bc

GENG 71+

book_age16+
49
IKUTI
1K
BACA
family
sensitive
neighbor
drama
comedy
bxg
small town
slice of life
like
intro-logo
Uraian

Ini tentang kami, yang hari ini bermusuhan, besok baikan lagi. Bukan karena kami mudah saling memafkan, tapi karena sudah lupa kalau kemarin kami habis adu mulut. Bahkan lupa apa yang sebenarnya sudah kami pertengkarkan.

Ini tentang kami, yang hari ini membicarakan hal yang sama dan akan mengulang lagi hal serupa keesokan harinya, bahkan berhar-hari setelahnya. Alasannya sama, karena kami lupa kalau ternyata sudah membahasnya kemarin.

Ini tentang kami, yang bertindak bak anak kecil tanpa kami sadari. Mudah marah, mudah menangis, dan itu di luar kendali kami.

Ini tentang kami, yang menunggu hari kematian tiba. Entah pemakaman siapa yang duluan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Melayat
Wanita berambut putih itu berjalan cukup tergesa-gesa, sedikit mengangkat dasternya agar langkahnya cukup cepat. Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit menyatakan amarah. Di belakangnya terdengar sayup-sayup suara teriakan dari sang tetangga. Hanya suara sayup-sayup yang terekam oleh telinganya, maklum di usianya yang sudah lebih tujuh puluh tahun, pendengarannya tak sebagus anak gadis berusia tujuh belasan. Ia balas suara teriakan dari sang tetangga, walau enggan berbalik. Enggan melihat wajah keriput yang menyebalkan itu. Yang tanpa henti mengomentari anak gadisnya. Ah, entah apa istilah yang tepat untuk menyebutnya. Masih bisakah anaknya disebut seorang gadis? Usianya anaknya bahkan sudah hampir 40 tahun tapi belum kunjung menikah. Sudah terlalu tua untuk disebut seorang gadis. Dan itulah yang selalu menjadi bahan olok-olok tetangga. “Apa beras di rumahmu berkurang kalau anakku belum menikah?” Ia tahu bahwa ucapannya tak terdengar oleh sang tetangga. Tahu bahwa tetangganya itu sama dengannya, pendengarannya tak terlalu bagus lagi. Terlebih saat ia sudah berjalan masuk ke pekarangan rumahnya dengan cepat, membuat jarak mereka makin jauh. “Atau beras di rumahmu akan bertambah kalau anakku sudah menikah?” Ia masih melanjutkan ucapannya, sambil mendorong pintu rumahnya dengan kasar. Begitu ia masuk, matanya yang sudah memburam langsung tertuju pada foto keluarga di ruang tamu. Terpajang dengan ukuran besar di dinding. “Apa anak ini mau jadi perawan tua selamanya?” Sekarang ia malah memarahi sang anak, walau marahnya di depan foto. Ia menaruh tangan di pinggang, lantas matanya menyorot cukup tajam pada wajah tersenyum di foto. “Ibu juga mau punya menantu. Mau punya cucu. Mau menggelar acara pernikahan untuk anak semata wayang.” Napasnya mulai menderu cepat, efek emosi yang meledak dalam dirinya ditambah habis berjalan cepat. Belum lagi rona kemerahan yang tergambar jelas di wajahnya yang putih. Ah, sekarang ia marah pada sang anak setelah beberapa detik yang lalu ia marah pada tetangganya yang mengomentari anaknya yang tak kunjung menikah. Padahal sebelum meninggalkan pekarangan rumah sang tetangga, ia bak sedang berorasi dengan teramat percaya diri bahwa ia mendukung apapun pilihan anaknya. Menikah atau tidak, asal anaknya bahagia. Lantas sekarang? Sekarang ia menyalahkan sang anak. Menyalahkan anaknya yang sampai ia ubanan tak juga naik pelaminan. “Apa sih yang ditunggu? Nunggu Ibu mati? Gitu?” Ia melayangkan kemarahannya, seolah yang ada di depannya benar-benar sang anak. Bukannya gambar yang tak bisa mendengar dan berbicara. “Siapa yang mati, Bu? Tetangga ada yang mati? Innalillah ….” Seorang pria, tak kalah banyak jumlah uban di kepalanya muncul dari ruang tengah hingga ia menemui sang istri. Sayup-sayup dari ruang tengah ia mendengar seseorang mengatakan tentang kematian. “Kita melayat, Bu?” tanya pria itu lagi. Sang istri menolehkan kepala, memfokuskan matanya untuk melihat sang suami. “Bapak mau ngelayat?” Ditanya, ia malah bertanya balik. “Iya, Ibu mau pergi juga?” “Iya,” jawab sang istri. “Kalo gitu barengan, Bu.” “Ya sudah, ganti baju gih, Pak.” Dua-duanya saling mengangguk. Sepakat atas kesalapahaman karena faktor pendengaran yang tak mendukung. Sang suami mengira ada tetangga yang meninggal saat istrinya mengatakan tentang ‘mati’. Sementara sang istri mengira jika suaminya mengajak ia untuk melayat. Maklumlah di usia mereka saat ini pergi melayat sudah hampir menjadi rutinitas. Entah giliran siapa di hari ini, mereka hanya bergantian untuk melayat. Pasangan suami istri berusia lanjut itu kompak masuk kamar untuk berganti pakaian, mengenakan pakaian berwarna hitam. Sang suami dengan celana panjang berbahan kain yang dipadukan dengan baju kaos berkerah yang juga berwarna hitam, serta peci hitam yang tersemat di kepalanya, menutupi sebagian ubannya. Sementara sang istri, mengenakan gamis berwarna hitam yang ia padukan dengan jilbab dengan warna senada. Sebelum keluar kamar, sang istri menarik laci nakasnya, mengambil selembar uang seratus ribuan. Di laci yang sama ada sekotak amplop, ia raih dengan jarinya yang keriput lalu memasukkan uang seratus ribuan tadi ke dalamnya. “Ayo, Bu.” “Ayo.” Keduanya bergegas keluar rumah setelah mengunci pintu. Sang istri mengikuti langkah kaki suaminya karena ia tak tahu di rumah mana ia harus melayat. Sementara sang suami, pria itu tak berhenti berbalik untuk melihat istrinya. Bukan karena teramat memperhatikan sang istri, tapi sebenarnya ia menunggu untuk mendapatkan informasi ke arah mana ia harus berjalan setelah melewati pagar rumahnya, ke kanan atau ke kirikah? Sayangnya, mereka justru saling menunggu. Saling mengharapkan untuk tahu ke rumah mana yang harus mereka tuju. “Ada yang ketinggalan, Pak?” “Gak ada. Ayo, jalan, Bu.” “Kok, malah Ibu. Bapak yang duluan sana.” Sang istri menunjuk ke depan, bermaksud menyuruh sang suami untuk berjalan lebih dulu agar ia bisa mengikut di belakangnya. Namun, tanpa sadar tangannya sedikit terarah ke kanan saat ia menujuk. Membuat sang suami menarik kesimpulan bahwa arah yang harus ia ambil adalah ke kanan. Pak Rahmatkah? Atau Bu Yusna? Sambil berjalan, pria itu menerka-nerka siapa yang meninggal. Kebetulan di arah kanan, Pak Rahmat yang pekan kemarin mengeluh sakit membuatnya menduga bahwa salah satu kemungkinan bisa saja pria pensiunan PNS itu. Atau mungkin saja Bu Yusna, wanita senior yang telah ditinggal mati oleh suaminya dua tahun lalu. Akhir-akhir ini, penyakit ginjalnya memang bertambah parah. Melihat suaminya sudah mengambil jalan ke kanan, maka ia pun mengikut setelah menutup pagar rumahnya. “Mau melayat, Pak, Bu?” Seorang tetangga yang rumahnya tepat di depan rumah milik pasangan suami istri itu bertanya. Ia tergopoh-gopoh keluar melewati pagar rumahnya. “Saya ikut ya, Pak, Bu. Tungguin sebentar.” Bahkan tanpa bertanya siapa yang meninggal, wanita yang sehari-harinya berjilbab itu sudah memutuskan untuk ikut melayat juga. Dan bahkan tanpa menunggu jawaban apakah ia akan ditunggui, ia sudah berjalan masuk ke rumahnya, dengan cepat. Sambil berjalan masuk rumah ia terdengar berteriak untuk meminta ditunggu sebentar. “Tungguin ya, Pak Khalid, Bu Khalid. Saya ganti bajunya sebentar.” Loh, Pak Mukhtar? Pak Khalid terdengar berkomentar dalam benaknya. Karena faktor pendengaran ditambah Bu Tina yang sudah terburu-buru masuk rumah, Pak Khalid mengambil kesimpulan jika kata ‘sebentar’ yang diucapkan oleh tetangganya itu adalah Pak Mukhtar. Dikiranya Pak Rahmat atau Bu Yusna, ternyata Pak Mukhtar. Innalillah. Pak Khalid memang terbilang minim berbicara. Sewaktu muda ia sering dijuluki lemari es karena terlalu dingin. Dan saat tua, beginilah jadinya. Ia lebih banyak berbicara pada diri sendiri dalam benaknya. Selain karena pusing kalau harus bicara sama istrinya yang sudah mulai tak nyambung karena faktor pendengaran, ia memang tipe yang suaranya bak harta karun, jarang didengar. “Loh … loh, ini pada mau ke mana?” Tetangga yang tadi adu jotos dengan Bu Khalid keluar rumah, dan betapa kagetnya ia menemukan pemilik rumah di sebelah kanannya sudah berpakaian serba hitam. “Mau ngelayat, Bu.” Bu Khalid menjawab dengan baik. Amarahnya yang tadi bahkan sudah terlupakan. “Siapa yang meninggal, Bu?” Bu Khalid melirik pada suaminya, “Siapa, Pak?” Pak Khalid mengerutkan keningnya sesaat. Kok istrinya malah bertanya. Padahal ia tahu bahwa ada yang meninggal dari sang istri. Ah, sepertinya Si Ibu lupa lagi. Pak Khalid mengambil kesimpulan sebelum ia jawab pertanyaan sang istri. “Pak Mukhtar.” “Innalillah …,” ujar Bu Maryam. “Padahal kemarin masih sehat-sehat loh. Kemarin saya ketemu sama Pak Mukhtar di warungnya Bu Intan.” “Namanya umur, Bu,” timpal Bu Khalid—yang nama aslinya Bu Nandira—hanya setelah ia menetap di kompleks tersebut ia selalu dipanggil dengan sebutan Bu Khalid, mengikuti nama suaminya. “Iya, Bu. Kalo gitu saya juga mau ngelayat. Tungguin saya.” Bu Maryam baru membalikkan tubuh untuk masuk ke dalam pekarangan rumahnya saat Bu Tina keluar setelah berganti pakaian. Dan di saat bersamaan sebuah mobil lewat di depan mereka. Melihat ada beberapa orang dengan pakaian serba hitam membuat sang pemilik mobil meminta sopirnya untuk melambatkan laju mobil tersebut. Ia turunkan kaca mobilnya lantas menengok keluar untuk menanyakan rumah siapa yang harus ia kunjungi hari ini untuk melayat. “Pada mau ngelayat, Pak, Bu? Siapa yang meninggal?” “Loh ….” Bu Khalid melihat suaminya lantas ia menunjuk pria yang duduk di dalam mobil. “Loh? Kok … Pa-Pak Mukhtar?” Bu Maryam juga ikut kebingungan. Ia baru saja mau masuk ke pekarangan rumahnya saat mobil milik Pak Mukhtar lewat. Dan bukan hanya mobilnya, tapi pria yang dikatakan meninggal itu kok masih ada dan masih bisa duduk di dalam mobil. “Terus siapa yang meninggal?” Pak Khalid melirik Bu Tina yang sudah berdiri di dekat Bu Khalid. Ia tunjuk wanita itu, “Kata Bu Tina, Pak Mukhtar yang meninggal.” “Loh, kok saya?” tanya Bu Tina dengan bingung. “Kan saya ngikutin Bapak sama Ibu Khalid yang mau ngelayat. Saya mah gak tau apa-apa.” “Kan Bu Tina yang tadi bilang kalau Pak Mukhtar yang meninggal.” Pak Khalid terdengar berbicara lagi. Ini salah satu rekor ia berbicara cukup banyak. “Saya sama sekali gak tau, saya cuma ikut aja.” “Kok malah saya yang dikatain meninggal?” Pak Mukhtar turun dari mobil. “Kalian doain saya mati?” Pria itu terdengar mulai emosi. “Jadi, sebenarnya siapa yang meninggal, sih?” Bu Maryam bertanya. “Siapa yang meninggal, Bu?” Pak Khalid bertanya pada istrinya. Ia mendengar berita kematian tentang seseorang yang tak pasti ini yah dari Bu Khalid. “Kok Ibu, kan Bapak yang ngajakin melayat.” “Kan Ibu yang bilang ada yang mati.” “Loh, Ibu gak pernah bilang gitu.” “Jadi, ada yang meninggal atau gak sih?” tanya Bu Tina dan Bu Maryam secara bersamaan. Mereka saling bertukar pandangan, dan tak seorang pun bisa menjawab pertanyaan itu. Mereka saling menggedikkan bahu. Tak ada yang meninggal. Ini hanya kesalahpahaman. Ah … bukan tak ada, hanya belum. Ini tentang waktu. Dan mereka, hanya menunggu waktu itu. Ini tentang Geng 71+, mereka-mereka yang berusia senior dan segala kehebohan yang mereka miliki. 

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Mendadak Jadi Mommy

read
2.2K
bc

Papa, Tolong Bawa Mama Pulang ke Rumah!

read
3.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
205.0K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
148.8K
bc

PULANG DARI PERANTAUAN

read
3.1K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
146.6K
bc

My husband (Ex) bad boy (BAHASA INDONESIA)

read
282.6K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook