...
Ketika dirinya baru saja duduk di bangku kelas 7, ada sebuah informasi penting yang didapatnya secara tak sengaja tentang dirinya. Menjelang pamitnya dari rumah Stephanie karena tak kuasa lagi menolak keinginan Anak serta Cucunya untuk berhenti bekerja, Yu Nah, asisten rumah tangga yang paling lama mengabdi pada keluarga pak Tristan, terdengar mengobrol dengan Bi Sum, Asisten rumah tangga lainnya di rumah itu.
Awalnya Stephanie mendengarnya sambil lalu saja.
“Sebenarnya aku nggak tega ninggalin Ibu. Terutama Non Steph. Kasihan si Non. Aku titip Non Steph ya, Sum. Kalau misalnya waktunya pas, tolong bujukin dia, jangan suka buat si Bapak makin marah, sama dia. Jangan mancing kemarahan Bapak terus,” terdengar suara Yu Nah dari dalam kamar, di sela kegiatannya mengemas pakaian.
Namun saat mendengar namanya disebut-sebut, Stephanie menghentikan langkahnya dan mempertajam indra pendengarannya. Dia merasa penasaran.
Kenapa nih? Kok duo Bibik ini ngerumpiin aku? Pikir Stephanie.
“Iya, Yu. Biarpun saya baru bekerja di sini pas umur Non Steph lima tahun, saya juga sayang banget kok, sama Non Steph. Kadang saya bingung, kelihatannya si Bapak, kok benci banget sama Non Steph? Nggak tega saya ngelihatnya. Ya meskipun itu urusan keluarga, tetap rasanya nggak rela kalau melihat Non Stephanie dimarahi. Anak perempuan, lho, padahal, Yu. Bukannya biasanya Anak Perempuan itu disayang banget, sama Papanya?” timpal Bi Sum prihatin.
Terdengar helaan napas panjang Yu Nah yang diiringi dengan penjelasan, “Sum, sebetulnya ini rahasia keluarga ini. Jadi tolong, jangan sampai diobrolin ke Asri, Widi, Sari, juga orang baru yang nanti bantu di sini, gantiin aku.”
Stephanie merapapatkan badannya ke dinding. Hatinya berdebar kencang.
“Aku janji, Yu. Lagi pula, aku kan sudah nggak punya keluarga. Jadi setidaknya aku bisa jagain Non Steph, selama si Ibu masih bolehin,” ucapan Bi Sum dari dalam kamar yang ditempatinya sungguh menyentuh hati Stephanie yang mencuri dengar dari luar kamar.
Hening beberapa saat, membuat Stephanie kecil kian penasaran. Untunglah, akhirnya didengarnya juga apa yang ingin diketahuinya.
“Sum, kamu tahu, kan, si Bapak tuh, sayang sekali sama Ibu? Tahu kisah mereka juga, kan? Entah benar atau nggak, sikap si Bapak ke Non Steph, sepertinya berkaitan dengan hal itu,” kata Yu Nah.
“Iya Yu. Saya sempat dengar tentang itu. Soal Bapak sama Ibu yang hubungannya sempat nggak disetujui, kan, dulunya? Dengar-dengar, gara-gara usianya Bapak beda jauh sama Ibu. Sekitar 15 tahun kan? Dan akhirnya Bapak menuruti keinginan Orang tua Bapak untuk dijodohkan sama Wanita lain sementara Ibu tetap melajang. Dan Almarhum ibunya Mas Bobby, meninggal sehari setelah melahirkan Mas Bobby, kan? Yang itu, Yu?” Bi Sum seperti meminta konfirmasi akan apa yang pernah didengarnya.
Terdengar helaan napas yang berat dari dalam kamar. Entah berasal dari Yu Nah, entah Bi Sum. Stephanie tak tahu pasti.
“Iya, seperti itu, Sum Orang tua Bu Gabby nggak bisa disalahin juga sih, soalnya bu Gabby kan masih kuliah, waktu itu, makanya mereka keberatan. Sementara dari keluarga Pak Tristan kan, mungkin sudah kepingin melihat Anak pertamanya menikah. Orang adik-adiknya Pak Tristan saja sudah menikah duluan, kok. Tapi dasar masih ada jodohnya, akhirnya toh, mereka berdua ketemu dan nyambung lagi. Bu Gabby bilang, mereka kembali bertemu di bulan keempat meninggalnya Almarhumah Ibunya Mas Bobby. Terus, kedua keluarga mereka juga bisa ngelihat mereka sudah nggak bisa dipisahkan lagi. Apalagi bu Gabby dekat dan sayang, sama Mas Bobby kecil. Mas Bobby sendiri juga manja ke Bu Gabby, mungkin disangka Bu Gabby itu Wanita yang melahirkannya. Yang aku tahu, mereka nggak terlalu lama pacaran setelah itu. Dan bagusnya lagi pas mereka menikah, Mas Bobby juga masih kecil, belum genap satu setengah tahun gitu deh,” urai Yu Nah.
“Bu Gabby sayang banget sih, sama anak kecil. Buktinya, mau mengadopsi Mas Ardi juga, meskipun mungkin sekaligus buat mancing, ya, supaya lekas dikasih keturunan dari pernikahannya dengan Bapak,” tambah Yu Nah, super pelan.
“Terus, apa hubungannya sama sikap keras si Bapak ke Non Steph?” tanya Bi Sum, yang seakan tak sabar lagi.
Pertanyaan yang mewakili apa yang ada di benak Stephanie kecil.
“Nah, itu! Sewaktu akhirnya bu Gabby hamil, bisa dibilang hamilnya tuh payah banget, sampai disuruh bed rest segala sama dokter. Terus sewaktu melahirkan Non Steph, nyawa bu Gabby nyaris terenggut..,” suara Yu Nah terdengar sedih, membuat jantung Stephanie yang mendengar dari luar kamar, seolah berhenti berdetak.
“Dan itu jadi alasan si Bapak benci ke Non Steph? Seolah-olah, gara-gara Non Steph, Ibu menderita?” cetus Bi Sum lirih.
“Kata Ibu, itu salah satu penyulutnya. Lebih-lebih, Non Steph juga suka terang-terangan melawan Bapak, sih. Kan, Bapak jadi kesal. Setelah Bu Gabby melahirkan Non Steph saja, Pak Tristan langsung melarangnya untuk hamil lagi. Katanya, nggak mau mempertaruhkan nyawa Bu Gabby hanya demi memiliki keturunan lagi,” urai Yu Nah.
Belum sempat mendengarkan secara lengkap kalimat panjang dari Yu Nah, Stephanie telanjur terguncang mendengarnya. Dia langsung berlari menuju kamarnya dan menangis. Kebenciannya kepada Sang Papa semakin menjadi-jadi.
“Memangnya salahku, kalau aku menyebabkan Mama menderita saat mengandung dan melahirkan akku? Memangnya mauku, membahayakan hidupnya Mama? Kalau aku bisa memilih, mending aku nggak usah dilahirkan saja ke dunia! Dasar Papa nggak adil dan mengada-ada. Kalau takut kehamilan dan melahirkan akan membahayakan Mama, terus kenapa, beda umurku sama Ryan enggak sampai setahun? Bukannya itu berarti..?” ratap Stephanie lirih, di pojokan kamarnya.
Sementara Yu Nah yang tak tahu bahwa ada Seorang gadis kecil yang tadi mencuri dengar pembicaraan mereka, melanjutkan penjelasannya, “Ibu sempat cerita ke aku, kata Ibu, Bapak sempat bilang, kalaupun Ibu kepengen punya Anak lagi, toh mereka bisa mengadopsi Anak Orang.”
...
“Ibu Stephanie Griselda Sasmita,” sebut Pratiwi usai meletakkan gagang telepon. Kali ini, Ia menyebut nama lengkap Stephanie. Lamunan Stephanie buyar mendengar suaranya.
“Ya?” sahut Stephanie sambil mengangkat wajah. Ditemukannya seulas senyum di bibir Pratiwi. Hm kalau mau jujur sebetulnya dia sedikit bete sih, dipanggil ‘Ibu’ dari tadi. Tapi ini wawancara kerja, mana mungkin mereka memanggilnya ‘Mbak’ walau usianya masih di ujung 24 tahun?
Lantas sebagaimana kedatangannya yang pertama, sekarang pun dia bangkit dengan mantap dari sofa di depan meja receptionist, yakin berat bahwa dirinya ‘akan mendapatkan pekerjaan ini’.
Ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Pak Tristan Benedict Prasaja telah lama meninggal. Artinya aku nggak perlu lagi ikut-ikutan berkarya, di grup perusahaan itu, yang jelas-jelas tidak..., ya, begitu lah, pikir Stephanie dalam keengganannya.
Tak sadar, Stephanie menggigit bagian dalam bibirnya. Terlalu pahit baginya, setiap kali terkenang, mulanya dia mau duduk manis di sana juga berkat bujukan mendiang Mamanya, yang lebih dari 40 hari silam juga ikut-ikutan meninggalkannya, menyusul Sang Belahan Jiwa.
Terbayang wajah Mendiang Mamanya, rasanya Stephanie ingin menangis. Ada rasa kehilangan dan penyangkalan yang tak kunjung usai. Lekas, ditepisnya aura kesedihan yang menyapa. Tidak, dia tak ingin mood-nya terusik lebih jauh, menjelang interview-nya ini. Ini jelas bukan saat yang tepat.
“Ibu sudah ditunggu oleh Pak Alvin. Silakan, Bu. Ruangan Beliau ada di sisi kanan, yang paling ujung, ada namanya kok, di pintunya,” Pratiwi memencet sebuah tombol di dekat pintu kaca, sejauh satu setengah meter dari mejanya. Tak jauh dari tombol itu, dapat terlihat show room besar yang bersebelahan dengan ruang tamu dan toilet untuk tamu.
Stephanie mengangguk dan mengucapkan terima kasih, menahan senyum geli mendengar keterangan Pratiwi.
Pintu ditulisi nama? Seperti ruang praktek dokter saja! Pikir Stephanie geli. Lumayan, pemikiran ini dapat meminggirkan rasa sedih yang hampir membekuknya tadi. ^ * Lucy Liestiyo * ^