Some People Maybe Never Change (1)

2231 Kata
Stephanie mengangguk pendek saja menanggapi reaksi kaget dari Daniel. Kening Daniel yang justru kian berkerut mencermati gestur Stephanie yang tampak tenang, atau setidaknya, berusaha untuk memperlihatkan ketenangan. Seakan-akan, ditemui oleh Mantan Tunangan dari Pria yang tengah dipacarinya adalah hal yang biasa saja. Padahal, putusnya pertunangan di antara mereka berdua juga sejatinya berlangsung kurang baik. “Inge menemuimu? Kok bisa sih? Dimana, Steph? Di kantormu? Dia bilang apa? Maunya apa sih dia itu?” berondong Daniel yang menanggap bahawa kejadian Inge menemui Stephanie tanpa adanya dirinya merupakan sebuah kelancangan yang sulit untuk diterima akal sehatnya. Stephanie menahan napas, seolah teringat akan sesuatu hal yang tak mengenakan perasaannya. Kesabaran Daniel semakin menipis. Dia paling kesal dibuat penasaran begini. Apa lagi, ini menyangkut Stephanie, Stephanie-nya yang tercinta! “Steph..,” desak Daniel yang rupanya enggan dibuat penasaran lebih lama lagi. “Hhh.” Stephanie mendesah kecil. “Dan..,” panggil Stephanie setelah diam sesaat. “Ya, bagaimana ceritanya?” tanya Daniel langsung. Stephanie menelan ludah. “Kamu ingat kan, tadi pagi setelah kita sarapan di cafe dekat kantorku? Karena sebelumnya kamu bilang bahwa hari ini kamu ada jadwal meeting jam 09.30wib, aku sarankan ke kamu supaya langsung berangkat saja. Soalnya aku sendiri belum selesai sarapan. Dan setelah berdebat sebentar karena kamu nggak mau meninggalkanku di cafe dan gigih mau mengantarku sampai ke lobby gedung kantorku, akhirnya toh kamu mau juga meninggalkan cafe dan meluncur ke kantormu,” kata Stephanie. Daniel mengangguk. “Jadi kamu ketemu sama Inge di situ?” “Ya.” Daniel berdecak gemas.             “Pantas, perasaanku nggak enak sewaktu meninggalkann cafe tadi pagi. Dia.. nggak mempermalukanmu, kan? Seperti dia mempermalukan.. Fei, dulu,” kata Daniel lirih.             Mendadak segala prasangka buruk singgah di kepalanya, meski dia tak habis pikir, bagaimana bisa mendadak Inge berada di Jakarta dan mengapa harus menemui Stephanie di belakangnya. Dan bagaimana bisa Mantan Tunangannya itu mengenal Stephanie? Beruntung, Stephanie tidak sempat mendengar kalimat terakhir Daniel yang menyebut tentang ‘Fei’ alias Ferlita, Sang Mantan Kekasih masa lalunya. Stephanie menggelengkan kepalanya. “Enggak. Enggak sempat, maksudku.” “Nggak sempat bagaimana maksudnya? Lalu dia itu mau apa sih..., pakai nemuin kamu segala? Huh, aku nggak habis pikir!” Daniel menatap Stephanie lekat-lekat. “Kamu nggak bohong ke aku kan Steph? Dia..., nggak berkata kasar ke kamu, kan?” Sekali lagi Stephanie menggelengkan kepalanya. “Enggak kok Dan. Tapi dari pembicaraan tadi pagi itu.., aku berpikir, mungkin dia masih mengharapkanmu. Buktinya, dia keceletukan. Dia mau-maunya menguntitmu setibanya di Jakarta beberapa hari ini, dan akhirnya mendapatkan waktu yang tepat untuk ... eng.., melabrakku,” Stephanie menurunkan nada bicaranya. Wajah Daniel seketika merah padam mendengar kata ‘melabrak’ yang dilontarkan oleh Stephanie. “Melabrakmu?” “Eng..., iya,” sahut Stephanie dengan hati berat. Dia berusaha agar emosinya tetap terjaga, sekaligus mencegah agar Daniel tidak tersulut emosi. “Keterlaluan dia! Atas dasar apa dia berani melabrakmu? Hubungan kami itu sudah selesai dari dulu. Dia juga sudah menjalin hubungan sama Si Bule itu,” suara Daniel meninggi. Stephanie tidak segera menjawab. Ia menghela napas panjang dan langsung menjangkau gelas di depannya. Stephanie meneguk air minumnya sampai hampirtak bersisa. Rasanya, dia perlu membasahi kerongkongannya, sebelum menceritakan pertemuan tak terduganya dengan Mantan Daniel itu. ...             Wanita berpenampilan super modis itu mendatangi meja Stephanie, tepat ketika Stephanie menyelesaikan suapan terakhir ke mulutnya. Sebenarnya Stephanie sudah hampir meraih gelas minumnya dan berencana secepatnya meninggalkan cafe. Setumpuk pekerjaan telah menanti dieksekusi di meja kerjanya.               Langkah Wanita yang mendatangi Stephanie begitu mantap dan menyiratkan kesan arogan. Tanpa ba bi bu lagi, Wanit itu menarik kursi yang tepat berseberangan meja dengan posisi duduk Stephanie. Stephanie jelas menatap dengan pandangan bingung, mendapati Wanita itu seenaknya duduk di depannya. Padahal, kenal saja tidak. Sudah begitu, ekspresi wajah Wanita tersebut juga menyiratkan ekspresi Orang yang siap untuk mengajak ribut dirinya. Berpikir bahwa Wanita itu salah Sasaran, mata Stephanie langsung menerawang ke segenap ruangan cafe yang sepi. Aneh banget. Ngapain juga dia harus duduk di depanku begini, sementara meja lain masih banyak yang kosong. Sudah begitu, mukanya juga jauh dari kesan ramah, pikir Stephanie. Beberapa detik, Stephanie bertenya-tanya di dalam diam. Dia berusaha mengingat-ingat, apakah Wanita yang kini duduk di depannya merupakan Salah satu Kenalannya ataukah Teman lamanya. Namun mendadak, dia teringat, paras Wanita  di depannya itu sungguh amat mirip dengan profil Inge Nastasia Wijaya yang sempat ditelusurinya melalui internet beberapa waktu silam. Selagi Stephanie berusaha meyakinkan dirinya bahwa yang mendatanginya ini sungguh adalah Inge, dia sudah dikejutkan oleh ‘Sapaan Perkenalan’ yang membuat merah daun telinganya.             “Hei, Wanita Pengganggu tak tahu diri! Penganggu hubungan orang! Tukang telikung!” Sebelum sempat Stephanie mengatakan apa-apa, Wanita itu ‘menyapa’ dirinya dengan umpatan yang kasar. “Maaf, Anda siapa dan mencari siapa? Rasanya saya tidak mengenal anda.” Stephanie berusaha keras untuk menekan suaranya agar tidak mengundang perhatian. Bukannya menjawab dengan jelas dan lugas, Wanita itu kembali mencerca Stephanie.             “Kalau kamu nggak ingin aku permalukan di sini, atau di manapun tempat kerjamu, jangan pernah menggoda Daniel,” kata Wanita itu kemudian.             Daniel! Mendengar nama Daniel disebut, kini Stephanie sejuta persen yakin bahwa yang ada di hadapannya memang Inge.             Lantas Stephanie mengerutkan keningnya dan berkata dengan santai, “Oh, Daniel. Daniel yang mana, ya? Dan menggoda seperti apa maksudnya?”             Wanita di hadapannya langsung gusar. Dia merasa dirinya nyata-nyata diremehkan oleh Stephanie.             “b******k!  Kamu ini pura-pura tidak tahu atau memang otakmu itu nggak sampai sih! Ya tentu saja Daniel Marcello Sanjaya!” sentak Sang Pelabrak.             Stephanie terusik. Dia tak habis pikir dengan pilihan kata dari Wanita tersebut. Terlebih perkataannya yang selanjutnya. “Aku tahu, kamu ini pasti Gadis murahan, yang silau sama kekayaan Keluarga Sanjaya. Makanya kamu sengaja untuk mendekati Daniel. Niatmu itu hanya mau memanfaatkan dia dan kekayaannya, kan? Heh! Kalian berdua sudah tinggal satu atap, kan? Nggak usah mengelak. Beberapa kali kupergoki kalian berdua turun dari mobil dan masuk ke lobby apartemen di mana Daniel tinggal. Dan pagi ini, aku melihatmu satu mobil dengan Daniel. Itu artinya kamu sudah tinggal sama dia, kan? Kamu sudah menyerahkan dirimu ke Daniel dan menjeratnya, kan?” tuduh Inge, berharap dapat menekan Stephanie sebagaimana pernah dilakukannya kepada Ferlita dulu.             Sayangnya, dia keliru.  Amat keliru. Stephanie bukanlah Ferlita. Mereka berdua merupakan pribadi yang berbeda. Posisi Stephanie saat dilabrak juga tidak sama dengan posisi Ferlita saat itu, yang harus mengutamakan  klien. Stephanie menggertakan giginya. Rasanya amarahnya sudah mau meledak. Kalau menuruti kat hati, ingin rasanya dia menampar Wanita tersebut. Hanya saja, akal sehatnya masih memperingatkan dirinya untuk meredakan emosinya.             “Jangan sembarangan bicara ya! Anda ini sama sekali tidak tahu apa-apa dan sembarangan melabrak saya! Maaf, saya tidak punya urusan Anda dan tidak tertarik sama sekali untuk berurusan dengan Anda. Jadi kalau memang Anda punya urusan dengan yang namanya Daniel Marcello Sanjaya, coba diselesaikan dengannya saja,” tantang Stephanie dengan suara datar. Dia membujuk hatinya agar tidak terpancing marah. Sebaliknya, Inge meradang. Dia kesal dengan reaksi Stephanie yang tidak terpancing untuk adu mulut dengannya. Rasanay seperti mendapat tamparan pedas saja. Dan bukan Inge tentunya kalau mau dikalahkan, dalam hal apa saja.               “Kurang ajar kamu! Aku bilang, tinggalkan Daniel. Pergi sejauh-jauhnya dari kehidupannya,” suruh Inge lantang.             Stephanie menimpali perkataan Inge dengan tersenyum tipis. Katanya dengan nada masih sedatar semula, “Saya yakin bahwa Anda salah alamat. Semestinya Anda meminta hal itu pada Daniel. Bukan kepada saya.” Tangan Inge mengepal. Dia bahkan sudah tergoda untuk menggebrak meja kalau saja tidak teringat jari jemarinya yang halus dan senantiasa mendapatkan perawatan mahal di salon kecantikan itu terlampau beresiko kalau harus diadu dengan kerasnya permukaan meja. Inge menuding wajah Stephanie. Kegeraman mewarnai parasnya yang cantik.               “Kamu! Nggak bisa dibilangin baik-baik, ya? Senang, ya, menikmati menjadi Orang ketiga?” serang Inge dengan mimik muka yang sangat tidak sedap dipandang.               Alih-alih menyingkirkan tangan Inge yang tertuju ke arah wajahnya, Stephanie tersadar akan sesuatu hal. Gadis itu segera mengerling sejenak ke sekeliling ruangan cafe.             Diam-diam dia bersyukur, sebab tidak ada tamu lain selain dirinya pagi ini. Sudah begitu, posisi tempatnya duduk juga di dekat pintu keluar, cukup jauh dari area Kasir. Dia sungguh berharap lantangnya suara Inge tidak sampai ke area Kasir.   “Hei kamu w************n! Dengar! Semua baik-baik saja sebelum kamu datang dan mengacaukan segalanya. Segalanya berjalan sesuai rencana, jika saja kamu tidak merangsek ke dalam hubungan kami. Dasar Orang Ketiga! Rendah moralmu!” Ulang Inge dengan bibir bergetar lantaran kemarahan yang menguasainya. Ia bertambah kesal melihat Stephanie masih saja diam dan tampak tenang sedari tadi. Sementara yang dia harapkan adalah reaksi merasa bersalah, merasa takut, dan jika perlu menangis-nangis meminta ampun kepada dirinya! Panas hati Stephanie yang terus menerus dikata-katai. Apalagi sebutan ‘w************n’ itu sungguh tak main-main! Mendengarnya saja membuat Stephanie memutar bola matanya. Dada Stephanie sudah mulai terasa sesak lantaran menahan rasa kesal. Lalu, Stephanie berkata dengan tenang, “Oh, menurutmu begitu.” Dia sudah tak lagi menyebut ‘Anda’ kepada Inge.   “Kamu..!” telunjuk Inge kembali teracung ke wajah Stephanie. Stephanie tak memedulikannya. Gadis itu hanya mendengus. Setelahnya, Stephanie membuka dompet, mengeluarkan lembaran uang untuk tip pelayan, yang ditaruhnya di atas meja dan meletakkan botol saus di atas lembaran uang tersebut untuk memastikannya tidak terbang atau terjatuh. Baru saja Stephanie hendak bangkit, Ia mendengar Inge berseru, “Duduk!” Stephanie mengerutkan keningnya. Dia merasa geli, ada Orang yang kenalpun tidak, berani-beraninya memerintahkanya dengan kasar macam itu. Stephanie menggeleng-gelengkan kepala. Gerakan samar itu terluput dari pengamatan Inge. Sepertinya Inge sangat fokus dengan apa yang akan dikatakannya kepada Stephanie, jadi kurang peduli gerakan kecil itu. “Aku ulangi sekali lagi.” Stephanie ingin mengeluh mendengarnya. Dia merasa kesabarannya benar-benar diuji pagi ini. Untung saja dia sudah selesai sarapan, sehingga otaknya bisa diajak kompak. Dia malah curiga, jangan-jangan Inge yang belum sempat sarapan, jadinya bicara dan tindakannya serba ngawur dan bar-bar. “Aku bilang, tinggalkan Daniel. Dia itu Tunanganku,” tegas Inge disertai tatapan tajam. Tatapan mengancam.             Hati Stephanie tergelitik. Nyaris dia tertawa geli kalau saja tak ingat bahwa hal itu akan semakin membuat suasana bertambah buruk. “Mantan. Mantan Tunangan,” koreksi Stephanie secara kalem. Sekuat hati Stephanie menepis hasratnya untuk melanjutkan, “Untuk pertunangan tersingkat. Kurang lebih sekitar dua jam saja.” Entah apa yang akan terjadi bila dia sampai mengucapkan apa yang terlintas di pikirannya itu. Beruntung, dia tak sempat mengungkapkannya.   Usai berkata begitu, Stephanie hendak berbalik badan. Dia benar-benar sudah ingin pergi dari cafe. Baginya, cukup sudah ‘bonus sarapan pagi’ hari ini.   Tetapi ia merasakan pundaknya dihela dengan kasar. Stephanie tak bisa lagi tinggal diam. Ia menepis tangan Inge yang seenaknya nangkring di atas pundaknya.  “Sok tahu. Kami berdua hanya break. Dan pada saat seperti itu, tahu-tahu kamu nyelonong masuk, merebut posisiku di hatinya Daniel,” cetus Inge, meralat ucapan Stephanie sebelumnya. Stephanie nyaris tertawa jadinya. Ya ampun. Kasihan sekali wanita ini, batin Stephanie.   “Paham kan sekarang? Karenanya aku bilang, tinggalkan Daniel!” suruh Inge sekali lagi. Bedanya, kali ini terselip nada memohon di dalam suaranya.   Stephanie menatap jemu. Dia tidak tertarik terlibat dalam drama dadakan ini, atau bahkan sekadar menontonnya. “Sudah saya bilang dari tadi. Anda salah alamat memintanya pada saya. Bilang sendiri ke Daniel untuk meninggalkan saya,” kata Stephanie pelan.   Di telinga Inge, itu sama saja tantangan terbuka. “Dasar w*************a. Wanita jalang. w************n. Kamu pasti sudah sering tidur sama dia,” tuduh Inge lagi. Walau ini bukan pertama kalinya Inge menyebutnya, kali ini Stephanie benar-benar gusar. Memang, tadi Inge hanya menyebut dirinya menjerat Daniel. Namun tuduhan sudah kerap tidur dengan Daniel, amat sangat melukai perasaannya, juga menyinggung harga dirinya. “Apa?” sentak Stephanie. Darah Stephanie rasanya mendidih dikatakan begitu. Sabar. Sabar. Sabar, Steph, kata hatinya, menyabarkan dirinya sendiri. Di detik ini tangan Stephanie sudah mengepal, tetapi dibayangkannya tangan itu terbuka kembali. Stephanie membayangkan dirinya tengah mengelus d**a, mengundang kesabaran. Dan mendadak dia membayangkan, ada Mamanya, merangkulnya, membisikinya agar tidak terpancing adu mulut tak berguna ini. Lalu ada pula bayangan wajah Papanya yang tersenyum kepadanya.  Ah, bahkan semasa hidupnya saja rasanya tak pernah dilihatnya senyum macam itu tersungging di bibir papanya. Senyum yang begitu tulus, senyum yang menyiratkan betapa Sang Papa amat sangat percaya akan kualitas dirinya. Seolah-olah Papanya tengah berkata, “Kamu bukan Gadis macam itu, Sayang. Kami sangat mengenalmu. Jangan hiraukan perkataan sampah ini.” Stephanie memejam mata sesaat, mengudang rasa tentram menyelusup ke dalam benaknya. Lalu tanpa mengatakan apa-apa, Stephanie berbalik badan, melangkah cepat meninggalkan Inge. Stephanie mendorong pintu kaca. Dia agak lega sesampainya di bagian luar cafe. Namun, Inge yang masih penasaran tak tinggal diam. Inge mengejarnya. “Hei kamu! Jangan seenaknya pergi! Aku belum selesai bicara sama kamu,” tandas Inge. Stephanie mengembangkan tangannya. “Anda tidak bicara. Anda itu melabrak,” cetus Stephanie. “Karena kamu memang  perlu untuk dilabrak! Tidak pantas bicara baik-baik dengan Wanita Pengganggu macam kamu,” sahut Inge kesal. Stephanie menatap enggan pada Inge. “Sudah, saya tidak punya urusan dengan Anda,” ucap Stephanie akhirnya. “Kamu kurang ajar! Kamu merebut Daniel dari aku!” Mendadak Inge menangis histeris. Alis Stephanie sontak terangkat. Sejujurnya, dia khawatir dan menatap sekeliling. Dia takut, kejadian ini terlihat dari dalam cafe, atau mengundang perhatian Orang yang tengah melintas di dekat situ. “Aku sangat mencintainya. Aku masih sangat mencintainya. Dia itu milikku,” ucap Inge kemudian, dengan nada memelas. Stephanie sedikit merinding. Pikirnya, alangkah mengerikannya wanita di depannya ini. Seperti berkepribadian ganda. Luapan emosinya bisa berubah bentuk dalam tempo yang  secepat itu. * $ $  Lucy Liestiyo  $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN