minum. Kuperhatikan ekspresinya yang tenang dan kalem. Aku rasa, Pak Aji tahu alasan Sabda langsung menjatuhkan pilihan padaku. “Nuansa?” Suara Bu Dokter naik tiga oktaf. Ia mengamatiku dengan bola mata memelotot. “Ga-gadis ini? Mama bahkan belum mengenal dia.” “Dia tetangga saya. Kami sudah saling mengenal.” “Papa sudah kenal Nuansa. Anaknya baik dan pekerja keras. Papa sangat setuju kalau Sabda memilih Nuansa.” Kubagi pandangan ke seluruh orang di meja makan seperti orang t***l. Niatku duduk di sini pada mulanya hanya untuk menerima tawaran Pak Aji sekaligus menghormatinya. Namun sekarang malah menjadi urusan yang lebih pelik dan dramatis daripada sinetron striping murahan. Aku mengusap tengkuk. Aku seperti kambing congek di sini. “Aku juga setuju!” Tiba-tiba Lukita membuka suara, membuat Bu Dokter memelesatkan tatapan padanya. Lukita mengedikkan bahu dan menggenggam sendoknya lagi. “Mama nggak bisa percaya sama kamu. Mama tahu betul watak kamu. Ini hanya kamu anggap main-main. Kamu memilih gadis ini untuk menolak Masya, kan? Mama bahkan yakin kamu minta Nuansa buat mengiyakan ucapan kamu.” Dahiku mengernyit. Tanpa diminta saja aku pasti mengiyakan. Aku menundukkan kepala, tak ingin berkata apa pun. “Tiana, sudah.” Pak Aji menghela napas panjang: sekaligus aku tahu nama ibu Sabda adalah Tiana. “Kalau Sabda sudah menjatuhkan pilihan, kita hormati saja.” “Nggak bisa begitu! Dia asal memilih gadis ini. Daripada memilih gadis yang bahkan belum kita kenal dekat, kenapa kita nggak menikahkan Sabda dengan Masya yang udah jelas asal-usulnya?” Aku mengangkat kepala. “Memangnya asal-usul saya tidak jelas? Ibu belum kenal saya. Bahkan kita baru saling mengenal di meja ini. Bukan berarti asal-usul saya tidak jelas. Kalau begitu, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Nuansa Swara Respati. Saya lulusan cumlaude Universitas Gajah Mada jurusan Sastra Inggris. Ayah saya orang Jogja, ibu saya orang Malang. Mereka punya restoran Jawa di Jogja. Kami memang bukan berasal dari keluarga besar dokter atau pengacara, tapi kami punya asal-usul yang jelas.” Aku mengambil napas panjang setelah membiarkan deretan kalimat itu meluncur dari bibir. Ekspresi dokter Tiana berubah, setengah syok dan tak percaya. Dahinya mengernyit. Aku membungkam mulut merasa sudah lancang mengatakan hal seperti itu. “Maaf….” Kutundukkan kepala menyadari ketidaksopananku. Pak Aji terkekeh. Ia menggeleng-geleng. “Sudah, Ti. Hormati keputusan putramu. Kalau kamu mau melihat dia menikah, ya sudah, biarkan dia memilih Nuansa.” Dokter Tiana membuang napas kesal, tak dapat berbuat apa-apa.   *   Ya Tuhan. Sepertinya aku perlu bermeditasi di goa bersama Si Buta dan monyetnya, Kliwon, selama beberapa hari sekadar mengembalikan otakku yang mulai miring. Makan malam keluarga yang kukira hanya sekadar formalitas dan basa-basi akhirnya berujung petaka—atau malah keberuntungan—untukku. Meskipun aku tergila-gila pada tetangga gantengku itu, bukan berarti kehidupanku sama dramatisnya seperti sinetron ratusan episode! Kan kamu yang pengen hidupmu seperti di n****+-n****+ romantis, Nu, benakku berbisik. Tapi bukan begini juga, kali! Aku syok. Aku jadi merasa tidak enak pada Sabda. Bahkan, Pak Aji memintanya mengantarku pulang—Lukita ikut dokter Tiana, Pak Aji pulang sendiri. Kini, duduklah kami berdua di mobil Sabda menuju pulang. Sesekali kuamati dirinya dari samping. Ekspresinya seperti jalan yang baru di-cor. Amat datar. Aku menelan ludah. “Saya minta maaf,” katanya. “Untuk?” “Melibatkan kamu.” Suaranya bahkan dingin. Aku memandangnya tanpa berkedip. Ia masih berkonsentrasi menyetir. Ketika lampu lalu lintas berubah merah dan mobilnya berhenti, barulah tatapannya dialihkan ke arahku. “Seharusnya kamu menolak waktu diajak ayah saya.” “Aku nggak ngerti kalau bakal kejadian begini.” Ia memandang lurus ke depan. Musik yang dihidupkan dari radio tak mampu mencairkan suasana di mobil. Berulang kali aku memain-mainkan tangan atau memandang keluar saking rikuhnya. “Ucapan Mama saya tadi salah. Saya memang pernah punya calon istri, namanya Aquila. Dia teman kuliah saya, seorang psikiater juga.” Kalimat terakhirnya membuat jantungku berdenyut ngilu. Aku menoleh perlahan. “Lima tahun lalu, pesawat yang membawanya menuju Australia dikabarkan hilang kontak. Pesawat itu ditemukan jatuh di laut. Dia belum ditemukan sampai sekarang.” Ia memandangku. “Saya berjanji akan menikahinyaselesai bertugas di Australia. Selama keberadaannya belum jelas, saya menganggap janji itu masih berlaku, Nuansa. Kalau saya tahu di mana jasadnya, saya bisa melepasnya.” Aku bergeming. Ucapannya terngiang-ngiang di telinga. Mobilnya melaju lagi, perlahan, seolah sengaja membiarkan aku mencerna kalimat yang dilontarkan secara jujur. Aku menggigit bibir pilu. “Saya sama sekali nggak punya bayangan menikahi siapa pun. Masih belum.Seenggaknya kalau saya bilang kamu adalah pilihan saya, Mama berhenti memaksakan kehendak saya. Saya tahu kamu marah pada saya atas tindakan saya. Saya juga tahu kamu nggak akan mau—” “It’s okay. I’ll help you.” Kupandang ia, lantas menyelipkan senyum. “Aku akan bikin Mama kamu berhenti memaksa kamu menerima cewek yang nggak kamu suka.” Dan selama itu, akan kubuat kamu jatuh cinta padaku wahai tetangga!   *   Aku cengar-cengir sendiri. Orang-orang kantor tak akan menyangka jika mendengar berita yang kusampaikan. Walaupun Sabda tidak bersungguh-sungguh, tetap saja semangatku untuk mendapatkannya kembali memuncak! Bolehlah ia memegang janji untuk kekasihnya yang menghilang itu. Selama itu pula, setidaknya aku juga boleh membuat ia nyaman bersamaku. Membayangkannya saja menciptakan senyum semringah di bibir. Mulai Senin ini, hari-hariku harus berjalan manis. Sepanjang pagi, aku tak berhenti menari seperti orang sinting. Mandi, memakai baju, berdandan, sampai memberi makan Angel dan akhirnya memelesat keluar rumah. Wajahku makin berseri-seri melihat Sabda berdiri di samping mobil, memasukkan tangan ke saku celana, mengangkat tangan ke arahku. Aku berlari menghampirinya. “Pagi tadi Mama mampirke sini. Dia sedang mengawasi kita.” Telunjuknya teracung menuju salah satu jendela. Mataku mengekori arah yang ditunjuk. “Mulai sekarang, saya akan antar jemput kamu selama saya bisa. Minus kalau lagi lembur. Any request?” “Pasal pertama, saat bersama Nuansa Swara Respati, ngomong yang santai. Pasal selanjutnya, menyusul.” Ia tersenyum, lantas mengangguk. Ia membukakan pintu untukku. Kugumamkan ucapan terima kasih sebelum pintu ditutup lagi. Tak berselang lama, ia sudah duduk di sebelahku. Jasnya disampirkan ke sandaran jok. Hari ini, entah perasaanku atau bukan, tampaknya suasana hatinya sedang baik. Tidak seperti kemarin-kemarin, wajahnya tak lagi muram. Aku yakin pasti ada hal yang membuatnya senang. Apa sekarang hatinya mulai terbuka untukku? Aku mengulum senyum membiarkan imajinasi indah menari di kepala. “Kamu kelihatan seneng,” pancingku. “Hari ini salah satu pasienku menunjukkan perkembangan yang baik.” Yah, kirain gara-gara gue. Bibirku mencebik kecewa. “Oh.... Kenapa emang?” “Kecenderungannya untuk bunuh diri udah agak menurun. Sekarang, dia mau berinteraksi sama orang lain. Tingkat depresinya udah menurun.” Ia mulai menceritakan kehidupan pasien-pasien yang ditanganinya di RSJ. Salah satu pasien yang diceritakannya bernama Dinda, seorang remaja berusia delapan belas tahun yang didiagnosis depresi berat. Awal Sabda menanganinya, gadis itu kelihatan sangat berantakan dan sering berteriak. “Aku punya pasien yang mengidap skizofrenia. Orangnya kreatif dan unik. Dia beranggapan menjadi putri yang menunggu pangerannya datang. Jadi, setiap datang ke ruang konsultasi, dia semangat sekali.” Aku tersenyum kecil. “Dia pasti menganggap kamu pangerannya.” Aku terkikik, diikuti suara tawanya. “Kapan-kapan, aku ajak kamu ke tempat kerjaku dan berkenalan dengan mereka.”   * “Lo tahu nggak sih, geng....” Aku menatap Tiara, Mona, dan Jani bergantian ketika kami berada di kantin kantor. “Gue sama Sabda makin deket, tahu!” Aku mengentak-entak kaki gemas. “Maksudnya deket?” Mona membentuk kelima jarinya menjadi moncong yang ditubruk-tubrukkan. “Kalian one night stand?” Ia menyeringai. “Ciye, ciyeee.” “Ish, Mona.” Tiara memelotot. “Nggak lah, Mon! Otak lo kayaknya perlu dicuci pakai air keras, deh. Ngeres mulu.” Aku mencondongkan badan, setengah berbisik. “Jadi, Aji Manunggal yang naskahnya gue tanganin itu bapaknya Sabda!” “HAH?” Tiara, Mona, dan Jani berteriak heboh. “Terus, beliau kan minta gue ikut tuh acara makan malam keluarga. Eh, njir, malah dikenalin buat dijodohin ke anaknya. Kaget lah gue.” “HAH?!” Teriakan mereka makin menggelegar. “Nah yang lebih bikin kaget, Sabda bilang ke nyokapnya mau milih gue dan sekarang kita pacaran!” Mereka tidak berteriak seperti sebelumnya, membuatku heran. Mereka saling melempar pandangan, lalu tertawa. “Ah, bercanda lo bisa aja, Nu.”Jani menyenggol lenganku. “Tau nih, Nuansa. Saking hopeless-nya nggak bisa dapetin Sabda sampai ngayal begini.” Tiara mencebikkan bibir. “Anjir, gue nggak ngayal!” Aku memutar bola mata. Kuberantakkan rambut gemas. “Gue buktiin, ya.” Aku merogoh ponsel untuk menghubungi Sabda. Kutekan pilihan speaker agar dua cecunguk ini bisa mendengar percakapan kami. Dering kedua, panggilanku diangkat. “Halo?” “Eh, aku gangguin kamu, nggak?” “Nope. Kenapa? Are you in trouble?” “Nggak, sih. Aku cuma tanya soal ajakan dinner kamu nanti. Kamu nggak bercanda, kan?” Terdengar tawa di seberang.“Buat apa aku bercandain kamu? Kita pergi jam delapan.” Aku memandang ketiga temanku congkak. Mereka berdua mengangakan mulut, masih tidak percaya. “Oke. Selamat bekerja.” Sambungan terputus. Kuangkat dagu, melipat tangan di depan d**a. Mereka masih membuka mulut tak percaya. “Gila, pelet lo lebih ampuh kayaknya daripada pelet jaran goyangnya si Mona.” Jani berdecak. “Jangan seneng dulu. Sebenernya, dia mau dikawinin sama cewek pilihan nyokapnya. Nah, bokapnya ini malah ngenalin gue. Kayaknya, sih, bokapnya tahu Sabda nggak bakal mau dikawinin sama cewek yang nggak dia suka, makanya bawa cewek lain buat jadi pilihan kedua. Beruntungnya, cewek yang dikenalin itu... gue.” Aku menunjuk diri sendiri. “Jadi, lo sama dia nggak pacaran beneran? Ah, kecewa gue!” Mona mendesis. Aku tersenyum miring. “Tenang aja. Gue bakal bikin dia jatuh cinta sama gue.” “Dih, pede banget lo.” Tiara menggeleng-geleng. “Jangan nyerah sebelum perang, girls. Kalau kata orang Jawa,witing tresna jalaran saka kulina. Cinta ada karena terbiasa.” Aku mendekatkan punggung tangan ke pipi dan memejamkan mata. Mona menoyor kepalaku. “Eh, balik ke kantor yuk. Gue udah kenyang.” “Gue juga,” kata Jani. “Kenyang sama omong kosong lo.” Aku terbahak-bahak. Kami memutuskan untuk kembali ke kantor. Di luar, terjadi keributan sedikit. Dahiku mengernyit melihat keramaian di ruang tengah yang dipenuhi meja-meja untuk para penyelia akhir alias proofreader. “Ada apaan, tuh? Artis?” tanya Mona penasaran. “Artis mah mainnya ke kantor sebelah, bukan ke sini.” Kantor sebelah yang dimaksud Tiara baru saja adalah kantor majalahfashion. Begitu kerumunan di sana mulai menipis, bisa kulihat beberapa orang mengambil swafoto bersama seseorang. Saat orang itu bertukar tatapan denganku, ia berteriak lantang memanggilku. “Oi!” “Anjir, itu Io, bukan?!” Mona berteriak histeris. Tanpa tedeng aling-aling, ia memelesat menghampiri Iota Rho dan mengajak swafoto. Aku mengernyitkan dahi melihat kelakuannya yang tak bisa diam tiap melihat cowok ganteng. Bu Darla berdeham melihat tingkah Mona. Ia memberi gestur memerintahkan Mona segera kembali ke meja. Tiara mengekor di belakang bersama Jani, lalu aku mengangkat kaki berniat ikutan masuk sebelum penulis edan itu memanggilku. “Nuansa.” Kakiku berhenti begitu mendengar namaku disebut Bu Darla. Aku memutar badan. “Ya?” “Io datang ke sini buat ketemu kamu,” katanya menjelaskan. Sudut bibirku terangkat. “Kerjaan saya masih banyak, Bu.” Bu Darla memelotot. “Ini juga kerjaan!” Pandangannya berubah melembut saat beralih menuju Iota. “Kalian ngobrol di ruang saya saja, ya. Biar lebih enak. Kebetulan saya mau meeting sama Big Boss di luar.” “Siap!” Iota memberi hormat pada Bu Darla melalui dua jarinya yang menempel di pelipis. Sebelum bertolak dari kantor, Bu Darla menatapku tajam. Bibirnya bergerak-gerak membentuk kalimat: “Awas kalau bikin dia kapok nulis buat penerbit kita.” Ia melenggang anggun meninggalkan kantor. Aku mendesah frustrasi.   *   “Naskah lo ini banyak bolongnya. Terus, hubungan antartokoh masih belum kuat.” Aku mengetuk laptop frustrasi. Satu jam kami duduk di sini tanpa menghasilkan apa-apa kecuali gumaman ‘hmm’ darinya. Iota yang mengedarkan pandangan ke seantero ruang Bu Darla yang serba pink tak menghiraukan ucapanku. Ia menggoyang-goyangkan kaki di atas meja. Aku mengusap wajah kesal. “Lo denger gue ngomong, nggak?” teriakku. Alih-alih menjawab pertanyaan awal, ia memandangku dan berkata, “Temenin gue makan, dong. Lapar.” “Apaan, sih. Kita lagi ngobrolin naskah lo yang masih berantakan. Tenggat waktu udah mulai dekat. Jangan bikin gue dipecat, ya.” Kakinya diturunkan. Ia mencondongkan badan, pura-pura melihat layar laptop. “Gue nggak bisa nulis kalau nggak ada inspirasi. Makanya, gue lagi nyari inspirasi.” “Inspirasi lo kabur ke mana nggak nemu-nemu, hah? Capek gue nunggu, woy. Lo pikir cuma lo aja penulis yang gue tanganin?” “Marah-marah mulu kayak emak-emak dasteran.” Ia mengempaskan punggung ke sandaran sofa. Ia mengangkat satu kaki ke paha. “Nyokap lo nggak ngajarin sopan santun sama orang yang lebih tua? Secara teknis, gue lebih tua dua tahun dari lo. Ngomongnya yang sopan dikit.” Ekspresinya berubah. Ia menatapku lurus-lurus. Melihat sinar matanya yang tak sejenaka sebelumnya, aku merasa sudah mengatakan hal yang salah. Ia berdiri dan meraih jaketnya yang tadi diletakkan ke sandaran sofa. “Nyokap gue udah meninggal waktu gue masih SD. Jadi, dia nggak sempet ngajarin gue sopan santun.” Lantas, berlalu begitu saja meninggalkan ruang kepala editor. Aku mengatupkan mulut menggunakan telapak tangan. Kutepuk dahi berkali-kali. Tanpa berpikir panjang, aku mengejarnya keluar. Ia berjalan gusar sambil menyampirkan jaket ke pundaknya. “Eh, tunggu.” Aku menarik tangannya, membuat langkahnya berhenti. Ia menoleh ke belakang, menatapku tak acuh. “Gue minta maaf. Sumpah, nggak maksud ngomong gitu dan bikin lo tersinggung.” Ia mengempas tanganku. Tatapan matanya masih setajam tadi. Raut mukanya menunjukkan keengganannya untuk memaafkan aku. Aku makin dibuatnya bersalah. “Ya udah, gue temenin lo makan. Gue traktir sebagai permintaan maaf.” “Udah nggak minat.” Ia melanjutkan langkah tak peduli. Aku menghela napas panjang, menyesali diri. Baru beberapa langkah, Iota berbalik dan menggandeng tanganku. “Gue berubah pikiran,” katanya. Aku tertawa dan menggelengkan kepala. Kami melangkah menuju kantinkantor. Memenuhi janji, aku mentraktirnya dan menunggu. Karena aku sudah makan, aku hanya membeli omelette. Usai mengambil senampan makanan dan minuman, kami duduk di dekat dinding kaca yang menampilkan pemandangan gedung-gedung dan langit Jakarta yang penuh polusi. “Lo tahu dari mana gue lebih muda dua tahun dari lo?” Iota membuka suara sambil melahap cheeseburger di genggaman. Aku tak jadi melahap omelette yang hampir masuk mulut. Kalau aku mengatakan padanya tahu dari informasi data saat mengikuti kompetisi menulis, pasti ia besar kepala. “Tahu dari CV lo, lah.” “Bohongnya kelihatan banget. Gue selalu malsuin tanggal lahir di CV gue dan nggak pernah kasih informasi pribadi kecuali karya dan penghargaan di bagian Tentang Penulis.” Ia menyeringai. Bibirku mengatup rapat. Kurasa, ada baiknya mengatakan yang sejujurnya padanya tentang usahaku di tiap kompetisi menulis yang berakhir menyedihkan karena dikalahkan dirinya berkali-kali. “Gue tahu,” katanya, sebelum mulutku terbuka. “Hah?” Dia tahu kalau gue rival tersembunyinya sejak dulu? “Lo ngepoin f*******: gue, kan? Gila!” Ia menepuk meja keras. “Lo stalker, ya?” Kusunggingkan senyum sumbang. Iyain ajalah. “Jadi, lo udah tahu batasan-batasan di antara kita, kan? Kalau ngomong sama gue harus sopan. Gue dua tahun di atas lo.” Ia menyeringai remeh. “Berarti dua puluh lima? Muka lo boros amat kayak tante-tante.” Mataku memelotot. Cheeseburger-nya sudah habis dilahap, sedangkan aku masih mengunyah dan belum menghabiskan makananku. Aku sudah merasa sangat kenyang—bahkan rasanya mau muntah. Tiba-tiba, Iota meraih garpu yang tadi kugunakan untuk makan, lantas menyantap omelette-ku. “Sori, gue masih laper.” Aku terkekeh dan mendorong piringku ke arahnya, membiarkan ia menghabiskan sisa makananku tanpa malu-malu. Dalam sekejap, piringku sudah kosong. Dalam hati aku mengucapkan terima kasih padanya sudah membantuku menghabiskan makan itu biar tidak mubazir. “Iota Rho, kan? Aku boleh minta foto bareng? Aku suka banget sama karya kamu.” Salah seorang karyawan kantor majalah Primadona mendekat sambil membawa ponsel. “Boleh, dong. Sini.” Karyawan perempuan itu memintaku mengambil gambar. Mereka berpose berdua dengan tangan Iota yang mendekap bahu si cewek. Puas dengan beberapa jepretan, pembaca tersebut berpamitan pergi sambil melompat-lompat girang. “Oh, ya. Gue waktu di Prancis buat riset n****+, nemu ini.” Iota merogoh saku celana. Ia menyodorkan padaku sebuah gelang tali dengan hiasan infinite dan tulisan “Trouvaille” di tengahnya. “Widih, apaan nih artinya?” Aku menerima gelang tersebut, mengamati dengan saksama. “Cari aja sendiri,” katanya tak acuh. Sambil mengenakan gelang tersebut, aku bergumam, “Ada apaan ngasih oleh-oleh beginian?” Ia menenggak soda kalengan, kemudian menatapku. “Udah ada jawabannya. Trouvaille.”   *   Malam hari saat aku menghadap cermin untuk berdandan dan bersiap-siap dinner dengan Sabda, ponselku berdering. Nama Sabda tertera di layar. Buru-buru aku mengangkat panggilan itu. “Hai!” “Nuansa, sepertinya kita nggak bisa makan malam bareng di luar.” Aku mencebikkan bibir kecewa. “Kenapa?” “Kita makan di rumah kamu aja. Aku di depan.” Aku praktis berdiri dan memelesat menuju jendela kamar sekadar melihat keluar. Melongok ke samping, aku melihatnya mondar-mandir di teras. “Oke, oke. Aku bukain, ya.” Aku berlari menuju pintu dan membukanya. Ia memasukkan ponsel ke saku dan tersenyum. Pintu kubuka makin lebar, mengizinkannya masuk. Ini pertama kalinya ia datang ke tempatku. “Tahu gitu aku siapin makan malam di sini sejak tadi,” kataku. “Nggak apa. Kita pesan dari luar dan dimakan bareng di sini. Maaf, ya.” “No problem.” Aku melebarkan senyum. Kupesan makanan melalui aplikasi daring setelah mendengar menu yang dipilih Sabda. Lalu, kami menunggu di depan televisi dalam keadaan canggung. Sabda mengamati rumah kontrakanku, tersenyum samar. “Desain interiornya bagus. Klasik,” katanya. “Awalnya nggak begini. Terus aku tata ulang. Oh, aku ambilin minum dulu, ya.” Aku melangkah menuju dapur, membuatkannya jus apel.Kembali ke ruang tengah, aku menyodorkan jus buatanku padanya. “Aku lebih suka mengobrol begini daripada di luar,” katanya. “Aku paham. Mama kamu pasti memantau kamu dan bikin nggak nyaman.” Ia tersenyum simpul. Walau cuma samar dan sebentar, aku malah suka senyumnya yang seperti itu. Misterius, namun mendebarkan. Apalagi kalau diberi pandangan lekat. Duh, rasanya ingin jatuh menimpanya. “Gimana kerjaan kamu hari ini?” tanyanya basa-basi. “Hm, nggak terlalu bagus. Aku ketemu salah satu penulisku yang ngeselin banget.” Mulai kuceritakan padanya tentang Iota yang datang dan mengacaukan hariku. Namun mengingat kebaikannya memberikan hadiah padaku, aku berhenti membicarakan yang jelek-jelek. Kalau dipikir-pikir, aku saja yang keterlaluan. Jadi, kuceritakan sedikit kebaikannya. Mata Sabda terpaku pada gelang yang kukenakan. Menyadari pandangannya, aku mengangkat tanganku dan memain-mainkan gelang itu. “Ini nih hadiah dari dia. Waktu dia riset di Prancis—” “Kamu suka pekerjaan kamu sekarang?”tanyanya sembari mengangkat gelasnya. Tampaknya, ia tak suka bila aku terlalu banyak menceritakan Iota. Aku menghela napas panjang. “Hm-hm. Dulu, aku bercita-cita menjadi penulis. Berulang kali aku ikut lomba nulis, tapi nggak pernah menang. Kirim ke penerbit pun selalu ditolak. Nah, kebetulan kan aku kuliah di Sastra Inggris. Sejak di lingkungan akademis, aku jadi hobi menulis review atau kritikan. Dosen-dosen bilang aku punya bakat di bidang kritik sastra. Terus, mulai deh nyoba-nyoba jadi editor freelance dengan bimbingan editor senior yang punya pengalaman puluhan tahun. And now, here I am. Aku mulai sadar kalau mungkin bakatku bukan nulis cerita, tapi mengkritik dan memperbaiki. Nggak semua kritikus bisa nulis n****+ bagus, kan? Karena pada dasarnya, manusia nggak cuma dilahirkan sebagai penulis. Ada yang bertugas sebagai pembaca dan menilai.” Sabda tersenyum tanpa mengalihkan pandangan dariku. “Eh, aku suka karya-karya papa kamu. Waktu di kampus, dosen-dosenku sering ngasih rekomendasi n****+-n****+ beliau buat aku baca. Di samping membaca n****+-n****+ luar, karya Pak Aji tetap jadi primadona.” Aku menyunggingkan senyum. Ia mengangguk. “Aku juga.” Aku teringat ucapan Pak Aji yang mengatakan kalau penyemangatnya dalam berkarya adalah anak-anaknya. “Oh ya, di mana Angel?” “Angel?”Aku mengerjap-ngerjap mata. “Iya, Angel. Binatang piaraan kamu.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Begini,aku cuma ngenalin Angel ke pecinta binatang.” “I’m an animal lover.” “Really?” Aku menggigit bibir bawah. “Aku mau ketemu Angel. Kali aja kita bisa saling mengenal dan menjadi teman.” Senyum indahnya meluluhkan pertahananku. Napas kubuang perlahan. Kuanggukkkan kepala. “Honestly, she’s my brother’s pet. Dia nitipin Angel ke sini sementara waktu karena Papa nggak suka sama binatang malang itu. Tapi, kalau kamu mau ketemu, aku kenalin ke kamu sekarang. Tunggu di sini, ya.” Aku berlari ke belakang menuju kandang Angel. “Angel, baby. Ada yang mau ketemu sama kamu. Yuk, sayang, jangan malu-malu. Yang baik ya sama Sabda. Jangan digigit, loh.” Kukeluarkan Angel dari kandang dan menggendongnya. Kembali lagi ke ruang tengah, kulihat Sabda menggenggam gelas dan memain-mainkannya. Ia mendekatkan bibir pada tepi gelas, berniat minum. “Sabda, ini Angel. Angel, ini Sabda.” Sabda menoleh ke arahku. Melihat seekor ular piton albino kecil berada di gendonganku, ia tersedak dan terbatuk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN