"Baiklah, aku terima pekerjaan darimu, kapan kita mulai menikah?" Wooseok menatap Joana tajam, Jo hanya tersenyum lalu memutar kursinya beberapa kali, sebelum akhirnya berdiri dan mendekat ke arah Wooseok.
"Akhirnya menyerah juga?" ucapnya dengan senyuman yang sangat menyebalkan.
"Berhenti bermain-main denganku! aku sudah setuju, apalagi maumu?"
"Stt ... tenang ..." Joana menatap wajah Wooseok, Wooseok menjadi agak gugup lalu mengalihkan pandangannya dari Joana. "Memar di wajahmu belum hilang ternyata. Dasar lemah, menghadapi preman saja tak sanggup."
"Kau ini sebenarnya ..."
"Halo, Kang Jury, segera ke ruangan."
Wooseok tak sempat mengatakan apa yang ada di otaknya. Joana membuatnya frustasi, dengan kesal Wooseok menghela nafas, berusaha untuk tetap tenang.
Tok-tok-tok, "Nona, anda memanggil?" tampak sekretaris Kang menjulurkan kepalanya dari balik pintu, dia agak kaget sekaligus senang, melihat Wooseok berada di ruangan Joana.
"Masuk!" perintah Jo, Sekretaris Kang segera masuk dan membungkuk.
"Ada apa Nona?"
Joana menunjuk wajah Wooseok, lalu menatap Sekretaris Kang tajam. "Sudah kubilang urus wajahnya, kenapa masih ada bekas memar? kau mau mati?!"
"Nona, aku belum bertemu Wooseok sejak hari itu, dan dia ..."
"Segera bereskan masalah ini! setelah semua selesai, siapkan keperluan untuk pernikahanku."
"Kalian jadi menikah?" Sekretaris Kang tersenyum senang, akhirnya dia bisa menyelesaikan satu masalah. "Selamat Nona, selamat Wooseok."
Wooseok hanya diam, bahkan tak melihat ke Sekretaris Kang ataupun Joana. Sekretaris Kang maklum, sebenarnya menikah karena diancam bukan suatu yang layak diucapkan selamat. Tapi masa bodoh, selama dia tidak menjadi sasaran amukan Joana, wanita gila, yang sangat tidak memiliki rasa iba ini.
***
"Oppa! apa-apaan ini, yang dikatakan Hanbi nenar? Oppa benar-benar mau menikah?" Seulgi terbelalak setelah menerima kabar yang tak terduga. Seperti petir disiang bolong, tiba-tiba saja kenyataan menyambar di hadapannya, dengan mutlak menerjang langsung ke hatinya. Yah, meskipun mereka saat ini berteman akrab, tak bisa dipungkiri Seulgi menginginkan sesuatu yang lebih dari Wooseok. Walau dia tak pernah mengatakannya, dia hanya menunggu Wooseok menyatakan cinta lagi kepadanya, setelah sebelumnya dia sempat menolak laki-laki itu.
"Seulgi, jangan panik, aku mau menikah bukan mau berperang," Wooseok tersenyum hangat.
"Mana mungkin tidak panik? ini sangat tiba-tiba, Oppa tak pernah memberitahukanku sebelumnya, dan Hanbi bilang ..."
"Hanbi bilang, Oppa akan menikah dengan Nona Joana, Wonderful Lady, Queen of fashion," Hanbi keluar dari dalam rumah, menuju halaman tempat Wooseok dan Seulgi duduk, dengan bangga menenteng majalah berisikan foto Joana sebagai covernya. Hanbi sangat menyukai majalah itu, terlebih dia sangat mengagumi Joana. Mengetahui bahwa Wooseok akan menikahi wanita luar biasa itu, membuatnya seperti orang kehilangan akal.
"Hanbi, berhenti membawa majalah itu, kau tidak capek?" Wooseok menghela nafas melihat tingkah Hanbi.
"Tidak, kenapa harus capek? sebentar lagi Hanbi akan jadi adik ipar, Wonderful Lady, yes!" Hanbi berlonjak.
"Oppa, ini sangat aneh, sejak kapan kau kenal Nona Joana? apa tujuan Nona itu menikahi Oppa, maaf tapi semakin kupikirkan, ini benar-benar tak masuk akal." Seulgi berusaha mencerna kejadian yang sangat aneh ini, selama ini dia selalu bersama Wooseok, dan jangankan dekat dengan Joana, Wooseok saja bisa dipastikan tidak mengenal Joana.
"Seulgi, apalagi tujuan menikah? tentu saja untuk menyatukan dua keluarga." Wooseok diam sejenak, "Tapi, si Gila itu berbeda, karena itu aku punya tujuan lain juga." Batin Wooseok sambil memikirkan apa yang selanjutnya akan dia lakukan.
Seulgi tak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tak bisa melarang Wooseok untuk menikah, karena keputusan Wooseok sudah bulat. Setidaknya Wooseok mendapati sisi positif, bahwa dia bisa membuat Hanbi bahagia, walau itu hanya kebahagiaan semu. Kontrak kerja akan segera dimulai, dan dia harus bersiap untuk itu.
***
Hari ini pertama kalinya Wooseok menginjakkan kaki di istana keluarga Lee. Mereka sudah melangsungkan pernikahan. Tak seperti pernikahan putri konglomerat pada umumnya. Pernikahan Wooseok dan Joana digelar secara tertutup. Tanpa liputan, tanpa media, hanya orang tua saja yang hadir. Tuan Lee terpaksa menuruti putrinya. Bagaimana lagi, melihat Joana mau menikah saja sudah suatu mukjizat.
"Wooseok, selamat datang di rumah, kalau butuh apapun tinggal panggil saja para pelayan. Wah, senang sekali aku sudah punya menantu." Tuan Lee tersenyum sumringah. Sakit di kepalanya langsung menghilang karena kedatangan Wooseok. Tuan Lee menepuk-nepuk pundak menantunya itu dengan bangga.
"Terimakasih Tuan," Wooseok menunduk sopan.
"Tuan? Woseok, kau menantuku, panggil saja aku Ayah, seperti Joana memanggilku."
"Baik, A-ayah ..."
"Ayah, sudah ke rumah sakit hari ini? sudah minum obat?" Joana berjalan dengan gaya khasnya, lalu melempar tas ke arah Bibi Kim. Seperti biasa Bibi Kim menangkap segala yang dilempar Joana dengan selamat.
"Joana, sudah Ayah bilang, jangan melemparkan sesuatu ke Bibi Kim, itu tidak sopan! dasar nakal!"
"Aih, Aku tanya, Ayah sudah menemui Dokter Choi atau belum, sudah minum obat atau belum?"
"Sudah, Ayah sudah minum obat. Ayah tak bisa sakit, karena sekarang Ayah punya menantu." Wooseok janya tersenyum canggung mendengar perkataan Tuan Lee.
"Ok, Pokoknya Ayah jangan lupa minum obat." Joana berjalan ke arah Wooseok lalu merangkul lengan Wooseok dengan manja. "Sayang, ayo ke kamar," Joana tersenyum manis. Tanpa sadar Wooseok terpaku menatap wajah Joana. Dengan senyuman palsu saja, Joana mampu membuat Wooseok tak bisa memaligkan wajahnya.
"Tapi Ayah masih ingin bicara dengan Wooseok. Wooseok, kau belum cerita, dimana kau bertemu Joana? sudah berapa lama kalian bersama? Ayah senang sekali, bahwa Joana tidak berhubungan dengan sembarangan orang."
Wooseok terdiam, Joana menghela nafasnya dengan pelan. "Ayah, tak perlu menanyakan semua itu, yang penting sekarang dia menantumu," Joana mencubit pinggang Wooseok, membuat Wooseok tersentak.
"Akh! A-Ayah, kami masuk dulu, permisi." Wooseok membungkuk, lalu segera masuk ke kamar, bersama Joana yang masih menggandeng tangannya.
Setibanya di kamar, Joana mendorong Wooseok, lalu menepuk-nepuk lengan dan tangannya. "Aish, sialan. Hei, kau sudah baca kontrak kerja kita?" tanya Joana dengan ketus.
"Sudah, dan Aku sudah tanda tangan." Wooseok menjawab tak kalah ketus
"Bagus. Ingat, kontak fisik hanya berlaku jika di depan Ayah, selain itu jaga jarakmu dariku, minimun dua meter, lalu ... ini," Joana menunjuk tangga yang memisahkan sofa dan tempat tidur. "Jangan pernah melewati tangga ini, sofa itu bagianmy, dan tempat tidur bagianku, jangan mencampuri urusan masing-masing, dan jangan bicara ketika di kamar, gua benci orang bodoh yang berisik."
"Orang bodoh? maksudmu apa?"
"Ck, ck, ck, lihatlah si Bodoh ini, Kau tak tau kan, kau itu terlalu bodoh, hingga tak sadar bahwa kau sebenarnya bodoh."
"Jo!"
"Jo? Jo? sembarangan! tutup mulutmu, cuma Ayah yang boleh memanggilku begitu!"
"Kau bisa memanggilku sembarangan, kenapa aku tak boleh? dengar, yang bodoh itu siapa? sampai sekarang kau masih belum ingat namaku kan?"
"Itu karena kau tidak penting! ya ampun, kenapa aku harus mengingat namamu? tutup mulut bodohmu itu, aku mau tidur!"
Joana merebahkan dirinya, lalu membalut seluruh tubuhnya dengan selimut. Wooseok menghela nafas frustasi, menatap Joana dari kejauhan.
"Orang gila ini, tunggu saja. Akan kubuat kau jatuh cinta padaku. Setelah itu aku akan meninggalkanmu, biar kau tahu bagaimana rasanya di sakiti."
TBC