Hari yang indah dengan hembusan angin perlahan, matahari bersinar cerah, dan langit biru membuat semakin komplit perasaan bahagia di benak Ferdi yang saat ini sudah kaya raya. Rumah sebesar yang dia beli dari hasil Perjanjian Darah dengan nuansa mewah ala desain arsitektur modern klasik gaya Eropa memancar dengan anggun dari perumahan elite Angel Residence Jakarta, tepatnya di jalan Peta Selatan – Kalideres ini sangat indah dan cocok untuk hunian yang tenang. Dalam usia muda membeli sebuah rumah di perumahan elite, jelas saja menyita perhatian banyak orang di sekitarnya. Apalagi Ferdi masih sendiri, belum berkeluarga. Bahkan marketing perumahan itu memuji Ferdi berkali-kali dengan banyak kata-kata indah karena tepat memilih tempat ini sebagai hunian miliarder muda.
Tentu saja hal yang membuat orang bertanya-tanya apa pekerjaan Ferdi sesungguhnya? Mengapa bisa dengan mudah membeli hunian mewah tersebut?
“Wah, hari yang indah bagi orang yang memiliki uang. He he he he ....” Ferdi meliukkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri agar pegal-pegalnya hilang.
Hari ini Ferdi berencana membeli semua perabot untuk rumahnya. Hasil menjual emas dari Marry Ann ternyata masih sisa setelah membeli rumah. Lelaki itu sudah berdiri di teras rumahnya yang begitu besar. Dia berpikir membutuhkan seorang satpam, asisten rumah tangga, tukang kebun, dan sopir pribadi kalau dia sedang malas menyetir mobil sendiri. Saat masih berpikir hendak memperkerjakan siapa, tiba-tiba ada orang yang di depan gerbang menekan bel.
*Ting ... Tong ....
Ferdi bergegas berjalan menuju ke gerbang karena bingung siapa yang menekan bel pukul tujuh pagi begini. Apalagi dia baru pindah ke rumah ini kemarin setelah selesai membayar semua biaya dan balik nama selesai. Apakah mungkin itu tetangga di sini? Semoga saja tidak suka kepo (penasaran tinggi) Ferdi memilih perumahan elite agar bisa tenang di sana.
“Ya, siapa?” seru Ferdi bertanya sebelum membuka gerbang.
“Maaf, Tuan, bisa bicara sebentar?” lirih seorang dari balik gerbang yang ternyata ibu-ibu paruh baya sendang berdiri di sana.
“Oh, iya. Ada apa, Bu?” tanya Ferdi lebih sopan karena tiba-tiba teringat orang tuanya di desa.
“Maaf, Tuan. Saya lancang ke sini. Saya kemarin lihat Tuan pindahan ke sini, jadi saya pikir kalau Tuan butuh pekerja menjadi pembantu, saya mau mendaftar,” kata ibu-ibu dengan tinggi sekitar 155 cm dan agak gemuk. Wajahnya teduh dan terlihat kalau orang baik. Sangat cocok menjadi asisten rumah tangga di rumah Ferdi.
“Oh, kebetulan, Bu. Ibu rumahnya mana? Saya memang butuh pekerja di sini. Rumah Ibu di mana dan nama Ibu siapa? Saya Ferdi, Bu,” tanya Ferdi dengan sopan kepada ibu di hadapannya. Mungkin memang dahulu sifat Ferdi sangat buruk, bahkan tidak mau mengakui orang tuanya. Namun setelah kejadian begal dan saat ini Ferdi mudah mendapatkan uang, dia sadar satu hal kalau orang tua yang akan selalu ada saat susah sekali pun.
“Saya Bu Jainun, Tuan. Saya tinggal di kampung seberang sana kalau mau masuk gerbang utama, terlihat kampung kecil di sudut sana,” jelas Bu Jainun sambil mengacungkan tangannya ke arah yang dimaksud. Ferdi pun mengangguk paham.
“Baiklah, Bu. Kalau begitu boleh Ibu bekerja di sini. Sekalian saya mencari untuk tukang kebun dan satpam khusus di rumah ini, apa Ibu ada pandangan? Oh iya, satu lagi, jangan terlalu formal, ya, Bu. Saya jadi malu. Bagaimana kalau bahasa biasa aja? He he he he ....” Ferdi menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal karena bingung dengan situasi ini.
Ini kali pertamanya Ferdi memperkerjakan orang untuk ikut dengannya. Hal baru yang membuatnya merasa bangga. Saat ini bukan pekerja lagi, melainkan bos. Iya, bos besar! Tentu saja ada rasa senang tersendiri ketika dari pecundang menjadi orang sukses dalam waktu singkat.
“Ada. Ada, Tuan. Gimana kalau Ibu panggil tetap Tuan. Karena tak enak kalau panggil langsung nama. Ibu ada kenalan mencari kerja bisa menjadi tukang kebun dan satu lagi masih muda baru lulus sekolah satpam tahun ini, Tuan.” Bu Jainun memang sangat sopan. Hal itu membuat Ferdi sungkan, tetapi percakapan dengan kata ‘saya’ terlalu formal bagi Ferdi.
“Ya, Bu. Besok ajak mereka ke sini saja. Tapi ini Ibu kerja menginap di sini atau mau datang dan pergi dengan jam kerja?” tanya Ferdi kembali karena dia membutuhkan orang-orang yang mau bekerja menginap di sana.
“Ibu ikut Tuan saja. Biar liburnya bisa dikumpulkan jadi diambil sebulan sekali waktu gajian, Tuan. Itu kalau boleh," usul Bu Jainun langsung disetujui oleh Ferdi.
“Ya, boleh, Bu. Oke. Besok jam delapan aku tunggu di sini, ya? Soalnya sekarang mau pergi ke mall cari perabotan.”
“Baik, Tuan. Terima kasih banyak, ya.”
Bu Jainun pun berterima kasih, lalu berjalan perlahan meninggalkan rumah mewah kompleks Michael nomor enam milik Ferdi. Bukan suatu hal aneh bagi Ferdi memilih perumahan elite yang bertema Eropa dan nama blok dengan nama malaikat. Dia hanya suka dengan gaya bangunan dan ketenangan yang disajikan. Perumahan elite seperti itu mengedepankan kenyamanan pemilik rumah.
Ferdi menatap ibu itu yang sudah berjalan menjauh. Dia senang karena waktu yang sangat tepat ketika dia berpikir untuk mencari pekerja dan saat ini yang menemukan langsung. Jadi Ferdi tinggal memikirkan untuk mencari sopir pribadi yang bisa diandalkan. Lelaki itu pun kembali masuk ke dalam rumah dan bersiap-siap untuk pergi ke mall karena dia ingin mencari berbagai perabot untuk mengisi rumah yang sangat luas miliknya itu. Tentu saja dia akan memilih perabot yang tepat dan sesuai dengan arsitektur bangunan rumah tersebut yaitu nuansa Eropa.
Lelaki itu berjalan menuju ke tangga dan menaiki satu per satu anak tangga menuju ke kamarnya di lantai dua. Saat Ferdi hendak masuk ke kamarnya yang berada di lantai dua, tiba-tiba dia terkejut. Marry Ann ada di dalam kamarnya dan sedang duduk di ranjang.
“Bikin kaget aja! Ada apa Marry Ann?” tanya Ferdi sambil mengelus dadanya karena terkejut.
Untung saja Mary Ann menampakkan wujud cantiknya, kalau wujud asli, bisa copot jantung Si Ferdi karena kaget. Perempuan yang bergaun putih itu tersenyum manis menatap kekasihnya saat ini. Lelaki yang haus kekayaan dan kemudahan sehingga terlena dengan tawaran yang diberikan oleh Marry Ann.
“Mau pergi?” tanya Marry Ann tidak mencurigakan sama sekali di mata Ferdi karena wujudnya yang cantik blasteran Belanda – Indonesia membuat Ferdi merasa beruntung bisa ikeh ikeh kemochi dengan hantu cantik. Dia tak tahu apa yang sedang dijalani adalah hal musyrik dan ditentang Sang Pencipta pun juga agama.
“I-iya ... Mau ke Mall cari perabotan untuk isi rumah ini. Apalagi ini bangunan arsitektur Eropa, jadi aku pikir lebih baik ....”
Belum selesai Ferdi bicara, Marry Ann berdiri, lalu mendekat dan memeluk tubuh Ferdi. Lelaki tampan berkulit putih dengan hidung mancung dan tindik di kedua telinganya khas itu terkejut kembali. Perempuan dari dunia lain yang selalu berhasil mengusik ketenangan hatinya menjadi high voltage karena wangi khas dan parasnya yang rupawan.
“Temani aku ... Semua yang kamu inginkan bahkan perabot rumah ini, nanti akan tiba di sini. Jangan pergi,” bisikan maut dari bibir tipis manis milik Marry Ann membuat Ferdi menelan ludah.
Sebagai lelaki normal, melihat perempuan secantik ini mengajak untuk ‘ditemani’ jelas merupakan jackpot. Meski dia tahu kalau Marry Ann yang berada dalam pelukannya bukan manusia, tetapi apa daya? Malam pertama pengikat saat melakukan Perjanjian Darah membuat Ferdi ketagihan. Bisik lembut dan sentuhan perempuan itu bagaikan candu yang tak bisa Ferdi lupakan.
“Ya. Aku temani kamu ... Asal semua perabot itu benar-benar ada di sini nanti,” jawab Ferdi yang dengan mudah menyanggupi ajakan Mary Ann.
“Kamu bayangkan saja apa yang kamu inginkan. Aku akan mewujudkan semuanya. Satu syarat ... Mari kita b******a ....”
Kalimat terakhir yang menjadi syarat jelas saja hal yang sangat menyenangkan bagi Ferdi. Sempat dia berpikir ini lebih menguntungkan daripada dia berakhir jadi berondong simpanan ibu pejabat atau pengusaha sukses yang haus kasih sayang. Lebih baik melayani hantu cantik yang bisa mewujudkan semua keinginannya. Lelaki itu dengan sadar mendorong lembut tubuh Marry Ann ke ranjang empuknya. Dia melepas satu per satu pakaian yang saat ini dikenakan dan melemparkan begitu saja berserakan di lantai kamarnya. Pintu kamar yang masih terbuka tidak membuatnya cemas karena hanya sendiri tinggal di rumah megah itu.
Nafas Ferdi memburu, matanya tak lepas menatap tubuh Marry Ann yang seputih salju tanpa balutan gaun pengantin lagi. Tubuh mulus bak pemain blue film dari negara barat, tetapi sungguh original seakan belum terjamah tangan kotor mana pun.
“Lain kali, kamu harus coba dress lain,” bisik Ferdi yang kemudian bagai serigala menatap domba dengan lapar menghujani wajah Marry Ann dengan ciuman dari kening, mata, pipi, hidung, dan cukup lama pada bibir merah muda semanis cherry yang membuat Ferdi makin menggila padahal hari masih pagi.
Setelah melumat bibir itu dengan waktu cukup lama, Ferdi melanjutkan berjelajah ke leher jenjang nan mulus. Menyapu dengan bibir dan lidahnya hingga turun ke gundukan kembar yang padat, kenyal, dan kencang. Bermain di sana cukup membuat jantung Ferdi makin berdegup kencang. Ini baru awal dan pemanasan bagi Ferdi. Dia tidak mau terburu-buru, ibarat kata makan malam table maner ada hidangan pembuka terlebih dahulu sebelum hidangan utama yang sensasional.
Marry Ann hanya diam menikmati permainan awal dari lelaki yang saat ini dalam jeratan nafsu yang kian memburu tanpa memikirkan efek samping dari pernikahan gaib yang jelas buruk bagi Ferdi. Perempuan makhluk gaib bernama Marry Ann ini bukan lagi sebagai roh penasaran, melainkan titisan sekutu iblis yang menyesatkan manusia. Tentunya Marry Ann mencari manusia-manusia lemah yang dipenuhi rasa malas, dendam, iri, dan ingin kaya raya tanpa mau berusaha. Tanpa mereka sadari, orang-orang terkasih menjadi korban, dan kehidupan bahagia tidak akan pernah ada meski mereka bermandikan uang, kekayaan, dan kejayaan.