The Truth (2)

1237 Kata
Seolah tahu betapa dalam penyesalan yang melanda diri Stephanie, Tante Meily menatap Stephanie dengan prihatin. Hampir saja Tante Meily berhasil mendekati dan merangkul tubuh Gadis itu, kalau saja Stephanie tidak memperlihatkan reaksi yang berlawanan. Stephanie mengangkat tangannya, mencegah Om Danny melanjutkan pembicaraan yang berlangsung. “Cukup, Om! Tolong akhiri sampai di sini. Steph nggak mau mendengar apa-apa lagi,” kata Stephanie dengan gemetar. Om Danny langsung terbungkam. Stephanie menggigit bibirnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya keras-keras. Ia sungguh berjuang, menahan agar air matanya tidak jatuh di depan Om Danny, ketiga Saudara Lelakinya, serta Tante Meily. Padahal matanya sudah memanas. Namun dadanya terasa demikian sesal. Stephanie bangkit dari duduknya, meninggalkan pembicaraan serius itu, berlari keluar dari suite yang ditempati oleh Om Danny dengan Ryan. “Steph!” Seruan Ardi dan Ryan berpadu. Ardi malah sudah bangkit dari duduknya, hendak mengejar Sang Adik. “Biar Tante yang kejar.” Tante Meily mencegah Ardi yang hendak mengejar Stephanie. Ardi surut. “Tolong tenangkan Steph ya Tante,” kata Ardi pelan. Tante Meily hanya mengangguk. “Steph Sayang.” Hati Tante Meily terasa miris menyaksikan Stephanie susuk menelungkupkan kepalanya ke lutut. Dengan penuh iba, tangan Tante Meily membelai rambut Stephanie. Stephanie mengangkat wajahnya. Tatapan mata mereka saling tertaut. Stephanie ingat apa yang sempat diucapkannya dengan lantang sebelum matanya memanas tadi. “Steph nggak berhak atas semuanya, Om. Steph ini anak durhaka,” cetus Stephanie tadi. Ucapan yang membuat semua yang mendengarnya tercengang. Kini, dengan air mata berderai sembari mendekap erat kotak yang diberikan oleh Om Danny kepadanya, Stephanie mengulang apa yang tadi ia katakan. “Steph ini Anak yang jahat, Anak durhaka, Tante.” Sakit hati Tante Meily mendengarnya. “Ya ampun, Steph Sayang, jangan begini dong!” Dengan perasaan sedih, Tante Meily memeluk Stephanie, mengelus pundak Gadis itu. Tak sekejap pun Stephanie melepas kotak yang diberikan kepadanya. Kotak dengan isi yang membuat dirinya disergap rasa bersalah yang demikian besar, yang takkan mungkin dapat diperbaiki lagi. Sosok yang telah dengan sengaja dial ukai perasaannya itu, sudah tak mungkin lagi dapat dipeluknya, dan dapat dimintainya maaf secara langsung. Dia juga tak mungkin lagi berkesempatan membasuh serta mencium kaki dari Sosok yang meninggalkan kotak itu untuknya.   ... Dulu, bertahun yang lalu, fakta mengejutkan yang dikuak oleh Papa dan Mamanya menjelang usia Ryan menginjak kejap 15 tahun, sempat mengaduk-aduk perasaan Stephanie.  Dan meski kenyataan tersebut ternyata diterima dengan berbesar hati oleh Ryan, tapi toh mengetarkan hati Stephanie. Ya, semestinya Stephanie selalu ingat, Ryan ini adalah Orang yang mengajari dirinya untuk berlajar berdamai dengan yang namanya luka. Bukan hanya luka luar seperti yang mereka alami kala terjatuh ketika bermain skate board, namun rupanya Ryan juga menunjukkan secara nyata bahwa dirinya sanggup mengalami proses memulihkan luka batin dan mencabut akar pahit. Ya, Ryan tak sekadar cuap-cuap belaka, Ryan menunjukkannya, Ryan sudah melalui semuanya! Stephanie tercenung mengenang peristiwa yang telah silam itu. Saat itu, hanya Keluarga inti mereka yakni pak Tristan, Bu Gabby, Bobby, Ardi, Stephanie dan Ryan yang duduk di ruang keluarga. Pak Tristan, dengan tersendat, mengatakan bahwa Bu Dewi, Ibu kandung Ryan, tengah sakit keras dan ingin bertemu dengan Sang Anak. Meski hal tersebut melanggar perjanjian awal di mana mereka baru akan mengungkap jati diri Ryan di saat usianya telah mencapai 17 tahun, tetapi toh, bu Gabby menyarankan agar membuka saja hal itu kepada Ryan, sekaligus menemani Ryan mengunjungi Bu Dewi. Tampaknya, bu Gabby telah menyiapkan mental Ryan sebelum pak Tristan menceritakan latar belakang Ryan. Karenanya, dia mempunyai keyakinan diri yang cukup bahwa Ryan akan sanggup untuk menerima kisah masa lalunya, pengungkapan jati dirinya yang sesungguhnya. Dan tentu saja, Bu Gabby juga sudah siap untuk tetap mendampingi Putranya yang satu itu selama masa penyangkalan yang mungkin saja terjadi, sehingga Ryan dapat melalui proses penerimaan itu dengan baik. Bu Gabby memang selalu penuh kasih dan perhatian. Bertahun lalu, Bu Dewi, Salah satu Karyawatinya saat itu, Seorang Single Mom yang kehilangan Suaminya saat sedang mengandung, dan masih harus menanggung biaya hidup Orang tuanya, meminta tolong agar keluarga Bosnya itu mau mengadopsi Ryan, begitu Sang Bayi lahir kelak. Walau dirinya sendiri mempunyai bayi, toh ibu Gabby tidak tega juga.   “Tetapi demi kesehatan mental Ryan, kami membuat kesepakatan tertulis, di mana kami tak memperkenankan Bu Dewi untuk membuka jati dirimu, Ryan,” terang Pak Tristan kala itu. Siapa nyana, tindakan mereka melanggar kesepakatan, ternyata tepat. Dan menghindarkan mereka dari rasa sesal yang kemungkinan akan membebani langkah mereka ke depannya. Sebab, Bu Dewi dapat mengembuskan napas terakhir dengan tenang setelah ditengok Ryan. Bu Dewi yang sudah kesulitan bicara ketika ditengok oleh Ryan, bahkan tersenyum dan meneteskan air mata haru saat Ryan mencium keningnya. Stephanie ingat sekali, hanya dirinya yang tampak terguncang, di ruang keluarga itu. Kedua Kakaknya serta Ryan, sepertinya malah sudah tahu. Ini membuatnya curiga, apakah memang mereka menyimpan rahasia itu dari dirinya? Dan dasar sedang sensitif, dia lantas berpikir, mungkin memang itu yang menjadi pembeda antara dirinya dengan Ketiga Saudara Lelakinya. Stephanie sampai berpikir, sepertinya mengumbar emosi kesedihan atau menunjukkan kelemahan adalah a big no bagi keluarga Prasaja. Pantas saja Papa meremehkan aku. Lihat Saudara-saudaraku, mereka tampak tegar. Ataukah, mereka begitu rapi, meyimpan perasaan? Batin Stephanie kala itu. Lagi-lagi, rasa dibeda-bedakan ini, menggerus rasa bersalahnya yang sempat mencuat, kepada Sang Papa. Rasa bersalah, karena telah menyangka yang tidak-tidak, kepada Papanya. Status Ryan sebagai Anak adopsi, toh membuka matanya, bahwa benar adanya, Papanya memang tidak menginginkan Mamanya mengandung lagi, mengingat sejarah mengandung dan melahirkannya yang mungkin menghadirkan ketegangan jutaan kali lipat dibandingkan menyaksikan film horor. Bisa jadi, peristiwa pahit kehilangan Istri pertamanya lantaran komplikasi yang dialami paska melahirkan, menjadi pengalaman yang traumatik, buat Papanya. Namun buat Stephanie, apa pun alasannya, dia tak dapat menerima sikap Papanya, titik. Itu dulu. Ya, itu adalah perasaan yang ada di benak Stephanie bertahun lalu. Beda dengan sekarang. Terlebih setelah apa yang disampaikan oleh Om Danny. Mata Stephanie memejam. Rasa bersalah kembali menyiksanya. ...   Di detik ini, segalanya berubah 180 derajat. Dia merasa dirinya seribu kali lebih jahat dari si Malin Kundang, tokoh Anak durhaka yang populer itu. Yang barangkali, kalau ada di era sekarang, sudah viral kemana-mana dan menerima hujatan dari warganet sejagat raya. Di dalam pelukan Sang Tante, Stephanie merenungkan momen singkat yang baru saja terjadi. ... “Jangankan menyandang nama Prasaja, memakai nama Griselda saja, sebetulnya aku nggak layak,” isak Stephanie sembari berlari ke arah suite yang ditempatinya. “Steph, jangan begitu,” masih didengarnya seruan Ardi, namun diabaikannya. Sama halnya dengan mengabaikan suara panik Bobby dan Ryan, yang meneriakinya untuk kembali. “Sudah, kalian semua di sini saja. Biar Tante yang menemani Steph. Lanjutkan saja pembicaraannya,” ucap Tante Meily yang bergegas meninggalkan Suaminya beserta Ketiga Keponakan mereka. Ardi mengembuskan napas dan berkata, “Iya, tolong ya, Tante.” ...   “Tante, Steph ini banyak salah. Steph keterlaluan. Steph nggak tahu terima kasih. Steph terus-menerus menyakiti hati Papa sampai akhir hayatnya. Secara nggak langsung, Steph yang sudah membuat hidup Papa nggak bahagia. Steph juga yang menempatkan Mama di posisi sulit, antara harus berada di pihak Suaminya atau Anaknya. Steph keterlaluan. Steph ini Anak yang nggak berguna.” Mata Tante Meily memanas mendengarnya. “Steph, jangan ngomong seperti itu. Jangan pernah mengutuki diri kamu. Nggak boleh, Sayang. Sedih Tante mendengarnya.” Stephanie berkeras.  “Ini kenyataan Tante. Steph yang sudah membuat Papa sakit. Steph yang sudah membunuh Papa. Steph juga yang menyebabkan Mama sakit dan akhirnya meninggal karena beban di batinnya. Papa dan Mama pasti menyesal mempunyai Anak seperti Steph.” Tante Meily terperangah. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN