Inge mengangkat wajahnya, dan menetap lurus kepada Daniel.
“Dan, kamu itu benar-benar jahat, dan nggak punya hati! Benar kata Mama, dari dulu pun kamu hanya mempermainkanku! Aku menyesal mengapa dulu sampai membicarakan dan akhirnya memutuskan bersama untuk bertunangan denganmu. Karena kamu memang tidak pernah mencintai aku, barang sedikit saja. Entah apa yang ada di pikiranmu saat itu. Mungkin kamu hanya menjadikan aku pelarian dari kegagalan hubunganmu dengan Pacar lamamu, si Ferlita – Ferlita itu! Dan aku juga menyesal kenapa harus mendengarkanmu saat di Kaifeng. Aku menyesal mengapa harus menuruti pesanmu untuk kembali ke Jakarta. Kalau aku tahu bahwa pada akhirnya aku hanya akan kamu kecewakan begini, aku nggak akan pernah mau mendengarkanmu! Kamu itu membohongiku, memberikanku janji-janji palsu.”
Daniel terperanjat.
Ia tak menduga Inge malah bermain drama begini untuk menutupi kesalahannya dan mengalihkan pertanyaan Sang Papa yang belum dijawabnya.
“Dan soal kamu menuduhku melabrak Pacar Genitmu itu, kamu berlebihan. Kamu sudah terhasut sama omongan dia. Aku bicara baik-baik kok sama dia. Aku tanya soal sejauh apa hubungan kalian. Itu karena aku ingin tahu posisiku di mana sebetulnya saat ini. Dan aku juga mencermati kamu setiap hari mengantar jemput dia dari kantornya. Dan memang benar kan, kalian tinggal bersama. Apa aku salah? Wajar kan kalau aku mau mencari kejelasan soal status hubungan aku dengan aku,” kata Inge diiringi isakan tangisnya.
Daniel tertawa pahit mendengarnya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Inge! Inge! Kamu tahu kamu sedang berdusta. Kamu tanya sendiri sama hatimu.”
“Kamu masih tega mengata-ngatai aku? Apa belum cukup kamu mempermalukan aku di Restaurant Small Paradise dulu? Apa kamu ingin jejak hitam-mu menghiasi penulusuran Google?”
Daniel terhentak.
Sekarang dirinya tahu, bisa jadi Inge mempunyai peran besar, mengapa masih saja ada berita sampah tentang dirinya, sementara dia telah menyuruh Orang IT untuk menghapusnya demi kenyamanan perasaannya dan terutama Stephanie-nya yang tercinta.
“Sudah, Pak. Tetapi nggak tahu nih, kok ada yang baru ya,” itu yang yang dilaporkan oleh Orang Suruhan Daniel waktu itu.
“Kok bisa? Kamu hapus pokoknya.” Begitu yang elalu diperintahkan oleh Daniel.
Sekarang Daniel mengerti, sikap Inge adalah palsu. Baik sekarang ataupun ketika mereka berdua berbicara di Kaifeng. Dia mendadak merasa ngeri sendiri.
Bisa-bisanya dulu aku menjalin hubungan dan bahkan sempat bertunangan sama Wanita dengan sikap seburuk ini. Apakah dulu aku terlampau cuek atau bagaimana, sampai tidak tahu sisi gelapnya ternyata sepekat ini? Dia sanggup melakukan apa saja demi untuk mencapai tujuannya? Ngeri sekali! Pikir Daniel.
Apa jadinya kalau pertunangan itu nggak pernah batal, lalu kemudian kami menikah? Aku nggak bisa membayangkan seperti apa hidup yang aku jalani dengan dia. Itu sama saja hukuman seumur hidup, kata hati Daniel setelahnya.
“Oh, jadi kamu yang terus menerus membuat berita-berita sampah itu, mempergunakan semua kekuasaan yang kamu miliki? Inge, aku nggak tahu apa yang salah dengan diri kamu. Mungkin dulu, pernah menjadi urusanku. Tetapi sekarang, tentu saja menjadi urusanmu dengan dirimu sendirimu. Atau kamu tanya pendapat Pacar Bule-mu. Siapa namanya? Jason, kalau nggak salah, kan? Ingat Inge, kita sudah mengakhiri hubungan secara baik-baik. Kita sudah bicara dengan baik-baik pula saat di Kaifeng. Dan aku pikir semuanya sudah selesai. Kamu bahagia dengan Jason-mu, tentu saja aku juga bileh bahagia dengan Pilihanku. Bisa kita sudahi semuanya ini? Supaya nggak ada lagi saling benci, nggak ada lagi kesalahpahaman?” ucap Daniel dengan hati berat. Hati dan otaknya sudah sangat lelah, penat menghadapi sandiwara Inge.
“Jangan banyak bicara kamu, Daniel!”
“Mama, jangan perkeruh keadaan!”
“Benar Ma! Semakin lama dia di sini, semakin banyak kebohongan yang dia ucapkan ke kita,” timpal Inge.
“Seenaknya kamu minta diakhiri semua? Kamu sudah permalukan Anak Tante dan barusan juga terus berdusta. Pergi kamu! Pergi kamu sekarang juga! Saya nggak sudi lagi mendengar satu patah kata pun dari kamu! Biar nanti Papamu tahu kelakuan bejatmu ini! Sana, pergi!” Dengan kemarahan yang berlipat-lipat, Bu Chelsea melemparkan vas bunga di atas meja ke arah Daniel.
Untung saja, kali ini Daniel sanggup berkelit.
Dia segera bangkit berdiri dan menatap satu-satunya Orang yang masih sangat dia hargai di ruangan tersebut : Pak Victor. Ya, Pak Victor yang tampak terkesiap dan malu dengan perilaku Istri dan Anaknya.
“Om, saya pamit sekarang. Saya mohon maaf kalau ada kata-kata atau tingkah laku saya yang menyinggung perasaan Om, Tante, maupun Inge, baik pada saat dulu maupun malam ini. Saya tidak ingin memperpanjang masalah lagi. Saya harap, semuanya bisa kita tutup hari ini. Mari Om, Tante, Inge.”
Berkata begitu, Daniel segera beranjak dan menjauh dari ruang keluarga, lantas melewati ruang tamu.
“Dasar jahat! Jahat!” maki Inge.
Daniel tidak terpengaruh, dia terus melangkah keluar dari rumah.
Saat itu lah, terdengar suara petir menggelegar di angkasa. Suara petit yang segera diikuti dengan curah hujan tinggi.
Daniel tak menghiraukannya.
Dia terus melewati teras dan halaman rumah Inge.
Pak Victor bagai tersadar dari mimpi buruk, dia bangkit dari duduk dan menyusul Daniel.
“Astaga! Itu Daniel pasti kehujanan. Dia belum sempat telepon Supirnya untuk jemput, pasti. Tadi itu Papa nggak ada lihat dia turun dari mobil. Pasti dia hanya di-drop kemari.”
Setengah berlari Pak Victor keluar dari rumahnya.
Bu Chelsea dan Inge hanya berpandangan. Namun kemudian, Inge meninggalkan Sang Mama begitu saja, memasuki kamar tidurnya. Dia sudah dapat menduga-duga akan seperti apa kelanjutannya. Dia yakin, Sang Mama takkan mungkin membebaskan dirinya untuk tenang-tenang saja menyembunyikan fakta tentang Laki-laki yang disebut Teman Asramanya oleh Daniel. Inge sudah hafal hal itu. Betapapun Sang Mama senantiasa membelanya mati-matian di depan Orang lain, entahkah dirinya benar atau salah, tetapi dia tahu, Sang Mama akan menuntut kejujurannya dengan pembicaraan empat mata dengannya. Itu persis seperti yang dilakukan oleh Sang Mama setelah dirinya menangis semalaman di hotel sampai matanya bengkak, menangisi pertunangannya yang begitu singkat dengan Daniel. Dan Inge tak mau itu terjadi malam ini. Dia merasa kepalanya sudah terlampau penuh.
Dan benar saja.
“Inge! Mau kemana kamu?”
Seruan Sang Mama menggelegar. Sampai-sampai Para Asisten Rumah Tangga yang kebetulan belum masuk ke kamar mereka masing-masing, berlagak tidak mendengarnya dan berlagak sibuk. Ada yang mempercepat langkahnya ke dapur, ada pula yang segera memasuki kamar mereka.
Ada kemarahan yang besar terkandung di dalam suara Bu Chelsea. Inge paham. Sangat paham. Dan terkadang dia juga bingung, bagaimana mungkin Sang Mama yang kerap tampil elegan, ketika marah seremnya menyerupai Wanita gila. Lalu dia teringat bagaimana sikapnya pada Stephanie pagi tadi, dan diam-diam merasa jijik.
Kok aku bisa begitu? Ini jelas menuruni sifat Mama. Papa nggak begitu, batin Inge lalu mempercepat langkahnya.
“Inge! Kamu nggak dengar Mama panggil-pangil kamu?”
“Aku mau istirahat Ma. Kalau Mama mau tanya-tanya besok saja,” sahut Inge tanpa menoleh.
Yang terdengar kemudian hanyalah suara pintu kamar yang ditutup tergesa dan putaran anak kunci yang mengiringinya.
Bu Chelsea berdecak kesal.
“Dasar Anak itu! Ini Papa juga, ngapain pakai mempedulikan Si Daniel?” gerutu Bu Chelsea sendirian di ruang tamu.
Sementara di teras, Pak Victor memanggil-manggil Daniel yang baru saja mencapai pagar rumahnya.
“Dan! Astaga! Kamu kehujanan! Ini, kamu bawa payungnya! Supir kamu sudah dihubungi? Sudah sampai mana?” Teriakan Pak Victor begitu lantang.
Daniel hanya menoleh sekajap dan melambaikan tangan, lalu segera membuka pagar.
Dia melintasi pagar itu, dan berdiri sesaat di depan pagar.
Daniel menengok ke kanan dan ke kiri, mencari tahu adakah taksi yang melintas. Celakanya, tidak ada satu taksi pun.
Ketika ada sepeda motor yang melintas, Daniel melambai karene menyangka itu adalah Tukang Ojek. Tetapi sepeda motor itu justru menambah kecepatan laju sepeda motornya.
Pak Victor melihat semuanya itu dari teras. Dia benar-benar kasihan pada Daniel, terlebih mendapati pakaian Daniel sudah basah kuyup.
Saat Pak Victor melihat berjalan cepat menjauhi pagar rumahnya, diam-diam Pak Victor menyesali, mengapa dia tidak menyuruh Supirnya untuk tinggal lebih lama tadi.
“Mama sama Inge ini benar-benar keterlaluan memperlakukan Daniel. Masa sampai ngusir-ngusir segala dan mau melempar vas bunga. Bagaimana kalau nanti Pak Agustin sampai tahu? Aku sudah lalai mendidik Istri dan Anakku,” gumam Pak Victor.
Sesaat kemudian, kesadarannya bagai terlecut.
Pak Victor berlari ke dalam rumah.
“Ngapain, Pa? Sudah pergi itu, Orang yang mempermainkan Anak kita?” tanya Sang Istri yang melihat Suaminya seperti terburu-buru.
Alih-alih menjawab pertanyaan Sang Istri, Pak Victor menatap dengan tatapan kecewa.
Ia menyambar kunci kontak dan berkata, “Setelah ini, Papa mau bicara dengan Mama dan Inge. Tapi nggak malam ini. Besok pagi, saat pikiran dan badan masih segar. Kalau sekarang bicara, percuma. Mama sama Inge benar-benar buat Papa malu.”
Pak Victor berbalik badan dan meninggalkan Sang Istri.
“Papa! Mau kemana malam-malam begini?”
Tidak ada sahutan.
Tidak lama kemudian, yang terdengar adalah bunyi mesin mobil dinyalakan, suara pagar yang dibuka dan ditutup kembali. Lalu bunyi deru mesin mobil yang menjauh.
Pak Victor mengemudikan kendaraannya dengan amat perlahan karena dia yakin Daniel masih belum terlampau jauh dari area rumahnya.
Perkiraannya tepat. Daniel sedang berjalan tergesa di tepi jalan. Keadaan jalan yang mulai sunyi di malam hari itu, tak memungkinkan Daniel untuk mendapatkan Taksi atau bahkan Tukang ojek. Dia juga tak mungkin memesan taksi online sebab belum menemukan tempat yang cukup nyaman untuk berteduh.
Pak Victor membunyikan klakson mobilnya dan merapat. Dibukanya kaca mobil.
“Dan! Daniel!” seru Pak Victor.
Daniel menoleh dan menyeka wajahnya yang diguyur air hujan.
“Masuk! Om antarkan kamu ke apartemenmu!”
“Nggak usah, Om, terima kasih!”
“Daniel, jangan keras kepala!”
“Om kembali ke rumah saja.”
“Om tahu kamu sakit hati sama perlakuan Tante dan Inge. Om tahu kamu sudah cukup sabar. Om juga berterima kasih atas bantuanmu. Setidaknya, karena kamu juga, Inge mau kembali. Itu yang terpenting buat Om. Ayo, masuk Dan. Nanti kamu sakit.”
“Sama-sama Om. Terima kasih. Nanti di depan sana juga pasti banyak taksi.”
“Daniel! Jangan begini. Sungguh, Om minta maaf karena Tante bersikap kasar dan mengusirmu segala.”
Daniel berusaha keras untuk tersenyum.
