Freedom.
Jawaban yang selalu aku beri ketika ada seseorang yang bertanya apa arti sebuah kehidupan buatku.
Ya, bebas. Kebebasan yang membuat nyaman, tapi juga tidak sampai kebablasan. Bebas menentukan jalan hidup juga masa depan.
Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat buatku menjalani rumah tangga dengannya. Dengan seorang pria yang pada akhirnya aku tinggalkan juga. Iya, memang aku yang meninggalkannya. Meski derai air mata membasahi pipinya, aku tak peduli. Bagiku, memaafkannya satu kali dan memberikan kesempatan seratus kali tak akan ada guna jika terus saja dia mengulangi kesalahan yang sama. Entah sudah berapa banyak nama wanita yang selama tiga belas tahun usia pernikahan kami selalu aku jumpai baik di panggilan teleponnya, pesan-pesan mesra yang selalu memenuhi aplikasi w******p juga obrolan di tengah malam yang selalu aku dengar sedang dilakukan secara diam-diam. Belum lagi pertemuan di segala tempat yang dia lakukan di belakangku dengan para wanitanya. Mungkin dia merasa aku tak tahu apa yang telah ia lakukan di luaran sana. Namun, kasus hukum juga semua kasus-kasus selanjutnya yang selalu menyeret namaku, membuatku menyerah dan ... yah, aku memilih pergi meninggalkannya.
Meninggalkan harta benda yang kami dapatkan bersama. Keluar dari rumah hanya dengan baju yang menempel di badan. Tak lupa membawa serta ketiga putraku yang dulu masih kecil-kecil.
Kini semua telah berlalu. Tiga tahun sudah kebebasan yang aku dapatkan untuk menjalani sebuah kehidupan baru bersama ketiga anakku.
"Bunda!"
Aku terkesiap. Panggilan anak ketigaku yang bernama Mondy membuat kepala ini memutar menatapnya yang tengah berbalut handuk karena selesai mandi.
"Kenapa, Sayang?" tanyaku dengan lembut sembari menyeduh s**u sebagai teman sarapan kami pagi ini.
"Bajuku di mana?"
Bocah berusia lima tahun itu merajuk menatapku. Begitulah, segala hal aku harus menyiapkan agar dia tidak kebingungan akan kostum apa yang dikenakan hari ini.
"Bunda sudah menyiapkan bajumu di atas ranjang. Coba dilihat dulu," jawabku membuatnya berlalu meninggalkanku dan masuk ke dalam kamar.
Tiga gelas s**u coklat beserta satu cangkir kopi telah selesai aku buat. Meletakkan di atas meja sembari menunggu ketiga anakku selesai dengan aktifitas pagi mereka. Karena merasa jika Mondy akan kesulitan memakai baju seragamnya, kuputuskan untuk menghampiri anak ketigaku itu di dalam kamarnya. Benar saja, karena usianya juga masih lima tahun jadi wajar jika untuk memasang kancing kemeja sekolahnya dia kesulitan. Aku berjongkok mensejajarkan tinggi tubuh dengannya. Lalu dengan cekatan mulai membantunya hingga seragam berwarna putih biru itu melekat pas di tubuhnya yang sedikit gembul.
"Ayo kita sarapan. Bawa sekalian tas sekolahmu, Sayang," ucapku sembari merangkul anak terakhirku itu keluar kamar menuju ruang makan.
Raymond, atau kami yang biasa memanggil namanya dengan sebutan Mondy. Anak lelaki berusia lima tahun yang sudah aku masukkan ke sekolah taman kanak-kanak sejak usianya empat tahun. Dia paling aktif juga banyak sekali tingkahnya dibanding dengan kedua kakaknya. Namun, dia juga yang selalu mau lengket bersama bundanya. Bahkan selalu menangis acapkali bangun tidur tidak mendaptiku berada di dekatnya.
Kubantu Mondy untuk duduk di kursinya. Lalu mengambil alih tas yang tadi dia bawa dan meletakkannya di atas sofa. Tak lama berselang kegaduhan terdengar di salah satu kamar yang berada di dalam rumah ini. Sebuah rumah sewa yang telah kami tinggali selama tiga tahun ini. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala menyadari jika keributan itu disebabkan sebuah perselisihan anak pertama dan keduaku. Hal kecil seperti inilah yang sering memicu emosi dan amarahku ketika pagi-pagi di saat aku sedang disibukkan dengan banyak rutinitas, lalu harus mendengar pertengkaran mereka. Namanya anak-anak setiap saat pasti terjadi perdebatan dan itu adalah hal wajar. Namun, kerap kali hal seperti itu yang membuatku harus berteriak karena kesal. Padahal aku sudah tahu jika berteriak dengan suara keras pada anak tidak dibolehkan. Seorang ibu akan sangat susah mengontrol emosi dan terkadang keceplosan karena sudah lelah. Seperti yang kulakukan kini.
"Iyan! Rey! Pagi-pagi jangan ribut. Buruan kalian keluar!" Teriakanku yang melengking sukses membungkam keduanya. Aku masih belum puas karena memilih berjalan cepat menuju kamar mereka. Membuka pintunya kasar sembari melotot pada mereka berdua. Bagaimana mungkin hal kecil harus mereka perebutkan dan perdebatkan.
"Awas kalau Bunda mendengar kalian berantem lagi. Bunda telepon Ayah agar kalian dibawa saja."
Keduanya diam seketika. Jurus andalan yang selalu aku keluarkan acapkali kesal jika perkataanku tidak mereka dengarkan. Dan sekarang mereka berdua sama-sama bungkam dengan mengerucutkan bibirnya. Mengekoriku keluar kamar.
Di meja makan ada Mondy yang duduk diam menunggu kami. Aku menyodorkan s**u pada mereka masing-masing juga omlet beserta sosis panggang yang menjadi menu sarapan kami pagi ini. Sementara aku, hanya cukup minum segelas kopi.
Inilah rutinitas yang aku jalani setiap hari selama tiga tahun ini. Hampir setiap pagi tak terlalu banyak keriwehan yang aku jalani. Lain halnya dengan dahulu kala ketika aku masih bekerja di sebuah perusahaan. Menjadi karyawan yang setiap jam tujuh pagi harus sudah berangkat meninggalkan rumah. Padahal aku masih harus mengurus tiga orang anak. Sangat melelahkan apalagi seseorang yang pernah menjadi suamiku dulu tidak mau tahu akan kerepotanku. Ah, sudahlah. Tak ada yang perlu diingat juga disesali. Yang penting hidupku saat ini sudah sangat nyaman sekali.
Memutuskan resign dari pekerjaan yang telah lima belas tahun aku geluti. Meninggalkan lelaki yang telah memberiku tiga orang buah hati. Juga keluar dari rumah memilih pergi dan menjalani kehidupan baru di kota ini. Merintis usaha demi menyokong kehidupan ekonomi sehari-hari. Tak banyak yang aku inginkan. Yang penting aku bisa hidup tenang membesarkan ketiga anakku seorang diri. Aku sadar, status janda yang aku sandang bukanlah hal mudah karena banyak orang yang memandang sebelah mata akan status itu.
Yang pasti, hidup di kota ini aku mulai berbenah diri. Menjauh dari hiruk pikuk juga rumitnya kehidupanku dulu. Sekarang ... semua terasa mudah dan aku menghindari banyak mengeluh dan lebih baik bersyukur akan apa yang telah aku raih hingga detik ini.
***
Seperti biasa, rutinitas pagi yang selalu aku jalani. Mengantar ketiga anakku pergi ke sekolah masing-masing. Selanjutnya, aku akan pergi ke kedai untuk mulai mengais rejeki. Kedai yang telah aku dirikan selama kurang lebih tiga tahun ini.
Semenjak aku meninggalkan kehidupan lamaku di kota, aku memutuskan pindah tempat ke kampung halaman di mana aku dilahirkan. Menyewa sebuah rumah yang tidak terlalu luas terletak di sebuah kawasan perumahan tak jauh dari tempat tinggal kedua orangtuaku. Sebenarnya baik Bapak dan juga ibuku tidak keberatan andai aku beserta anak-anak tinggal bersama mereka. Hanya saja aku yang tidak mau merepotkan dan memilih hidup mandiri. Serta membangun kedai dari hasil uang tabungan yang berhasil aku kumpulkan selama ini.
Bersyukurnya lagi, dari kedai tersebut aku sanggup mencari nafkah untuk kebutuhan kami sehari-hari. Kedai kopi dan ice cream yang aku kelola dengan sebaik-baiknya juga penuh cinta. Tak hanya menyediakan aneka minuman, tetapi juga beberapa makanan ringan. Cukup sulit ketika aku mulai merintisnya dulu. Perlahan tapi pasti, berbekal promosi juga informasi dari mulut ke mulut, lambat laun kedai milikku menjadi ramai.
Tidak pernah lupa diri akan keberhasilanku kali ini. Tidak berani juga aku menyombongkan diri. Apalagi jika menyangkut mantan suami. Tak sedikit pun ada niatmu untuk menunjukkan padanya akan apa yang telah aku miliki saat ini.
Menjalani hari-hari tanpa pasangan memang tak mudah. Yang pasti aku akan tetap berjuang demi masa depan anak-anak. Menjadi seorang mantan Ibu Persit, tentu sikap dan perilaku harus aku jaga. Tak ingin mencoreng nama baik instasi mereka meski aku tak lagi menjadi bagian dari keluarga seragam hijau pupus itu. Tak mengapa dan aku tak pernah sakit hati akan apa yang telah mantan suami lakukan dulu.
Aku memasuki kedai yang memang sudah buka mulai jam delapan pagi. Terlihat beberapa karyawan yang aku pekerjakan di sini sedang mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang sedang menyapu serta mengepel lantai. Juga ada yang sedang menyiapkan beberapa bahan makanan dan minuman yang akan dijual selama satu hari ini. Aku tersenyum melihat mereka yang selalu rajin. Tidak gampang memperkejakan orang yang bisa kita percaya dan andalkan.
"Selamat pagi, Bu," sapa salah satu karyawan yang kini sedang aku lewati.
"Pagi," jawabku sembari melenggang masuk menuju kasir. Setiap pagi, yang pertama kali aku lakukan adalah mengecek ketersediaan stock barang. Selanjutnya mengecek keuangan. Jika dirasa semua sudah lengkap, biasanya aku akan membantu sebentar entah menunggui kasir atau turun tangan langsung melayani pengunjung. Baru ketika siang, aku akan meninggalkan kedai untuk kembali berperan sebagai ibu rumah tangga yang menjemput anaknya pulang dari sekolah.
Banyak hal yang harus aku kerjakan sebagai seorang ibu rumah tangga merangkap sebagai kepala keluarga. Tak ada yang mudah, tapi juga tak pernah aku anggap sulit semuanya.