Adis yang baru selesai bicara dengan Adam di telpon, berlari kecil menyusul langkah kedua orang tuanya, Opa juga Omanya.
Adik-adik Juna ternyata sudah ada di sana juga.
"Bunda kenapa?" Tanya Juna pada adiknya, Sandra, Sandrina, dan Sabrina. Sandra menatap Adis. Semua mata mengikuti arah pandangan Sandra.
"Nenek ingin bicara denganmu, Sayang. Masuklah," ujar Sandra lembut.
Adis menatap kedua orang tuanya.
"Ayo kita masuk." Juna membimbing lengan putrinya. Juna, Dinda, Dimas, Winda, dan Adis masuk ke dalam kamar perawatan Dara.
"Bunda kenapa, Ayah?" Juna bertanya pada Juan yang membukakan mereka pintu. Tampak Dara terbaring dengan mata terpejam.
Juan menatap Adis. Kembali semua mata ikut menatap gadis yang rambut panjangnya disemir pirang itu.
"Kakek tidak tahu ada apa sebenarnya, Dis. Tapi, berita infotainment di televisi hari ini membuat Nenekmu sesak nafas, lalu jatuh pingsan. Kami butuh penjelasan kalian juga, Juna, Dinda."
"Oooh ...." Juna mengusap wajah dengan satu tangannya. Dimas memeluk bahu Winda. Dinda menatap wajah putrinya.
"Bu Dara sedang istirahat, sebaiknya kita bicara di luar saja," ucap Dimas.
Mereka ke luar, Sandra, Sabrina, dan Sandrina masuk untuk menjaga Dara yang tertidur. Winda, dan Dinda ikut masuk lagi bersama mereka. Hanya Juan, Juna, Dimas, dan Adis yang di luar ruangan.
"Tolong jelaskan pada Ayah, Juna. Ada apa sebenarnya. Kenapa tiba-tiba, ada kabar Adis akan segera menikah dengan Adam Lazuardi? Kenapa kami tidak diberitahu, kenapa orang di luar sana harus lebih tahu dari kami?"
"Sebenarnya ini hanya salah paham, Ayah."
"Salah paham bagaimana?"
"Adis dikejar seorang pria beristri. Istri si pria ini berpikir kalau Adis ingin memoroti hartanya."
"Hah! Kurang ajar sekali, masa cucu Juan Danil Sutarman dituduh memoroti harta orang!"
"Sabar, Ayah. Mereka tidak tahu kalau Adis cucu Ayah."
"Eh, Dis, kalau ada orang yang menuduh begitu. Perkenalkan nama keluargamu. Siapa yang tidak kenal Opa, Oma, Kakek, dan Nenekmu. Kalau mereka pengusaha besar, pasti mereka tahu kita."
"Masa setiap kenalan sama orang Adis harus memperkenalkan semua keluarga, Kek."
"Ya, daripada kamu dituduh ingin memoroti harta orang."
"Sabar, Ayah. Mau mendengar lanjutan ceritanya tidak?"
"Ya, ya, lanjutkan!"
Dimas tersenyum melihat amarah besannya yang muncul sesaat tadi.
Juna melanjutkan ceritanya tentang pertemuan Adis, dan Adam, yang akhirnya jadi masalah bagi mereka semua.
"Menurut Daddy, kita harus mengadakan pertemuan dengan keluarga Lazuardi, Ayah."
"Ayah setuju, kita harus bicara dengan mereka untuk mencari jalan ke luar yang terbaik."
"Kalau Ayah setuju, nanti aku akan mengirim orang untuk menyampaikan niat kita pada Adrian Lazuardi."
"Tapi Juna, masalahnya sekarang. Bundamu itu sebenarnya merasa bahagia karena Adis akan menikah. Meski dia sempat sesak nafas, dan pingsan, karena terkejut. Saat baru sadar tadi, Bundamu minta Adis membawa calon suaminya untuk bertemu dia. Sekarang, bagaimana cara kita menjelaskan yang sebenarnya pada Bundamu, Juna?"
"Kita tunggu Bunda sehat dulu, Ayah."
"Tapi, dia ingin bertemu Adis, dan calon suaminya sekarang. Dalam kondisi kesehatannya yang seperti ini, Ayah tidak berani mengatakan cerita yang sebenarnya."
"Jadi bagaimana? Lebih baik kita jujur Ayah. Biar cerita ini tidak berlanjut terus."
"Kamu tahu'kan Bundamu bagaimana, Juna? Adis!"
"Ya, Kek."
"Tidak bisa ya kalau kalian menikah sungguhan?"
"Iih, Kakek. Dia itu tua, sudah Om-Om. Umurnya sudah tiga puluh tahun. Jauh sekali jarak umurnya dengan Adis."
"Adis Sayang. Saat Opa menikahi Oma. Usia Opa sudah hampir empat puluh tahun. Oma baru tujuh belas tahun."
"Eeh, iya juga sih. Tapi, Adis tidak cinta dia."
"Di sini siapa yang menikah dengan cinta, tidak ada, Sayang. Opamu tidak, Kakek juga tidak. Daddymu juga tidak."
"Ummm ... jadi, Opa, dan Kakek ceritanya sedang membujuk Adis untuk menikah dengan Om bujang tua itu? Adis pikir-pikir dulu deh. Adis masih kecil. Lagipula, Si Om juga belum tentu mau sama Adis."
"Jadi ini, keputusannya bagaimana, Juna?"
"Kita tunggu 2-3 hari dulu saja, Pak Juan. Kalau tidak ada inisiatif lebih dulu dari pihak sana untuk membicarakan ini. Kita yang mengajak mereka bicara."
"Aku kira begitu bagus juga, Pak Dimas. Tapi, bagaimana dengan keinginan Nenekmu untuk bertemu Adam Lazuardi ya, Dis?"
"Jadi Adis harus bawa Si Om bujang tua itu ke sini. Memperkenalkan dia kepada Nenek sebagai calon suami. Apa hal itu nanti tidak akan membuat Nenek tambah sakit, kalau tahu yang sebenarnya, Kek?"
"Benar juga. Aduuuuh, Kakek pusing. Kamu nikah sungguhan saja sama dia!"
"Adis masih kecil, Kakek!"
"Omamu, lebih kecil dari kamu saat nikah, bukan begitu, Pak Dimas?"
"Betul, Pak Juan."
"Ntar deh, Adis pikir-pikir dulu."
Dan semua terdiam, karena semua juga sedang bingung.
BERSAMBUNG