Sekarang dia baru merasakan, betapa perih bekas tamparan dari Bu Chelsea, ditambah pula bekas pukulan Bobby yang meninggalkan luka di bibir, dagu dan pipinya. Air hujan yang mengguyut dan gerakannya menyeka wajah yang terburu-buru yang menjadi penyulut rasa perih itu. Daniel meringis.
Pikirnya, lengkap sudah penderitaannya hari ini. Dipukuli oleh Kakak dari Gadis yang ia cintai, dan belum dapat menemui Sang Kekasih hingga sekarang. Sudah begitu, ditampar dan diusir pula, oleh Mantan Calon Mertua Perempuan, setelah menyaksikan drama palsu dari Sang Mantan Tunangan. Seolah itu belum cukup, dia masih juga harus diguyur hujan deras begini, dan harus berjalan kaki pula! Seorang Daniel Marcello Sanjaya berjalan kaki!
“Dan, ayo kalau begitu Om antar sampai kamu mendapatkan taksi. Kalau memang kamu tidak mau diantar sampai apartemenmu,” bujuk Pak Victor dengan gigih.
“Terima kasih Om, tapi nggak usah.”
“Kamu kehujanan begini Daniel. Dan kelihatannya hujannya bakal lama.”
“Enggak apa-apa Om, semoga saja semua ini sudah sepadan dengan perilaku atau mungkin perkataan saya yang salah, baik yang saya sengaja atau tidak, kepada Keluarga Om. Semoga semua ini sudah sepadan dengan sakita hati yang dialami Inge dan Tante Chelsea. Tolong maafkan saya ya Om. Saya permisi, Om.”
Usai berkata begitu, Daniel segera berlari, tak lagi menghiraukan seruan Pak Victor.
Daniel segera memasuki sebuah pondok kecil yang mirip dengan bangunan pos jaga.
Pak Victor terpaku menatapinya.
“Sepertinya aku yakin, kamu nggak salah, Dan,” gumam Pak Victor.
Di dalam pondok kecil itu, ternyata ada bebrapa Tukang Ojek yang juga tengah berteduh. Tampak tiga buah sepeda motor yang terparkir di depan pondok kecil itu.
“Aduh! Pakai acara hujan besar. Mana hari ini baru narik satu kali. Alamat nggak makan nih, Anak Istri di rumah,” kata Salah satu dari mereka.
“Ya namanya hujan begini. Siapa juga yang mau naik Ojek? Sudah, semoga saja sebentar lagi hujan mereda,” kata Temannya, menyahuti dan membesarkan hatinya.
Daniel mendekati yang pertama.
“Pak, maaf, mau nggak antar saya?” tanya Daniel.
Yang ditanya mencermati penampilan Daniel. Dia tak habis pikir, mengapa ada Orang yang wajahnya pun rupawan tetapi babak belur, memakai pakaian yang jelas mahal, bisa-bisanya basah kuyup dan berjalan kaki di malam hari.
“Bapak habis dirampok, ya? Mobil Bapak yang diambil? Kok bisa Daerah sini aman padahal!” katanya.
Daniel menggeleng dan kembali bertanya apakah Si Tukang Ojek mau mengantarnya.
“Mau sih Pak. Tapi saya hanya adasatu jas hujan. Bapak nggak apa-apa, kehujanan?” tanya Si Tukang Ojek memastikan.
“Nggak apa. Ayo!” kata Daniel.
Dan dasar ogah repot, dia menyebutkan nama Apartemen tempat dia tinggal, lalu membayar di muka.
Sang Tukang Ojek hampir meloncat saking kegirangan, mendapatkan bayaran yang berpuluh kali lipat dibandingkan tarif normal, bahkan di jam macet.
“Wah, kebanyakan ini Pak,” dia masih berusaha untuk mengembalikan sebagian.
“Sudah nggak apa. Biar setelah mengantarkan saya, Bapaknya bisa langsung pulang untuk istirahat,” kata Daniel.
“Ini namanya rejeki nomplok. Terima kasih ya Pak. Ayo, kita jalan sekarang.”
Daniel menerima helm berbau apek yang diserahkan oleh Sang Tukang Ojek dan segera mengenakannya di kepalanya. Dia langsung membonceng. Niatnya adalah sesegera mungkin meninggalkan area tempat tinggal Inge.
Sudah cukup semuanya untuk hari ini. Ini lebih dari cukup, batin Daniel dengan pikiran super penat.
Pak Victor yang masih berada di tempatnya, tak sanggup berkata apa-apa ketika sepeda motor yang agak butut itu mulai melaju.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $