2. Dilabrak Emily

2042 Kata
Pagani Huayra berwarna silver itu telah memasuki halaman kantor sebuah perusahaan makanan dari salah satu merek ternama di ibu kota. Kemunculan dari mobil mewah itu tentu akan selalu membuat semua mata terpana juga terfokus ke arahnya. Baik mereka yang sudah resmi menjadi karyawan di perusahaan itu, maupun para tamu yang kebetulan sedang mempunyai urusan di lingkungan tersebut. Melihat ada mobil mewah yang kini telah berhenti tepat di teras kantor, sebagian dari mereka pun lantas berdecak kagum karena merasa iri pada si pemilik mobil tersebut yang tak lain adalah CEO termuda yang menjabat di Rafoody  Corporation. Pria yang mengendarai mobil mewah sekaligus pejabat tertinggi di perusahaan itu telah siap bergegas keluar dari mobilnya. Sebuah kacamata hitam bermerek telah terpasang guna menghalau pandangannya dari apapun yang berpotensi menyilaukan. Kemeja biru langit yang dibalut oleh jas hitam kebanggaannya pun telah melekat di tubuh atletisnya. Tidak lupa, dasi bermotif salur berwarna biru dongker berikut celana khaki hitam yang dipadukan dengan sepatu kulit jenis pentopel berwarna senada pun mendukung penampilannya yang selalu sempurna di setiap harinya. Sekeluarnya ia dari dalam mobil, pria itu lantas melepas kacamatanya dan mengedarkan pandangannya tersebut ke segala arah. Dari tatapannya itu, biasanya kaum wanita selalu dibuat tergila-gila bahkan mereka seperti berlomba-lomba untuk menarik simpati dari sang ceo berparas menawan tersebut. "Pak Wisnu!" seru pria itu memanggil. Sebelah tangannya lantas menggapai ke arah pria paruh baya yang berseragam hitam-hitam khas penjaga kantor bagian luar. Sigap, pria berkumis tipis yang dipanggil oleh sang Ceo pun lekas bergegas berlari kecil guna memenuhi panggilan atasannya tersebut. Lantas, setibanya ia di hadapan pria bersetelan kerja necis itu, Pak Wisnu pun spontan berujar. "Bapak memanggil saya?" "Iya, Pak Wisnu. Seperti biasa, tolong bawa mobil saya ke basemen parkiran. Sementara itu, saya harus segera menghadiri meeting pagi yang akan berlangsung 5 menit lagi...." tukas pria itu sembari menyerahkan kunci mobilnya pada Pak Wisnu. Kemudian, pria berseragam serba hitam itu pun segera menerima kunci mobil yang telah disodorkan atasannya. Selepas kunci mobil itu beralih tangan, kini, sang ceo yang tak lain adalah Ragapan Danendra itu pun sudah bersiap untuk melangkah memasuki lobi kantor dengan sambutan dari kedua satpam jaga yang bertugas di bagian pintu masuk utama. "Selamat pagi, Pak Raga!" seru keduanya sembari menghormat. Sementara Raga, dia hanya cukup menganggukan kepalanya saja demi membalas sambutan yang diberikan kedua satpam itu. Hingga tak lama dari sana, ia pun kembali melangkah memasuki lobi dan menerima sejumlah sapaan hormat lagi dari bagian resepsionis dan beberapa staf karyawan lainnya yang kebetulan tengah berkeliaran di areal lobi. Sebelum melangkah lebih jauh, Raga pun menghampiri meja resepsionis terlebih dahulu yang seketika disambut oleh anggukan hormat dari kedua resepsionis yang bertugas. "Selamat pagi, Pak Raga." "Ya, pagi. Astrid, apa ada pesan atau sesuatu yang sekiranya bisa saya dapatkan?" tanya Raga sembari memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, sedangkan tangan satunya lagi ia tumpukan di atas meja resepsionis dengan pandangan lurus pada perempuan yang ditanyainya barusan. "Kebetulan belum ada, Pak. Tapi, dua hari yang lalu saat Pak Raga sudah pulang, ada seseorang yang mencari Bapak ke sini. Berhubung Bapak sudah pulang, maka saya pun mengatakan apa adanya saja pada orang yang mencari Bapak itu...." terang Astrid menginformasikan. Sigap, Raga pun menatap Astrid dengan dahi yang mengernyit. "Oh ya? Siapa? Apa saya mengenalnya?" tanya pria itu beruntun. Kentara sekali jika Raga sedang penasaran terhadap informasi yang baru saja disampaikan oleh salah satu resepsionisnya tersebut. "Entahlah. Tapi, dia sempat menyebutkan namanya, Pak. Kalau tidak salah, namanya itu ... Juliet. Ya, dia seorang perempuan cantik bertubuh tinggi dengan rambut cokelat pirang yang tergerai sepunggung," urai Astrid menjabarkan. Seketika, Raga pun langsung teringat pada seseorang yang sepertinya pernah ia ajak untuk berkenalan di sebuah pesta yang ia datangi sekitar sepekan yang lalu. Lantas, mengingat dirinya yang harus segera menghadiri ruang rapat, Raga pun hanya mengangguk saja tanpa mau bertanya lebih lanjut. Setelah mengucap terima kasih pada Astrid, kini Raga pun mulai berjalan lagi menuju ke arah lift di tengah pikirannya yang mulai terganggu. *** "Lo mesti berjanji. Setelah gue donorin darah gue sama Ami, lo gak akan deketin dia lagi. Kalo sampe lo nekat buat langgar janji lo sendiri, maka gue cuma bisa bilang kalo sesuatu yang buruk akan menimpa Ami secara tiba-tiba. Gimana? Sampe sini, lo paham sama perkataan gue?" "Dengan kata lain, gue sama sekali gak boleh deketin Amira lagi?" "Iya lah. Lo udah gak ada hak buat deketin Amira. Karena setelah gue donorin darah gue nanti, cuma gue yang berhak atas dirinya. Jadi gue saranin sama lo, sebaiknya lo pergi menjauh daripada hati lo sakit saat ngeliat kenyataan pahit di depan mata lo langsung!" Brak. Tiba-tiba saja, Raga memukul meja kerjanya dengan sangat kencang. Menimbulkan bunyi gebrakan yang juga membuat beberapa benda kecil dan ringan refleks ikut  bergerak saking kencangnya pukulan tangan yang Raga ciptakan. Tanpa disangka, bayangan masa lalunya kembali berkelebatan. Membuat Raga mendadak emosi meski kejadian itu sudah berlalu bertahun-tahun lamanya. "Berengsek. Kenapa gue harus inget itu lagi," desis Raga mengepalkan tangan. Spontan, ia pun mengusap mukanya kasar sembari mengerang dan berharap ingatan itu lenyap dari pikirannya. "Apa perlu gue ganti otak biar semua ingatan itu hilang gak membekas, ha?" lontar Raga dengan isi dadanya yang bergemuruh. Bersamaan dengan itu, pintu ruangannya pun lantas didorong terbuka oleh seseorang yang sudah begitu Raga hafal mengenai asal usulnya. "Emily?" pekik Raga mengernyit. Lantas, ia pun melihat gadis bernama Emily itu melangkah lebar menghampiri dirinya. "Ragapan, gue tau gue udah lancang masuk ke ruangan lo tanpa meminta izin lo terlebih dahulu apalagi masih di jam kerja kayak gini. Tapi demi membuat pikiran gue kembali tenang, gue cuma pengin tau mengenai alasan lo yang malam itu ninggalin gue tanpa jadi lo sentuh. Emangnya lo pikir gue ini apa? Maksudnya, apa bahkan bentuk tubuh gue ini gak terlihat menggiurkan? Sampe-sampe, di mata lo yang gue tau tabiat lo kayak apa, lo sendiri malah membatalkan niat lo yang udah jelas mau nyentuh gue di malam itu!" celoteh Emily yang kini tengah berdiri di depan meja Raga dengan kedua tangan yang melipat di d**a. Bahkan, dari gaya bicara Emily saja sudah melenceng dari sikap seorang bawahan terhadap atasan. Terlepas dari itu, Emily tidak peduli. Yang jelas, dia hanya ingin mendengar jawaban yang pasti mengenai alasan Raga yang meninggalkannya dalam keadaan sedang b*******h. Untuk sesaat, Raga tidak menyangka bahwa Emily akan senekat ini. Meskipun Emily adalah sekretaris andalannya, dan Emily pun bukan kategori orang asing yang harus Raga jaga batasannya, tapi ia tetap saja tidak suka jika tanpa seizinnya, gadis itu malah menerobos masuk bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seperti yang dilakukannya. Maka karena hal itu, Raga pun sigap berdiri. "Atas dasar apa lo berani masuk ke ruangan gue tanpa seizin gue pribadi kayak gini, ha? Lo kan tau, di luar dari kepentingan pekerjaan ... Meskipun lo adalah sekretaris gue, dan gue adalah teman dekat lo, tapi lo gak berhak buat asal nyelonong gitu aja di jam kerja kayak gini. Lo diajarin tata cara masuk ke dalam ruangan atasan lo sendiri kan saat kuliah dulu?" papar Raga mengomeli. Pasalnya, dia memang harus mengingatkan gadis itu akan batasannya di dalam jam kerja. Jika tidak, Raga khawatir seandainya sebuah gosip miring tiba-tiba menyebar di seantero kantornya tersebut. Tidak lucu kan seandainya ada yang melihat atau mendengar tentang bagaimana cara Emily mengomelinya di saat seharusnya Emily bersikap hormat pada atasannya sendiri. Tapi alih-alih menghormati, Raga malah habis dimaki-maki oleh gadis bar-bar tersebut. Emily menghela napas. Lalu ia pun menunduk sedih dengan bibir yang mulai bergetar di tengah kedua tangannya yang saling meremas. "Aku memang gak punya hak untuk menuntut, tapi plis, Pak ... Aku tuh gak bisa diginiin! Tanpa Bapak sadari, aku tuh udah mengharapkan banget sentuhan s*****l Pak Raga di malam itu. Tapi yang ada, Pak Raga malah ninggalin aku. Semata-mata, aku ini cuma sebuah boneka yang bisa ditinggal dan dimainkan sesuka hati sama Pak Raga. Memangnya aku suka diperlakukan seperti itu? Sama sekali enggak, Pak! Pak Raga gak berhak buat mainin aku kayak gitu." Berlanjut, Emily pun mengutarakan unek-uneknya diiringi dengan mata yang berkaca-kaca. Setelah mendapat teguran dari Raga, ia pun kembali mengubah gaya bicaranya menjadi sedikit lembut. Walaupun tetap saja bar-barnya kelihatan, tapi Emily sungguh tidak bisa menahan diri untuk tetap diam setelah ia dicampakkan Raga begitu saja. Jujur, malam itu Raga pun memang sedang ingin menyentuh Emily sebenarnya. Mengingat selama ini, gadis itu sudah terlalu sering memberikan kode padanya, maka Raga memutuskan untuk menerima ajakan tak langsung yang malam itu Emily tunjukkan. Tapi entah kenapa, tiba-tiba saja Raga malah menemukan wajah Amira dalam diri Emily. Secara tidak langsung, hal itu pun membuat Raga menjadi linglung dan bertanya-tanya. Kenapa harus di malam itu wajah Amira muncul? Kenapa tidak di malam-malam  sebelumnya bahkan di saat Raga sedang menikmati aktivitas ranjangnya bersama wanita lain yang terpilih saja wajah mantan kekasihnya itu muncul. Raga merasa heran dan aneh sendiri pada dirinya. Maka, malam itu pun Raga memutuskan untuk meninggalkan Emily di tengah pikirannya yang berkecamuk. "Pak Raga jahat tau gak? Kalo harus jujur, aku tuh udah lama nunggu-nunggu momen itu. Aku iri sama para wanita yang udah pernah Pak Raga ajakin having seks tanpa embel-embel apapun. Tapi di saat giliranku tiba, kenapa Pak Raga harus pergi gitu aja. Seenggaknya, kasih aku satu alasan yang membuat Pak Raga harus pergi ninggalin aku tanpa jadi menyentuh. Apa tubuhku terlihat jelek? Lalu Pak Raga jadi gak berselera untuk menyentuhku?" lontar Emily lagi menatap berani. Entah setan apa yang tengah merasuki gadis itu hari ini. Tampaknya, dia sedang semangat 45 dalam mengeluarkan keluh kesahnya pada yang tertuju. Seketika, membuat Raga mendesah gusar dan tahu-tahu, ia pun mengempaskan bokongnya kembali ke atas kursi hitam kebesarannya. Melihat itu, Emily pun memutuskan untuk tidak berbicara lagi selain hanya memokuskan pandangannya saja pada atasan tampannya tersebut. "Gue sadar gue salah, Em. Tapi percayalah, gue sama sekali gak berniat buat ngerjain atau pun mainin lo. Gue emang lagi pengin nyentuh lo di malam itu. Tapi, Emily ... Entah kenapa, tiba-tiba aja penglihatan gue bermasalah. Gara-gara itu, mau gak mau gue pun harus menghindar dari lo dulu biar gue bisa tau letak kesalahannya ada di mana...." jeda Raga sembari memandang sang gadis. "Emily, lo mau kan maafin perlakuan gue di malam itu?" tutur Raga lagi yang kini menatap sendu ke arah sekretarisnya. Bagi Raga, Emily bukan hanya sekretaris andalannya yang sudah sangat dipercaya oleh dirinya. Tapi Emily juga merupakan teman berkeluh kesahnya semenjak mereka dipertemukan di sebuah acara gathering sekitar lima tahun yang lalu di Croatia. Ya, sejak saat itu pula, Raga dan Emily merasa cocok hingga memutuskan untuk menjalin hubungan pertemanan. Bahkan, pertemanan itu semakin dekat dan akrab seiring dengan Emily yang diminta oleh Raga untuk menjadi sekretarisnya saja mengingat Raga yang belum punya kandidat sekretaris saat dirinya dinobatkan sebagai Ceo oleh papanya. Tentu, kepiawaian yang dimiliki oleh Emily dalam mengatur jadwal dan berbagai hal lainnya telah membuat Raga menjadi ketergantungan pada gadis itu. Maka, ketika melihat Emily yang marah-marah seperti sekarang, dengan sendirinya Raga pun memutuskan untuk mengalah saja pada gadis itu. Alasannya sederhana, Raga tidak mau jika sampai Emily ngambek berkepanjangan. Hal itu, sudah pasti akan berpengaruh pada hubungan pertemanannya juga bukan? Maka, sebisa mungkin Raga harus menjaga ikatan itu demi agar Emily tidak terus ngambek apalagi sampai memutuskan ikatan pertemanannya--walaupun hal itu dirasa tidak mungkin. Akan tetapi, tampaknya Emily masih merasa dongkol pada atasannya. Lalu, sesuai usulan yang sudah diberikan oleh sahabat semasa kuliahnya sewaktu Emily sedikit curcol pada teman karibnya itu, ia pun bertekad untuk merealisasikan sejumlah tips menaklukkan seorang lawan jenis versi sahabatnya tersebut. "Jadi, ceritanya Pak Raga mau dimaafin nih?" lontar Emily kembali bersuara. Menatap antusias, Raga pun mengangguk penuh semangat. "Tentu saja. Saya akan senang jika kamu mau memaafkan perlakuan saya di malam itu!" ujar Raga yang sudah kembali berbicara formal. "Oke. Aku bisa memaklumi bahkan sekaligus memaafkan perlakuan Pak Raga di malam itu, tapi dengan satu syarat. Pekan depan, aku ulang tahun, aku mau Pak Raga datang ke apartemenku dan melanjutkan apapun yang belum sempat kita tuntaskan di malam itu. Gimana? Pak Raga bersedia?" Bak kucing yang disodori ikan gurami, tentu saja Raga berkenan. Walaupun ia tidak yakin apakah kejadian di malam itu tidak akan terulang kembali, tapi demi menyenangkan Emily dan agar ia memaafkan perlakuannya di malam valentine lalu, tanpa pikir panjang Raga pun menyetujui permintaan sang sekretaris. Melihat kesediaan itu, seulas senyum gembira pun telah tersungging manis di bibir bergincu merah muda milik gadis tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN