16. Telepon Dari Cahaya

1010 Kata
Jari jemariku mengetuk-ngetuk meja sembari berpikir akan penawaran bapak tadi siang. Membuka buku tabungan untuk mengetahui saldo terakhir yang tersimpan di sana. Jika aku tambah dengan honor menulis, mungkin bisa membayar separoh dari nilai harga tanah yang ditawarkan. Lantas, jika aku menyanggupi untuk beli, sisanya akan dapat dari mana uangnya. Sungguh dilema. Haruskah aku menjual mobil? Jika memang kendaraan yang harus aku korbankan, tidak apa. Masih ada motor yang bisa aku gunakan. Yah, meskipun nantinya agak kesusahan karena motor tidak bisa sekali angkut banyak. Mengingat anakku ada tiga. Jika antar jemput sekolah dengan motor, otomatis aku harus rela bolak balik. Nanti saja aku akan bicarakan kembali hal ini dengan bapak. Di saat sedang berpikir, netraku menangkap ponsel yang berkedip-kedip layarnya dengan getar yang terasa. Kulirik sekilas siapa yang di pukul delapan malam ini sedang menghubungiku. Mataku menyipit melihat panggilan video pada aplikasi w******p. Kuperhatikan dengan seksama foto profil yang terpampang di layar ponselku. Tidak bernama karena aku tidak menyimpan nomor tersebut pada kontak ponselku. Namun, aku bisa mengenali jika foto profil dua orang tersebut adalah Pak Surya dengan Cahaya yang sedang tersenyum lebar penuh bahagia. Deg Jantung ini berdetak kencang demi menerka-nerka bahwa Pak Surya yang sedang menghubungi. Bukankah waktu itu Pak Surya pernah meminta nomor ponselku. Huft, menyiapkan mental sebelum mengangkat panggilan video tersebut. Memastikan wajahku tidak kumal karena sebelum tidur bisanya penampilanku awut-awutan. Baiklah kasihan jika membiarkan panggilannya itu terus menggema, dengan tangan gemetar kuusap layar ponsel hingga panggilan video tersebut terhubung. "Selamat malam!" Sapa dengan suara berat seorang pria. Sengaja aku menjauhkan wajahku dan hanya mengintip dari jarak cukup jauh demi bisa mengetahui bahwa itu adalah Pak Surya. Benar saja. Pria itu menelponku. Ada apa gerangan? "Tari!" Panggilnya lagi semakin membuatku gugup. Ponsel aku raih dan menghadapkan pada wajahku. "Selamat malam, Pak Surya," jawabku dengan memaksakan seulas senyuman. Semoga saja wajahku tidak tampak buruk dan memalukan. Pria itu tersenyum dan ah, rasanya seperti remaja yang baru melihat ketampanan seorang pria. Sosok pria matang dengan wajah penuh wibawa dan adem melihatnya. Buru-buru aku beristigfar agar hatiku tidak tergoda untuk mengagumi ketampanan seorang pria. Sangat memalukan. "Maafkan saya jika malam-malam telepon dan mengganggu waktu istirahatnya Tari." "Oh, nggak apa-apa, Pak." "Ini, Cahaya minta diteleponkan katanya," ucapnya kemudian. Suara rengekan Cahaya pun mulai terdengar dengan berpindahnya ponsel pada gadis itu. Kini wajah cantik Cahaya yang nampak oleh mataku. "Selamat malam, Mami. Akhirnya rasa rindu pada Mami terobati juga. Papi sih sejak kemarin-kemarin banyak alasan nggak mau neleponin mami. Padahal Papi punya nomor teleponnya mami." Rentetan kata yang dilontarkan Cahaya membuatku tertawa. "Memangnya Cahaya ke mana saja? Sudah seminggu lebih nggak kelihatan datang ke Kedai?" Ada sekitar satu minggu ini memang aku tidak pernah lagi menjumpai Cahaya datang ke Kedai. Mungkin karena beberapa hari ini aku disibukan dengan urusan anak-anak. Setelah Iyan yang menghadapi ujian semester minggu lalu, dan minggu ini gantian Rey. Sebagai seorang ibu aku juga harus tetap memperhatikan pendidikan putra-putraku. Mendampingi mereka di saat sedang membutuhkan support. Tak apa kedai aku tinggalkan sejenak. Aku membiarkan kedai hanya diurus oleh para karyawanku. "Aya lagi ada di rumah Oma." "Oh, pantes tidak pernah ke kedai." "Mami merindukan aku?" Kepalaku refleks mengangguk. Tidak ada salahnya jika aku membahagiakan anak kecil dengan mengiyakan apa yang menjadi pertanyaannya. "Iya. Mami rindu celotehan Cahaya." "Mami rindu juga nggak dengan Papi?" "Eh," jawabku reflek dengan pipi merona. Apa-apaan gadis itu. Kenapa bertanya seperti itu. Terlebih ditambah dengan suara Pak Surya yang sepertinya sedang menegur putrinya. "Aya, nggak boleh ngomong begitu." "Aya hanya bertanya saja, Papi. Jika mami merindukan kita nanti Aya akan paksa papi untuk cepat pulang." Aduh, ini anak lama-lama jadi aneh begini kelakuannya. Batinku dalam hati. "Aya di rumah Oma sedang liburan, kan? Ya, sudah dinikmati saja dulu liburannya." "Aya sudah bosan di sini. Aya ingin cepet pulang dan bertemu mami." "Nanti jika Aya sudah pulang, Aya datang saja ke kedai." "Siap, Mami. Sudah ya. Aya balikin hapenya pada Papi. Mami ngobrol aja sama papi." Belum aku menjawab, ponsel kembali berpindah tangan. Kali ini wajah Pak Surya sudah memenuhi layar ponselku. "Tari. Maafkan atas kelakuan Cahaya." "Oh, nggak apa Pak Surya. Namanya anak kecil." "Sejak kemarin dia merengek minta pulang. Tapi saya memang belum bisa pulang. Omanya Cahaya sedang sakit. Jadi saya masih harus stay di sini untuk beberapa hari lagi." "Semoga Omanya Cahaya lekas sembuh dari sakitnya." "Terima kasih banyak untuk doanya." "Sama-sama, Pak." Dan setelahnya aku tidak tahu lagi akan berkata apa. Untung saja keheningan yang melanda tidak bertahan lama karena Pak Surya kembali bersuara. "Eum, kalau begitu saya tutup dulu teleponnya. Maaf sudah mengganggu Tari. Selamat malam." "Selamat malam." Sebelum ponsel benar-benar mati, aku masih bisa menikmati senyuman Pak Surya yang begitu teduh. Hati ini bergetar seketika. Bahkan ketika layar ponselku tak lagi menampakkan sosok Pak Surya, jantung ini masih berdendang dengan gilanya. Seheboh inikah hatiku hanya karena seorang lelaki. Kelamaan menjanda responku bisa seperti ini. Ya, Tuhan. Buru-buru aku meletakkan ponsel. Menepis pemikiran yang tidak seharusnya bergelayut manja di dalam otak ini. Kembali meyakinkan diri ini bahwa hatiku sudah mati dan tak lagi mau menjalin hubungan rumah tangga dengan pria mana pun saat ini. Aku takut kecewa dan gagal untuk kali kedua. Biarlah di sisa hidup ini, aku sendiri dan lebih fokus pada anak-anak. Untuk menikah lagi juga belum ada prioritas dalam hidup ini. Meski pun begitu aku tidak munafik jika mungkin kelak datang lagi jodoh untukku, aku bisa apa selain menjalani takdir hidup ini. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan jika kelak aku mau menikah. Sebagai seorang janda anak tiga, aku tidak hanya mencari pasangan hidup untuk diriku saja. Tapi juga mencari sosok ayah bagi putra-putraku. Dan rasanya sulit untuk aku bisa mendapatkan laki-laki seperti kriteriaku itu. Tampan tak jadi jaminan seseorang baik luar dalam. Setidaknya lelaki yang tak akan lagi menyakiti hatiku dan meninggalkan bekas menganga di dalam hati ini. Sudah cukup Mas Agam saja lelaki yang pernah aku cintai setulus hatiku, tapi tidak memberikan timbal balik yang sama. Bukannya menyayangi dan mencintaiku dengan tulus, lelaki itu justru yang telah menyakiti hatiku. Menghancurkan aku sehancur-hancurnya. Tidak hanya selingkuh saja, tapi juga menghabiskan harta benda yang aku punya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN