10. Begitulah Kelakuan Mas Agam

1028 Kata
Kuhela napas berat. Mencoba mengatur emosi yang tiba-tiba tersulut atas sikap egois dan tidak tahu dirinya Mas Agam. "Mas! Aku nggak ada uang. Bahkan untuk menghidupi anak-anakmu saja aku kesusahan. Banting tulang demi bisa mencukupi semua kebutuhan sehari-hari tanpa ada yang membantuku sama sekali." Kuharap dengan pengakuanku ini, maka ada rasa pengertian yang muncul di dalam dirinya. Selama tiga tahun semenjak perceraian kami, aku tidak pernah mau mengemis nafkah darinya meskipun itu untuk anak-anak. Jika dia memberi, maka aku terima. Namun, sudah satu tahun belakangan ini dia telah abai akan kewajiban memberikan nafkah bagi ketiga anak kami. Jadilah aku yang berjuang sendiri untuk mencukupi semua kebutuhan yang tidak dapat dikatakan sedikit. Bukannya merasa iba padaku, pria itu masih keukeh merayu. Bahkan tubuhnya yang menegak sedikit condong ke depan. Meraih tanganku yang terlipat di atas meja makan. "Ri, tolong aku. Ke mana lagi aku mau cari bantuan. Aku harus setor uang ke kesatuan hari ini juga. Aku janji secepatnya akan segera kukembalikan nanti. Akhir bulan uang gajiku akan aku berikan padamu." Alasan klise yang aku sudah lelah mendengarnya. Kutarik tanganku menjauh karena merasa risih disentuh olehnya tanpa ijin seperti ini. "Berapa kali aku katakan jika aku nggak ada uang. Sekalipun ada, itu untuk biaya aku hidup sehari-hari." "Kamu kan jualan. Aku pinjam dulu uang jualanamu." Mataku mendelik judes menatapnya tidak suka. "Mas! Jangan bawa-bawa tentang jualanku. Uang jualan itu aku putar lagi untuk belanja bahan. Nggak ada istilah aku pinjamkan jika tidak ingin usahaku bangkrut dan tidak bisa menghidupi anak-anakmu." Ucapanku kali ini, sepertinya mempan memaksa pria itu keluar dari rumah. Mas Agam beranjak berdiri, berlalu pergi sembari menggerutu, "Jika tidak boleh aku hutangi, bilang saja jujur jangan bertele-tele." Tak kujawab dan membiarkan dia keluar rumah. Terdengar deru mobil dan aku pastikan pria itu pergi dari sini. Itu akan lebih baik daripada membuatku pusing menghadapi tingkah lakunya yang sesuka hati. Memijit pelipis yang berdenyut. Aku tak habis pikir dengan jalan hidupnya seperti apa. Segala permasalahan di hidup Mas Agam, tak pernah lepas dari uang dan uang. Selalu begitu. Entahlah apalagi yang dibuat sampai harus berurusan dengan kesatuan tempat dia bertugas. "Bunda, Ayah mana?" tanya Mondy berlari keluar dan berdiri di ambang pintu yang masih terbuka. Mata kecilnya menelisik halaman depan yang tak lagi ada keberadaan mobil Mas Agam. "Ayah sudah pulang, Dek. Ayo masuk!" pintaku dengan sedikit lantang berbicara. Pasalnya Mondy justru keluar rumah mencari-cari keberadaan ayahnya. Tak lama, bocah kecil itu muncul kembali dan berdiri di hadapanku. "Ayah kok nggak pamit, Bun?" tanyanya nampak kecewa sebab sang ayah pergi begitu saja. Aku tersenyum. Tak mau menunjukkan pada putraku jika aku sedang kesal dengan ayahnya. "Ayah buru-buru, Dek. Mau kerja." "Sudah malam kok kerja," ucapnya cemberut dengan kepala yang kembali memutar untuk melihat keluar. "Ayah diajak kerja sama temannya, Dek. Sudah sini ayo kita makan saja. Kakak mana?" "Main hape di kamar." Aku menghela napas. Lalu meminta Mondy untuk duduk di kursi makan. Aku tahu anakku pasti lapar karena pergi dengan ayahnya pun tak dikasih makan. "Bunda panggil kakak sebentar." Menuju kamar dan membuka pintunya. Iyan dengan duduk di atas ranjang, sibuk dengan ponsel di tangan. Kehadiranku pun tak dihiraukan. "Iyan!" Panggilku. Anak keduaku itu menjawab tanpa mau mendongak menatapku. "Iya, Bun." "Ayo makan." "Nanti dulu. Masih main." "Makan dulu baru main game lagi." "Lima menit lagi, Bun. Nanggung ini." Aku mendesah kecewa lalu keluar meninggalkan kamar menuju ruang makan. Sebenarnya aku bukan ibu yang anti dengan namanya ponsel. Tapi sejak awal anakku mengenal benda tersebut, selalu aku wanti-wanti untuk tahu waktu. Boleh bermain game tapi juga tidak terus menerus. Untungnya ketiga anakku ini penurut. "Mondy makan duluan yuk. Nanti biar kakak nyusul." Kuambilkan Mondy makanan di dalam piring. Mondy sangat menyukai sayuran sehingga tidak menyulitkan bagiku ketika memasak. Sepiring nasi dengan sayur sop ayam sudah mulai Mondy nikmati. Tak lama Iyan pun ikut bergabung bersama kami. Aku bersyukur ketika melihat anak-anak makan dengan lahap. Mungkin mereka memang sedang kelaparan. Padahal biasanya, Mondy ini yang suka membuatku darah tinggi karena susah makan. Namun, kali ini tanpa ada protes seperti biasanya, bocah itu melahap habis makanannya. "Bunda, mau nambah sayurnya," pintanya sembari menyodorkan piring padaku. "Nasinya mau nambah juga nggak?" Kepala Mondy menggeleng. "Aku mau kuah sama bawang goreng." Kuturuti saja apa yang Mondy mau. Asalkan ada makanan yang masuk ke dalam perutnya. "Kakak mau nambah juga?" tawarku pada Iyan. "Enggak. Aku sudah kenyang, Bun." "Memangnya tadi tidak dibelikan makan sama Ayah?" Aku mencoba mencari tahu pada Iyan. Biasanya anak kecil itu akan jujur jika bicara. Kepala Iyan menggeleng. "Memangnya kakak tidak minta makan tadi? Kakak nggak lapar?" tanyaku lagi. "Sebenarnya lapar, Bun. Tadi aku minta soto sama Ayah pas habis dijemput dari sekolah. Tapi kata Ayah, iya. Eh, sampai di rumah Nenek, nggak dibelikan." "Terus kakak nggak minta lagi?" "Gimana mau minta ... Ayah langsung tidur pas sampai rumah nenek tadi," ceritanya dengan gamblang membuat darahku mendidih seketika. "Astaghfirullah. Jadi kalian dibiarkan kelaparan tadi?" Lagi-lagi Iyan mengangguk masih dengan menggerogoti ceker ayam kesukaannya. Aku meraup wajah sedih. Merasa bersalah pada Iyan dan Mondy. Mereka yang jika bersamaku tak pernah kekurangan makan, begitu bersama ayahnya malah tidak terurus sama sekali. Bisakah aku ikhlas jika anak-anak ikut dengan ayahnya? Tentu saja tidak. Selagi aku masih mampu bekerja maka akan kupastikan jika anak-anakku tak akan kekurangan suatu apapun juga. "Memangnya tadi Nenek ke mana?" Masih belum berpuas hati, aku kembali bertanya. Nenek yang aku tanyakan adalah ibu dari Mas Agam. Kita memang tinggal di satu kota yang sama. Akan tetapi aku sudah jarang pergi berkunjung ke rumah mantan mertua setelah perceraianku dengan Mas Agam. "Ada di rumah." "Nenek nggak masak? Kok kakak nggak dikasih makan sama Nenek." "Nenek nggak punya uang Bunda. Belum dikasih sama Ayah." "Oh!" Aku manggut-manggut. Tak lagi bertanya karena sudah paham dengan situasi yang ada. "Bunda aku sudah selesai," ucap Iyan beranjak berdiri dari kursi. "Cuci tangannya yang bersih. Mulutnya juga dibasuh jangan sampai berminyak lagi." "Iya, Bunda." "Habis itu belajar. Jangan main game terus-terusan." "Iya ... iya, Bunda. Tapi nanti setelah belajar boleh main hape lagi, kan?" "Boleh tapi sebentar." Iyan tak lagi terlihat. Tinggal Mondy yang masih menghabiskan makanannya. Terlihat berantakan. Tapi aku biarkan. Biarlah dia belajar mandiri. Mengenai makanan yang tercecer bisa aku bersihkan nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN