The Root Of Bitterness

1997 Kata
“Kak Ardi, nih, cobain.” Stephanie mengangsurkan piring kecil berisi puding buah serta sebuah sendok, kepada Ardi. Ardi yang tengah asyik menelusuri tautan yang ia dapatkan, terusik. Ia mendongakkan kepalanya. “Thanks,” sambut Ardi seraya meletakkan telepon selulernya. Di dalam diam, dibujuknya hatinya yang mendadak jadi gundah gulana. Selentingan buruk tentang Sosok Daniel membuatnya resah. “Tadi ngobrol apa aja, sama Daniel, pas aku di dalam?” tanya Stephanie tiba-tiba, membuat Ardi nyaris tersedak. “Eh, maaf.” Stephanie tampaknya menyadari kekeliruannya, karena mengajak bicara Ardi ketika Sang Kakak tengah mencicipi puding buatannya. Ardi menggeleng untuk menegaskan dirinya tidak apa-apa. “Cuma soal kerjaan masing-masing aja,” kata Ardi singkat, sejurus kemudian. “Oooh. Kak Ardi nggak ada nyinggung soal Keluarga kita, kan?” korek Stephanie. Ardi memalingkan wajahnya, mengamati mimik muka Stephanie baik-baik. Dia bagai ingin menyelami pikiran Sang Adik. Stephanie mengalihkan pandang sesaat ke arah pintu. “Kakak nggak ada nyinggung sedikit pun kan?” Gadis itu mengulang pertanyaannya seperti hendak memastikan jawaban Ardi. Ardi mengibaskan tangannya. “Enggak. Kan, nggak ada korelasinya. Hubungan kalian kan, sekadar hubungan profesional,” cetus Ardi datar. Stephanie terheran. Perasaannya yang cukup peka, jelas merasakan adanya perubahan pada nada suara Ardi. Setidaknya, jika dibandingkan dengan sebelum dia mengambil puding tadi. Ia bertanya-tanya dalam hati. “Kak?” panggil Stephanie dengan nada bertanya. “Ya?” sahut Ardi. “Pudingnya nggak enak?” selidik Stephanie. “Enak, kok. Dan pasti akan lebih cocok buat dimakan siang hari. Segar soalnya,” aku Ardi. “Terus, kenapa kok kelihatannya..” Stephanie menggantung ucapannya. “Kelihatannya apa?” Ardi balik bertanya. Masih dengan nada datar. “Nggak. Nggak ada apa-apa,” kata Stephanie. Ardi menarik napas lega. Dia tahu, Stephanie pasti enggan untuk menanyakan secara terbuka padanya, mengapa dia mendadak tak tertarik membicarakan tentang Daniel. Dan memang dirinya ingin menutup pembicaraan tentang Daniel. Itu memang maunya. “Ryan apa kabarnya, Kak? Masih, tuh, sama Ceweknya yang dikenal sama dia di club kapan hari itu? Yang katanya banyak terima endors iklan kecantikan itu lho. Siapa namanya? Vero atau siapa gitu?” tanya Stephanie. Iseng saja sifatnya, karena bingung mau membahas apa. Meski dia merasa, Ardi banyak berusaha memperbaiki hubungan persaudaraan yang terkoyak setelah kepergian kedua orang tua mereka, toh, bagi Stephanie, terkadang rasa perih itu masih kerap datang membayangi. “Mungkin. Dia kan, seringnya cerita ke kamu, Steph, sejauh menyangkut urusan pribadi begitu. Kamu sendiri, lagi jalan sama Siapa, sekarang?” Ardi balik bertanya. Stephanie terdiam sejenak. “Enggak sama siapa-siapa, lah. Lagi sibuk kerja. Kak Ardi lihat kan, tadi, jam segitu saja aku baru pulang,” sahut Stephanie. Seketika Ardi jadi ingin mengorek sejauh mana hubungan Sang Adikd engan Daniel.  “Tadi gimana ceritanya, Steph? Kok kamu bisa semobil sama Daniel?” selidik Ardi. Stephanie auto tergeragap. Mana mungkin dia menyangka, Ardi akan bertanya begini frontal? “Steph?” panggil Ardi serius. Wajahnya menyiratkan penantian akan sebuah jawaban. Stephanie berpikir sesaat, merasa tak ada yang perlu disembunyikannya. “Aku ceritain, tapi jangan ketawa, ya,” kata Stephanie kemudian, yang segera diangguki oleh Ardi. Maka Stephanie pun berkisah kronologi pertemuannya dengan Daniel, dari kesan pertama yang disebutnya teramat menyebalkan, yang lalu berubah 180 derajad. Tapi, tentu saja sudah difilternya habis-habisan, pada bagian yang menjurus ke kesan personal, apalagi percakapannya sepanjang perjalanan dan terutama saat mereka menikmati soto gebrak. Stephanie tertawa geli usai bercerita, dan yakin bahwa Ardi juga akan terbahak. Ternyata, jauh dari perkiraannya, Ardi bukan tertawa. Sebaliknya Ardi terkesan sedang berpikir keras. Rupanya, dia lebih berfokus pada apa yang melatar belakangi sikap ketus Stephanie kepada Daniel. “Steph, Kak Hera neror kamu lagi? Ngomong apa lagi dia? Lama-lama kalau dia makin keterlaluan begitu, biar aku juga tinggalkan Prasaja Bersaudara Group,” cetus Ardi. Stephanie bergidik melihat wajah Ardi yang tampak menahan marah. Dia menyaksikn sendiri rahang itu sudah tampak demikian mengeras. Demi meredam kemarahan Sang Kakak, Stephanie segera menggelayuti lengan Ardi, lalu disenderkannya kepalanya ke bahu Ardi. Sesuatu, yang mungkin sudah cukup lama, tak dilakukan olehnya. Namun kemunculan Ardi sore ini mau tak mau toh, menerbitkan rindu akan keakraban mereka dulu. Rindu yang menuntut untuk dilampiaskan. “Kak Ardi, please, jangan lakukan itu. Aku kan, jarang minta apa-apa ke Kak Ardi, aku cuma minta Kak Ardi tetap di sana. Tolong Kak, jagain Prasaja Bersaudara Group buat Orang tua kita, juga buat aku. Ya?” pinta Stephanie sungguh-sungguh. Ardi membeku. “Kak..., please? Ingat Kak! Kak Ardi itu kebanggaan ... Papa,” tenggorokan Stephanie terasa tercekat, kala harus mengucap ‘Papa’. Ardi tidak bereaksi. “Kak Ardi..,” Stephanie setengah merajuk. Ditengadahkannya wajahnya, menatap Ardi. Dia hafal, sedari dirinya kecil dulu, biasanya hati Ardi luluh, kalau melihatnya merajuk begini. Sayangnya, kali ini Ardi tidak bereaksi. Bak patung, Ardi diam membisu. Stephanie terpaksa harus memakai strategi lain. “Oke, kalau begitu, aku nggak akan cerita apa-apa lagi ke Kak Ardi. Mau urusan pribadiku, masalah pekerjaan, apa pun itu. Enggak akan! Kalau hal itu malah membuatKak Ardi berpikir mau keluar dari kantor itu. Aku tahu sih, Kak, banyak perusahaan lain yang mau membajak Kak Ardi, dan pasti memberikan iming-iming benefit yang berpuluh kali lipat. Kak Ardi juga bisa membuka usaha sendiri dengan kemampuan yang Kak Ardi miliki. Tapi masa sih, Kak Ardi setega itu?” kali ini Stephanie pasang tampang ngambeg sekaligus protes yang bercampur nada memohon. Ardi memejamkan mata barang tiga detik, mengembuskan napas panjang dengan berat. Kemudian, Stephanie merasa ada tangan yang mengacak rambutnya perlahan. Tangan Ardi yang bebas, yang tidak digelayutinya. “Jangan begitu. Pokoknya, kamu harus tetap komunikasi sama aku, Cleo, Ryan. Kak Bobby juga, sih. Tapi sekarang aku balik tanya, kapan kamu bisa memaafkan Papa? Apa yang harus aku lakukan, supaya kamu bisa memaafkan Beliau? Steph..” suara Ardi begitu dalam. Mata Stephanie seketika memanas. “Marahmu itu gara-gara surat wasiat itu saja, kan?” tanya Ardi pelan. Dan sebelum Stephanie bereaksi, Ardi sudah melanjutkan perkataannya. “Sudah, Steph, sampai sekarang juga aku nggak ada nyentuh apa pun, yang Papa kasih buatku. Kamu boleh ambil semuanya. Cleo bukan Cewek yang suka menuntut. Aku masih bisa kerja mengandalkan kemampuanku. Cleo juga mau menuruti saranku, hanya bekerja paruh waktu saja, sekadar supaya dia nggak mati gaya dan supaya dia enggak mati bosan kalau mendadak harus sepenuhnya menjadi Ibu rumah tangga. Kami bisa hidup dengan itu, kok. Steph.., kamu mau Ryan pun melakukan hal yang serupa? Kalau Kak Bobby.., terus terang saja..,” kali ini, Ardi menggantung kalimatnya. Hati Stephanie serasa ditusuk ribuan jarum beracun, mendengarnya. Jarum beracun yang bergerak ke organ tubuhnya yang lain, bersama aliran darahnya, menebar rasa sakit yang tak terperi. Dientaknya lengan Ardi yang semula digayutinya. “Kak Ardi jahat banget. Kak Ardi ternyata nggak mengenalku dengan baik. Aku nggak pernah berminat meributkan itu. Kak Ardi tahu pasti, kan, aku.., bukannya nggak mau memaafkan Papa. Aku.. hanya ... perlu waktu, sedikit lagi. Dan enggak ada hubungannya dengan Kalian bertiga atau apa yang Kalian bertiga dapatkan. Sungguh! Kak.., please, jangan menyinggung hal ini lagi. Seperti halnya, aku juga sudah nggak mempermasalahkan betapa sakitnya hatiku waktu kak Ardi dan Ryan seolah menyalahkanku saat Mama jatuh sakit..” Mendadak, air mata Stephanie berderai. Sekuat apa pun dia berusaha menjaga hatinya, setiap kali menyinggung tentang Mamanya, selalu saja emosinya memuncak. Dengan satu gerakan cepat, Ardi menghela Stephanie ke dalam pelukannya. Dibelainya rambut Stephanie dengan sayang. Dihapusnya aliran air mata di pipi Stephanie dengan ujung jarinya. “Sorry, sorry, Steph. Aku hanya.., sedih, dan merasa bersalah. Mustinya, kamu..” sebelum Ardi bicara lebih banyak, Stephanie sudah menempelkan telunjuknya di bibir Ardi. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Jangan ngomongin itu lagi. Tolong Kak, jangan tinggalin perusahaan peninggalan Orang tua kita. Dan tolong percaya, aku juga harus memaafkan diri aku sendiri, sebelum memaafkan orang lain. Kak, dalam suatu peristiwa, biasanya ada lebih dari satu pihak terlibat. Kalau Orang menyakiti hatiku, nggak sepenuhnya salahnya dia. Aku juga salah, kan, membiarkan diriku terluka?” Ardi terbungkam. Ia merasa menyesal menyinggung hal yang membuat Stephanie sedi begini. Fokusnya kini beralih pada berita miring seputar Daniel. “Steph..,” panggilnya kemudian. “Ya?” sahut Stephanie. “Kalau pekerjaanmu terlalu berat, kamu pertimbangkan untuk cari tempat berkarya yang lain, ya? Pasti masih banyak di luar sana,” pinta Ardi setelahnya. “Kak Ardi meragukanku?” Stephanie pura-pura merengut. Ardi hanya menelan ludah. Kenangan masa kecil mereka, membersit di pikirannya. “Kalau kamu lagi dekat sama Cowok, kasih tahu aku atau Cleo, ya,” tambah Ardi. Alis Stephanie otomatis mengernyit mendengar kesungguhan dalam kalimat Ardi. “Ya ampun, Kak! Kak Ardi ini Kakakku atau Orang tuaku, sebenarnya? Jangan lebay, dong!” protesnya dengan mimik lucu. Lantas Stephanie terang-terangan mencebik. “Aku serius. Aku nggak mau kalau kamu hanya dipermainkan. Kamu harus hati-hati,” tegas Ardi. Stephanie langsung berdecak kesal. “Ck! Kak Ardi ini, seperti Guru Bepe yang sedang menasehati Cewek yng belum genap berusia dua belas tahun dan tengah diincar sama bad Guy, deh. Jangan parno, lah! Lagian, memangnya dulu-dulu Para Mantanku Bad boys, apa? Enggak, kan?” protes Stephanie lagi. Ardi menatap paras Stephanie. Sekuat hati, ditelannya hal yang ingin diucapkannya pada Stephanie. Memang kamu lagi diincar bad guy, Steph. Makanya kamu harus jaga hati kamu! Ardi mendesah. “Intinya, kamu jangan gampang baperan. Banyak-banyak pakai rasio, dengar kanan kiri, kalau lagi naksir atau ditaksir Orang,” ucap Ardi akhirnya, karena tak mungkin baginya untuk sengaja menyebut Daniel sebagai Si Penyebab kecemasannya. Terlalu dini, dan terlalu lemah alasannya. Stephanie merenggangkan pelukan Ardi. Rasa sedihnya berangsur memudar. Dia mencebik lagi. “Kak, aku berdoa, supaya kalau Kak Cleo hamil nanti, Kalian berdua dikaruniai Anak perempuan saja. Biar Kak Ardi over protektifnya ke Anak kalian saja, bukan ke aku,” ujar Stephanie. Di luar perkiraan Stephanie, Ardi justru tersenyum hambar menanggapinya. “Semoga sih, Anak pertama, dikasihnya Anak lelaki. Biar bisa bantu Papa sama Mamanya menjaga Adiknya. Susah, jagain Anak Perempuan. Papa saja sampai stress,” di luar kemuannya, Ardi kelepasan bicara. Tubuh Stephanie auto menegang. Giginya sudah gemeletuk menahan marah. Beruntung, sebelum berlarut, Ardi menyadari kekeliruannya dan mengelus pundak Stephanie. “Sorry, nggak maksud. Sorry banget,” ucapnya setulus hati. Stephanie memaksakan sebuah senyum. “Eh, tapi Steph, ngomong-ngomong soal Anak, tadi itu aku kemari sekalian mau kasih kabar, Cleo positif hamil. Sepuluh hari  lalu tahunya. Sekarang, usia kandungannya sekitar lima minggu. Makanya, sering-sering menginap di rumah. Kalau malas nyetir, pakai Supir, lah. Nanti gaji Supirnya biar aku yang bayarin, deh,” ucap Ardi dengan mimik lucu. Seakan-akan, jarak antara daerah Setia Budi dengan kawasan Pejaten sebegitu jauh. Wajah Stephanie langsung cerah, mendengar kabar dirinya bakal mendapatkan Keponakan. Segera dipeluknya dengan erat tubuh Ardi. Lenyap sudah rasa kesalnya yang tadi. “Selamat, ya, Kak Ardi. Bilang ke Kak Cleo, tolong dijaga baik-baik, Calon Keponakanku. Kapan-kapan, kuusahakan buat menginap di sana deh.” “Gitu dong.” “Belum selesai Kak. Yang kedua, soal gaji Supir. Bayarin gaji supir minta Kak Ardi? Huh! Penghinaan terhadap PT Sheng Li Industries. Aku kan dapat jatah mobil dan Supir dari kantor, sebetulnya. Eh, tapi Kak, kak Cleo ngidam apa? Tuh, puding buahnya kan masih ada tiga perempat loyang, kak Ardi bawa, deh, buat Kak Cleo. Bukan sisa, kan yang seperempatnya, dihabisin sama kita berdua,” sambut Stephanie yang masih melanjutkankan nyerocos. Lantaran ucapan Stephanie terlampau random, Ardi menanggapi dengan senyum saja. Selang semenit kemudian, Ardi menatap jam dinding di ruang tamu. Stephanie mengurai pelukannya lagi dan bertanya, “Mau pulang, ya?” “Iya, kasihan Cleo cuma ditemani sama Si Asih. Della sama Rusmi yang kost di situ lagi pulang kampung, terus Fiona juga lagi dinas malam terus. Anak kost yang lain, nggak terlalu suka ngobrol, kalau pulang kerja,” terang Ardi. “Oooo..” “Ingat pesanku tadi, ya. Juga jaga kesehatanmu,” Ardi bangkit berdiri. Stephanie mengangguk kecil. “Sebentar, Kak. Aku siapkan dulu pudingnya. Kak Ardi keluarin mobil saja, nggak apa,” kata Stephanie yang bergegas menuju pantry. Dengan tangkas, dipindahkannya puding ke wadah berbahan plastik, lalu berlari keluar, menyusul Sang Kakak. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN