Bab 4. Kebahagiaan kecil yang muncul

1732 Kata
Sejak semalam Shevaya menginap di apartemen Denver, tubuhnya sudah terasa lebih nyaman dibandingkan sebelumnya. Shevaya terdiam di ujung kasur, pandangannya teralihkan dengan sepotong sandwich dan secangkir s**u diatas nakas. Sudut bibir Sheva tersenyum, dia mengambil sepucuk surat yang berada di bawah piring itu. “Makanlah, aku tidak ingin ada orang mati di apartemenku.” Sheva tidak sakit hati dengan pesan yang Denver tulis, dia kini tahu bahwa lelaki itu memiliki hati yang baik. Dia tidak hanya menyiapkan sarapan, tetapi juga menyiapkan obat untuk lukanya. Lelaki itu hanya gengsi karena membantu Shevaya yang sedang dalam kesulitan. “Gengsian, tapi kamu menggemaskan.” Shevaya kembali menyadarkan dirinya, dia tidak boleh terjebak dalam pesona Denver. Shevaya sadar bahwa hubungan mereka terikat kontra, jika masanya habis mereka tidak akan saling mengenal, Shevaya tidak ingin jika hatinya terluka karena perasaan yang tidak bisa dia ungkapkan. Shevaya kembali terpaku menatap ponselnya yang sepi, setelah Renald-ayahnya mengusirnya dia tidak mengirim pesan apa pun. Renald bahkan tidak merasa bersalah telah mengusir Shevaya tanpa meminta penjelasan darinya, dia hanya percaya dengan ucapan ibu dan kakak tiri Shevaya. “Ayah benar-benar membuatku kecewa, bagaimana bisa ayah mengatakan hal itu? Hatiku sakit kalau inget. Kenapa dengan mudahnya ayah menuduh Sheva jual diri?” tanya Shevaya yang kini mulai menangis. Shevaya selalu berusaha kuat di depan orang lain, tetapi jika dia sendiri hatinya rapuh. Shevaya tahu bahwa membalas dendam bukanlah hal yang baik, tetapi dia tidak bisa tinggal diam karena dia tidak akan membiarkan orang yang membunuh ibunya bisa hidup dengan nyaman. Shevaya berjanji dia akan mengungkap semua, dia akan menjebloskan ibu tirinya ke dalam penjara. “Demi ibu aku merelakan semuanya, aku tidak akan membiarkan mereka hidup bahagia di atas penderitaan kita, Bu.” Shevaya mengusap air matanya, dengan adanya Denver dia akan menjalankan rencananya dengan baik, dia akan membuat mereka membayar semuanya dengan setimpal, sesuai dengan sakit hati yang dia rasakan. *** Di sisi lain, Denver sedang marah besar. Sudah lama dia menahan diri, tetapi orang itu terus saja membuatnya kesal. Sejak awal dia tidak menginginkan orang itu masuk ke dalam perusahaannya, semua itu karena Felix yang meminta Genta mengijinkan Sandi-anak paman Felix untuk turut serta berada di dalam perusahaan menggantikannya. Keluarga itu hanya bagaikan lintah yang selalu menghisap semua uang yang ada di perusahaan, dia sangat licik. "Hentikan, apa yang kalian lakukan dengan uangku? Apakah kalian akan tetap bermain-main seperti itu?" Denver menatap tajam mereka. "Maaf Pak, bagaimana maksud anda?" tanya Manajer tersebut. "Apakah kau akan terus bermain-main dengan jabatan mu? Bagaimana bisa kamu mengambil keuntungan dari permainan kotormu itu?" tanya Denver benar-benar kejam membuat semua orang terdiam. "Tuan—" sekretaris Denver mencoba menghentikannya. "Silahkan pergi dari perusahaan jika kau tidak mengikuti apa yang aku katakan, jangan kamu menyalahgunakan kekuasaan yang kamu miliki. Sejak awal saya tidak setuju dengan kontraktor itu, kenapa kamu malah mempertahankannya? Apakah untuk mengambil uang perusahaan lebih banyak?" tanya Denver menusuk. "Apa yang anda katakan?" tanya Manajer tersebut mulai takut. "Segara segera minta dia keluar dari perusahaan," ujar Denver melempar map besar ke depan manajer tersebut. Semua orang benar-benar tidak berani berbicara, manajer tersebut masih satu keluarga dengan Denver tapi dengan mudahnya di pecat seperti itu. Sejak awal mereka tahu jika ada yang tidak beres dengan manajer tersebut, tetapi mereka tidak berani melapor karena mereka tahu bahwa ada hubungan keluarga di antara mereka. "Sialan kau tidak bisa memecatku seperti ini!" teriak Sandi. "Ini surat pemecatan anda, silahkan kemasi barang-barang milik anda karena manajer baru akan mulai bekerja besok." Segara keluar dari ruangan dan menyusul Denver yang sudah emosi tingkat tinggi. "Jangan ada yang menggangguku." Denver masuk ke dalam ruangan setelah berpesan pada Segara. Denver emosi dia tidak ingin kedatangan orang lain akan semakin membuat mood nya memburuk. Denver bahkan kini lupa jika dia belum sempat membelikan makan siang untuk Shevaya yang masih berada di rumahnya. *** Shevaya menahan rasa lapar di dalam perutnya, dia hanya bisa mengganjalnya dengan roti tawar yang sisa sehelai di dalam kulkas. Tidak ada lagi makanan tersisa, hanya ada air putih yang sejak tadi mengisi perutnya. Shevaya bingung, dia tidak bisa untuk keluar belanja atau membeli makan karena dia takut Denver marah ketika orang lain tahu bahwa ada wanita di dalam apartemennya. “Gimana ini? Aku lapar banget,” ucap Shevaya yang kini merintih karena perutnya mulai terasa sakit. Bibir Shevaya pucat,kondisinya memang belum sepenuhnya membaik dia masih membutuhkan banyak istirahat dan minum obat. Shevaya bahkan tidak bisa mengganti perban di lukanya, dia membiarkannya kembali berdarah karena ulah Denver yang menggendongnya secara tiba-tiba. “Demam lagi, mungkin ini efek dari kemarin. Mala emang nggak tau di untung, aku akan membalasnya jika aku udah sembuh. Tunggu saja Mala, aku tidak akan takut untuk menghadapimu.” Shevaya kembali menguatkan dirinya, dia pasti sembuh dan langsung melancarkan rencana yang sudah dia susun. Bel berbunyi, Shevaya berusaha untuk berdiri karena dia sangat berharap bahwa Denver mengirimkan makan untuknya. Shevaya tahu tidak wajib bagi Denver untuk memberikannya makan, di perjanjian mereka bisa menggunakan uang masing-masing, tetapi untuk saat ini Shevaya benar-benar berharap jika Denver memiliki hati nurani untuk membantunya. Shevaya langsung membuka pintu ketika melihat Rosmala datang berkunjung, dia kesusahan melakukannya. Menahan luka yang belum kering, terasa sangat menyakitkan bagi Shevaya, tetapi dia berusaha melakukan yang terbaik untuk rencana sempurnya. “Sheva, di mana Denver? Kenapa kamu yang membuka pintu? Lukamu bagaimana?” tanya Rosmala beruntun dengan ekspresi khawatirnya. Shevaya hampir jatuh karena pegangan tangannya terlalu lemah, dia belum bisa berdiri terlalu lama karena kakinya masih terasa sakit. Rosmala bergegas membantunya, memapahnya menuju sofa ruang tamu yang sebelumnya Shevaya tempati. “Kamu pucet banget sayang, belum makan?” tanya Rosmala yang hanya melihat botol air mineral di meja. Shevaya menggelengkan kepalanya, Rosmala lalu menelpon seseorang dia meminta mereka untuk menyiapkan makanan dan mengintirkan ke apartemen Denver. Hati Shevaya sedikit lega, dia takut jika Rosmala menelpon Denver dan kembali marah padanya, dia tidak ingin Denver kembali kesal dan melampiaskan semua emosi yang dia miliki padanya. “Denver ini gimana? Udah di bilangin buat jaga kamu dulu kok malah milih kerja,” omel Rosmala. “Tadi pagi Mas udah siapkan sarapan kok, Tan. Mungkin banyak pekerjaan di kantor makanya lupa kirim makan buat Sheva,” ujar Shevaya. Rosmala membuka kulkas berharap ada sesuatu yang bisa dia masak, semuanya kosong. Rosmala hanya menggelengkan kepalanya, tidak menyangka jika tidak ada bahan masakan apa pun di apartemen anaknya. Rosmala mengirim pesan kepada asisten rumah tangga untuk membeli semua kebutuhan dapur, dia hanya tidak ingin Shevaya kelaparan di apartemen anaknya. “Tante akan rawat kamu sampai Denver pulang,” ujar Rosmala yang kini semakin dekat dengan Shevaya. Pukul enam malam Denver baru sampai apartemen, dia kembali terkejut dengan kehadiran ibu dan wanita lain yang ada di sana. Dia belum terbiasa dengan kehadiran mereka, Denver kini kembali menenangkan dirinya di saat ekspresi ibunya sangat menakutkan. “Denver kenapa kamu nggak kasih makan Sheva?” tanya Rosmala. “Denver lupa Mah, ada masalah di kantor. Denver nggak fokus, aku order sekarang deh kalau mau makan.” Rosmala menghentikannya. “Mama udah masak, kasihan Sheva. Dia bahkan kelaparan dan kembali demam, harusnya kamu libur dulu buat jaga calon istrimu. Kalau kenapa-kenapa gimana? Kamu sih sok-sok an ganti sandi,” ujar Rosmala protes. “Aku nggak mau ibu masuk nyelonong saja, nanti ganggu kegiatanku.” Denver mengusap dahi Shevaya, dia mengecek kondisi Shevaya yang kurang baik. Hati Shevaya berdebar kencang, di balik sikap diamnya dia menemukan sisi manis lelaki yang bersamanya. Denver lalu masuk ke dalam kamarnya setelah mengecek kondisi Shevaya, dia bergegas membersihkan diri lalu segera bergabung dengan Shevaya dan Rosmala. “Cie,” goda Rosmala. “Tante, Sheva malu ih.” Shevaya menutup wajahnya yang sudah mulai segar, Rosmala merawatnya dengan sangat baik. “Denver bisa perhatian juga ternyata, kalian ini pisah kamar?” tanya Rosmala penasaran. Shevaya mengangguk, dia juga menjelaskan bahwa sebelum mereka menikah Denver meminta mereka tidur di ranjang yang terpisah. Walau mereka sudah pernah melakukan hal itu, tidak membuat Denver mengijinkan Shevaya untuk tidur satu ranjang dengannya. “Kenapa? Padahal dia juga udah apa-apa in kamu’kan?” tanya Rosmala menyelidik. “Tante ih, Sheva malu.” Shevaya menutup wajahnya yang semakin merah karena godaan Rosmala. Sepuluh menit kemudian Denver duduk di samping Shevaya, dia menyelidik ke arah ibunya. Denver takut jika ibunya terus membujuk Shevaya agar mau tinggal di rumah keluarga, sampai kapan pun dia tidak akan tinggal di sana sebelum Felix keluar dari rumah itu. “Jangan bilang macem-macem sama Sheva Mah, awas aja kalau ngajarin yang jelek.” Denver memperingatkan Rosmala yang terlihat sangat santai. “Lebih baik kamu pulang ke rumah aja, masa makanan aja nggak punya. Uang banyak kamu buat apa?” tanya Rosmala kesal. Denver menghela nafasnya, dia memang tidak terbiasa menyiapkan banyak bahan masakan. Beberapa hari belakangan dia terlalu sibuk karena itulah dia tidak sempat menyiapkan bahan masakan di dalam kulkasnya. “Mama udah belikan?” tanya Denver tenang. “Sudah, aman tuh kulkas. Lain kali jangan gitu, kalau ga sempat ya ngomong Mama aja. Nanti Mama yang atur, calon mantu Mama jangan sampai kelaparan,” ujar Rosmala. “Oh yak amu masuk kuliah kapan?” tanya Denver pada Shevaya yang sejak tadi diam. “Aku harusnya besok masuk soalnya Cuma ijin sehari aja,” ujar Shevaya. “Harusnya ijin dua hari sayang, lukamu belum kering. Pasti akan susah untuk kamu bergerak, orang kakimu aja masih agak bengkak,” ucap Rosmala. “Aku akan mengaturnya. Istirahat aja dulu sampai lukamu benar-benar sembuh.” Denver berkata tegas tanpa ingin dibantah. Shevaya tidak bisa menolak, tatapan Denver mengatakan segalanya. Lelaki it uterus menempel padanya sampai Rosmala pamit pulang, Shevaya sudah lelah, tetapi dia tidak bisa mengoles salep di punggungnya. Ada rasa ragu ketika meminta tolong, tetapi Shevaya ingin lukanya segera sembuh. “Mas, boleh aku minta tolong?” tanya Shevaya menarik tangan Denver yang ingin beranjak ke kamarnya. “Ada apa?” “Bantu olesin salep di punggung Sheva,” ucap Shevaya memohon. Denver mengangguk, dia mengikuti Shevaya yang berjalan dengan perlahan karena takut kakinya semakin parah. Mala memang keterlaluan, bahkan wanita itu bebas dengan jaminan. Dia tidak memikirkan segala luka yang Shevaya dapatkan karena Renald menjamin Mala tidak akan melakukan hal buruk pada adik tirinya. Jakun Denver bergerak, dia tidak menyangka jika punggung Shevaya mampu membuat gairahnya naik, jika tidak karena sakit dia tidak akan bisa menahan diri untuk kembali bercinta. Tubuh Shevaya membuat dirinya mabuk kepayang. “Sudah, tubuhmu membuat milikku tegang. Harusnya kamu tanggung jawab,” ujar Denver kesal dan meninggalkan Shevaya seorang diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN