Pahit

1340 Kata
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya. "Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya. "Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya. Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi. "Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera. "Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan. "Jatuh?" Annisa mencoba mengingat apa yang sebelumnya telah terjadi, lalu mengucap istigfar ketika bayangan kejadian itu melintas. "Iya, Nduk. Tapi ndak apa-apa. Semua selamat," ucap Pandu sembari mengusap kepala putrinya dengan penuh rasa sayang. Annisa tersentak mendengar itu, lalu memegang perutnya. "Bayiku mana, Pak?" Dia bertanya dengan bibir gemetaran, merasa ketakutan jika terjadi sesuatu dengan putranya. Sekalipun anak itu hasil dari pemaksaan, dia tetap menyayangi dengan sepenuh hati. "Di ruang intensif. Anakmu lahir perematur. Jadi masih dirawat di sana sementara waktu," jelas Pandu menenangkan. "Aku mau melihatnya, Pak," pintanya sembari melirik ke arah ibu mertuanya. Annisa langsung menundukkan pandangan ketika bertatapan dengan Bima. Laki-laki itu sedang duduk di sofa sembari melipat tangan di d**a dan menyimak pembicaraan. "Nanti kalau kamu sudah bisa bergerak. Luka operasinya belum sembuh. Jadi menunggu pemulihan," ucap Pandu. Annisa mengangguk setelah mendengarkan penjelasan ayahnya, lalu kembali mengaduh karena rasa nyeri kembali muncul. Dia tahu dari cerita beberapa orang mengenai sakitnya bersalin, tetapi baru kali ini merasakannya. "Aku ada fotonya. Kamu mau lihat?" ucap Bima tiba-tiba sembari menatap Annisa dengan tajam. "Mana sini Ibu lihat. Kok dari tadi Ibu gak dikasih tau?" pinta Ratih yang terkejut, karena dia baru datang dan belum sempat berkunjung ke ruang intensif anak. "Biar mamanya dulu yang lihat, Bu. Tadi aku juga cuma sebentar waktu ambil fotonya. Sama perawat sudah diminta ke luar," jelasnya sembari mengeluarkan ponsel dan mulai mengutak-atik benda itu dengan cepat. Laki-laki itu sesekali melirik ke arah ranjang untuk melihat reaksi Annisa. Namun, wanita itu tetap diam. "Yasudah sana, kasih lihat mamanya dulu. Baru sama neneknya," kata Ratih mengalah. Bima tersenyum senang karena mendapatkan kesempatan itu. "Ibu. Pakde, aku mau bicara berdua dengan Nisa," pinta Bima. Dia tak nyaman jika harus mengungkapkan semua jika sampai terdengar yang lain, sekalipun itu oleh orang tua mereka sendiri. Nisa hendak mengatakan jangan, tetapi sudah terlambat. Ayahnya malah mengiyakan dan mendorong kursi roda Ratih ke luar ruangan. Lagi, Bima tersenyum menang lalu berjalan mendekati Annisa dan duduk di kursi sampingnya dengan tenang. "Coba lihat dia, Nisa," ucap Bima sembari menunjukkan ponsel, mencoba membujuk sang pujaan hati. Dinding yang wanita itu bangun di antara mereka begitu kokoh, sehingga sulit untuk ditembus. "Pergi!" usirnya seraya membuang pandangan, enggan menatap wajah itu. Annisa begitu muak dengan dengan sikap baik Bima kepada mereka. Dia tahu, bahwa laki-laki itu sedang berusaha untuk mengambil hati ayahnya agar lamaran diterima. "Jangan mengusir ayah dari anakmu, Nisa," ucap Bima tenang. Annisa tersentak mendengar itu, lalu berusaha mengendalikan emosi. Jika saja saat ini kondisi fisiknya sudah lebih baik, dia akan kembali menampar laki-laki itu. Bima tergelak, merasa di atas angin karena Annisa sudah dipastikan tidak akan bisa menyangkal lagi. "Sok tau kamu!" ketus Annisa, lalu kembali merasakan nyeri di perutnya semakin menjadi. "Lihat dia dulu, baru kamu bilang aku sok tau." Bima kembali menyodorkan ponsel. Annisa segera menyambar ponsel dan terpana melihat wajah mungil itu. Rasanya dia ingin berlari menemui sang buah hati karena rasa rindu yang mendalam. Tujuh bulan sang putra berada di dalam kandungan dan selalu menemaninya kemana pun, membuat wanita itu menitikkan air mata karena rasa haru bercampur bahagia. 'Mas Rahman, ini anak kita.' Hatinya berkata demikian, mencoba mensugesti pikiran bahwa mendiang suaminya adalah ayah kandungnya. Annisa kembali tersentak saat menatap ponsel lebih lama. Tidak ada rupa Rahman di wajah bayi mungil itu, karena memang bukan dia ayah biologisnya. Seketika, hatinya bagai tersayat saat menoleh ke arah Bima, lalu kembali menatap layar ponsel secara bergantian. "Dia anakku. Jangan pernah kamu berbohong," ucap Bima tajam. Annisa melempar ponsel itu hingga terjatuh di lantai, lalu memejamkan mata sembari memegang dadanya yang terasa sesak. Kenapa Tuhan memberikannya cobaan seperti ini? Apakah dia begitu berdosa, sehingga mendapatkan ujian yang berat? Sepertinya wanita itu lupa bahwa manusia tidak akan diberikan cobaan yang melebihi batas kemampuannya. Bima tertawa pahit mendengar itu. Setelah sekian banyak hal yang terjadi, sepertinya rasa benci Annisa kepadanya justru semakin bertambah. "Mulai sekarang kalian akan menjadi tanggung-jawabku. Sekalipun kamu gak mau mengakuinya. Aku tau itu anakku!" tegas Bima. Dia tidak akan melepaskan mereka berdua, walau harus mengorbankan nyawa. Annisa menatap jendela kamar dengan air mata yang semakin bercucuran. Wanita itu memilih diam karena kondisi fisiknya saat ini tak memungkinkan untuk melawan. "Kamu harus menikah denganku, Nisa. Kalau kamu menolak, aku gak masalah. Tapi, siap-siap saja dia akan aku rebut. Pengadilan bisa memenangkan, asal aku punya bukti yang kuat." Bima meraih ponsel yang terjatuh di lantai, lalu berjalan ke luar kamar dengan wajah penuh amarah. Laki-laki itu menuju parkiran dan melajukan mobilnya ke sebuah cafe untuk menenangkan diri. Nanti setelah emosinya mereka, dia akan menjemput ibunya kembali. Sementara itu, Annisa menghapus air matanya dengan ujung baju, tak ingin ayah dan ibu mertuanya tahu mengenai apa yang baru saja mereka bicarakan. Apa yang akan dia putuskan kelak belum tergambar dengan jelas. Benar saja, tak lama pintu kamar tebuka. Tampaklah, Pandu dan Ratih yang sedang tertawa senang sembari bercerita tentang cucu mereka. "Bima mana?" tanya Ratih kebingungan karena tak mendapati putranya berada di sana. "Gak tau, Bu," jawab Annisa dengan terbata. Matanya yang bengkak tak bisa ditutupi lagi sehingga menimbulkan kecurigaan bagi Pandu. "Kalian ... tadi bicara apa?" tanya Ratih dengan hati-hati, berusaha untuk tak menyinggung perasan menantunya. Annisa memilih dia dan mengabaikan itu, sehingga Pandu memberikan kode kepada Ratih untuk tak bertanya lagi. "Astagfirullah, Bapak lupa. Kamu baru sadar belum dikasih minum, malah ditinggalkan," ucap Pandu mengambilkam air mineral di meja. "Aku lapar, Pak," lirih Annisa karena perutnya berbunyi sejak tadi. "Apa sudah buang angin?" tanya Pandu saat teringat pesan dokter. Annisa mengangguk lalu meneguk air dengan pelan. Dengan sabar Pandu menyuapkan putrinya bubur karena sejak tadi sudah ada petugas katering yang mengantar makanan. "Mbakyu mau makan juga? Tadi Bima ada belikan roti," tawar Pandu kepada Ratih. Mereka saling berpandangan, ingin bertanya kembali apa saja yang Annisa dengan Bima bicarakan tadi, tetapi sungkan. Nanti setelah pulang ke rumah, Ratih akan bertanya langsung kepada putranya. Diam-diam, Ratih masih menyimpan harapan bahwa putranya melamar Annisa secara langsung dan wanita itu menerimanya. Namun, melihat raut wajah menantunya yang terlihat sedih, dia menjadi sangsi. "Gak usah, Mas Pandu. Saya sudah makan di rumah. Nanti waktu pulang saja, tunggu Bima jemput," jawabnya pelan. Setelah selesai makan, Annisa kembali memejamkan mata, mencoba untuk tidur tetapi tak bisa. Wajah putranya terbayang di pelupuk mata. Setiap kali mengingat itu perasannya bercampur aduk, antara bahagia tak terkira juga pedih yang menyayat hati. "Oh iya. Tadi Bapak sama Mbak Ratih sudah melihat putramu. Di ganteng sekali. Malah mirip Bapak wajahnya," kata Pandu senang. Annisa membuka mata dan menatap sang ayah dengan gamang. "Tadi Nisa juga sudah lihat, Pak. Memang mirip kakeknya," ucapnya sembari tersenyum. Biarlah semua orang berpikir seperti itu daripada mencurigai bahwa itu adalah anak Bima. "Nanti Bapak fotokan setiap hari kalau sudah waktunya berkunjung. Jadi kamu bisa melepas kangen sama anakmu," kata Pandu mencoba menyenangkan putrinya. Selain merawat Annisa, tak ada hal lain yang dapat Pandu lakukan karena untuk membiayai persalinan putrinya pun dia belum mampu. Rumah sakit ini milik swasta dengan pelayanan maksimal. Tadi dia sempat bertanya di bagian administrasi berapa biaya yang sudah dikeluarkan untuk operasi dan kamar. Lalu, laki-laki paruh baya itu tercengang saat melihat nominalnya. "Nanti kalau Nisa sudah bisa duduk, bawa ke sana ya, Pak," pintanya. Pandu mengangguk lalu mereka membicarakan hal lain hingga malam menjelang dan Ratih pulang dengan menggunakan taksi online karena Bima tak bisa menjemput. *** Next?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN