Gina Yang Terusik (1)

1969 Kata
“Pa, Papa ini paling-paling deh. Pulang cepat dari kantor, tapi bukannya istirahat, malahan masih kerja lagi. Percuma dong,” protes Gina ketika dia memasuki ruangan kerja Pak Agustin dan membawakan oleh-oleh dari Sang Tante, Tante Ann. Dia memang sengaja memberikan sedikit waktu kepada Sang Papa sepulangnya dri kantor. Dia memanfaatkan jeda waktu tersebut untuk membongkar kopernya, hal yang dia tunda-tunda setibanya ke rumah Sang Papa lantaran justru sibuk menerima panggilan telepon dari Sang Kekasih. Usai membongkar kopernya tadi, Gina menyelinap ke kamar tidur Sang Papa untuk meletakkan oleh-oleh darinya dan juga oleh-oleh khusus dari Sang Kekasih untuk Papanya, yang dititipkan melalui dirinya. “Ini sudah selesai kok. Baru saja. Papa sengaja selesaikan sambil menunggu kedatangan Om Victor. Katanya kan sudah di perjalanan. Jadi mau langsung mandi dan istirahat juga tanggung. Biar Papa ketemui dulu.” “Om Victor? Yang tadi telepon sama Papa ya? Itu Om Victor Siapa? Kok Papa sebut-sebut aku seperti dia kenal saja sama aku?” tanya Gina sembari meletakkan oleh-oleh dari Sang Tante di atas meja kerja Sang Papa. Si Putri Bungsu Keluarga Sanjaya itu lantas menarik kursi di depan meja Sang Papa. Pak Agustin tertawa saat mengangkat tas karton bertuliskan ‘Bee Cheng Hiang’ itu. “Ha ha ha! Si Ann itu! Dia selalu saja mengirimkan ini. Padahal di Jakarta saja sudah banyak yang jual. Dan aku sudah bilang ke dia.” “Ih, Papa, jangan begitu dong. Itu Tante Ann sesibuk itu masih bela-belain beliin ini buat Papa lho. Terburu-buru dia, karena aku bilang nggak bisa lama-lama di Singapura. Agak complain juga sih, katanya Tante Ann, sebetulnya dia sudah punya rencana mau ajak aku jalan-jalan akhir minggu ini. Tapi kan aku bosan kalau harus menunggu sampai akhir pekan di sana. Biar saja, Singapura kan dekat, bisa kapan saja ke sana. Ini ada satu tas karton lagi. Vitamin buat Papa, kata Tante Gina. Lagian, aku tanya belum dijawab sma Papa. Nanti nggak aku kasih oleh-oleh yang dari aku, lho,” rajuk Gina. Sang Papa tersenyum dan mengacak-acak rambut Gina. “Kamu kasih oleh-oleh apa, sih? Katanya kamu ini mau pulang sambil memperkenalkan Pacarmu. Mana dia? Kalian nggak pulang sama-sama? Kok bisa-bisanya kamu naik taksi segala?” tanya Pak Agustin beruntun. “Hm. Oleh-olehnya nanti Papa lihat saja sendiri. Pokoknya istimewa. Aku taruh di kamar Papa. Kalau soal Bernard, dia berhalangan ke Jakarta sekarang. Ada urusan yang belum bisa dia tinggalkan di sana. Nanti ya Pa, pada saat yang tepat. Semoga saja liburan mendatang.” Pak Agustin manggut-manggut lalu bertanya, “Sepertinya Ko Daniel-mu yang akan memperkenalkan dulu Teman dekatnya. Kamu tadi tanya apa?” Mata Gina langsung membulat. Dia sampai terlupa untuk menuntut jawaban atas pertanyaannya. “Ko Daniel lagi dekat sama Siapa memangnya, Pa?” “Nah itu. Papa belum ketemu langsung. Tapi Daniel sudah sedikit memberikan gambaran. Masa iya dia belum cerita ke kamu? Bukannya biasanya kamu dulu yang tahu?” Pak Agustin balik bertanya. Gina menggeleng. Kini dia teringat akan sesuatu. “Itu dia, Pa. Ko Daniel nggak ada bilang lagi dekat sama Siapa. Tapi aku senang deh, mendengarnya. Semoga saja yang kali ini nggak Salah Orang lagi. Nah, Pa, tadi yang telepon itu Om Victor yang mana?” “Oh. Mungkin belum cerita. Nanti ada waktunya cerita ke kamu. Tadi itu ya Om Victor Papanya Inge.” Gina mengangkat alisnya. “Om Victor yang itu? Kak Inge yang itu? Si... Mantannya Ko Daniel yang dulu sahabatan sama Cece Brenda?” “Iya.” Gina tersenyum miring. “Ih. Mau ngapain lagi kemari? Memangnya nggak cukup ya, semua yang dia buat ke Ko Daniel dulu? Sudah dia sendiri yang super dominan ke Ko Daniel, terus heboh, lagi. Dia mau ngapain, Pa? Ih, jangan-jangan kepengen Anaknya balikan lagi sama Ko Daniel. Jangan direstui, Pa. Kan Papa bilang sendiri, Ko Daniel sedang dekat sama Seseorang. Jangan sampai dia mengacaukan hubugan Ko Daniel, nanti.” Pak Agustin tertawa ringan. “Kamu ini, pikirannya kok negatif begitu. Papa sama Om Victor kan sudah berteman sebelum Daniel dan Inge berkenalan. Dan Om Victor ini sering kali menjadi sub kontraktor kalau ada proyek dari grup perusahaan Papa. Daniel sama Inge saja sudah baik kok hubungannya. Kamu jangan begini dong, Gina.” “Jangan sampai nanti mereka berharap, Pa.” “Gina...! Ginaaa! Kamu itu kok terlalu meremehkan Inge, ya. Inge itu juga sudah punya Pacar kok. Daniel lihat sendiri. Orang itu sekalipun nggak berjodoh, nggak ada salahnya untuk tetap berteman atau minimal berhubungan baik.” “Jadi Kak Inge sudah punya Pacar? Ko Daniel juga ada Teman Dekat? Ahhh.... Syukurlah!” ucap Gina lega. “Kamu kenapa sih? Kok nggak suka sama Inge? Jangan-jangan..., ini alasanmu untuk nggak memaksakan diri untuk datang pas Pertunangan Daniel dulu.” “Ih, Papa! Nggak begitu juga. Waktu itu memang aku ada masalah sama perijinan. Jadi nggak bisa memaksakan diri. Lagi pula, ya salahnya Siapa? Salah Kak Inge juga kan, apa-apa diurus sendiri, diputuskan sendiri, waktu, tempat dan acaranya. Masa Ko Daniel itu kasih tahu aku juga mendadak? Nggak sempat dong aku mengatur jadwalku. Lagi pula, kan masih pertunangan, jadi ya..., sudahlah! Ko Daniel juga mau mengerti kok. Sementara buat Kak Inge, kelihatannya nggak penting juga tuh, aku sebagai Adiknya Ko Daniel ikut hadir di acara itu atau nggak.” “Sudah. Berhenti membicarakan Orang.” Gina mengedikkan bahu. “Nggak ngomongin kok Pa, itu barusan sifatnya mengklarifikasi. Aku penasaran sih, mau apa Om Victor kemari?” Baru saja Gina selesai mengatakannya, terdengar ketukan di daun pintu ruangan kerja Pak Agustin. Gina yang lebih dulu menoleh ke arah pintu. “Kenapa, Mbak? Ada apa?” tanya Gina kepada Aminah, Salah Satu Aisten Rumah Tangga yang bekerja di rumahnya. “Maaf, itu Non, ada Tamunya Bapak. Namanya, Pak Victor, katanya. Bapak mau menemui di ruang tamu, atau saya antar kemari?” sahut Aminah, yang belum terlalu lama bekerja di rumah tersebut jadi belum terlalu tahu mengenai Pak Victor. Pak Agustin langsung bangkit dari duduknya. “Biar saya jemput di ruang tamu, Minah. Kamu siapkan minuman dan makanan kecil. Nanti antarkan kemari, ya.” Gina mencegahnya. “Eiits...! Aku saja, Pa. Aku yang ke depan. Papa di sini saja.” “Nggak sopan, dong.” “Sopan kok. Kan Papa jauh lebih tua dari Om Victor. Papa di sini saja makanya.” Sang Papa tak dapat mendebat lagi. “Kamu jangan tanya yang nggak sopan lho ya,” pesan Pak Agustin. “Beres,” jawab Gina sambil mengacungkan jempolnya. Lalu katanya pada Aminah, “Mbak, buat minumannya tiga. Sama buat aku.” “Baik Non Gina.” Sang Papa mengernyitkan dahi. Dia tak habis pikir Gina hendak ikut menimbrung dalam pembicaraannya dengan Pak Victor. Tetapi sebelum pak Agustin melarang Gina, Gina sudah lebih dulu menoleh dan berkata, “ Tenang, Pa. Mustinya nggak ada hal yang rahasia, kan, yang mau dibicarakan? Lagi pula, nanti aku nggak akan duduk dekat-dekat kok. Aku duduk jauh dari meja Papa. Aku di sofa saja, yang paling ujung dan sambil main game di tablet. Papa nggak terganggu, dong? Lagi pula, memangnya Papa ngak kangen sama aku, pakai ngusir-ngusir aku segala?” “Gina..., kamu ini...” “Hm. Kecuali kalau kedatangan Om Victor ini punya niat mau memperkenalkan Calon Mama baru buat aku, baru Papa boleh berahasia ke aku.” Pak Agutin tak menyahut lagi. Sesaat dipikirnya, apakah Pak Victor akan canggung bicara dengannya jika mendapati keberadaan Gina di ruangan yang sama. Namun pada akhirnya dia yakin, hanya obrolan ringan yang akan mengisi pembicaraan mereka sore ini. Karenanya, Pak Agustin memutuskan untuk menyetujui saja kemuan Gina. * Sesuai perkiraan Pak Victor, wajah Pak Agustin berubah sesuai dia menuturkan maksud kedatangannya dan bahkan menceritakan semua yang terjadi. Memang, Pak Agustin jauh lebih tenang ketimbang perkiraan Pak Victor. Justru dirinya yang rikuh. Apalagi mendapati keberadaan Gina di ruangan yang sama dan dengan seenaknya duduk di sofa sambil memainkan game di tabletnya setelah mengantarkannya masuk ke ruangan kerja Pak Agustin. Gina yang hanya diam dan seolah bersikap acuh tak acuh. Walau posisi Pak Victor membelakangi Gina, namun itu tak seketika membuatnya tentram. Ada banyak kejap di mana dia mengerling dan bahkan menoleh ke arah Gina yang seakan tetap asyik dengan tabletnya. Dia tidak tahu saja, betapa Gina mati-matian menahan geramnya. Hanya saja, dia memegang teguh perkataannya kepada Sang Papa bahwa dirinya tidak akan mengganggu pembicaraan Dua Orang Lelaki itu. “Saya benar-benar minta maaf atas semuanya, Pak Agustin. Saya akan minta kepada Chelsea untuk menghapus semua postingannya dan meminta kepadanya untuk meminta maaf secara pribadi ke Keluarga Pak Agustin,” ucap Pak Victor dengan penuh sesal. Pak Agustin belum bereaksi. “Sekali lagi saya mohon maaf. Saya juga baru saja mengetahuinya, karena sikap Anak-anak di kantor. Kalau perlu, saya akan buat semacam pengumuman di media nasional untuk memuat permintaan maaf dari Keluarga kami. Terserah Pak Agustin, mau berapa hari berturut-turut ditayangkannya dan media apa saja.” Kali ini Pak Agustin tergugah. “Tidak perlu sampai seperti itu, Vic. Aku tahu kamu datang kemari terburu-buru. Itu kejadiannya baru hari ini, ya? Sebaiknya kami tangani saja Istri dan Anakmu. Aku tidak tahu pasti, kenapa Istri dan Anakmu bisa semarah itu. Kamu sendiri, sudah tahu kebenarannya kan?” Suara Pak Agustin terdengar sedikit hambar. Ada kekecewaan yang mewarnainya. Sesuatu yang jarang sekali dipegoki oleh Pak Victor. Dia tahu sekarang, betapa fatal perbuatan Bu Chelsea dan Inge kali ini. Pak Victor terdiam. Ini baginya terasa sangat sulit. Rasanya dia lebih rela kalau dituntut secara hukum saja, agar dapat mengurangi rasa sesal serta rasa malunya. “Ini sebenarnya urusan Anak-Anak, kan? Tetapi ada hal yang perlu aku sampaikan supaya jelas. Aku tahu Daniel, Anakku. Dia pemberontak, itu betul. Maksudku di masa kecilnya dulu. Tapi Daniel tidak mungkin melakukan hal yang serendah itu. Aku lebih percaya sama Daniel. Tanpa harus aku interogasi.” Pak Victor jadi salah tingkah. Dia tahu sendiri fakta ini. bahkan diriya juga yakin Daniel tidak berbohong. Terlebih, Inge sendiri juga telah mengakui sedikit kebohongannya. Akhirnya yang terucap dari mulut Pak Victor adalah, “Ya. Ya. Semuanya sepenuhnya salahnya Keluarga saya. Dalam hal ini, saya, yang nggak bisa mendidik istri dan Anak saya. Tolong maafkan saya, Pak Agustin.”  Pak Agustin tampaknya sudah enggan membahas lebih jauh tentang perilaku Bu Chelsea. Dia malah mempersilakan Pak Victor untuk menikmati suguhan Aminah. Pak Victor sampai grogi. Wibawanya seperti hancur di hadapan Seoran Agustin Reynand Sanjaya yang terkesan tidak mau memperpanjang masalah. “Jadi, sebaiknya bagaimana, Pak Agustin? Pak Agustin mau saya melakukan apa untuk menebus kesalahan ini?” tanya Pak Victor dalam pasrah. Pak Agustin menggeleng singkat. “Seperti kataku tadi. Anggap saja ini maslaah internal di Keluargamu. Kamu bereskan saja. Jangan pikirkan yang lain.” Alih-alih merasa lega oleh ucapan bijak Pak Agustin yang begitu berbesar hati, Pak Victor justru semakin didera rasa bersalah yang dalam. Lantas ia teringat sesuatu. “Oh, ya Pak Agustin. Daniel apa kabarnya? Apa dia baik-baik saja?” Pak Agustin tergelitik mendengar pertanyaan Pak Victor. “Daniel? Dia itu kan bukan Orang yang gemar bermain medsos. Rasanya dia nggak akan terlalu mempedulikan hal ini sekiranya dia tahu juga.” Pak Victor tersadar, dirinya belum menceritakan kejadian pada malam kedatangan Daniel. Dia terlalu berfokus pada apa yang dilakukan oleh Sang Istri dengan berkoar-koar di media sosial. Merasa kepalang tanggung, akhirnya Pak Victor menuturkan semuanya. “Sekarang saya jadi takut, jangan-jangan Daniel jatuh sakit. Sebetulnya kemarin saya sudah berusaha untuk menghubunginya, tetapi tidak dijawab. Akhirnya saya hanya bisa menanyakan kondisi kesehatannya. Belum terjawab sampai sekarang.” Kini raut wajah Pak Agustin berubah. Ada kemarahan yang terbias di sana. Betapapun telah mempersiapkan mental sebelum memutuskan kedatangannya kemari dan bahkan tak mau menutup-nutupi apa saja yang telah terjadi, toh perubahan itu membuat Pak Victor agak terpengaruh juga. Dia sedikit gentar. Dia takut kalau akan mengalami perlakuan serupa dengan Daniel. Dia takut kalau dirinya juga akan diusir dan dimaki saat ini. Dan diam-diam, dia mengundang rasa pasrah. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN