Another Distraction

1306 Kata
Mana pernah Stephanie menyangka, makan malamnya dengan Daniel, menjadi makan malam terakhir bagi mereka berdua? Setelah makan malam tersebut, Daniel kian merenggang jarak dengannya. Daniel tidak lagi menghubunginya, apalagi menemuinya. Padahal sebelumnya tiada hari tanpa pesan teks, panggilan telepon maupun panggilan video dari Daniel. Tidak ada lagi pertemuan di antara mereka. Padahal mereka sama sekali tidak sedang bertengkar. Bahkan ketika Stephanie ada meeting dengan Pak Adji di Sanjaya Building pun, Daniel tidak ada di kantor. Dari percakapan Serena dengan Pak Adji ketika mereka berdua berpapasan dengan Serena di koridor, Stephanie mengetahui bahwa Daniel sedang banyak memenuhi sejumlah agenda meeting di luar kantor sehubungan dengan waktu cutinya kian dekat. Hati Stephanie sungguh terusik. Itupun, dia msih berusaha untuk berpikiran positif, bahwa Daniel mungkin sedang sangat sibuk sehingga tidak dapat menghubunginya sepanjang waktu. Namun toh, ‘bujukan’ hatinya kepada dirinya sendiri ini tidak serta merta membuat keresahannya terkikis. Stephanie berusaha menata hatinya dan tetap bersikap profesional. “Oh, Pak Daniel jadi cuti? Untuk berapa lama, Mbak Serena?” didengarnya pertanyaan pak Adji, sementara dia hanya mendengarkan tanpa berkomentar.             “Wah, belum tahu, Pak. Kelihatannya urusan pribadi begitu sih. Makanya, kalau ada kontrak atau apa yang perlu tanda tangan Pak Daniel, tolong dipercepat saja deh dalam hari-hari ini. Atau, ya sabar menunggu, sampai Pak Daniel balik ngantor lagi,” pungkas Serena.             Stephanie berusaha untuk tidak terlalu terbeban akan hal itu.             Usai membahas tentang jadwal pengiriman mesin dengan Pak Adji, Stephanie mohon diri.             Betapapun dia berusaha mengabaikan selintas percakapan yang didengarnya, toh saat berada di dalam lift, pikirannya tertuju pula kepada Sosok Daniel. Ada rasa tak nyaman yang melandanya, yakni mengapa Daniel tak menyinggung sama sekali tentang rencananya untuk cuti, kepada dirinya? Stephanie menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Ia tak sabar menunggu sampai lift tersebut tiba di parkiran Sanjaya Building.             “Huft, yang tadi kudengar itu, mungkin jawaban atas doaku. Bisa saja kan, alasannya untuk nggak menemui dan menghubungi aku lagi, bahkan mengabaikan pesan teks yang aku kirimkan kepadanya, merupakan pertanda bahwa aku memang hanya dijadikan persinggahan sesaat, di kala dia merasa galau? Dan sekarang ini, kemungkinan dia tersadar, dan hendak memperbaiki hubungan dengan Tunangannya,” ucap Stephanie getir, seraya melangkah keluar dari lift yang telah terbuka.             Ia menatap sesaat ke arah area di mana biasanya Daniel memarkirkan kendaraannya. Kosong. Mobil baru Daniel memang tidak ada di sana.   Stephanie memencet remote control untuk membuka pintu mobilnya. Ia menghela napas panjang dan mengembuskannya dengan amat perlahan. Begitu dirinya tersadar kalau dia sudah sampai di pemikiran itu, Stephanie sekaligus mahfum bahwa ini merupakan signal yang kuat, bahwa dia harus segera menjalankan tindak nyata, yakni berlaku Sebagai Si Petugas Pemadam kebakaran, yang memadamkan api cinta di hatinya sendiri? Stephanie pikir, takkan terlampau sulit mustinya kalau dia segera bertindak. Toh, kebakarannya belum terlalu besar dan menjalar kemana-mana. Apalagi mendadak, ada prioritas lebih penting. Ya, ini perkara Ryan, yang baru saja diketahuinya dari sms Hera, yang dibacanya tepat saat dia hendak menstarter kendaraannya.             From : Kak Hera             Ryan, yang lebih muda darimu, tahu diri dan pergi dari rumah Kemang, empat hari lalu. Lantas, kapan kamu mengikuti jejaknya, meninggalkan rumah Setiabudi? Atau, perlu buat kuusir juga? Mau, kuseret keluar dari rumah itu dan kupermalukan di depan Para Anak kost?             Sungguh pesan teks yang mengejutkan. Tangannya, yang tengah memutar kunci kontak, langsung gemetar. Bukan, bukan perkara ancaman dari Kakak Iparnya yang membuatnya gentar atau dilanda sakit hati yang besar. Ini lebih tentang Ryan. Dia geram mendapati Sang kakak Ipar bertindak sejauh itu, mengusir Sang Adik. Apalagi, setelahnya dia juga tak berhasil menghubungi Ryan, untuk mencari tahu kejadian sebenarnya yang menimpa Sang Adik. Segera dihubunginya Ardi, karena tak mungkin dia menghubungi Bobby dan menanyakan tentang hal ini. Hubungannya dengan Kakak tirinya itu tidaklah sedekat hubungannya dengan Ardi serta Ryan. Lagi pula, sejauh menyangkut Hera dan Keluarganya, dia enggan membahasnya dengan Bobby, tak peduli Bobby tahu atau tidak. Hati Stephanie langsung resah, kala menanti panggilan teleponnya bersambut. “Kak Ardi, Ryan ada di kantor? Aku telepon ke telepon selulernya, tapi dari tadi mailbox melulu,” kata Stephanie begitu terdengar sapaan ‘hallo’ dari Ardi. Ardi diam sesaat sebelum menjawab, “Sudah tiga hari Ryan nggak ke kantor. Ini, aku mau bicarakan sama kak Bobby. Nanti kukabari ya Steph.” Suara itu terdengar berat, dan penuh keterpaksaan. “Kak, ada apa sebenarnya? Kak Hera mengusir Ryan? Apa haknya? Dia juga..” Stephanie mengurungkan apa yang hendak dikatakannya. Tetapi, di seberang sana, terdengar dengus kesal Ardi. “Maksudmu, dia melakukannya kepadamu juga? Dia benar-benar keterlaluan!” Stephanie terbungkam. Mendengar kemarahan Ardi yang senantiasa dianggapnya Orang yang paling tenang dan bisa menenangkan suasana, hati Stephanie langsung terasa ciut. “Steph..!” Stephanie tak menjawab panggilan Ardi. Dan bagi Ardi, itu sudah merupakan jawaban atas pertanyaannya tadi. “Aku nggak bisa menunda kalau begitu. Aku harus membicarakan hal ini secara serius sama Kak Bobby. Dia harus tahu semua kebenarannya. Andai ini soal aku saja, aku nggak peduli. Ini tentang kalian. Soal Keluarganya kita,” kata Ardi geram, lalu menambahkan, “jangan terlalu dipikirkan, Steph. Nanti kukabari. Percaya saja, aku pasti mencari Ryan, dengan atau tanpa dukungan Kak Bobby.” Stephanie tercekat. Rasa cemasnya menjadi-jadi. “Mencari Ryan, Kak? Jadi, Ryan benar-benar menghilang? Astaga! Apa ini melulu tentang warisan? Haruskah Orang tua kita nggak tenang di alam sana, menyaksikan Anak-anaknya nggak akur, gara-gara masalah warisan?” tanya Stephanie lirih, nyaris berbisik. Mood-nya rusak sudah. Kacau balasu. Kini dia tahu, bisa jadi rasa gundah yang mengiringi sebelum bertemu pak Adji tadi, mungkin lantaran hal ini, bukan semata karena takut akan canggung ketika berpapasan dengan Daniel setelah hubungan mereka terasa membeku dan terasa janggal. “Apa, Steph? Sudah, yang penting kamu tenang, nanti kukabari perkembangannya. Take care, Steph,” seolah terburu-buru, Ardi menyudahi panggilan telepon dari Stephanie. Sungguh bukan kebiasaan Seorang Ardi. Dan Stephanie tak tahu haruskah dia bersyukur, menyadari Ardi tak mendengar rangkaian kalimatnya sebelumnya. Stephanie memerlukan untuk berdiam beberapa saat setelah menutup telepon, mencoba kembali menghubungi Ryan dan meredakan keresahannya. Tetapi sia-sia belaka. Bahkan panggilan teleponnya ke Ardi juga tak bersambut setelah itu.   Dua hari berturut-turut seperti itu. Stephanie nyaris gila rasanya. Kalau menuruti kata hati, ingin dia menemui Ardi di rumah dan menanyakan kabar terbaru mengenai keberadaan Ryan. Namun teringat Cleo yang sedang mengandung saat ini, langsung dibatalkannya niatnya. Sedangkan untuk menemui Ardi di kantor, juga tak mungkin. Dia sudah berjanji kepada dirinya sendiri, takkan menjemput atau membuat drama, di sana. Apalagi, dia juga tahu, Hera juga kerap mengunjungi kantor itu. Tidak. Dia tidak berminat menginjakkan lagi kakinya di sana, kalau bukan karena alasan yang amat kuat. “Mungkin sebaiknya kuredam sesaat rasa penasaran ini, sambil terus mendoakan yang terbaik untuk Ryan dan kami semua. Bukankah Kak Ardi adalah Seseorang yang paling memegang perkataannya? Ya, aku hanya perlu bersabar,” desah Stephanie setiap malam, ketika kantuk tak kunjung menyapanya.   Beruntung, kesabarannya berbuah satu pesan teks panjang dari Ardi, tiga hari kemudian. From : Kak Ardi Steph, kamu sudah punya hak cuti, kan? Atau, ajukan saja unpaid leave. Ada yang harus segera kita bicarakan bersama di tempatnya Om Danny. Kabari aku kalau sudah dapat perkiraan tanggal kamu bisa cuti. Nanti kupesankan tiketnya.   Stephanie tertegun. Menghindari pembicaraan lisan dan cenderung menggunakan pernyataan tertutup yang menyiratkan tak memerlukan bantahan, diketahuinya adalah ciri khas Ardi bila keadaan telah menjadi genting. Seolah Ardi berprinsip, pada saat-saat demikian, yang dibutuhkan bukanlah pembicaraan lisan yang saling bersahutan, melainkan tindakan nyata. Stephanie merasakan dadannya bergemuruh. Tak ada yang dapat dibuatnya selain menenangkan hati dan pikirannya sendiri. Ah, saat-saat seperti ini, betapa sesungguhnya dia butuh Seseorang untuk berbagi dan sebuah telinga untuk mendengar. Bayangan Daniel melintas tanpa permisi, membuat hatinya justru terasa kian perih saja. Enggak. Aku nggak berhak memikirkannya. Itu hanya akan menambah-nambahi kekalutanku saja. Tapi, mengapa harus di tempat Om Danny? Ada apa? Apa kesehatan Om Danny, adik kandung Papa itu kian memburuk? Tanya Stephanie dalam hati, bersama kecemasan yang menyelubungi pikirannya. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN