Bab 5 Hatinya Masih Sangat Pedih

1255 Kata
Hari ini pukul 3 sore, Marsha mengajak anak angkatnya pergi ke taman kota untuk bermain. Ia ingin bermain sepuasnya dan ingin menghilangkan perasaan tidak enaknya karena kejadian hari ini. "Mama, sini!" ajak Daniel yang sedang bermain ayunan. Sedangkan Marsha hanya duduk di bangku sambil melamun. Anak berusia tiga tahun itu sangat senang ketika diajak bermain ke taman kota oleh ibunya. Biasanya, setiap hari ibunya sibuk karena pergi bekerja. Setiap hari, Daniel hanya bisa bermain bersama kakeknya. "Emh, ya!" Marsha pun tersadar. Ia segera bangkit dari duduknya, lalu menghampiri putranya dengan senyum yang sedikit dipaksakan. "Mama, ayo kita main ayunan!" tunjuk Daniel pada ayunan kosong yang ada di sampingnya. Anak kecil yang sangat pintar itu seolah bisa merasakan kesedihan dan kekecewaan yang sedang dirasakan oleh ibunya. Daniel pun tidak membiarkan ibunya duduk dan melamun sendirian di bangku itu. Ia segera mengajak ibunya agar dia tidak sedih lagi. "Ah, ya!" Marsha kembali mengangguk. Ia memegang tali ayunan yang ada di depannya, lalu duduk di sana dengan pandangan mata yang mulai sayu lagi. "Mama, nanti Kakek akan menjemput kita, kan?" tanya polos Daniel sambil menatap raut wajah ibunya yang kembali murung. "Tadi Kakek bilang mau menjemput kita. Mama tidak dengar, ya!" tanya Daniel sambil membungkuk melihat wajah Marsha yang sedih. Saking bungkuknya, kepala Daniel hampir mengenai lututnya sendiri. Melihat tingkah anaknya yang sangat menggemaskan itu, tiba-tiba Marsha mengangkat wajah, lalu tersenyum sambil melihat Daniel yang masih mengerucutkan bibirnya menatap Marsha. "Jangan mendunduk begitu ah. Nanti kamu jatuh, loh!" ucap Marsha sambil mengangkat kepala Daniel agar kembali tegap. Marsha tersenyum pada Daniel walau di hatinya masih sangat pedih dan sakit. "Ma, aku mau papa seperti teman-teman yang lain!" Tiba-tiba Daniel membahas hal lain. Daniel mengingat teman-teman di komplek tempatnya tinggal, semuanya punya ayah dan ibu yang lengkap. Sedangkan dirinya hanya punya ibu dan kakek saja. "Siapa teman Daniel yang punya papa?" tanya Marsha dengan asal. Pikirnya, anak umur 3 tahun belum mengerti tentang kelengkapan keluarga. Mau punya papa ataupun tidak, itu tidak masalah. Yang terpenting, kasih sayang dari ibu dan kakeknya sangat besar untuk Daniel. "Ya, Naya, Jio, Irga, mereka punya papa! Tapi aku, tidak!" balas anak kecil sambil memonyongkn bibirnya. "Hehe!" Detik berikutnya, Marsha menarik badan Daniel, lalu dipelunya sambil duduk di pangkuannya. "Irga punya papa, tapi dia tidak punya mama. Mamanya meninggal saat Irga masih bayi. Kalau Daniel, walau Daniel tidak punya papa, tapi masih punya Mama dan Kakek, kan!" "Apa Daniel mau, tidak punya Mama dan Kakek, tapi punya papa seperti Irga?" tanya Marsha sambil mencium pipi bulatnya. Marsha memeluk Daniel sambil menggoyangkan ayunannya sedikit demi sedikit. Ia pun menciumi wangi rambutnya yang membuatnya sedikit lebih tenang dan nyaman. "Tidak mau!" Tiba-tiba Daniel menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Aku mau punya Mama sama Kakek. Tapi juga mau punya papa seperti yang lain!" "Haishhh ...." Sudah dijelaskan pun, anak itu belum mengerti juga. "Baiklah! Nanti kita beli papa yang bagus buat Daniel, ya! Daniel mau Papa yang seperti apa? Mau yang pendek, hidunya pesek, rambutnya bot—" "Tidak mau, tidak mau, tidak mau! Aku tidak mau papa yang seperti itu!" Daniel berteriak menghentikan omongan ibunya. Daniel melanjutkan sambil membayangkan sosok papa yang sangat ia idam-idamkan. "Aku maunya papa yang punya bahu lebar, biar aku bisa duduk di bahunya. Juga mau papa yang punya punggung kuat, biar aku—" "Biar Daniel bisa digendong olehnya, kan?" tebak Marsha sambil menyeringai melihat putranya. "Enh!" Daniel pun mengangguk karena tebakan ibunya sangat tepat. "Kalau begitu, kita pergi ke kebun binatang saja. Nanti Daniel bisa berfoto sama orang utan, juga bisa digendong di punggungnya. Punggung orang utan kuat juga, loh! Kuat lah, kalau hanya menggendong anak kecil seusia Daniel," canda Marsha sambil tertawa kecil. Marsha sangat bahagia dengan jawabannya itu. Namun Daniel tidak demikian. Ia malah bingung dan heran dengan ide aneh dari ibunya. "Kalau aku digendong orang utan, apa nanti orang utannya jadi papa aku?" "???" *** Hari sudah akan gelap. Daniel dan Marsha berdiri di pinggir jalan, menunggu Mazar yang sebentar lagi akan datang menjemput menggunakan motor. "Jam berapa sekarang, Ma? Sebentar lagi Kakek akan sampai, tapi kenapa lama sekali?" tanya polos Daniel di punggung kecil milik Marsha. Marsha memang tidak bisa memberikan papa yang punya punggung kuat untuk menggendong Daniel. Tapi ia punya punggungnya sendiri untuk menggendong Daniel. "Ya, sebentar lagi. Sabar dulu, ya!" balas Marsha sambil mengerutkan kening. Di kejauhan, Marsha melihat sebuah mobil yang sudah tidak asing melaju ke arah. Ia pun segera bertanya, "Apa itu mobilnya Om Jona, ya?" "Emh, mana, Mah?" Daniel pun jadi penasaran. Mereka melihat mobil sedan hitam datang yang menghampiri, lalu berhenti di depan. "Eh, iya! Itu Om Jona!" teriak Daniel dengan girangnya. Daniel segera turun dari gendongan Marsha, lalu menghampiri Jona yang sudah keluar dari dalam mobil. "Ternyata kalian ada di sini!" ucap Jona dengan lega. Tadi sore, Jona sudah datang ke kantor Marsha dan berniat menjemput wanita itu. Namun penjaga keamanan bilang kalau semua karyawan sudah pergi ke Kota C karena sedang ada acara dari kantor. Dan sekarang, setelah Jona datang ke rumah Marsha, ayahnya memberi tahu kalau Marsha dan Daniel sedang pergi ke taman kota untuk bermain, sebentar lagi Mazar pun akan menjemputnya. "Ayo masuk ke dalam mobil! Om akan mengantar kalian pulang!" ucap Jona yang tertuju pada Daniel. Jona pun segera menggendong Daniel, lalu dimasukan ke dalam mobil baris ke dua. Setelahnya, ia membuka pintu depan untuk Marsha. "Masuklah! Paman Mazar tidak akan datang menjemput kalian. Kalau tidak percaya, telepon saja sekarang!" ucap Jona meyakinkan Marsha. Sedari pagi, Marsha memang sengaja menonaktifkan ponselnya karena ia tidak ingin melihat gosip aneh tentang dirinya di grup karyawan. Ia pun tidak tahu kalau sedari tadi Jona terus menelepon dan mengirim pesan singkap padanya. Sebelum berangkat ke taman kota, Marsha sudah berpesan pada ayahnya untuk menjemput pukul setengah enam sore. Makanya sekarang ia dan Daniel berdiri di pinggir jalan agar Mazar bisa melihatnya. "Oh, ya! Terima kasih!" Marsha pun mengangguk. Ia masuk ke dalam mobil, lalu memakai sabuk pengaman. Di dalam mobil, Marsha mengambil ponselnya dari dalam saku celana, lalu mengaktifkan kembali ponselnya. Ia berniat mengirim pesan pada Mazar kalau dirinya dan Daniel sudah dijemput oleh Jona. Tring .... Tring .... Setelah ponselnya dinyalakan, ada banyak pesan yang masuk, juga beberapa panggilan tak terjawab dari siang sampai sore ini. Salah satunya pesan dan panggilan tak terjawab dari Jona. "Eh, maaf! Ponselku baru diaktifkan!" Marsha memegang ponselnya dengar erat. Pandangannya tertuju pada pria di sampingnya. Jona hanya terdiam sambil mengemudikan mobil. Setelah itu, suasana pun kembali hening Hingga, tibalah di rumah Marsha. Mazar sudah menunggu di depan rumah. Dia pun segera menghampiri, lalu berterima kasih pada Jona. "Padaha Jona tidak perlu repot-repot seperti ini. Paman sudah janji pada Daniel akan menjemputnya di taman kota," ucap ramah Mazar pada Jona sebelum melihat cucunya di dalam mobil. "Ah, tidak apa-apa! Kebetulan, ada sesuatu hal yang ingin aku bahas dengan Ica. Jadi bisa langsung bertemu!" balas Jona sambil tersenyum. Seolah tidak terjadi sesuatu pada putrinya. Dia pun membuka pintu baris kedua, lalu melihat Daniel yang sudah tertidur di dalam mobil. "Ah, sini ... sini! Biar Paman saja yang bawah!" Mazar pun segera menunduk, meraih tubuh kecil cucunya, lalu digendongnya dengan perlahan. "Kalau kalian mau keluar, sana, pergilah! Biar Papa yang menjaga Daniel!" Kali ini Mazar berbicara pada Marsha yang sudah berdiri di sampingnya. Ia pun mengerti dengan teman pria yang sedari tadi mencari Marsha. Jona ingin berbicara serius dengan Marsha, tapi tidak mungkin di dalam rumah. "Baiklah, kalau begitu aku pinjam Ica sebentar ya, Paman!" Tanpa rasa malu, Jona segera mengiyakan. Jona kembali membuka pintu mobilnya untuk Marsha, dan mengisyaratkan wanita itu untuk kembali duduk.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN