Seiring waktu yang terus berjalan, Stephanie menyimpan semua rasa penasaran itu di dalam hatinya.
Terlebih, menjalani kebersamaan dengan Daniel itu, rasanya demikian penuh warna, penuh kejutan, sekaligus mencengangkan. Seakan-akan, semesta turut menghubungkan hati mereka berdua.
Semuanya mengalir begitu saja. Walau belum ada ungkapan perasaan secara lisan dari Seorang Daniel Marcello Sanjaya kepada Stephanie. Dan sejauh ini, Stephanie tidak keberatan. Dia tak pedulu apa nama yang tepat untuk koneksi antara dirinya dengan Daniel. Hubungan Tanpa Statuskah, Teman Tapi Mesra,ataukah apa.
Sebuah pertemuan tak terduga ketika dirinya berziarah ke makam kedua Orang tuanya, menghadirkan tanya di hati kecil Stephanie, sungguhkah ini juga merupakan sebuah kebetulan semata?
Sttphanie tak pernah menyangka bahwa area makam Kedua Orang tuanya berada di lokasi yang sama dengan makam Mendiang Mamanya Daniel. Sesuatu yang sesungguhnya juga amat masuk akal.
Keluarga berada memang umumnya memakamkan Anggota Keluarga atau Kerabat mereka di area pemakaman tersebut. Bahkan ada publik figur yang telah memesan kavling sebagai tempat peristirahatan untuk dirinya sendiri, tepat di sebelah kavling Sang Almarhum Suaminya tercinta.
Kala itu Stephanie sudah siap beranjak seusai berdoa di depan makam Sang Mama yang bersebelahan dengan makam Papanya, serta menaburkan bunga diatas pusara mereka, saat menyadari kehadiran seseorang, sejauh tiga meter di belakangnya.
Merasa ada bayangan yang bergerak, Gadis itu menoleh.
Ia langsung tercengang mendapati Sosok yang sama sekali tidak saing baginya, berdiri di sana.
“Daniel? Kok, bisa ada di sini?”
Daniel hanya tersenyum dan mengisyaratkan dengan tangannya agar Stephanie melanjutkan dulu apa yang tengah ia kerjakan dan jangan menjadi terganggu oleh karena kehadirannya di situ.
Stephanie manggut kecil.
Melihat betapa santainya sikap Daniel, terpikir oleh Stephanie bahwa Daniel diam-diam menguntitnya lagi pada Minggu siang ini.
Padahal dia ingat benar, tadi malam setelah diantarkan ke rumah oleh Daniel sepulang makan malam bersama, Stephanie sudah mengatakan bahwa hari ini dirinya mempunyai acara sendiri.
Stephanie beralasan mau me time, setelah menghadiri misa pada pagi harinya. Sejatinya, dia mulai merasa perlu untuk berbagi cerita tentang kehadiran Daniel dalam hidupnya, serta bagaimana perasaannya sendiri mulai terlarut, kepada sang Mama yang telah tertidur nyenyak dalam kasih Tuhan itu.
Sementara Daniel yang mendengarkan alasan Stephanie, tentu saja tidak memaksa untuk menemui Gadis itu pada hari Minggunya.
“Kamu sudah lama ada di sini, Dan?” tanya Stephanie.
Kini, bukannya menyahutinya, Daniel malah tersenyum dan mendekati Stephanie.
“Ini makam Papa dan Mamamu, kan? Aku lihat, kamu lumayan lama berdoa di depan pusara Mamamu,” ujar Daniel sambil mengamati nama yang tertulis di atas batu nisan.
Walau menyadari ada kesamaan nama belakang Stephanie dengan sang Mama, Daniel tidak serta merta menanyakannya. Ia menyimpannya dalam hati saja.
Lalu Daniel memilih berdiam sejenak di depan pusara yang bersebelahan itu, seakan-akan meminta ijin kepada kedua Orang tua Stephanie, untuk menjalin hubungan dengan Putri mereka.
“Dan..” bisikan Stephanie begitu lirih, sampai Daniel pun tak mendengarnya.
Lantas Gadis itu terbengong, sekaligus... gentar.
Dia tahu alasan di balik rasa gentarnya. Dia ingin menjadi seseorang bagi Daniel, tetapi dia tak yakin, apakah Daniel memiliki perasaan yang sama dengannya. Terlebih, dia juga takut jika Daniel hanya akan mempermainkan perasaannya kelak.
“Steph, mau langsung pulang, dari sini? Kamu parkir di sebelah mana?” tanya Daniel kemudian. Ia mengingat-ingat, adakah kendaraan Stephanie di sekitar tempatnya memarkirkan kendaraannya. Seingatnya, tidak. Karenanya dia menduga Stepahnie memarikir mobilnya di sisi lain.
“Dan, kamu ngapain? Kok bisa ada di sini?” alih-alih menjawab Daniel, Stephanie mengulang pertanyaannya.
Daniel memamerkan senyumnya dan berkata, “Aku habis ziarah ke makam Mamaku. Ajaib, kan? Di antara sekian ribu kemungkinan, kenapa makam Orang tuamu dan Mamaku berada di satu area pemakaman? Dan juga..., letaknya nggak terlalu berjauhan.” Disimpannya sendiri lanjutan perkataannya, bukankah itu suatu tanda?
Stephanie takjub.
“Oh, di sebelah mana? Boleh aku ke sana juga?” tanya Stephanie, dalam keterkejutannya. Antara ingin membuktikan kebenaran kata-kata Daniel, serta dorongan untuk sekadar sowan atau ‘berkunjung’.
Daniel mengangguk dengan matanya.
“Sangat boleh. Ayo.”
Daniel mengulurkan tangannya.
Mereka berjalan bersama setelah Stephanie mengelus batu nisan kedua Orang tuanya dan berbisik, “Ma, Steph pergi dulu. Nanti kalau sempat Steph akan datang lagi. Pa, Steph pergi dulu ya Pa.”
Daniel sedikit membungkukkan badannya, sebagai penghormatan kepada Kedua Orang tua Stephanie.
Makam Mamanya Daniel terletak sejauh dua blok saja dari makam Orang tua Stephanie. Jarak yang agak lumayan, di kala sorot sang raja siang lumayan menyengat.
Melihat nama yang tertera di atas nisan, taburan bunga serta buket bunga segar yang mengesankan ada seseorang yang baru nyekar[1], pupus sudah kecurigaan, sekaligus ‘gede rasa’nya Stephanie. Apa yang dilihatnya, merupakan jawaban pasti, bahwa keberadaan Daniel di situ, sungguh-sungguh bertujuan mengunjungi makam Mamanya, bukannya menguntit dirinya.
Stephanie mengusap keringat di dahinya, dan berkata, “Dan, kamu dekat sekali, ya dengan Mamamu.”
Daniel mengangguk singkat.
“Secara emosional sebetulnya iya. Tetapi secara fisik, tidak juga,” Daniel setengah bergumam, dan mengisyaratkan agar mereka segera beranjak.
“Maksudnya?”
Stephanie tak sanggup menahan pertanyaan ini ketika melangkahkan kaki, menjauh dari area pemakaman.
“Dulu aku kan sekolah dan kuliah di Singapura. Kamu parkir di sebelah mana, Steph?” Daniel mengulangi pertanyaannya yang belum juga dijawab oleh Stephanie.
Stephanie mengangkat bahu dan berkata, “Aku naik taxy online, dari Gereja kemari. Lagi malas nyetir soalnya. Kan minggu kemarin lumayan banyak kunjungan ke Prospek dan Pelanggan, jadi rasanya mumpung hari Minggu aku mau jadi Penumpang saja.”
Mata Daniel langsung berbinar mendengarnya.
Tanpa permisi, digamitnya lengan Stephanie sembari mempercepat langkahnya.
“Aku percaya ini bukan kebetulan, Steph. Kamu, nggak ada rencana untuk kemana-mana kan, setelah ini? Kita ke restaurant langgananku, ya. Kita ngobrol di sana dulu, baru setelah itu kuantar kamu pulang.”
“Itu pertanyaan, atau pernyataan?” gurau Stephanie.
Gadis itu lantas tertawa renyah.
Dalam cuaca sepanas ini, rasanya juga tidak bijaksana untuk meminta tolong Penjaga makam mencarikan taksi konvensional baginya, atau menghabiskan waktu untuk menanti sampai dirinya sendiri juga mendapatkan taksi daring, yang belum tentu juga mau mengantar dirinya sampai ke Jakarta.
Makanya, Stephanie menurut saja ketika Daniel membukakan pintu mobil baginya. Pikirnya, apa salahnya menerima tawaran Daniel, kan? Waktunya makan siang juga sudah menjelang sekarang ini.
**
“Coba kalau aku tahu bahwa yang kamu maksud dengan ‘me time’ tadi malam itu maksudnya mau ke sini, kan kita bisa berangkat sama-sama. Bisa mengikuti misa pagi bersama juga sebelumnya. Sebetulnya, aku memang berencana mau ziarah ke makam Mamaku, dan sempat terpikir mau mengajakmu. Tapi.., aku nggak yakin,” cetus Daniel yang baru menyudahi makannya.
“Nggak yakin kenapa?” tanya Stephanie, tergelitik.
Daniel diam satu dua detik sebelum menjawab.
“Nggak yakin kamu mau,” jawaban Daniel seolah menutup kemungkinan bagi Stephanie untuk bertanya lebih lanjut, apa maksud Daniel.
Apa pun pertanyaan yang bakal kuucap, bukannya mengesankan aku mendesaknya, mengorek perasaannya padaku? Terkesan bahwa aku sangat mengharapkannya? Keluh hati Stephanie.
“Steph, kamu lebih dekat ke Mamamu ketimbang Papamu, ya?” pertanyaan Daniel kemudian, membuat Stephanie terenyak. Dia tak menyangka Daniel akan mengucapkan kalimat tanya yang sefrontal itu.
“Eng.., kok kamu bisa mikir begitu?” tanya Stephanie lirih.
Stephanie berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Dia agak grogi, ketika Daniel memandangnya secara intens. Lagi pula mimik muka Dniel juga terlihat amat serius.
“Aku melihatmu lama bersimpuh didepan makam Mamamu, tapi hanya sebentar di makam Papamu,” kata Daniel dan menyambung dengan super hati-hati, “Sorry kalau merasa diamati.”
Stephanie menelan ludah.
Ia buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain.
Dia menimbang dalam diam.
Ah, tak ada salahnya sedikit berbagi, kan?
Stephanie menepis keraguannya, sembari menerka-nerka, adakah Daniel juga mencari tahu banyak tentang dirinya, dari orang lain?
Tangan Daniel terulur, menyentuh jemari Stephanie.
Stephanie mengeluh dalam diam.
Oh, godaan itu datang lagi.
Godaan yang mendesaknya untuk berbagi kisah hidupnya kepada Daniel. Ia berpikir, sedikit menguak cerita tentang keluarganya pada Daniel, semestinya tak apa, bukan?
Karenanya, Ia lalu menghela napas panjang sebelum menjawab, “Sejujurnya, semasa Papaku masih hidup, hubungan kami berdua nggak baik. Aku merasa, Papaku nggak menginginkan aku sebagai Anaknya dan hanya bangga kepada ketiga Saudara Lelakiku. Jadinya, aku banyak mencari gara-gara untuk menyusahkan hati Papaku.”
Daniel tercekat.
Seakan ia tengah melihat refleksi dirinya dalam sosok Stephanie.
Diingatnya sejumlah informasi yang dikumpulkannya dari ‘informan-informan bayaran’nya, tentang Pak Tristan, ayah kandung Stephanie, yang kabarnya sanggup bertindak setega itu, membeda-bedakan Anak lelaki dengan Anak perempuan, bahkan sampai hati tidak memberikan warisan yang berarti untuk Anak perempuan satu-satunya? Dan secepat ini dia mendapatkan konfirmasi atas berita yang semula dia harapkan nilai kebenarannya masih patut untuk diragukan.
Tak paham apa yang tengah dipikirkan oleh Daniel, Stephanie tersenyum getir.
“Kamu kaget, ya? Karena jadi tahu kalau aku ini Anak yang nggak berbakti?” tanya Stephanie, melihat Daniel terdiam.
Daniel langsung menggeleng tegas.
“Oh, enggak.”
Stephanie mengangkat alis.
Daniel tahu Stephanie masih butuh penjabaran atas jawaban ‘tidak’-nya.
“Maksudku, kalau ada kompetisi Anak yang nggak berbakti, aku pasti mendapatkan predikat sebagai juara satu. Aku ini Pemberontak, kelas kakap, malahan,” desah Daniel pelan.
“Masa?” tanya Stephanie, lalu buru-buru menambahkan, “Eh, nggak usah dibahas, lho, kalau itu rahasia. Forget what i asked.”
Daniel memejamkan mata sesaat.
Hati Stephanie berdebar kencang kala Daniel memanggilnya, “Steph.”
“Ya?” sahut Stephanie lirih.
“Kamu percaya yang namanya kebetulan?” tanya Daniel lagi.
“Kadang percaya, tapi lebih sering enggak,” sahut Stephanie jujur.
Gadis itu menelan kembali ucapan yang hendak dilontarkannya, “Semua yang terjadi dalam hidup itu, tentunya adalah kombinasi dari apa yang telah digariskan, ditambah dengan doa dan usahanya kita. Ya, meski memang nggak menutup kemungkinan, bisa saja, ada secuil keputusan bodoh kita yang ikut andil dan membuatnya terjadi.”
Tidak. Dia sadar, itu bakal membuka celah bagi Daniel untuk mendorongnya bercerita semua tentang dirinya. Dan dia merasa, belum saatnya.
Daniel mengangguk.
“Dari sekian kemungkinan, kenapa kita ketemu di parkiran, waktu itu? Kenapa saat kamu datang menemui pak Adji, aku justru menyarankan agar kita bisa langsung diskusi bertiga? Terus, pertemuan kita di makam tadi, padahal kita nggak janjian? Dan terutama, soal.. hubunganmu dengan.. maaf, Mendiang Papamu, yang sekaligus mengingatkanku, aku sudah sangat salah dalam memperlakukan Papaku dulu,” perkataan Daniel membuat hati Stephanie bergetar.
Namun kegentaran dan keraguan hatinya menepis signal itu. Dia lebih tertarik dengan kalimat penutupnya Daniel.
“Sorry kalau aku bertanya begini. Maksudnya, kamu sama Papamu.., pernah bertengkar?” tanya Stephanie polos.
“Nggak usah bilang sorry. Santai saja,” sahut Daniel.
Stephanie berdeham kecil. Dia masih tidak yakin.
Karenanya dia malah mengulang pertanyaannya, “Benar.... kamu.., pernah bertengkar sama Papamu?”
Daniel mengiakan.
“Bukan hanya bertengkar. Dulu itu, aku merasa Papaku menaruh beban terlalu berat di pundakku, lantaran aku ini merupakan Satu-satunya Anak lelakinya. Hubunganku dengan Kakak perempuanku juga sangat buruk. Itu salah satu alasannya, kenapa aku nggak suka, tinggal di rumah Orang tuaku dan memilih untuk sekolah di Singapura. Dan gilanya, saking aku tahu Papaku itu sangat mencintai Mamaku, aku sering sengaja menyakiti hati Mamaku, supaya Papaku sakit hati. Pokoknya, segala jenis pemberontakan sudah kulakukan. Sampai-sampai, di hari pemakaman Mamaku pun, kami berdua bertingkah seakan Dua Sosok yang tak saling kenal,” Daniel mengungkap masa lalunya.
Stephanie melongo dibuatnya. Hatinya mencelos.
“Bodoh sekali kan? Padahal bisa jadi hal itu membuat Mendiang Mamaku juga nggak bahagia di Atas sana. Aku..., benar-benar konyol dan keras hati, saat itu.”
Stephanie menangkap ada kepahitan yang terucap dalam kalimat Daniel.
Ia tidak tahu harus berkomentar bagaimana. Dia hanya diam, menantikan apa yang hendak dikatakan oleh Daniel setelahnya.
“Sampai ada suatu kejadian, yang perlahan memulihkan hubungan kami berdua. Nggak instan memang. Dan nggak mudah. Tentu juga nggak hanya sepihak, tapi kami berdua, aku dan Papaku saling berusaha memulihkan hubungan kami yang sudah demikian rusak. Dan kalau mau jujur, sampai saat ini pun, aku percaya proses itu masih terus berlangsung,” ucap Daniel, mengenang hubungannya yang hari demi hari kian cair dengan sang Papa.
Mendadak terpikir olehnya, adakah semesta tengah memakai dirinya untuk memulihkan pula, luka batin Stephanie?
“Aku nggak nyangka, Dan,” gumam Stephanie lirih pada akhirnya.
Pandangan Daniel menerawang jauh.
“Kalau saja Mamaku masih ada, mungkin Beliau akan memaafkan kelakuanku yang dulu-dulu,” terbawa perasaan, Daniel berkata lirih, bak ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Sorry, sudah bikin kamu sedih, Dan. Tapi aku yakin, Mamamu menatap dengan bangga, karena hubunganmu dengan Papamu membaik. Beda dengan aku. Aku nggak punya lagi kesempatan buat itu,” Stephanie setengah bergumam di akhir kalimatnya.
Daniel meremas jemari Stephanie.
“Jangan ngomong begitu, Steph. Satu hal yang mungkin bisa kubagikan adalah, nggak ada yang bisa kita rubah, dengan segala sesuatu yang telah terjadi. Kita hanya perlu memaafkannya, dan kemudian menerimanya. Itu saja. Ya meskipun, aku sendiri juga belum selesai dengan proses itu. Masih sering menyesali, kok,” ungkap Daniel apa adanya.
Hati Stephanie tersentuh. Asa itu membuncah lagi, bersama pertanyaan yang sulit dijawabnya. Matanya memejam, seiring jerit hatinya.
Ada sebaris doa, yang sayangnya, hanya dipanjatkannya secara tak konsisten, dan berbalut enggan serta bimbang, kala dirinya terserang insomnia.
“Tuhan, sungguhkah dia ini merupakan Seorang Penolong yang sepadan denganku, seseorang yang Kaukirimkan, bagiku? Bila iya, mengapa sikapnya sama meragukannya, dengan perasaanku sendiri, yang kerap berubah-ubah? Salahkah aku, kalau pada saat mengharapkannya, selalu merasa masih banyak misteri tentangnya? Mana mungkin aku yang harus menyibaknya, sementara aku sendiri nggak punya cukup nyali serta cara, baik untuk mengutarakannya maupun mendengar tentang kebenarannya sendiri?”
*
^ * Lucy Liestiyo * ^
[1] LL : Berziarah ke Makam