Merantau di Jakarta

1406 Kata
Ferdi sampai di Jakarta daerah Kedoya. Dia menyewa kost seperti apartemen mini dengan satu kamar tidur, kamar mandi, dapur, dan ruang tamu di lantai lima. Hari pertama bekerja semua lancar. Menjadi akuntan di perusahaan terkenal sungguh membuat Ferdi bangga. Setiap hari dia update status di sosial media dan membanggakan dirinya sendiri karena banyak kawan yang lebih pintar darinya masih menganggur. Ferdi: [Hei, Bro! Gimana kabarnya? Udah kerja di mana?] Ferdi mengirim pesan ke sahabatnya. Senagaja dia ingin menyombongkan diri karena bekerja di Jakarta. Beberapa saat kemudian Dimas membalas pesan itu. Dimas: [Hai, juga, Fer. Aku sekarang bantu Mamaku dulu kelola restoran. Dengar-dengar sekarang kamu di Jakarta,ya?] Ferdi: [Wah, kok, tahu? Iya, nih! By the way nilaimu bagus, kenapa nggak kerja di perusahaan aja? Ngapain di tempat Mamamu? Kalau ikut Mama, sih, nggak perlu kuliah!] Dimas: [Mamaku sakit, Fer. Papaku sibuk sekali, jadi aku jaga Mama dan adikku sekalian mengelola restoran. Wah, bagus, Fer kalau sudah kerja di Jakarta. Selamat, ya!] Ferdi: [Oh, begitu. Semoga Mamamu lekas sembuh, ya! Kapan-kapan ke Jakarta kalau mau main, gue temenin!] Dimas: [Oke, Bro!] Ferdi pun tertawa setelah berbalas pesan dengan Dimas. Dia merasa Dimas lebih buruk nasibnya dibandingkan dirinya. Padahal semua kemudahan yang Ferdi punya hingga bekerja di Jakarta adalah modal dari orang tua. *** Dua minggu kemudian setelah bekerja di perusahaan itu, Ferdi mulai stress dengan pekerjaan yang menumpuk dan tanggung jawab yang ternyata besar. Meski gaji yang akan dia dapat cukup banyak, dia merasa lebih nyaman dengan uang kiriman orang tuanya dan bisa bersantai. Padahal Bapak dan Ibu Eka berjuang demi bisa memberi uang saku sesuai yang Ferdi minta yaitu sepuluh juta. Itu hanya untuk sewa kost tiga bulan dan uang bertahan hidup selama sebulan. “Ferdi, ini berkas laporan keuangan yang harus kamu selesaikan, ya. Jangan lupa akhir pekan ada rapat besar. Ini kesempatan kamu menunjukkan kemampuan bekerja di bidang akuntansi,” kata kepala ruangan tempat Ferdi bekerja. “Baik, Pak.” Ferdi menerima berkas itu lalu kembali bersungut-sungut saat bosnya pergi. Wajah Ferdi memang tampan, berbeda dengan orang tuanya. Kata ibunya, wajah Ferdi mirip kakek yang memang tampan. “Ferdi … kenapa mukanya musam gitu?” tanya Meira sambil tersenyum. “Huh, tahu sendiri, barusan bos kasih tugas, nih. Padahal gue anak baru. Udah dituntut kerja seperti senior,” keluh Ferdi pada gadis berkacama yang menjadi teman satu ruangan dengannya. “Oh, begitu. Sini Meira bantu. Ferdi nggak perlu khawatir. Nanti Meira selesaikan. Tugas Meira sudah selesai semua, kok,” ucap gadis cantik yang pemalu itu. Entah mengapa, Ferdi mampu memikat Meira hingga rela mengerjakan pekerjaan kantor Ferdi. Hal ini berlangsung cukup lama. Ferdi memanfaatkan Meira untuk mengerjakan tugasnya. Bos tidak mengetahui keadaan itu. Namun bom waktu itu bergulir dan bisa ketahuan kapan saja. Meira makin akrab dengan Ferdi bahkan pernah main ke kost apartemen milik lelaki pemalas itu. Ferdi tidak ada rasa apa pun dengan Meira. Dia hanya memanfaatkan gadis lugu itu untuk membantu pekerjaannya. *** Genap sudah dua bulan Ferdi bekerja di perusahaan itu, tetapi masih saja Ferdi menyusahkan orang tuanya. Kali ini, Ferdi masih meminta uang untuk menunjang kehidupannya di Jakarta. “Pak, Ferdi, kan masih baru di sini. Uang gaji kemarin saja cukup buat transport, makan sama traktir kawan-kawan. Kalau Bapak nggak kirim uang, Ferdi bisa mati kelaparan di sini,” ujar Ferdi berbohong melalui telepon dengan ayahnya. “Nak, kamu ini kerja di perusahaan besar, harusnya kamu bisa mendapatkan uang lebih. Bukannya tiap bulan minta transfer Bapak sama Ibu. Kalau gitu lebih baik kamu di rumah bantu usaha Bapak saja,” tegas Pak Eka tidak mau mengirim uang lagi. “Ya, sudah, Pak. Assalamualaikum.” Ferdi langsung memutus percakapan dalam ponselnya tanpa mendengar balasan salam dari ayahnya. Ferdi kesal karena bulan lalu dia dipecat dari kantor tanpa pesangon. Bahkan Ferdi harus mengembalikan kerugian kesalahan hitungan tugas yang dikerjakan oleh Meira. Terpaksa Ferdi keluar dari kantor dan kini bekerja sebagai kurir paket. Jelas saja gaji tidak mencukupi untuk kebutuhannya yang serba glamor. Ferdi pun mendapatkan pacar orang kaya yang boros. Dia kesulitan mengimbangi hidup Cha-cha. “Arrrggh! Ke mana lagi harus cari duit?! Besok Cha-cha minta makan malam di restoran Perancis dan pergi ke klub bintang lima. Bisa gila lama-lama! Hidup susah mulu!” Amarah Ferdi membara malam itu. Dia tidak sanggup menjadi kurir paket yang bekerja dengan motor keliling kota serta kepanasan. Mencari pekerjaan di kantor cukup sulit karena dia pernah dipecat. Banyak rumor beredar, bos tempat Ferdi bekerja dulu menyebarkan identitas Ferdi agar kantor lain tidak mau menerimanya. Tiba-tiba dering ponsel berbunyi. Ferdi yang sedang duduk di ruang tamu segera mengusap layar ponselnya. Ternyata Meira menelepon. “Malam, Ferdi … lagi apa?” tanya Meira dari telepon ponselnya. “Hei, Meira. Lagi galau ini. Kerajaan nggak berjalan baik. Ada paket hilang dan disuruh ganti,” ujar Ferdi berbohong. Baginya ini kesempatan bagus untuk mendapatkan bantuan Meira. “Kok, bisa? Sabar, ya, Ferdi. Ferdi harus ganti berapa?” “Tiga belas juta.” “Hah?! Banyak sekali. Emang paket apa yang hilang?” “Handphone Samsung keluaran terbaru. Duh, gimana, ya? Udah bilang orang tua malah kena marah. Berasa mau mati aja. Hidup susah terus,” ujar Ferdi memancing rasa iba di hati Meira. “Eh, jangan! Udah gini aja, Meira bantu ganti, ya. Besok Meira jual kalung pemberian Oma buat bantu Ferdi.” “Eh, nggak usah, Meira. Nggak enak selalu ngrepotin kamu. Maaf ….” “Nggak, Ferdi. Kan, Meira yang beri info kerjaan di situ. Meira jadi nggak enak kalau Ferdi sedih dan dalam masalah. Besok malam Meira ke apartemen, ya?” Ferdi langsung mencari alasan yang tepat. “Gini, Meira. Uang itu dipakai mengganti secepatnya. Maksimal besok siang. Terus malamnya ada kerjaan lembur. Maaf kalau transfer aja, gimana?” “Oh, oke deh. Besok Meira transfer, ya. Good night Ferdi.” “Thanks Meira. Good night. Have a nice dream.” Setelah percakapan berakhir, Ferdi pun jingkrak-jingkrak bahagia berhasil mengelabui Meira dan mendapatkan uang untuk kencan besok dengan Cha-Cha. “Yes! Gue emang pinter! Bye Bapak! Nggak mau kasih uang pun bodo amat! Udah ada Meira gudang duit!” Malam itu Ferdi bisa bergembira. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi hari esok. Nasib dia yang sial merupakan cerminan tingkah lakunya yang buruk. Keesokan harinya …. Ferdi semangat bekerja antar paket ke daerah sekitar Kedoya sesuai dengan jatah dari ekspedisi. Sialnya saat di jalan, ada curanmor mengincar Ferdi dari kejauhan. Ketika masuk daerah gang sepi, Ferdi dibegal dan motor pinjaman dari ekspedisi dirampas beserta seluruh paketan yang berada di dalam kantong pengiriman barang. Tak hanya itu, Ferdi dipukuli pelaku yang berjumlah tiga orang. Tubuhnya penuh memar dan darah. Dia tidak berdaya dan ditinggalkan tergeletak di gang sepi itu sendirian. Ferdi dalam masalah besar. Dia tidak sadarkan diri. *** “Aku akan menolongmu dari semua kesulitan ini. Kamu mau jadi pengantin priaku? Ferdi … Ferdi Setiaji ….” Seorang perempuan cantik mengenakan gaun pengantin mengulurkan tangannya pada Ferdi. Tanpa pikir panjang, Ferdi meraih tangan sedingin es itu. “Kamu siapa?” tanya Ferdi bingung. “Marry Ann, pengantin yang tidak pernah menikah. Maukah kamu menjadi pasanganku? Aku bisa mengabulkan semua keinginan kamu, bahkan membuatmu kaya raya tanpa susah payah. Kamu juga bisa balas dendam dengan semua orang yang menyakiti perasaanmu,” bujuk perempuan yang ternyata hantu. Lebih tepatnya makhluk mengerikan yang sedang mencari mangsa. “Mau. A-aku mau! Aku bersedia. Apa pun aku lakukan demi kaya raya dan terpandang!” seru Ferdi dengan antusias hingga akhirnya mata kembali terbuka dan terkejut. Ferdi sadar dari koma. Dia melewati masa kritis setelah tiga hari tak sadarkan diri karena kejadian begal tempo lalu. Orang tua Ferdi sudah berada di sana dan sedih karena banyak hal yang Ferdi sembunyikan akhirnya terungkap. Serta Meira yang sakit hati saat menjenguk Ferdi ternyata ada Cha-Cha yang mengaku sebagai pasangan Ferdi. “Dokter, pasien di ICU sudah sadar,” kata perawat. Tenaga medis pun mulai menangani Ferdi dan memeriksanya. Ferdi masih pening dan sulit menggerakkan tubuhnya. Dia mencoba mengingat apa yang terjadi tetapi tidak bisa. Hanya bayangan Marry Ann yang ada di benaknya. Keadaan Ferdi beberapa jam kemudian, dia bisa dirawat bangsal biasa. Dia sudah bisa berkomunikasi meski masih kesulitan. Selama Ferdi koma, ayahnya harus mengurus semua biaya dan ganti rugi pada tempat bekerja Ferdi ekspedisi pengiriman paket. Jumlah yang cukup banyak sehingga mobil mereka harus dijual. Bu Eka bersabar menemani Ferdi dan membuat Cha-Cha menjauh setelah tahu Ferdi hanya orang kampung. Hidup Ferdi hancur dalam seketika. Meira pun meninggalkannya karena tahu Ferdi banyak berdusta padanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN