Winter Is Coming (3)

1450 Kata
Pak Victor mengerutkan dahi ketika dia mendapati Sejumlah Pegawainya, terutama yang Wanita, berbisik-bisik lalu menghentikan acara bisik-bisik itu tatkala menyadari dirinya melewati ruangan makan. Mereka mengangguk kepadanya lalu diam seribu bahasa. Ada yang langsung menunduk, tak lama kemudian membubarkan diri dari Teman-temannya setelah mengangguk sopan kepadanya. Hal yang serupa dialaminya ketika dia melewati area resepsionis menjelang sore harinya. Yang lebih membuat dirinya terusik adalah dikarenakan mereka juga menatap takut kepadanya. Sayangnya, dia sedang tak punya banyak waktu untuk menanyakan hal itu secara langsung. Apalagi ke masing-masing dari mereka. Sungguh membuang waktu dan kesabarannya. Sekitar pukul dua siang, hal serupa juga mengusik ketentraman hatinya ketika melewati kubikel Para Karyawatinya. Sepertinya mereka tidak tahu dirinya tengah melintas karena bergosip sembari menatap ke arah komputer di depan mereka masing-masing. “Ih. Nggak nyangka, ya. Bu Chelsea kok begitu sih. Kan Orang-orang jadi tahu urusan pribadi Keluarga mereka,” terdengar Suara Fera. “Terus lagi, pilihan katanya. Aduuuh! Istri Bos kok begitu. Ya kalau dia rada galak dan angkuh, itu memang kita sudah tahu lah ya. Tapi baru tahu deh, Bu Chelsea itu sanggup bicara begitu kasar. Ini kan Orang jadi malah nggak berempati sama dia. Justru bikin Orang mempertanyakan, ada apa gerangan?” tambah Fera lagi. “Iya. Lepas dari masalah apa yang terjadi sebenarnya, masa iya nggak bisa dibicarakan baik-baik sih? Pakai nyumpahin Anak-Anak Perempuannya Pak Agustin segala. Memangnya Mbak Inge itu diapain sih sama Daniel? Apa sudah dikasih down p*****t, sampai Bu Chelsea meminta pertanggung jawaban begitu?” timpal Jill yang berada di kubikel sebelahnya. Pak Victor hampir saja menegur Dua Orang Pegawainya ini. Tetapi dia ingin mendengar lebih lanjut agar mendapatkan gambaran lebih banyak. “Itu kira-kira Pak Agustin menuntut dia nggak, ya? Kan pencemaran nama baik juga nih, judulnya kalau begini,” sahut Fera. “Nggak tahu. Serba bingung juga. Kalau dia dituntut, ya kasihan Pak Victor juga. Ini Pak Victor kan jadi malu ini. Kasihan ya, punya Istri kok begitu. Terus Si Mbak Inge itu, kenapa sih nggak nasehatin Mamanya untuk nggak koar-koar? Ini bukannya membuat nama baik Mbak Inge dan Keluarga Mbak Inge juga terpengaruh?” balas Jill. Pak Victor berdeham. Paras Fera dan Jill langsung memucat. Terlepas dari Siapa pun Pemilik deheman barusan, mereka paham ucapan mereka terdengar oleh Orang lain. Mereka langsung mengangkat wajah mereka secara serempak. Dan wajah mereka kian memucat mendapati Sang Bos berdiri tak jauh dari deretan kubikel. Fera lebih dahulu berdiri. “Pak Victor. Maaf, maafkan. Saya nggak bermaksud untuk membicarakan Bapak di belakang Bapak.” “Saya juga Pak. Maafkan saya,” kata Jill pula. Pak Victor menatapi mereka berdua bergantian. Dirasanya, dia harus mendapat kejelasan saat ini juga. Dia tak mau masalah ini membesar dan akhirnya menjadi bumerang kalau terlalau lama didiamkan. “Kalian berdua ke ruangan saya sepuluh menit lagi.” “Baik, Pak,” ucap mereka pasrah. Pak Victor langsung berlalu dan berjalan ke ruangan kerjanya. Kini dia paham, apa arti dari bisik-bisik dan tatapan aneh Para Pegawainya sedari pagi. Ketika Jill dan Fera memasuki ruangan kerja Pak Victor, hati mereka berdebar bukan main. Di ruangan tersebut bukan hanya mereka dan Pak Victor. Ada pula Pak Johan Luminto, Sang Kepala Bagian HRD. Mereka sudah takut akan mendapatkan Surat Peringatan. Untung saja, Pak Victor cukup bijak. Sikapnya juga tenang. Dia mendengarkan penuturan lengkap dari dua Orang Pegawainya itu tanpa menyela. Usai dengan itu, justru Pak Johan yang menasehati mereka berdua. “Fera, Jill, jangan bergosip lagi ketika bekerja. Apalagi bergosip tentang Keluarganya Pak Victor. Kalian kembali bekerja sekarang,” tutup Pak Johan setelah memberikan beberapa nasehat kepada Keduanya. Fera dan Jill terbengong. “Jadi, kami dimaafkan, Pak? Kami..., nggak dikasih Surat peringatan, kan?” tanya mereka bersama kepada Pak Johan. “Akan ada Surat peringatan kalau kalian mengulanginya. Dengar, soal ini Pak Victor sama sekali tidak tahu. Dan apa pun alasan kalian, sikap kalian itu tidak pantas.” Fera dan Jill hanya menunduk. Seperti Pak Victor sudah sempat berbicara dengan Pak Johan sebelum memanggil Fera dan Jill. “Mohon maaf atas sikap Anak-anak, Pak. Setelah ini akan saya kumpulkan Anak-anak untuk saya berikan arahan. Maaf atas ketidaknyamanannya,” ucap Pak Johan setelah Fera dan Jill meninggalkan ruangan kerja  pak Victor dengan hati yang campur aduk. Antara menyesal dan lega. Antara berempati dan takut. Pak Victor menggeleng. Ditatapnya wajah Pegawai kepercayaannya itu. Orang yang telah lama bekerja kepadanya. “Saya nggak nyangka Istri saya bisa berbuat macam itu. Malu saya sama Pak Agustin. Padahal saya dan Istri saya sudah membicarakan tentang hal itu,” kata Pak Victor dengan hati berat, mirip sebuah keluhan. Pasalnya, dia ingat sendiri, sebagaimana halnya kemarin, pagi ini pun Inge tak mau keluar dari kamar untuk sarapan pagi bersama. Sia-sia pagi ini dia sendiri yang membujuk Inge. Malam hari pun, Inge tak mau makan bersama dengan dirinya dan Istrinya. Menurut penuturan Sang Istri, sepanjang hari Inge mengurung diri saja. Pak Victor terkenang pembicaraan di meja makan tadi malam ... ... “Mama sudah sempat bicara sama Inge?” tanya Pak Victor. “Susah, Pa. Dia nggak mau keluar dari kamar seharian. Masih bagus dia mau makan, biarpun di kamar.” “Mama nggak berusaha bujuk dia?” “Dia lebih keras kepala dibandingkan dengan sebelum dia pergi ke Kaifeng. Jangan-jangan pengaruh Teman-Temannya di Asrama.” Dan sebelum Pak Victor sempat menimpali, Bu Chelsea sudah menambahkan, “Ini semua gara-gara Si Daniel Sialan itu. Dia yang membuat Anak kita menderita.” “Ma, berhenti menyebut Daniel seperti itu.” “Papa kenapa sih, membela dia terus?” Pak Victor langsung kehilangan selera makannya. Padahal makanan di piringnya baru berkurang setengahnya. “Ma, kita bicara pakai logaika saja. Dengan sikap Inge yang seperti ini, sebetulnya jauh di lubuk hati Mama, Mama percaya apa yang dibilang sama Daniel, kan?” “Bagian mana dari omongan Orang b******k itu yang perlu didengar? Dia itu Pendusta Ulung!” “Percuma bicara sama Mama kalau begini.” Pak Victor bangkit dari duduk. “Papa, mau kemana? Kok makanannya nggak dihabiskan?” Pak Victor tidak menyahut. Bu Chelsea segera menyusulnya. Setelah dekat, ditariknya tangan Sang Suami. “Papa, bisa bicara baik-baik, kan?” Pak Victor menoleh dan menatap Sang Istri dengan tatapan sebal, “Mama saja yang tanyakan kalimat tanya itu ke diri sendiri.” Pak Victor melepaskan pegangan Sang Istri di lengannya dan beralih ke ruangan kerjanya. Dia membenamkan dirinya dalam kesibukan. Sang Istri jengkel. Disusulnya Sang Suami sambil menggerutu tak jelas. Dia tahu kebenarannya, walau tak utuh. Walau belum dapat mengorek semuanya dari mulut Inge, menjelang sore tadi dia sengaja menguping di dekat kamar Inge, kala mendengar sayup-sayup Inge sedang berbicara dengan Seseorang. Dan semakin dia menajamkan kemampuan indra pendengarannya, rasa kecewa yang dalam memenuhi benaknya. Entah dengan Siapa Inge berbicara melalui telepon. Tetapi yang jelas, dia dapat menyimpulkan sendiri, Itu adalah Seseorang yang tengah dekat dengan Inge. Dan yang pasti, bukan Daniel. Yang lebih membuatnya kecewa, karena di situ pula dia tahu, bahwa kepulangan Inge sama sekali tak ada hubungan dengan permintaan Daniel, melainkan untuk mengurus surat-surat. Dan menyebalkannya lagi, terdengar pula olehnya betapa Inge berjanji kepada Seseorang Yang bicara dengannya melalui sambungan telepon itu, bahwa dia akan mencari waktu yang tepat untuk membuka tentang hubungan mereka kepada Orang tuanya. “Hariku sangat berat Jason. Jangankan untuk menyetujui hubungan kita, malahan untuk mengatakan sejujurnya tentang maksud kepulanganku saja, susah sekali. Jason, aku benar-benar membutuhkan kamu, kehadiranmu saat ini. Ingin rasanya aku terbang sekarang juga ke Kaifeng. Pusing kepalaku mendengar celotehan Mamaku dan tuntutannya ke aku,” itu salah satu keluhan Inge yang terdengar oleh Bu Chelsea. Bagaimana dia tidak kecewa mendengarnya? Selama ini dia berpikir bahwa Inge menganggap dirinya adalah Pembela nomor satu, Orang yang selalu siap melindungi di situasi apa pun. Yang lebih membuat kening Bu Chelsea makin berkerut adalah ucapan Inge setelahnya, “Semalaman aku nggak bisa tidur. Nanti aku ceritakan semua ke kamu, Jason. Sebagaimana kamu sudah menceritakan semua tentang diri kamu.” Harapan Bu Chelsea langsung berguguran karenanya. Pupus sudah semua impiannya untuk mendapatkan Seorang Menantu yang setidaknya sekelas dengan Daniel. Dari ucapan Inge saja, dia langsung berpikiran negatif dan memandang rendah Sang Lawan bicara Inge. Tinggal saja di Asrama. Pasti Bule kere itu, pikir Bu Chelsea dongkol. Ingin rasanya Bu Chelsea mendobrak pintu kamar Inge saat itu juga. Tetapi dia tahu, itu hanya akan membuat jarak antara Inge dengan dirinya kian merenggang. Dan sekarang, dia didera kegamangan. Dia butuh pendapat Suaminya. Namun dia tak sanggup untuk berterus terang. Dia takut Sang Suami tidak berada di Pihaknya. Tetapi dia juga tahu, jika tidak meminta pendapat Suaminya, bagaimana cara menahan Sang Putri agar tetap bersama mereka? Dan bagaimana caranya untuk mengubah keadaan? Dia tak sudi mempunyai Seorang Calon Menantu yang tak jelas asal-asulnya dan dinilainya tidak sepadan dengan mereka. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN