Hari ini adalah hari kelulusan Ferdi Setiaji di kampusnya. Dia masuk jurusan akuntansi di sebuah universitas swasta ternama di Yogyakarta dengan hasil IPK pas-pasan. Kedatangan orang tua Ferdi saat itu tidak membuat putra semata wayangnya senang, malah justru malu.
“Eh, itu orang tua siapa yang seperti orang desa?”
“Mana? Mana?”
“Itu, tuh!”
“Wah, nggak tahu. Bukan orang tuaku, lah.”
Bisik-bisik teman sekampus Ferdi membuatnya gusar. Ternyata orang tua yang dibicarakan itu adalah orang tua Ferdi. Bapak dan Ibu Eka membesarkan Ferdi di pelosok Bantul, Yogyakarta. Mereka memiliki perkebunan sendiri dan kolam ikan untuk mata pencaharian yang tidak seberapa luas, tetapi cukup untuk menopang kehidupan sehari-hari. Mereka tidak menyangka selama kuliah empat tahun ini putranya menyembunyikan banyak hal kepada kawan-kawannya. Pantas saja tidak ada teman Ferdi yang bertamu ke rumah.
Ferdi berjalan ke arah lain, pura-pura tidak melihat orang tuanya. Namun saat itu Pak Eka melihat putranya hendak ke samping panggung. “Ferdi!” seru Pak Eka membuat semua orang di sekitar Ferdi menatap ke arahnya.
“Mampus! Kenapa juga teriak begitu kencang. Dasar Bapak!” batin Ferdi dengan geram. Mau tidak mau dia menoleh ke arah ayahnya.
“Ferdi … Ibu sama Bapak dari tadi cari kamu, loh,” tutur lembut Bu Eka sambil mendekati putranya.
Bukan sambutan baik yang diterima justru Ferdi kesal dan membentak. “Heh, sopir dan pembantu! Kenapa masuk ke sini? Bukankah Papa Mamaku bilang kalian mewakili tapi di luar saja?!”
Kawan-kawan Ferdi mulai berbisik satu dengan yang lain. Menengok keadaan yang makin tidak kondusif, Ferdi dengan kasar menarik tangan ibunya dan mengajaknya keluar dari gedung wisuda.
“Ferdi … Nak, kenapa kamu seperti ini? Salah Ibu apa? Bapak ke sini juga bawa mobil. Biasanya Bapak tidak mau bawa mobil,” kata Bu Eka mencoba menghentikan putranya yang terus menarik tangannya.
Ferdi masih bertindak kasar dengan menarik tangan kanan ibunya. Pak Eka pun menyusul dan segera melepaskan tarikan tangan Ferdi dari Bu Eka. Bukannya membuat redam permasalahan, Ferdi justru menarik perhatian orang-orang.
“Lepaskan tangan Ibumu! Kali ini kamu sudah keterlaluan!”
Suara tangan Pak Eka yang berayun kencang ke pipi Ferdi membuat seluruh orang di dalam gedung wisuda terkejut dan terdiam. Ferdi memegang pipinya yang merah dan merasa malu menjadi pusat perhatian.
“Bapak keterlaluan!” geram Ferdi sambil mengepalkan tangannya.
Beberapa teman dekat Ferdi langsung menghampiri dan melerai. “Bro, sudah. Jangan begitu sama orang tua,” ujar kawan Ferdi yang bernama Dimas.
“Mereka bukan orang tua gue!” Ferdi masih mengelak kalau Bapak dan Ibu Eka adalah orang tuanya.
“Kurang ajar kamu, Ferdi!” seru Pak Eka yang hampir menamparnya lagi. Namun Bu Eka langsung menengahi hal itu. Bersamaan dengan itu, dosen pun datang.
“Pak, jangan. Ibu mohon biarkan saja Ferdi,” pinta Bu Eka pada suaminya yang sudah meradang dengan tingkah laku putranya.
“Maaf, Bapak dan Ibu, ada masalah apa? Ferdi tolong hormati orang tuamu. Jangan seperti ini,” kata Dosen pengampu mata kuliah serta menjadi Rektor.
Seketika Ferdi terdiam karena malu luar biasa. Dia pun berlari pergi menghindari kerumunan. Dimas dan keempat temannya berlari mengejar Ferdi. Sedangkan Dosen itu meminta maaf kepada Bapak dan Ibu Eka.
“Mohon maaf atas kelakuan Ferdi ya, Pak dan Bu. Silakan duduk di kursi orang tua yang sudah disediakan,” ucap Dosen sambil menundukkan kepala.
“Tidak usah, Pak. Maaf membuat gaduh hari ini. Kami pulang saja.” Pak Eka memilih pulang dengan istrinya.
Dalam penampilan dan wajah, memang Bapak dan Ibu Eka terlihat ketinggalan zaman. Namun mereka termasuk orang terpandang di desa. Usahanya pun terbilang cukup maju sehingga bisa membeli mobil sedan second. Perjuangan orang tua selalu salah di mata Ferdi karena malu memiliki orang tua terlihat kampung atau desa. Ferdi ingin mewah seperti kawan-kawannya dengan mobil baru dan orang tua yang elite.
Acara wisuda hari ini sempat kacau. Meski akhirnya Ferdi kembali berkumpul dengan kawan-kawannya. Ada saja bibir nakal yang menyindir hal itu. Ferdi mencoba tidak menanggapi dan pura-pura tidak mendengar.
“Ngakunya aja anak orang kaya, anak pejabat. Ternyata ….”
“Pejabat desa kalik …. Ha ha ha ha ….”
Ferdi segera keluar dari gedung setelah acara wisuda berakhir. Kelima kawannya menyusul. Sebenarnya hanya Dimas yang benar-benar peduli karena sudah sejak lama berteman dengan Ferdi. Keempat kawan lainnya hanya senang mendapatkan traktiran dari Ferdi.
“Bro … Bro! Jangan seperti itu, lah. Kan aku sudah tahu dari SD. Jangan merasa malu atau rendah diri,” kata Dimas mencoba membesarkan hati kawannya.
“Kamu ini nggak ngerti perasaanku! Sekarang pasti nggak ada yang mau main denganku gara-gara orang tuaku udik (kampungan).” Ferdi masih kesal dengan kejadian yang baru saja terjadi.
“Fer … perasaan dulu kamu nggak seperti ini. Kita berteman dari SD, loh. Please jangan merasa rendah diri,” ucap Dimas yang malah disalah artikan oleh Ferdi.
“Kau, sih, enak! Udah jadi anak orang kaya karena Mamamu cerai dan nikah lagi. Lah, gue? Masih aja jadi orang desa!” gerutu Ferdi tak pernah bersyukur. Padahal Bapak dan Ibu Eka termasuk orang terpandang di desanya meski pelosok Yogyakarta bagian selatan.
“Fer, heran banget sama kamu. Kenapa, sih, bersyukur sedikit saja nggak bisa? Orang tuamu sampai jual tanah warisan, kan, buat biaya kuliah kamu di sini?!” Dimas mulai terpancing emosi. Ferdi pun langsung menggertak.
“Bodo amat! Gue juga nggak minta punya orang tua kampungan seperti itu!”
***
Satu bulan kemudian ….
Semenjak pertengkaran saat wisuda, hubungan Ferdi dengan orang tuanya renggang. Terutama dengan Pak Eka, sebagai kepala rumah tangga pastinya merasa terhina dengan perlakuan putra semata wayangnya. Selain itu, Dimas dan kawan Ferdi lainnya juga kesal dengan kelakuan lelaki berusia dua puluh dua tahun itu. Mereka tidak mau menghubungi Ferdi lagi.
“Huh, punya teman mata duitan semua! Oh, iya. Ini email dari perusahaan yang beberapa waktu lalu aku ajukan lamaran kerja, kan? Wah, yes! Aku diterima! Akhirnya aku bisa kerja di Jakarta dan mengubah nasib!” seru Ferdi yang masih berbaring di ranjang saat menggunakan ponselnya.
Ferdi langsung keluar dari kamar dan bergegas menemui ibunya. Mungkin kalau ayahnya masih kesal, setidaknya ada ibunya yang selalu mendukung Ferdi.
Terlihat Ibu Eka berada di dapur saat itu. Ferdi langsung mendekati ibunya dan merangkul perempuan tua itu. “Bu … Ibu masih marah, ya?”
“Apa, Nak? Oh, tidak. Ada apa, Ferdi?” tanya Bu Eka sambil menatap wajah putranya yang tampan.
“Bu, Ferdi diterima kerja di perusahaan besar daerah Jakarta. Ferdi jadi akuntan di sana. Pekerja kantor, Bu!” kata Ferdi dengan antusias.
“Benarkah, Ferdi? Alhamdulillah … ayo kita bilang Bapak. Ini kabar bagus! Bapakmu pasti senang!” seru Bu Eka dengan bahagia. Dia bersyukur meski nilai kelulusan putranya pas-pasan akhirnya mendapatkan pekerjaan yang bagus.
Bu Eka menggandeng putranya dan mengajak ke tempat suaminya yang berada di belakang rumah. Pak Eka sedang memberi makan ikan-ikan di kolam yang begitu banyak. Mereka menjalani kehidupan sederhana demi menabung dan mewujudkan apa yang Ferdi inginkan. Mereka hanya menyewa orang untuk panen ikan dan hasil kebun saja.
“Pak! Pak! Ada kabar baik, Pak!” Bu Eka sangat bersemangat memberi kabar kepada suaminya soal pekerjaan yang Ferdi dapatkan
“Ada apa, Bu? Kok, girang sekali? Lah, kenapa anak ini ikut ke sini?!” Pak Eka masih kesal dengan putranya yang tidak punya sopan santun dan tidak mengakui orang tuanya.
Bu Eka memberi aba-aba agar Ferdi mau bercerita kepada ayahnya. “Pak, Bapak … maafin Ferdi, ya? Ferdi tunjukkan ini dapat pekerjaan bagus di Jakarta. Ferdi masuk jadi akuntan di perusahaan besar. Bapak pasti senang, kan?” Ferdi mencoba membujuk ayahnya agar tidak marah lagi.
“Benar itu, Bu?” tanya Pak Eka tidak percaya. Bu Eka pun mengangguk karena sudah melihat email dari ponsel putranya.
“Sini Bapak lihat dulu!” Pak Eka segera meraih ponsel dari anaknya. Dia mengamati dan membaca tulisan yang tertera di layar ponsel keluaran terbaru tersebut. Ferdi selalu meminta barang mahal dan bagus pada orang tuanya.
“Wah, benar, Nak! Alhamdulillah … Bapak bangga denganmu, Nak!”
Siang itu kegembiraan hinggap di hati orang tua Ferdi karena mendapat kabar putra semata wayangnya diterima bekerja dalam perusahaan besar. Sebuah prestasi yang membanggakan karena selama ini Ferdi selalu saja menyusahkan orang tuanya. Setelah itu, Ferdi mulai mengajukan beberapa hal dan permintaan kepada orang tuanya untuk persiapan ke Jakarta. Selain tiket pesawat, Ferdi juga meminta uang untuk membayar tempat tinggal di sana selama tiga bulan awal, serta beberapa kebutuhan lain sebagai penunjang. Ya, uang dan uang yang selalu Ferdi minta kepada orang tuanya tanpa peduli betapa susah payah orang tuanya mencari uang.